tag:blogger.com,1999:blog-4524290348413500102024-03-14T00:49:14.585-07:00Rumah Indahinfohttp://www.blogger.com/profile/14229387099866067801noreply@blogger.comBlogger68125tag:blogger.com,1999:blog-452429034841350010.post-65302255886004132602011-07-01T20:21:00.001-07:002011-07-01T20:21:45.750-07:00Objek Wisata Kota Medan<br>Informasi terbaru Objek Wisata Kota Medan <div style="text-align: justify;font-family:verdana"><span style="font-weight: bold">ISTANA MAIMON</span><br />Istana ini merupakan salah satu objek wisata utama di kota Medan. Istana ini dibangun pada tahun 1888 oleh Sultan Makmun Al Rasyid Perkasa Alamsyah memerintah dari tahun 1873-1924. Arsiteknya TH Van Erp bekerja sebagai tentara KNIL. Rancangannya melambangkan Bangunan Tradisional Melayu dan India Muslim, sedangkan gaya arsiteknya perpaduan antara Indonesia, Persia dan Eropa, Dihalaman istana ini terdapat Meriam Puntung yang merupakan bagian dari Legenda Istana Maimon<br /><br /><span style="font-weight: bold">TUGU GURU PATIMPUS</span><br />Guru Patimpus adalah orang terkenal di Medan. Dia mempunyai sejarah besar sebagai penemu Kota Medan. Berabad-abad yang lalu tepatnya pada tanggal 1 Juli 1560. Guru Patimpus seorang keturunan Raja Singa Maharaja Negeri Bakerah didataran tinggi Karo membangun sebuah perkampungan yang disebut âMedan Putri" lokasi ini berada diantara pertemuan Sungai Deli dan Sungai Babura yang dahulu merupakan transportasi utama. Kampung ini berkembang dengan pesat dan dipercaya sebagai cikal bakal Kesultanan Deli.<br /><br /><span style="font-weight: bold">TJONG A FIE</span><br />Rumah Tjong a Fie merupakan gedung bergaya Tiongkok kuno yang sangat fantastis dan dibangun pada tahun 1900, lokasinya terletak dijalan Ahmad Yani (Kesawan). Dia adalah jutawan pertama di Sumatera yang namanya sangat terkenal sampai sekarang walaupun ia sudah wafat pada tahun 1921. Kesukseannya berkat usaha dan hubungan baiknya dengan Sultan Deli dan para pembesar perkebunan tembakau Belanda. Hingga saat ini rumah tersebut masih ditempati keluarga Tjong A Fie.<br /><br /><span style="font-weight: bold">KANTOR POS</span><br />Gedung ini wujud sejarah yang sangat menankjubkan selesai dibangun pada tahun 1911oleh arsitek SNUYF, Direktur Jawatan Pekerjaan Umum Belanda untuk Indonesia pada masa itu. Gedung ini merupakan karya besar utama SNUYF. Kantor Pos ini lokasinya persis didepan Hotel Dharma Deli. Saat ini menjadi Kantor pos Pusat di Sumatera Utara.<br /><br /><span style="font-weight: bold">MESJID RAYA</span><br />Mesjid ini sebagai Lambang Kota Medan. Mesjid terindah memiliki nilai budaya, sejarah dan terbesar di Sumatera Utara. Mesjid ini dapat menampung 1500 jemaah untuk melaksanakan Sholat setiap hari. Mesjid ini dibangun oleh Sultan Makmun Al Rasyid di desain oleh DENGIMANS dari Belanda dengan gaya Moorish dan berdiri pada tahun 1906. Banyak turis dari berbagai Negara didunia selalu mengunjungi Mesjid ini.<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold">GEREJA LAMA</span><br />Gereja Immanuel merupakan Gereja tertua di Medan. Lokasinya di jln. Diponegoro yang dibangun pada tahun 1921. Gereja ini masih digunkan oleh umat kristiani untuk kebaktian pada hari minggu dan hari lainnya seperti upacara pernikahan , Misa Natal dan sebagainya. Gereja ini dapat menampung sekitar 500 umat Kristiani untuk mendengarkan kotbah Pendeta. Kita dapat menemukan Gereja tua lainnya dikota Medan tepatnya di Jln. Pemuda yaitu Gereja Roma Katolik dibangun pada tahun 1929. Gereja ini masih digunakan umat katolik pada hari Minggu dan hari lainnya seperti acara pernikahan dan sebagainya.<br /><br /><span style="font-weight: bold">VIHARA GUNUNG TIMUR</span><br />Vihara Gunung Timur di kenal sebagai Vihara tertua di Kota Medan. Didirikan oleh Umat Budha pada tahun 1962. Umumnya umat Budha bersembahyang ke vihara ini setiap hari. Vihara ini juga untuk acara ritual lainnya dalam Agama Budha seperti memperinati hari Ualng Tahun SIDHARTA GAUTAMA. Biasanya tanggal 4 s/d 15 setiap tahunnya. Perayaan Imlek dan sebagainya<br /><br /><span style="font-weight: bold">KLENTENG HINDU SHRI MARIMMAN</span><br />Kuil Shri Mariamman merupakan Kuil Hindu tertua di Kota Medan. Dibangun pada tahun 1884 oleh umat Hindu. Kuil ini berada di Jln. Zainul Arifin, umumnya umat Hindu datang untuk bersembahyang di kuil ini setiap pagi. Kuil ini juga digunakan untuk ritual lainnya dalam Agama Hindu seperti Perayaan Depavali, Perayaan Panen Padi dan sebagainnya.<br /><br /><span style="font-weight: bold">MENARA AIR TITANADI</span><br />Satu lagi cirri Khas kota Medan adalah Bangunan Menara Air yang kini menjadi milik Perusahaan Air Minum Daerah Tirtanadi. Ketika anda akan memasuki kota ini dari arah selatan melalui jalan Sisingamangaraja, anda akan disambut dengan pemandangan puncak menara Tirtanadi sebagai tangki penyimpanan air bersih kebutuhan warga kota sejak jaman Kolonial Belanda sampai sekarang.<br /><br /><span style="font-weight: bold">LONSUM</span><br />PT. LONDON SUMATERA INDONESIA, Gedung ini dulunya disebut JULIANA BUILDING pada tahun 1920-an, dan sekarang dihuni oleh PT. London Sumatera Indonesia (Lonsum). Saatdidirikan gedung ini milik Harrison dan Crossfield, sebuah perusahan perkebunan milik Inggris.<br /><br /><span style="font-weight: bold">MUSEUM BUKIT BARISAN</span><br />Museum ini dibuka pada tahun 1971. Museum ini adalah merupakan tempat yang menarik untuk dikunjungi dan menyimpan benda-benda sejarah perjuangan ABRI dan Rakyat di Sumatera Utara seperti senjata, obat-obatan dan pakaian seragam yang digunakan pada Perang Kemerdekaan Indonesia melawan pemberontakan pada tahun 1958. Mengunjungi Museum ini dapat membayangkan kehebatan Perjuangan Pahlawan dimasa lalu. Museum initerletak di Jln. Zainul Arifin<br /><br /><span style="font-weight: bold">MUSEUM SUMATERA UTARA</span><br />Museum ini terletak di Jln. H.M. Jhoni No. 51 Medan. Merupakan Museum terbesar di Sumatera Utara yang berbagai peninggalan Sejarah Budaya Bangsa, Hasil Seni dan Kerajinan dari berbagai Suku di Sumatera Utara. Museum ini dibangun pada tahun 1954 dan diresmikan pada tahun 1982 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Dr. Daoed Yoesoef. Museum ini merupakan salah satu museum terbaik di Indonesia.<br /><br /><span style="font-weight: bold">TAMAN BUAYA MEDAN</span><br />Lo Than Mok pemilik 2600 ekor buaya yang memulai pemeliharaan sejak 1959. Taman Buaya ini terletak di kelurahan Asam Kumbang Kecamatan Medan Selayang, luas ara lebih kurang 2 H, jaraknya sekitar 0 Km dari Pusat kota. Didalam taman ini kita dapat melihat buaya yang baru lahir hingga yang berusia 25 tahun dan sebagain buaya tersebut terlatih dan bias membuat atraksi yang menakjubkan termasuk berbgai atraksi yang anda inginkan.