Berbagi Tips dan Triks Gratis

Dapatkan Tips dan triks Gratis untuk menghasilkan Uang Dari Blog. Di
www.uangdariblog.com anda akan menemukan banyak sekali tips yang akan
membatu anda mendapatkan penghasilan pertama dari blog. Semua tips dan
trik itu bisa anda dapatkan dengan gratis tanpa mengeluarkan uang
sepeserpun. Selain dari Di www.uangdariblog.com, anda juga bisa
mendapatkan berbagai trik di www.ayoberbagi.com.

Rumah Adat Karo


Informasi terbaru Rumah Adat Karo
Oleh : Eddy Suranta Sembiring

Mengenal sejenak Rumah Adat
Karo Suku Karo mendiami daerah bagian utara Propinsi Sumatera Utara, terutama di daerah tinggi Karo, Langkat Hulu, Deli Hulu, Serdang Hulu, dan sebagian Dairi. Sebagian besar orang Karo masih hidup di desa-desa yang disebut kuta. Kuta merupakan kesatuan territorial yang dihuni oleh penduduk dari beberapa merga (klen) yang berbeda. Dalam kuta terdapat dua atau lebih deretan rumah adat. Namun, sekarang tidak semua kuta memiliki rumah adat. Di beberapa tempat kita masih dapat menemukan rumah adat Karo yang sudah berusia ratusan tahun diantaranya di desa Lingga, Dokan dan Peceren. Rumah Adat Karo terkenal karena keunikan teknik bangunan dan nilai sosial-budayanya. Rumah adat Karo memiliki konstruksi yang tidak memerlukan penyambungan. Semua komponen bangunan seperti tiang, balik, kolom, pemikul lantai, konsol, dan lain-lain tetap utuh seperti aslinya tanpa dilakukan penyerutan ataupun pengolahan. Pertemuan antarkomponen dilakukan dengan tembusan kemudian dipantek dengan pasak atau diikat menyilang dengan ijuk untuk menjauhkan rayapan ular. Bagian bawah, yaitu kaki rumah, bertopang pada satu landasan batu kali yang ditanam dengan kedalaman setengah meter, dialasi beberapa lembar sirih dan benda sejenis besi. Rumah adat Karo berbentuk panggung dengan dinding miring dan beratap ijuk. Letaknya memanjang 10-20 meter dari timur ke barat dengan pintu di kedua jurusan mata angin itu. Posisi bangunan Rumah Adat Karo biasanya mengikuti aliran sungai yang ada di sekitar desa. Pada serambi muka terdapat semacam teras dari bambu yang disusun yang disebut ture.

Nilai Kepercayaan dalam Pembangunan Rumah Adat Karo
Sebelum membangun rumah, orang Karo mengadakan musyawarah dengan teman satu rumah mengenai besar, tempat, dan hal-hal lain. Waktu membersihkan dan meratakan tanah ditentukan oleh guru (dukun) untuk mendapatkan hari yang baik. Ketika akan mengambil kayu ke hutan mereka kembali menanyakan hari yang baik untuk menebang pohon kepada guru. Sebelum menebang kayu guru akan memberi persembahan kepada penjaga hutan agar jangan murka terhadap mereka karena kayu itu dipakai untuk membangun rumah. Dalam proses pembangunan mulai dari peletakan alas rumah selalu ada ritual yang dibuat agar pembangunan rumah tersebut diberkati oleh yang maha kuasa dan agar tidak tejadi hal-hal yang buruk. Setelah rumah selesai dibangun masih ada ritual yang diadakan. Guru dan beberapa sanak keluarga yang membangun rumah akan tidur di rumah baru itu sebelum rumah itu ditempati. Mereka akan memimpikan apakah rumah tersebut baik untuk dihuni atau tidak. Waktu memasuki rumah baru biasanya diadakan kerja mengket rumah mbaru (pesta memasuki rumah baru). Pesta ini menunjukkan rasa syukur atas rumah baru tersebut kepada saudara-saudara dan kepada yang maha kuasa. Dalam pesta ini ada acara makan bersama dengan para kerabat, kenalan, dan orang-orang sekampung. Lalu, acara dilanjutkan dengan acara ngerana (memberi kata sambutan dan petuah-petuah) oleh pihak-pihak yang berkompeten seperti: Kalimbubu, Anak beru, dan Senina. Dalam pesta ini juga biasanya ada acara tepung tawar untuk rumah baru. Guru akan menepungtawari bagian-bagian tertentu dari rumah. Tujuannya ialah agar segala yang jahat keluar dari rumah dan yang baik tinggal dalam rumah untuk membuat para penghuni rumah bisa bahagia menempati rumah tersebut. Acara lain yang kadang dibuat adalah gendang. Gendang ini bertujuan untuk mengusir hal-hal jahat yang masih tinggal di dalam rumah tersebut. gendang tersebut juga menunjukkan rasa gembira dan syukur bersama warga sedesa.