<br /><br /><span style="font-weight: bold">TUGU JENDRAL AHMAD YANI</span><br />Di inti Kota Medan terdapat sejumlah taman kecil dan besar di jalan Jend. Sudirman dan terdapat Monumen Jend. Ahmad Yani tidak berapa jauh dari taman ini juga ada taman beringin yang terletak ditepi Sungai Babura. dan Taman ini sekarang menjadi Taman Digital setelah diresmikan oleh Bapak Pj.Walikota Medan Drs. Afifuddin Lubis, M.Si<br /><br /><span style="font-weight: bold">KEBUN BINATANG MEDAN</span><br />Kebun Binatang ini dikelola Pemerintah kota Medan yang berisi berbagai jenis hewan tropis, hewan-hewan mamalia seperti Beruang, Harimau, Singa Gajah, Reptil dan lain-lain. Luas areal sekitar 30 H dan berjarak sekitar 10 Km dari pusat kota. Terletak di jalan Pintu Air IV Kelurahan Simalingkar B Kecamatan Medan Tuntungan, Buka setiap hari pukul 09.00 s/d 17.00 wib.<br /><br /><span style="font-weight: bold">RAHMAT WILDLIFE MUSEUM & GALLERY</span><br />Rahmat International Wildlife Galleryn adalah satu-satunya di Asia yang meliki lebih kurang 850 lebih koleksi satwa dari berbagai negara. Telah termasuk Record Book dan menerima penghargaan International dalam bidang konservasi dalam upaya mencegah kepunahan satwa-satwa liar didunia. Di Gallery ini ditampilkan berbagai koleksi satwa liar terkecil hingga terbesar sesuai dengan habitatnya<br /><br /><span style="font-weight: bold">PEKAN RAYA SUMATERA UTARA</span><br />Pekan Raya Sumatera Utara terletak di Jln. Gatot Subroto sekitar 7 Km dari pusat kota, tepatnya di Gedung Tapian Daya sebagai ajang promosi budaya, Industri dan bisnis. Buka setiap tahun. Berbagai jenis Tarian Tradisional dan Pameran Budaya di Sumatera Utara biasanya ditampilkan pada acara pembukaan pameran.<br /><br /><span style="font-weight: bold">DANAU SIOMBAK</span><br />Danau Siombak Indaengas Pulau kecamatan Medan Marelan. Danau ini merupakan danau buatan yang indah, dengan luas area 40 H, jaraknya 15 Km dari pusat kota. Danau ini sangat indah dan dianjurkan untuk dikunjungi. Biasanya danau ini digunakan untuk Festival Kano dan Perahu Tradisional disamping sebagai tempat rekreasi<br /><br /><span style="font-weight: bold">MERDEKA WALK</span><br />Sebuah pusat jajanan malam yang fantastic dihiasi lampu-lampu hias yang semarak penuh dengan nuansa kuning Melayu, terletak di Lapangan Merdeka dikenal dengan ââ∠âMerdseka Walkâââ¬?. Memiliki area cukup luas dibawah pohon-pohon rindang. Kita dapat menikmati bangunan bersejarah dengan keindahan arsitekturnya, ketika kita menikmati makan malam di tempat ini.<br /><br /><span style="font-weight: bold">RAMADHAN FAIR</span><br />Ramdhan Fair dilaksanakan setiap tahun pada bulan puasa. Tempat yang bernuansa klasik Islami ini bernama Ramadhan Fair. Terdapat banyak Stand makanan dan minuman, pertunjukkan music dan Budaya Islam. Banyak masyarakat dari kota Medan dan Kabupaten lain di Sumatera Utara juga Wisatawan Internasional selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi Ramadhan Fair ini.<br /><br /><span style="font-weight: bold">LEBARAN FAIR</span><br />Lebaran Fair ini dilaksanakan setiap tahun pada saat memasuki Lebaran, Lebaran fair ini selalu dilaksanakan di Gedung Tapian Daya Medan Jln. Gatot Subroto Medan<br /><br /><span style="font-weight: bold">TAMAN SRI DELI</span><br />Taman Sri Deli ini merupakan Taman Putri-putri Sultan Deli dan Keluarga.<br /><br />Taman Sri Deli, itulah nama yang digunakan masyarakat setempat untuk menyebutkan taman yang berada persis di depan Jalan Mesjid Raya Medan yang sekaligus merangkap kolam di dalamnya.<br /><br />Ada yang menarik dari keberadaan Taman Sri Deli ini, yaitu jajaran pedagang kaki lima yang didominasi oleh pedagang rujak. Rujak yang dikenal dapat menggoyang lidah penikmatnya ini sudah tersohor sampai keluar Sumatera Utara.<br /><br /><span style="font-weight: bold">MESJID RAYA LAMA (AL - OSMANI)</span><br />Jalan-jalan ke Pelabuhan Belawan singgah sebentar di Pekan Labuhan, Kalau Anda ingin pengetahuan mari kita tinjau Mesjid Osmani di Labuhan, berjarak sekitar 19 Km dari pusat Kota Medan atau 5 Km dari Kota Pelabuhan Belawan disanalah terdapat mesjid tertua dizaman kerajaan Sultan Deli masa Kepemerintahan Sultan Al Osmani.<br /><br />Melihat bentuk dan keunikkan dari banguna tua yang bertuah itu, mesjid Al Osmani bukanlah sembarang mesjid peninggalan sejarah justru hingga kini mesjid berwarna kuning kehijauan tersebut dikharomahkan sebagai pusat kegiatan Islam seperti tepung tawar keberangkatan haji maupun banyak dimanfaatkan sebagai lokasi acara para calon-calon Legislatif maupun Pilkada yang akan terpilih.<br /><br /><span style="font-weight: bold">TAMAN REKREASI MORA INDAH </span><br />Taman Rekreasi Mora Indah,Berada di jalan Sisingamangaraja kilometer 11 kota Medan,Taman Rekreasi Mora Indah ini menyuguhkan keindahan alam kota medan, yang cocok untuk rekreasi bersama keluarga. Pemandangan yang indah dan suasana yang damai, membuat tempat ini selalu ramai di datangi para pengunjung, selain dengan indahnya pemandangan alam, pengunjung dimanjakan dengan berbagai satwa seperti burung, monyet, beruang dan lainnya ataupun permainan anak-anak yang tidak dipungut bayaran untuk digunakan. Bila anda ingin menyewa pondok, anda di kenakan biaya Rp20.000 per pondok, namun kebanyakan para pengunjung cukup membawa alas berupa tikar dari rumahnya. Seperti tempat-tempat rekreasi lainya,tempat ini paling padat pengunjungnya di akhir minggu atau ketika libur anak sekolah tiba.untuk berakhir pekan melepas penat setelah seminggu beraktifitas<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold">MESJID GANG BENGKOK</span><br />Bentuk mesjid ini memang bentuknya seperti kelenteng, ada etnis Chinanya, terutama bagian atas. Terus ini juga bentuk stupa, ini seperti candi-candi. Sekilas, ini disebut orang sebagai kelenteng. Sehingga masjid ini memberikan kesan bahwa masjid ini bukan cuma orang islam, tapi juga etnis China atau Tionghoa. Tapi yang jelas ini adalah masjid, bukan kelenteng<br /><br />Kenapa di namakan bengkok, karena dulu di depan masjid ini adalah sebuah gang, belum jalan. Nah, gang ini memang bengkok bentuknya, makanya dinamakanlah masjid Gang Bengkok. Tapi karena kendaraan semakin ramai, maka di buat jalan, nah inilah bengkoknya. Tapi masjid ini juga disebut sebagai masjid lama. Karena ini memang berdiri sejak dulu, ketika Sultan Deli, yaitu Sultan Makmun Al Rasyid naik tahta.<br /><br />Mesjid ini juga menyimpan jejak Melayu pada arsitektur bangunannya. Di plafon mesjid, terdapat umbai- umbai hiasan yang disebut âlebah bergantungâ. Hiasan ukiran ini dibuat dari kayu papan, berbentuk semacam tirai, dengan warna kuning, khas Melayu.