Nilai Kepercayaan dalam Bentuk Bangunan Rumah Adat Karo
Struktur bangunan rumah adat Karo terbagi atas tiga bagian, yaitu atap sebagai dunia atas, badan rumah sebagai dunia tengah, dan kaki sebagai dunia bawah, yang dalam bahasa Karo disebut Dibata Atas, Dibata Tengah, dan Dibata Teruh (Allah Atas, Allah Tengah, dan Allah Bawah). Pembagian anatomi rumah adat Karo menggambarkan: dunia atas tempat yang disucikan, dunia tengah tempat keduniawian, dan dunia bawah tempat kejahatan sehingga layak untuk tempat binatang piaraan, yang dalam kepercayaan suku Karo dikuasai oleh Tuhan Banua Koling. Penguasa yang jahat dipuja dan dihormati agar tidak mengganggu kehidupan manusia. Dalam pembangunan rumah adat, hal yang terpenting adalah prosesnya yang sakral dibandingkan segi fisiknya. Hal ini tampak mulai dari penentuan tapak/lahan, pemilihan kayu di hutan, hari baik untuk pendirian rumah, pemasangan atap sampai memasuki rumah. Kesemuanya dilakukan melalui upacara-upacara ritual dengan kerbau sebagai korban. Upacara-upacara ini menunjukkan kepercayaan yang besar orang Karo akan kekuasaan yang melebihi kekuatan manusia.

Nilai Kebersamaan dari Rumah Adat Karo
Suatu rumah adat biasanya dihuni oleh empat atau delapan bahkan sampai enam belas keluarga batih (jabu), yang masih terikat hubungan kekerabatan secara patrilineal. Penempatan jabu di dalam rumah diatur menurut ketentuan adat. Inilah yang menjadi kekhasan rumah adat Karo bila dibandingkan dengan rumah adat lain. Jumlah anggota keluarga ini berkaitan dengan tungku masak di dalam rumah. Tiap tungku digunakan oleh dua keluaga sehingga dua keluarga biasanya memakan makanan yang sama. Ini juga menjadi keunikan yang menunjukkan kebersamaan dalam Rumah Adat Karo. Kegembiran atau kesusahan satu anggota keluarga menjadi kegembiran seluruh penghuni rumah adat. Dan lewat perayaan-perayaan hidup seperti membangun rumah, pesta tahunan, kerja di ladang, pernikahan, kelahiran anak, dan kematian tampaklah kebersamaan itu semakin hidup.

Sumber : http://deparita.multiply.com
Tinggalkan komentar anda tentang Rumah Adat Karo

Topeng Betawi dalam Kacamata Mistis


Informasi terbaru Topeng Betawi dalam Kacamata Mistis
Oleh: apit

Orang Betawi dulu menganggap Topeng memiliki kekuatan magis. Selain dapat menolak bala, juga dinilai mampu menghilangkan kedukaankarena kematian, sakit atau pun petaka lainnya. Selama ini Topeng sering diartikan sebagai kedok. Tetapi bagi orang Betawi, Topeng berbeda dengan kedok, Kalau kedok adalah penutup muka, sedangkan topeng adalah pertunjukan. Misalnya di Jakarta sering kita dengar sebutan Topeng Monyet yang berarti pertunjukan dengan menggunakan monyet. Maka yang diartikan Topeng Betawi di sini, sebenarnya adalah pertunjukan dalam bentuk teater yang mengandung aspek tari, nyanyi, narasi dengan dialog maupun monolog.

Menurut Antropolog dari LIPI, Ninuk Kleden Probonegoro, ada dua narasi tentang asal muasal Topeng Betawi yang menjadi cikal bakal pagelaran yaitu narasi yang berhubungan dengan Jaka Pertaka, dan satu lagi narasi tentang Sukma Jaya. Narasi tentang ini memperlihatkan bahwa Topeng dianggap mempunyai kekuatan magis.