<br /><br /><span style="font-weight: bold">GRAHA BUNDA MARIA ANNAI VELANGKANNI (tempat ziarah)</span><br />Pada awalnya tempat itu diperuntukkan bagi umat Katolik Tamil yang ada di Medan akan tetapi dalam perkembangannya semua umat Katolik dapat datang dan berziarah disitu tanpa batas asal-usul ataupun ras karena sesungguhnya tempat itu dipersembahkan bagi seluruh umat Katolik dan jg sebagai objek wisata bagi negara-negara tetangga.<br /><br />Dari alamat yang tertera jelas tempat itu masih didalam kota Medan, yaitu didaerah Medan barat daya di kecamatan Tuntungan, kelurahan Tanjung Selamat, dijalan Sakura 3, dekat perumahan Taman Sakura Indah. Ada cukup kendaraan umum yang melewati jalur itu tetapi jika anda bukan warga Medan sebaiknya naik taksi karena jalannya lumayan jauh dari pusat kota. Itu barangkali termasuk daerah pinggiran karena didaerah itu jalannya relatif sepi, meskipun jalur jalan 2 arah terpisah yang membelah jalan TB Simatupang cukup lebar. Dari jalan ini cari papan billboard besar dipinggir jalan yang menunjukkan lokasi Graha Annai Velangkanni. Dari jalan raya cuma sekitar 150m masuk kedalam gang yang tidak begitu besar. Begitu sampai di pintu gerbangnya yang bagian atasnya dihiasi ornamen rumah tradisional Batak, maka anda akan terpesona oleh arsitektur bangunannya yang bergaya Indo-Mogul, mirip dengan kuil Hindu. Jika baru pertama kali kesitu dan tidak tahu apapun tentang Annai Velangkanni tentu anda akan terheran-heran, bangunan apa itu, seperti yang diungkapkan sopir taksi yang mengantar penulis. Bentuk bangunan yang tidak lazim dan menjulang itu kontras dengan keadaan bangunan sekitarnya sehingga keberadaannya sangat menarik perhatian. Setelah mendekat barulah tampak keistimewaan lainnya, yaitu seluruh bangunannya dipenuhi dengan ornamen dan lukisan baik disebelah dalam maupun diluar. Ini bukan sembarang ornamen karena setiap ornamen punya makna tersendiri sehingga secara keseluruhan bangunannya dipenuhi oleh simbol-simbol yang penuh makna, dan ini dimaksudkan sebagai bagian dari proses sebuah perziarahan. Hal itu diungkapkan sendiri oleh Pastur James Bharata Putra.<br /><br /><span style="font-weight: bold">Sumber :</span><br /><a href="http://rumah-stil.blogspot.com/">http://www.pemkomedan.go.id</a><br /><a href="http://rumah-stil.blogspot.com/">http://mediaswaraindonesia.blogspot.com</a><br /><a href="http://rumah-stil.blogspot.com/">http://berita.univpancasila.ac.id</a><br /><a href="http://rumah-stil.blogspot.com/">http://www.scribd.com</a><br /></div><div class="blogger-post-footer"><img width='1' height='1' src='https://blogger.Car.com/indah/2624359141219824923-935986391768856549?l=rumah-stil.blogspot.com' alt='' /></div> Tinggalkan komentar anda tentang <a href="http://rumah-stil.blogspot.com/">Objek Wisata Kota Medan</a><br> infohttp://www.blogger.com/profile/14229387099866067801noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-452429034841350010.post-72679547719919389502011-01-05T16:34:00.001-08:002011-01-05T16:34:50.219-08:00Sekilas Tentang Masyarakat Using<br>Informasi terbaru Sekilas Tentang Masyarakat Using <div style="text-align: justify">Oleh: <span style="font-weight: bold">Ayu Sutarto</span><br />Peneliti Tradisi, Universitas Jember Jawa Timur.<br /><br /><span style="font-weight: bold">Pendahuluan</span><br />Secara administratif orang Using (Osing) bertempat tinggal di Kabupaten Banyuwangi, sebuah kabupaten yang terletak di ujung timur Provinsi Jawa Timur. Beberapa abad yang lalu, wilayah yang sekarang dikenal sebagai Kabupaten Banyuwangi ini merupakan wilayah utama Kerajaan Blambangan. Wilayah pemukiman orang Using makin lama makin mengecil, dan jumlah desa yang bersikukuh mempertahankan adat-istiadat Using juga makin berkurang. Dari 21 kecamatan di Kabupaten Banyuwangi, tercatat tinggal 9 kecamatan saja yang diduga masih menjadi kantong kebudayaan Using. Kecamatan-kecamatan tersebut adalah Banyuwangi, Giri, Glagah, Kabat, Rogojampi, Songgon, Singojuruh, Cluring, dan Genteng (Sari, 1994:23).<br /><br />Identitas budaya suatu masyarakat tertentu selalu menghadirkan pandangan stereotipe. Begitu pula halnya dengan identitas budaya Using. Orang Using diprasangkai sebagai sosok yang kasar (tidak punya tata krama), longgar dalam nilai, terutama yang terkait dengan hubungan antarlawan jenis, dan memiliki ilmu gaib destruktif yang disebut santet, pelet, sihir, dan sebangsanya (Subaharianto, 1996:3). Di samping citra negatif tersebut, orang Using juga dikenal memiliki citra positif yang membuatnya dikenal luas dan dianggap sebagai aset budaya yang produktif yaitu 1) ahli dalam bercocok tanam; 2) memiliki tradisi kesenian yang handal; 3) sangat egaliter, dan 4) terbuka terhadap perubahan (Sutarto, 2003).<br /><br />Orang Using dikenal sangat kaya akan produk-produk kesenian. Dalam masyarakat Using, kesenian tradisional masih tetap terjaga kelestariannya, meskipun ada beberapa yang hampir punah. Kesenian pada masyarakat Using merupakan produk adat yang mempunyai relasi dengan nilai religi dan pola mata pencaharian di bidang pertanian. Laku hidup masyarakat Using yang masih menjaga adat serta.<br /><br />pemahaman mereka terhadap pentingnya kesenian sebagai ungkapan syukur dan kegembiraan masyarakat petani telah menjadikan kesenian Using tetap terjaga hingga sekarang. Tulisan ini akan memaparkan produk-produk kesenian Using yang hingga sekarang masih memiliki pendukung yang kuat.<br /><br />Produk-produk Kesenian Masyarakat Using<br /><span style="font-weight: bold">A. Seni Tari</span><br /><span style="font-weight: bold">Gandrung</span><br />Gandrung adalah seni tari khas masyarakat Using yang sekarang menjadi maskot Kabupaten Banyuwangi. Seorang penari gandrung identik dengan perempuan yang bergulu menjangan berkaki kijang, yang berarti lincah bagai rusa dan memiliki suara yang merdu. Struktur pementasan gandrung meliputi jejer, paju, dan seblang¬seblang. Musik iringan gending jejer yang semula rancak berganti menjadi lembut dan penari melantunkan gending Padha Nonton sebagai lagu wajib pembuka.<br /><br />Gandrung merupakan salah satu jenis kesenian tradisional Using yang keberadaannya tetap diminati oleh masyarakat. Salah satu keunikan seni gandrung ialah terpadunya gerakan tari yang dinamis dengan suara instrumen yang beragam dan bersuara rancak bersahut-sahutan. Dalam pertunjukan gandrung seorang penari gandrung seringkali melantunkan pantun-pantun Using baik yang terdiri dari dua larik maupun empat larik. Pantun-pantun tersebut ada yang bernuansa agama dan ada pula yang bernuansa asmara.<br /><br /><span style="font-weight: bold">Seblang</span><br />Seni tari seblang merupakan tarian sakral yang berkaitan dengan upacara magis untuk mendatangkan roh halus, roh leluhur atau Hyang. Jenis seni tari yang hanya terdapat di Desa Olehsari dan Bakungan, Kecamatan Galagah, Kabupaten Banyuwangi ini diperkirakan sebagai peninggalan kebudayaan pra-Hindu yang sampai sekarang masih hidup dan tetap dilestarikan. Tari seblang adalah tarian yang diiringi gamelan dan dilakukan oleh seseorang dalam keadaan kejiman atau tidak sadarkan diri (intrance) karena kerasukan atau keserupan roh halus, roh leluhur, atau Hyang. Tarian ini merupakan sarana pemujaan terhadap roh halus, baik roh yang bersifat baik maupun yang tidak baik. Jadi, gerakan-gerakan yang ada pada tari seblang merupakan gerakan tarian roh yang merasuk ke wadah penari. Ciri-ciri gerakannya yiatu dilakukan dengan ritme yang monoton.<br /><br />Pementasan seni tari ini hanya dilaksanakan sekali dalam setahun, yaitu setiap tanggal 1 Suro bertepatan dengan dilaksanakannya upacara bersih desa atau selamatan desa. Bila pementasan tari seblang tidak diadakan diramalkan akan menimbulkan malapetaka bagi masyarakat desa Olehsari. Atas petunjuk roh halus, pada saat ini pementasan tari seblang dilaksanakan pada setiap Hari Raya Syawal, yaitu tiga atau empat hari sesudahnya. Pementasan tari Seblang dimulai pukul 13.00 sampai dengan pukul 16.00 selama satu minggu.<br /><br /><span style="font-weight: bold">Barong</span><br />Kesenian barong merupakan teater rakyat yang memadukan unsur tari, musik, dan lagu serta cerita yang telah baku dan turun-temurun. Pada awalnya, seni ini merupakan seni pertunjukan yang bersifat sakral dan pementasannya dilaksanakan hanya pada saat-saat tertentu, misalnya pada saat upacara bersih desa yang diselenggarakan pada minggu pertama bulan Haji (Besar). Tetapi, dewasa ini seni barong sudah menjadi pertunjukan yang bersifat hiburan sehingga bisa dipentaskan pada saat pesta perkawinan, khitanan, atau pergelaran-pergelaran seni lainnya.<br /><br />Kesenian ini merupakan seni rakyat yang secara khusus mengandung ciri khas Using, baik yang menyangkut musik, tari, dialog, maupun ceritanya. Di Kabupaten Banyuwangi yang masih mempertahankan orisinilitas kesenian barong kurang lebih berjumlah empat kelompok, yaitu kelompok Seni Barong Kemiren, Mandalikan, Mangli, dan Jambersari. Akan tetapi, dari keempat kelompok itu hanya kelompok seni barong Kemiren saja yang masih utuh âkeUsingannyaâ dan sering melakukan pementasan.<br /><br />Seni Barong di desa Kemiren diciptakan oleh Eyang Buyut Tompo pada sekitar 1830-an. Pada saat itu di desa Kemiren ada pertunjukan Seblang yang dimainkan Embah Sapua. Ketika penari seblang kesurupan, terjadilah dialog dengan Eyang Buyut Tompo agar pementasan seblang dipindah ke desa Ole-Olean (Olehsari), sedangkan di desa Kemiren dipentaskan seni barong. Sejak saat itu ada ketentuan yang harus dipegang teguh oleh masyarakat, yakni masyarakat desa Kemiren tidak diperkenankan mementaskan seblang, dan sebaliknya masyarakat.<br /><br />Olehsari tidak boleh mementaskan barong. Seni Barong yang diciptakan Buyut Tompo ini didasari oleh leluhur masyarakat Kemiren, Eyang Buyut Cili, yakni tokoh yang dimitoskan dan dianggap sebagai danyang atau penjaga desa Kemiren. Oleh karenanya setiap pementasan, yakni tatkala barong mengalami kesurupan yang masuk adalah Buyut Cili.<br /><br /><span style="font-weight: bold">Hadrah Kuntulan</span><br />Kesenian hadrah kuntulan lahir tidak terlepas dari sejarah perkembangan Islam di Banyuwangi. Sebelumnya, hadrah kuntulan ini bernama seni hadrah barjanji. Menurut beberapa seniman kuntulan berasal dari kuntul, nama sejenis unggas berbulu putih, yang selanjutnya warna putih ini dijadikan sebagai warna busana yang dipakai para pemainnya. Sementara itu, beberapa seniman yang lainnya seperti Hasan Singodimayan, Andang CJ, dan Sudibjo Aries berpendapat bahwa nama kuntulan secara etimologis berasal dari kata arab kuntubil yang artinya terselenggara pada malam hari. Kata tersebut berkaitan dengan aktifitas santri setelah belajar mengaji, yaitu untuk melepaskan rasa jenuh pada malam hari mereka mengadakan kegiatan dengan melontarkan pujian-pujian yang berbentuk syair barjanji dengan diiringi rebana disertai gerakan-gerakan yang monoton.<br /><br />Pementasan seni hadrah kuntulan berupa tarian rodat (penari laki-laki) yang diiringi dengan rebana ditingkahi vokal barjanjen atau asrokal. Pada awal kelahirannya, di saat pementasan semua penarinya adalah laki-laki karena masyarakat menganggap tabu dan melanggar ajaran agama Islam jika tarian tersebut diperagakan oleh perempuan. Gerakan yang digunakan juga sangat sederhana, yaitu gerakan yang menggambarkan orang shalat, wuduâ dan adzan. Dalam perkembangan selanjutnya, seni hadrah kuntulan mengalami berbagai pernyempurnaan, baik dalam instrumen musik, tarian, busana, maupun penampilan wanita dalam pementasan.<br /><br /><span style="font-weight: bold">Padhang Ulan</span><br />Masyarakat Banyuwangi mempunyai sifat ceria, baik dalam permainan maupun dalam kesenian. Ketika bulan purnama (padhang ulan) antara tanggal 13â"17 bulan Jawa, kaum muda mengadakan permainan di perkampungan-perkampungan maupun di pantai, baik secara berkelompok maupun berpasangan. Pada saat seperti ini dimanfaatkan untuk bersenang-senang saja atau untuk mencari jodoh. Situasi seperti inilah yang akhirnya memberikan inspirasi kepada para seniman Banyuwangi untuk menciptakan lagu-lagu, gending, dan tari padhang ulan (terang bulan). Sesuai dengan situasi yang melatarbelakanginya, maka tari padhang ulang mempunyai ciri khas lincah, gembira, dan agak erotis.<br /><br /><span style="font-weight: bold">Sabuk Mangir</span><br />Tari sabuk mangir memiliki latar belakang yang bersifat magis. Istilah sabuk mangir merupakan perpaduan dari dua kata, yaitu sabuk berarti ikat pinggang dan mangir nama sebuah desa di Rogojampi. Sabuk mangir terkenal sebagai sabuk sakti orang Mangir. Berdasarkan kepercayaan bahwa ada kekuatan gaib yang berada dalam sabuk tersebut, orang Mangir berusaha melawan musuh-musuhnya, baik yang musuh yang fisik maupun non-fisik.<br /><br /><span style="font-weight: bold">Puputan Bayu</span><br />Latar belakang tarian ini adalah sebuah ceritera perjuangan seorang wanita bernama Sayuwiwit yang berperang melawan Belanda (VOC). Sayuwiwit mengorganisir para pemudi di zamannya dalam sebuah pasukan wanita yang disegani kawan maupun lawan. Pasukan wanita yang dipimpin oleh srikandi Sayuwiwit ini yang melakukan perlawanan terhadap VOC dengan perang puputan. Perang puputan adalah perang habis-habisan yang menimbulkan banyak korban, baik di pihak lawan maupun di pihak Sayuwiwit. Perang puputan di desa Bayu inilah yang menjadi inspirasi terciptanya tari puputan bayu.<br /><br /><span style="font-weight: bold">Pupus Widuri</span><br />Pupus widuri terdiri dari dua kata yang berasal dari bahasa Using, yaitu pupus yang berarti daun muda dan widuri adalah nama sejenis makhluk cantik atau bidadari. Jadi, makna kata pupus widuri adalah gadis muda yang sangat cantik seperti bidadari. Oleh karena itu, tarian ini dilakukan oleh seorang gadis yang baru menanjak remaja. Tari pupus widuri merupakan gabungan dari beberapa gerak tari tradisional Banyuwangi, seperti tari seblang, tari gandrung, tari gridhoan, dan tari ngarak penganten. Gerakan tari-tarian tersebut digabung dan dikonstruksikan<br /><br />sedemikian rupa sehingga menjadi suatu gerak yang harmonis dan bisa membuat penonton terpesona, baik oleh gerakan maupun kecantikan penarinya.