Ada tiga hal yang dirujuk oleh kedua narasi tersebut. Pertama, Dewa Umar Maya yang dapat menghidupkan dan mematikan Ratna Cuwiri dan menghidupkan patung kayu, dianggap mempunyai kesaktian. Dewa yang menyamar sebagai dalang ini membawa kesaktiannya dalam perkumpulan Topeng. Dengan alasan itulah rupanya orang Betawi menganggap Topeng mempunyai kekuatan magis, yang bisa menghilangkan kedukaan karena kematian, sakit atau pun petaka lainnya. Karena itu pula acara ketupat lepas hanya bisa dilakukan dalam Topeng dan tidak pada bentuk teater Betawi yang lain.

Ketupat lepas adalah ritual yang berhubungan dengan nazar si empunya hajat. Melalui upacara yang disaksikan oleh Kembang Topeng, menandakan bahwa si empunya hajat telah melunasi nazarnya, Upacara dilakukan dengan ketupat yang diletakkan di atas beras kuning bercampur dengan uang logam. Pada saat bersamaan Kembang Topeng dan orang yang dinazari memegang ketupat itu dan dari dalam ada orang yang membacakan doa. Berikut ini adalah kutipan doa dari grup Topeng Sinar Jaya, Bekasi. “… Tempat dulu ada ucapan pada anaknya. Kalo liwat dart susah, keberkahan, panjang umur, murah rezeki. Kalau anaknya disunatin, kaulan nanggap topeng, seberkah, dua berkah. Membayar kaulan, minta doa selamatnya dibayar uang, sekarang kaulannya lagi dibayar.” Setelah doa selesai dibacakan, ketupat dihentakkan dan uang diperebutkan oleh anak-anak yang telah siap di bagian muka. Kembang Topeng dianggap mempunyai kekuatan supranatural, seperti halnya Sukma Jaya yang menjadi ronggeng Topeng bernama Gandawirang. Kaki Jugil dalam cerita Jaka Pertaka telah memberi hidup sebuah patung kayu perempuan. Kesaktian inilah yang dibawa ke dalam Topeng. Dari narasi tersebut, Topeng diyakini mempunyai sifat religius dan membedakan dari teater-teater Betawi yag lain.

Ritual Topeng
Bagi masyarakat Betawi, Topeng digunakan dalam ritual kehidupan yang dianggap cukup penting, seperti perkawinan dan khitanan. Pada kedua ritual itu. Topeng dipagelarkan untuk memeriahkan pesta. Juga biasanya, Topeng digelar dengan tujuan membayar nazar. Meskipun harus membayar mahal untuk sebuah pertunjukan Topeng, rasanya itu tidak menjadi persoalan. “Biar tekor asal kesohor,” begitu ungkapan kalangan masyarakat Betawi tertentu dalam menjaga imej status sosiainya. Nah, bila si empunya hajat inggin menggelar Topeng, ia lebih dulu membayar panjer (uang muka) pada grup yang telah dipilih, setelah ada kesepakatan biaya. Kekurangannya akan dibayar pagi setelah pesta usai, uangnya diambil dari amplop sumbangan dari para tetamu.

Pentingnya kesaksian bahwa nazar sudah dibayar melalui pagelaran Topeng, tidak berarti dengan sendirinya semua orang Betawi menganggap Topeng itu penting. Sebab, tidak semua lokasi di wilayah persebaran Topeng ini memperlihatkan indikasi pentingnya Topeng. Menurut catatan Ninuk, terdapat 60 grup Topeng yang ada di wilayah Jabotabek pada tahun 1975. Persebaran grup Topeng tersebut dapat dilacak berdasarkan beberapa wilayah yang ada, saat menggelar pertunjukan. Untuk Kabupaten/Kodya Bogorr misalnya, ada dua kecamatan (Cibinong dan Cimanggis) yang memiliki grup Topeng. Di kawasan Tangerang terdapat tujuh kecamatan (Curug, Cikupa, Balaraja, Tigaraksa, Kronjo, Kresek, Rejeg). Di Bekasi lebih banyak lagi, yakni 10 kecamatan (Bekasi, Tambun, Cikarang, Cibitung, Setu, Lemah Abang. Sukatani, Pebayuran, Babelan, Pondok Gede). Sedangkan DKI Jaya empat kecamatan (Koja, Jatinegara, Kramat Jali, Pasar Rebo). Dari beberapa wilayah persebaran grup Topeng, masing-masing kabupaten mempunyai pusat Topeng tersendiri. Balaraja misalnya dijadikan pusat Topeng di Tangorang, Tambun dan Babelan sebagai pusat Topeng di Bekasi, dan Pasar Rebo adalah daerah Topeng di DKI Jaya. Adapun persebaram grup dalam suatu wilayah geografis tidak berbeda dari persebaran pengguna Topeng. Hal itu disebabkan karena suatu grup Topeng bermain di wilayah tertentu yang sudah dilakukannya sejak dulu.