<br /><br /><span style="font-weight: bold">Keter Wadon</span><br />Keter wadon adalah sebuah tari yang diilhami oleh kegiatan burung-burung pipit yang lincah, bebas berkeliaran di udara, mencari makan di mana-mana tanpa ada yang menghalangi, kecuali si anak nakal. Mereka beterbangan di udara, hinggap di atas pohon, bermain di telaga bening, berjemur di panas matahari sambil bercengkerama. Namun, malang karena seekor dari mereka jatuh dipanah, disumpit atau ditembak oleh seseorang yang jahil sehingga ia ditinggal pergi oleh teman¬temannya yang lari ketakutan dan mencari dunia yang lebih bebas dan aman.<br /><br /><span style="font-weight: bold">Walang Kadung</span><br />Tari walang kadung adalah salah satu seni tradisional daerah Banyuwangi yang penciptaannya berdasarkan pengalaman atau pengamatan terhadap kehidupan walang kadung di pohon-pohon atau dedaunan. Walang kadung merupakan jenis serangga yang biasa hidup di daun-daun muda pohon jambu kluthuk (jambu batu). Jika diperhatikan, gerakan binatang ini sangat menarik, terutama pada kaki depannya, kaki belakang yang panjang tidak pernah diam, kepalanya yang tidak pernah tunduk, serta matanya yang selalu terbelalak.<br /><br /><span style="font-weight: bold">Jaranan Buto</span><br />Kesenian jaranan buto berasal dari desa Cemetuk Kecamatan Cluring, Kabupaten Banyuwangi. Istilah jaranan buto mengadopsi nama tokoh legendaris Minakjinggo (terdapat anggapan bahwa Minakjinggo itu bukan berkepala manusia, melainkan berkepala raksasa). Instrumen musik jaranan buta terdiri atas seperangkat gamelan yang terdiri dari 2 bongan (musik perkusi), 2 gong (besar dan kecil) atau kencur, sompret (seruling), kecer (instrumen musik berbentuk seperti penutup gelas yang terbuat dari lempengan tembaga), dan 2 kendang. Sebagai isntrumen peraganya/utamanya adalah replika (penampang samping) kuda raksasa yang terbuat dari anyaman bambu. Wajah raksasa didominasi warna merah menyala, dengan kedua matanya yang besar sedang melotot. Dalam pementasannya masih dilengkapi dengan tiga jenis topeng buto (raksasa), celengan (babi hutan) dan kucingan (kucing)<br /><br />yang kesemuanya terbuat dari kulit. Topeng-topeng ini ini harus digunakan secara bergantian oleh para pemainnya, baik pemain laki-laki maupun pemain perempuan.<br /><br /><span style="font-weight: bold">Campursari</span><br />Kesenian campursari disebut juga mocoan pacul gowang (seni baca naskah), yang merupakan lahirnya seni pertunjukan yang kemudian dinamai seni campurcari. Pementasan diawali dengan mocoan pacul gowang berupa pembacaan naskah lontar berbahasa Jawa Kuna dan Jawa Pertengahan yang berisi riwayat Nabi Yusuf. Pembacaan naksah lontar ini dilakukan secara ritmis, dan tunduk terhadap aturan panjang pendek vokal (guru lagu), pupuh atau bait nama tembang (syair) yang dilagukan. Pada umumnya pupuh yang digunakan adalah pupuh macapat yang berasal dari tradisi Jawa, seperti Dandanggula, Kinanti, Pucung, Sinom, dan Asmaradana. Seusai pembacaan naskah lontar, acara dilanjutkan dengan atraksi penampilan jenis kesenian lain seperti, kuntulan, janger, gandrung, rengganis, jinggoan, tarian daerah, kendang kempul, lawak, dan dangdutan. Satu genre kesenian yang tidak masuk dalam paket campur sari adalah barongan.<br /><br /><span style="font-weight: bold">B. Seni Musik</span><br /><span style="font-weight: bold">Kendang Kempul</span><br />Kesenian kendang kempul yang pada awalnya disebut kendang gong merupakan seni musik yang tumbuh bekembang dari tradisi seni gandrung dengan sentuhan-sentuhan modifikasi perpaduan dengan irama musik dangdut. Dalam hal penggunaan alat musik, selain menggunakan istrumen musik tradisional yang terdiri dari gamelan kempul (biasanya 2 buah), kendang banyuwangen (2 buah, besar dan kecil), dan gong (sekarang tidak dipakai), seni kendang kempul ini juga menggunakan instrumen musik modern.yang terdiri dari organ (keyboard atau syntheziser), gitar (lead maupun melodi), bass elektrik, dan seruling.<br /><br />Lagu-lagu kendang kempul yang sudah terkenal antara lain, Gelang Alit (ciptaan Andang Cs), Kantru-kantru (âtercengang-cengangâ, digubah dari lagu gandrung sekitar tahun 1976), Kembang Pethetan (lagu kendang kempul pertama). Selain lagu-lagu tersebut masih banyak lagi lagu-lagu lainnya, seperti yang dicipta oleh Sanusi, di antaranya yaitu Ibadah Haji, Lare Yatim, Payung, Godhong, Kwade, Gelang Alit, Tanah Kelahiran, Kembang Galengan, dan lain sebagainya.<br /><br /><span style="font-weight: bold">Angklung Caruk</span><br />Seni angklung caruk berasal dari jenis kesenian legong Bali. Pengertian caruk di sini mengacu pada arti lomba, tanding, atau duel meet, yang dalam pementasan dipertandingkan sekurang-kurangnya dua group seni angklung caruk untuk memperebutkan gelar sebagai group kesenian yang terbaik. Kecepatan irama musik dan lagu-lagu yang dimainkannya sangat dipengaruhi oleh nuansa musik angklung ritmis dari bali. Namun dalam kesenian ini terdapat juga perpaduan antara nada dan gamelan slendro dari Jawa yang melahirkan kreativitas estetik.<br /><br />Dalam pertunjukan seni angklung caruk juga disajikan beberapa tarian yang biasanya dimainkan oleh penari laki-laki. Jenis -jenis tarian tersebut antara lain tari jangeran, tari gandrungan, cakilan, tari kuntulan, dan tari daerah blambangan. Instrumen musik angklung caruk terdiri dari seperangkat angklung (dua unit angklung), kendang (dua buah), slenthem (dua buah), saron (dua buah), peking (dua buah), kethuk (dua buah), dan gong (dua buah).<br /><br /><span style="font-weight: bold">Angklung Daerah</span><br />Seni angklung tumbuh dari tradisi masyarakat agraris, yakni menggunakan bunyi kotekan dari bambu yang pada awalnya dimaksudkan untuk mengusir burung di sawah ketika musim padi. Setelah melalui beberapa tahap penyempurnaan dan penambahan instrumen, akhirnya jenis seni musik ini disebut sebagai angklung daerah serta bisa dipakai untuk mengiringi lagu dan tari. Jenis angklung daerah:<br /><br />angklung paglak, pementasannya dilakukan di atas paglak (gubuk kecil) di tengah sawah.<br /><br />angklung caruk, pementasan dua grup angklung yang dilaksanakan di atas panggung untuk menunjukkan kemampuan dan keterampilan masing¬masing.<br /><br />angklung tetak, pengembangan dari angklung paglak. Dilakukan perubahan bahan instrumen dan nada.<br /><br />angklung dwi laras, merupakan hasil pengembangan dari angklung tetak. Disebut angklung dwi laras karena angklung jenis ini menggabungkan komposisi dua nada, yaitu laras pelog dan laras slendro.<br /><br />angklung Blambangan, pengembangan terakhir angklung di daerah Banyuwangi.<br /><br />Beberapa gending yang biasanya dimainkan dalam angklung daerah antara lain Jaran Ucul, Tetak-tetak, Gelang Alit, Mak Ucuk, Sing Duwe Rupo, Congoatang, Ulan Andung-andung, Mata Walangan, Ngetaki, Selendang Sutera, Padhang Ulan, dan sebagainya). Instrumen pengiring dalam kesenian jenis ini setidaknya terdiri dari angklung (2 set/unit) saron (4 rancak @ 10 buah anak saron), peking (2 rancak), slenthem (2 rancak), kethuk (2 biji), gong (2 rancak), gendang (2 rancak), biola, seruling, dan terompet. Dalam seni angklung daerah diperlukan 10 orang untuk memainkan alat musik, beberapa orang penari, dan satu orang tua atau pendamping. Pada umumnya dalam 1 group angklung daerah jumlah pemainnya berkisar antara 20 â" 25 orang pemain.<br /><br /><span style="font-weight: bold">C. Seni Teater Tradisional</span><br /><span style="font-weight: bold">Jinggoan</span><br />Istilah lain dari seni jinggoan adalah seni janger dan Damarwulan. Masyarakat Using lebih suka menggunakan istilah jinggoan yang diambil dari nama tokoh Prabu Minakjinggo sebagai pahlawan mereka, sedangkan nama janger dikaitkan dengan dominasi pengaruh unsur Bali pada gamelan, tari, dan tatabusana sebagai akibat terjadinya kontak budaya. Sedangkan bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa Krama. Ini menandakan kepandaian orang Using dalam melakukan adaptasi terhadap pengaruh budaya dari luar. Unsur-unsur Banyuwangi yang masuk ke dalam kesenian ini antara lain seni angklung dan lagu-lagu Banyuwangen.<br /><br />Dilihat dari bentuk ceritanya, kesenian janger merupakan pengambilan bentuk kesenian langendriyan (ande-ande lumut) yang berasal dari Keraton Mataram Islam di Jogjakarta. Kesenian langendriyan ini pada akhirnya di daerah Banyuwangi berkembang menjadi bentuk dramatari yang dikenal dengan nama Damarwulan. Cerita yang yang sering dipentaskan adalah cerita Bali yaitu Calon Arang, Agung Jelantik, Sastra Dewa. Sedangkan cerita asli Banyuwangi adalah Sayu Wiwit, Wong<br /><br />Agung Wilis (Minakjinggonya), dan Prabu Tawang Alun. Saat ini, ceritanya tidak lagi terikat oleh cerita kepahlawanan Damarwulan ataupun Minakjinggo (misalnya lakon Minakjinggo Diwisudo), tetapi dapat pula bercerita tentang kepahlawanan tokoh-tokoh kerajaan Jawa masa lampau, seperti Geger Tuban, Pangeran Wilis, dan Geger Majapahit, Babad Singosari, Babad Pajang, Babad Mataram, dan cerita wayang (seperti lakon Kresno Duta, Kongso Adu Jago, dan lain-lain).<br />Kesenian janger atau jinggoan ini merupakan kesenian yang lengkap, yaitu terdiri dari seni tari, seni drama, seni suara, seni lawak, dan seni lukis atau dekorasi. Dalam pertunjukkannya, kesenian ini sangat komunikatif. Hal ini bisa dilihat ketika penonton mengajukan permintaan kepada para pemain, terutama pelawak untuk membawakan lagu-lagu populer, tembang Jawa atau Banyuwangen, gending, pantun, atau tarian.<br /><br /><span style="font-weight: bold">Praburoro</span><br />Praburoro berasal dari dua kata, yakni prabu yang berarti raja dan roro atau rara yang berarti perempuan. Jadi, praburoro berarti raja perempuan atau ratu (Jw. ratu wedok). Kesenian praburoro merupakan satu jenis seni dramatari dengan lakon yang dipentasakan bersumber pada Serat Menak yang bertolak dari hikayat Negeri Persia. Tokoh-tokoh dari seni dramatari ini antara lain Rengganis, Umar Moyo, Lamtanus, dan Suwongso.<br /><br />Pusat cerita terletak pada tokoh Dewi Rengganis (seorang ratu, istri Suwongso, putra Jayengrono dari kerajaan Guparman) sehingga seni drama ini disebut praburoro yang berarti âratu perempuanâ. Diceritakan bahwa Dewi Rengganis adalah seorang perempuan yang tidak dapat digauli oleh laki-laki, termasuk suaminya. Rahasia ini diketahui oleh Umar Moyo sehingga Dewi Rengganis merasa sangat malu. Oleh karena itu, ia kemudian melarikan diri ke wilayah Nusantara. Di tanah Jawa ia mendirikan kerajaan dan sekaligus menjadi ratu.<br /><br />Secara umum praburoro mengisahkan proses masuknya agama Islam ke tanah Jawa. Sebelum Islam masuk, di tanah Jawa sudah memiliki budaya Hindu. Salah satu seni budaya Hindu itu adalah wayang yang alur cerianya bersumber pada epos Ramayana dan Mahabarata, demikian pula tokoh-tokohnya.<br /><br />Dalam seni drama praburoro terdapat kurang lebih 21 cerita, yaitu Imam Sejati, Umar Seketi, Menak Sopo Nyono, Mali Bari, Bedhahing Bangit, Praburoro, Putri Cino, Rengganis, Dandang Wincono, Umar Moyo Kembar, Umar Mantu, Subroto Kromo, Maktel Kembar, Subroto Rante, Cinde Kembang, Prabu Bantarangi, Joko Lelono, Suwongo Gugat, Angin Suseno, Samirono Sekso, dan Kusumo Maling.<br /><br /><span style="font-weight: bold">Penutup</span><br />Masyarakat Using bukan hanya ulet dan mahir dalam bercocok tanam melainkan juga piawai dalam berkesenian. Eksistensinya bukan hanya membuat Kabupaten Banyuwangi menjadi gudang pangan, melainkan juga gudang produk¬produk kesenian tradisional yang menjadi kebanggaan Provinsi Jawa Timur. Produk¬produk kebudayaan Using memiliki peranan strategis, baik yang bermuatan kultural maupun ekonomi. Jika dikelola, dibina, dan dimanfaatkan dengan baik, produk¬produk kebudayaan Using dapat memberi kontribusi yang berarti bagi baik pembangunan daerah maupun pembangunan nasional.<br /><br />Orang Using dikenal sebagai sosok yang adaptif, egaliter, terbuka, dan mencintai kesenian. Produk-produk kesenian Using bukan hanya menghibur tetapi juga banyak mengandung nilai perjuangan dan perlawanan terhadap kekuatan asing yang merugikan. Banyak sekali pesan-pesan mulia yang terkandung dalam syair¬syair baik yang dilantunkan dalam kendang kempul maupun hadrah kuntulan Using dan dalam seni tari tradisional Using, seperti Gandrung dan Seblang. Jelasnya, produk budaya Using memiliki dua warna, yaitu produk budaya yang bercitra agraris dan produk yang bercitra patriotik.<br /><br />Orang Using, meskipun menjadi pemeluk agama Islam, telah memelihara tradisinya dengan baik dan tidak mempertentangkan nilai agama dengan tradisi. Dalam masyarakat Using, agama dan tradisi saling mengisi: agama seringkali sebagai kekuatan yang lebih dominan mewarnai tradisi. Akibatnya, tidak sedikit unsur-unsur agama maupun kepentingan agama mewarnai produk kesenian Using. Produk-produk kesenian Using yang bercitra agraris dapat dimanfaatkan sebagai perekat dalam kehidupan bertetangga dan bermasyarakat, sedangkan yang bercitra patriotik dapat dimanfaatkan untuk membangun nasionalisme.<br /><br /><span style="font-weight: bold">Daftar Pustaka</span><br />Abal, Fatrah. 1993. âGending-gending Perjuanganâ dalam Gema Blambangan No. 28 dan 29. Banyuwangi.<br /><br />Ali, Hasan. 1991. âBahasa dan Sastra Using di Banyuwangi: Suatu Laporanâ. Proseding Kongres Bahasa Jawa. Semarang. 