Wilayah persebaran Topeng di Jabotabek tersebut, sebenarnya masih terbagi ke dalam tiga kelompok Topeng, berdasarkan ciri bahasa, penggunaan tempat pertunjukan dan kekhasan pagelaran. Grup Topeng di Tangerang tampaknya berdiri sendiri (daerah ini lebih dikenal sebagai wilayah Lenong), sedangkan di wilayah lain dikenal dua bentuk Topeng yang menurut istilah setempat adalah Kanda Wetan dan Kanda Kulon, Wetan adalah timur, dan kanda berarti daerah, Dengan demikian, grup yang termasuk Kanda Wetan adalah grup-grup dari Bekasi, sedangkan grup yang termasuk dalam Kanda Kulon adalah grup-grup dari DKI dan Bogor bagian utara. Sementara itu, ada grup peralihan yang berdiri diantara Kanda Wetan dan Kanda Kulon. Berdasarkan bahasa yang digunak dalam pagelaran, grup-grup Topeng Tangerang menggunakan bahrasa Sunda. Pasar Rebo dan Bekasi, pagelaran Tope menggunakan bahasa Melayu Betawi.

Pergeseran Waktu
Seiring pergeseran zaman, Topei Betawi tampaknya telah terjadi transformasi yang menggambarkan perubahan Topeng Ada lima bentuk perubahan yang disebabkan oleh urutan waktu dalam sejara Pertama, esensi Topeng yang sakral dan magis tak lagi menjadi motivasi bagi yai punya hajat. Topeng tak lagi berfungsi sebagai penolak bala atau nazar bagi anak yang sering sakit-sakitan, karena memar puskesmas makin mudah dijangkau.

Kedua, pagelaran yang diselenggarakan dalam lingkup tradisi yaitu ritus perkawinan dan khitanan, juga mengalami pergeseran ke arah ritus nasional. Ketiga, keragaman estetika yang muncul dalam Kanda Wetan dan Kanda Kulon pun mulai menghilang karena masuknya para pendatang ke daerah orang-orang Betawi. Termasuk berbag bentuk kedok yang memperlihatkan ks ragaman topeng, hilang secara perlahai lahan. Terakhir, kedok Bapak Jantuk pui sudah tidak dikenal lagi.

Keempat, ruang lingkup seni pertunjuka mengalami pergeseran. Jika dulu (tahun 70-an) masih berlangsung hingga pukul 4 pag lama kelamaan bergeser durasinya, paling lambat pukul 3 atau lebih maju pukul 1 dini hari sudah harus dihentikan karena oran harus bersiap diri untuk sembahyang Subu agar tidak kesiangan.

Kelima, narasi pagelaran Topeng, tak lagi mengangkat tema kemiskinan di wilayar wilayah tuan-tuan tanah, dan telah beralih dengan mengunakan isu nasional yang kadang menjadi legitimasi kepentingan politik tertentu.

Bisa dirasakan, berkembangnya zaman telah merubah historical sequences Topeng tidak saja secara fisik tetapi juga ideologinya. Dengan kata lain, telah terjadi pertumbuhan keragaman budaya, dalam hal ini keragaman pagelaran Topeng. Itu bisa dimaklumi, mengingat rasa memiliki terhadap budaya Betawi, kini bukan hanya milik orang Betawi saja, tapi juga dimiliki para pendatang yang ingin melestarikan budaya Betawi menurut zamannya.

Sumber : http://apit.wordpress.com
Foto : http://fotokita.net
Tinggalkan komentar anda tentang Topeng Betawi dalam Kacamata Mistis