15-20 Juli 1991.<br /><br /> . 1994. âBahasa dan Sastra Using di Banyuwangiâ dalam Gema Blambangan, No. 032<br /><br /> . 2002. Kamus Bahasa Daerah Using-Indonesia. Banyuwangi: Dewan Kesenian Blambangan.<br /><br />Anoegrajekti, Novi. 2003. âIdentitas dan Siasat Perempuan Gandrungâ dalam Jurnal Srinthil. No. 3 Tahun 2003.<br /><br />Beatty, Andrew. 2001. Variasi Agama di Jawa Suatu Pendekatan Antropologi. Edisi 1. Cetakan 1. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.<br /><br />Daniel. 1992. âSeblang Bakungan, Sampai Kapan Bertahan?â. Mutiara No. 611 Tahun ke-15, Minggu I Juli 1992.<br /><br />Murgiyanto, Sal. M. dan Munardi A.M. 1990. Seblang dan Gandrung: Dua Bentuk Tari Tradisi di Banyuwangi. Jakarta: Pembinaan Media Kebudayaan.<br /><br />Ningsih, Sri dkk. 2000. Cerita Rakyat Using Banyuwangi. Surabaya: Balai Penelitian Bahasa.<br />Oetomo, Sri Adi. 1987. Kisah Perjuangan Menegakkan Kerajaan Blambangan. Surabaya: Sinar Wijaya.<br />______. 1993. Menelusuri dan Mencari âHari Jadi Banyuwangiâ. Pasuruan: Garoeda Buana Indah.<br /><br />Sari, Dias Mustika. 1994. âFungsi Wangsalan Dalam Interaksi Sosial: Kajian Sosiolinguistik terhadap Masyarakat Bahasa Using di Dusun Genitri Desa Gendoh Kecamatan Singojuruh Kabupaten Banyuwangiâ. Skripsi, Fakultas Sastra Universitas Jember.<br /><br />Singodimayan, Hasnan. 1999. âSinkretisme, Ciri Khusus Masyarakat Adat Osingâ. Dalam Banyuwangi Pos, Banyuwangi, 25-31 Juli 1999.<br /><br /> . 1999. âSinkretisme, Ciri Khusus Masyarakat Adat Usingâ. Banyuwangi Pos,. 25-31 Juli 1999.<br /><br />Soeyono, Bambang. 1998. âGandrung Banyuwangi sebagai Identitas Budaya Masyarakat Osing di Jawa Timurâ. Tesis S-2. Yogyakarta: Pascasarjana UGM.<br /><br />Subaharianto, Andang. 1996. âMitologi Buyut Cili Dalam Pandangan Orang Using di Desa Kemiren Kabupaten Banyuwangiâ. Laporan Penelitian. Jember: Lembaga Penelitian Universitas Jember.<br /><br />Sudjana, I Made. 2001. Nagari Tawon Madu: Sejarah Politik Blambangan Abad XVIII. Bali: Larasan Sejarah.<br /><br />Suprianto, Henricus. 1984. âMuatan Erotik Tembang Gandrung Banyuwangi: Unsur Sastra pada Seni Pertunjukan Gandrung di Banyuwangiâ. Makalah Seminar Fakultas Sastra UI.<br /><br />Suripto. 2000. âAngklung Paglak di Desa Kemiren Kecamatan Glagah Kabupaten Banyuwangiâ. Skripsi Program Studi Etnomusikologi Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta.<br /><br />Sutarto. 2003. âEtnografi Masyarakat Usingâ. Laporan Penelitian. Surabaya: Dinas P dan K Provinsi Jawa Timur.<br /><br />Zainuddin, Sodaqoh dkk. 1996. âOrientasi Nilai Budaya Using di Kabupaten Banyuwangiâ. Laporan Penelitian. Jember: Lembaga Penelitian Universitas Jember. 1<br /><br /><span style="font-weight: bold">Sumber : </span><br />Makalah disampaikan pada acara pembekalan Jelajah Budaya 2006 yang diselenggarakan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, tanggal 7 â" 10 Agustus 2006.<br /></div><div class="blogger-post-footer"><img width='1' height='1' src='https://blogger.Car.com/indah/2624359141219824923-602583895977583477?l=rumah-stil.blogspot.com' alt='' /></div> Tinggalkan komentar anda tentang <a href="http://rumah-stil.blogspot.com/">Sekilas Tentang Masyarakat Using</a><br> infohttp://www.blogger.com/profile/14229387099866067801noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-452429034841350010.post-23284657688705406892010-05-05T22:15:00.000-07:002010-05-05T22:15:00.765-07:00Berbagi Tips dan Triks GratisDapatkan <a href="http://www.ayoberbagi.com/">Tips dan triks Gratis</a> untuk menghasilkan <a href="http://www.uangdariblog.com/">Uang Dari Blog</a>. Di<br />www.uangdariblog.com anda akan menemukan banyak sekali tips yang akan<br />membatu anda mendapatkan penghasilan pertama dari blog. Semua tips dan<br />trik itu bisa anda dapatkan dengan gratis tanpa mengeluarkan uang<br />sepeserpun. Selain dari Di <span style="font-weight: bold;">www.uangdariblog.com</span>, anda juga bisa<br />mendapatkan berbagai trik di <span style="font-weight: bold;">www.ayoberbagi.com</span>.infohttp://www.blogger.com/profile/14229387099866067801noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-452429034841350010.post-42167672163685474682010-05-03T05:00:00.001-07:002010-05-03T05:00:29.537-07:00Rumah Adat Karo<br>Informasi terbaru Rumah Adat Karo <a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjzbfhgJllYVJ2D95bnpyvrqpUH__PYGxChlj0QQqJcGruHu8vjmi4AD07YBSPcv_HPJfO-QhEgInOhS-ireJGoJK8HiO_i-OH73HuD9tLpNWQQsHJ3qg-y7WiypsSNW0TuUkmQUgCJono/s1600/rumah+karo.jpg"><img style="margin: 0px auto 10px;text-align: center;cursor: pointer;width: 235px;height: 174px" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjzbfhgJllYVJ2D95bnpyvrqpUH__PYGxChlj0QQqJcGruHu8vjmi4AD07YBSPcv_HPJfO-QhEgInOhS-ireJGoJK8HiO_i-OH73HuD9tLpNWQQsHJ3qg-y7WiypsSNW0TuUkmQUgCJono/s400/rumah+karo.jpg" alt="" border="0" /></a><br /><div style="text-align: justify">Oleh : <span style="font-weight: bold">Eddy Suranta Sembiring</span><br /><br /><span style="font-weight: bold">Mengenal sejenak Rumah Adat</span><br />Karo Suku Karo mendiami daerah bagian utara Propinsi Sumatera Utara, terutama di daerah tinggi Karo, Langkat Hulu, Deli Hulu, Serdang Hulu, dan sebagian Dairi. Sebagian besar orang Karo masih hidup di desa-desa yang disebut kuta. Kuta merupakan kesatuan territorial yang dihuni oleh penduduk dari beberapa merga (klen) yang berbeda. Dalam kuta terdapat dua atau lebih deretan rumah adat. Namun, sekarang tidak semua kuta memiliki rumah adat. Di beberapa tempat kita masih dapat menemukan rumah adat Karo yang sudah berusia ratusan tahun diantaranya di desa Lingga, Dokan dan Peceren. Rumah Adat Karo terkenal karena keunikan teknik bangunan dan nilai sosial-budayanya. Rumah adat Karo memiliki konstruksi yang tidak memerlukan penyambungan. Semua komponen bangunan seperti tiang, balik, kolom, pemikul lantai, konsol, dan lain-lain tetap utuh seperti aslinya tanpa dilakukan penyerutan ataupun pengolahan. Pertemuan antarkomponen dilakukan dengan tembusan kemudian dipantek dengan pasak atau diikat menyilang dengan ijuk untuk menjauhkan rayapan ular. Bagian bawah, yaitu kaki rumah, bertopang pada satu landasan batu kali yang ditanam dengan kedalaman setengah meter, dialasi beberapa lembar sirih dan benda sejenis besi. Rumah adat Karo berbentuk panggung dengan dinding miring dan beratap ijuk. Letaknya memanjang 10-20 meter dari timur ke barat dengan pintu di kedua jurusan mata angin itu. Posisi bangunan Rumah Adat Karo biasanya mengikuti aliran sungai yang ada di sekitar desa. Pada serambi muka terdapat semacam teras dari bambu yang disusun yang disebut ture.<br /><br /><span style="font-weight: bold">Nilai Kepercayaan dalam Pembangunan Rumah Adat Karo</span><br />Sebelum membangun rumah, orang Karo mengadakan musyawarah dengan teman satu rumah mengenai besar, tempat, dan hal-hal lain. Waktu membersihkan dan meratakan tanah ditentukan oleh guru (dukun) untuk mendapatkan hari yang baik. Ketika akan mengambil kayu ke hutan mereka kembali menanyakan hari yang baik untuk menebang pohon kepada guru. Sebelum menebang kayu guru akan memberi persembahan kepada penjaga hutan agar jangan murka terhadap mereka karena kayu itu dipakai untuk membangun rumah. Dalam proses pembangunan mulai dari peletakan alas rumah selalu ada ritual yang dibuat agar pembangunan rumah tersebut diberkati oleh yang maha kuasa dan agar tidak tejadi hal-hal yang buruk. Setelah rumah selesai dibangun masih ada ritual yang diadakan. Guru dan beberapa sanak keluarga yang membangun rumah akan tidur di rumah baru itu sebelum rumah itu ditempati. Mereka akan memimpikan apakah rumah tersebut baik untuk dihuni atau tidak. Waktu memasuki rumah baru biasanya diadakan kerja mengket rumah mbaru (pesta memasuki rumah baru). Pesta ini menunjukkan rasa syukur atas rumah baru tersebut kepada saudara-saudara dan kepada yang maha kuasa. Dalam pesta ini ada acara makan bersama dengan para kerabat, kenalan, dan orang-orang sekampung. Lalu, acara dilanjutkan dengan acara ngerana (memberi kata sambutan dan petuah-petuah) oleh pihak-pihak yang berkompeten seperti: Kalimbubu, Anak beru, dan Senina. Dalam pesta ini juga biasanya ada acara tepung tawar untuk rumah baru. Guru akan menepungtawari bagian-bagian tertentu dari rumah. Tujuannya ialah agar segala yang jahat keluar dari rumah dan yang baik tinggal dalam rumah untuk membuat para penghuni rumah bisa bahagia menempati rumah tersebut. Acara lain yang kadang dibuat adalah gendang. Gendang ini bertujuan untuk mengusir hal-hal jahat yang masih tinggal di dalam rumah tersebut. gendang tersebut juga menunjukkan rasa gembira dan syukur bersama warga sedesa.<br /><br /><span style="font-weight: bold">Nilai Kepercayaan dalam Bentuk Bangunan Rumah Adat Karo</span><br />Struktur bangunan rumah adat Karo terbagi atas tiga bagian, yaitu atap sebagai dunia atas, badan rumah sebagai dunia tengah, dan kaki sebagai dunia bawah, yang dalam bahasa Karo disebut Dibata Atas, Dibata Tengah, dan Dibata Teruh (Allah Atas, Allah Tengah, dan Allah Bawah). Pembagian anatomi rumah adat Karo menggambarkan: dunia atas tempat yang disucikan, dunia tengah tempat keduniawian, dan dunia bawah tempat kejahatan sehingga layak untuk tempat binatang piaraan, yang dalam kepercayaan suku Karo dikuasai oleh Tuhan Banua Koling. Penguasa yang jahat dipuja dan dihormati agar tidak mengganggu kehidupan manusia. Dalam pembangunan rumah adat, hal yang terpenting adalah prosesnya yang sakral dibandingkan segi fisiknya. Hal ini tampak mulai dari penentuan tapak/lahan, pemilihan kayu di hutan, hari baik untuk pendirian rumah, pemasangan atap sampai memasuki rumah. Kesemuanya dilakukan melalui upacara-upacara ritual dengan kerbau sebagai korban. Upacara-upacara ini menunjukkan kepercayaan yang besar orang Karo akan kekuasaan yang melebihi kekuatan manusia.<br /><br /><span style="font-weight: bold">Nilai Kebersamaan dari Rumah Adat Karo</span><br />Suatu rumah adat biasanya dihuni oleh empat atau delapan bahkan sampai enam belas keluarga batih (jabu), yang masih terikat hubungan kekerabatan secara patrilineal. Penempatan jabu di dalam rumah diatur menurut ketentuan adat. Inilah yang menjadi kekhasan rumah adat Karo bila dibandingkan dengan rumah adat lain. Jumlah anggota keluarga ini berkaitan dengan tungku masak di dalam rumah. Tiap tungku digunakan oleh dua keluaga sehingga dua keluarga biasanya memakan makanan yang sama. Ini juga menjadi keunikan yang menunjukkan kebersamaan dalam Rumah Adat Karo. Kegembiran atau kesusahan satu anggota keluarga menjadi kegembiran seluruh penghuni rumah adat. Dan lewat perayaan-perayaan hidup seperti membangun rumah, pesta tahunan, kerja di ladang, pernikahan, kelahiran anak, dan kematian tampaklah kebersamaan itu semakin hidup.<br /><br /><span style="font-weight: bold">Sumber : </span><a href="http://deparita.multiply.com/journal/item/2/Rumah_Adat_Karo">http://deparita.multiply.com</a><br /></div><div class="blogger-post-footer"><img width='1' height='1' src='https://blogger.Car.com/indah/2624359141219824923-4723646558093823896?l=rumah-stil.blogspot.com' alt='' /></div> Tinggalkan komentar anda tentang <a href="http://rumah-stil.blogspot.com/">Rumah Adat Karo</a><br> infohttp://www.blogger.com/profile/14229387099866067801noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-452429034841350010.post-82115255457008449392010-05-02T00:12:00.000-07:002010-05-02T00:13:03.119-07:00Topeng Betawi dalam Kacamata Mistis<br>Informasi terbaru Topeng Betawi dalam Kacamata Mistis <a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi03EM-h347qj0aHmJF9k0c2TaTs-ExsW4koXKJW_nPSL5qTthbKFltGA1ZXMxcyWEglGu9O59nyK8PZZuJmTUyLmd7Ad7ynOPMz03u6ISLli71VKN8E-JiYq_tixmt0r9oEw5vxdexW7o/s1600/top+betawi.jpg"><img style="margin: 0px auto 10px;text-align: center;cursor: pointer;width: 196px;height: 293px" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi03EM-h347qj0aHmJF9k0c2TaTs-ExsW4koXKJW_nPSL5qTthbKFltGA1ZXMxcyWEglGu9O59nyK8PZZuJmTUyLmd7Ad7ynOPMz03u6ISLli71VKN8E-JiYq_tixmt0r9oEw5vxdexW7o/s400/top+betawi.jpg" alt="" border="0" /></a><br /><div style="text-align: justify">Oleh:<span style="font-weight: bold"> apit </span><br /><br />Orang Betawi dulu menganggap Topeng memiliki kekuatan magis. Selain dapat menolak bala, juga dinilai mampu menghilangkan kedukaankarena kematian, sakit atau pun petaka lainnya. Selama ini Topeng sering diartikan sebagai kedok. Tetapi bagi orang Betawi, Topeng berbeda dengan kedok, Kalau kedok adalah penutup muka, sedangkan topeng adalah pertunjukan. Misalnya di Jakarta sering kita dengar sebutan Topeng Monyet yang berarti pertunjukan dengan menggunakan monyet. Maka yang diartikan Topeng Betawi di sini, sebenarnya adalah pertunjukan dalam bentuk teater yang mengandung aspek tari, nyanyi, narasi dengan dialog maupun monolog.<br /><br />Menurut Antropolog dari LIPI, Ninuk Kleden Probonegoro, ada dua narasi tentang asal muasal Topeng Betawi yang menjadi cikal bakal pagelaran yaitu narasi yang berhubungan dengan Jaka Pertaka, dan satu lagi narasi tentang Sukma Jaya. Narasi tentang ini memperlihatkan bahwa Topeng dianggap mempunyai kekuatan magis.<br /><br />Ada tiga hal yang dirujuk oleh kedua narasi tersebut. Pertama, Dewa Umar Maya yang dapat menghidupkan dan mematikan Ratna Cuwiri dan menghidupkan patung kayu, dianggap mempunyai kesaktian. Dewa yang menyamar sebagai dalang ini membawa kesaktiannya dalam perkumpulan Topeng. Dengan alasan itulah rupanya orang Betawi menganggap Topeng mempunyai kekuatan magis, yang bisa menghilangkan kedukaan karena kematian, sakit atau pun petaka lainnya. Karena itu pula acara ketupat lepas hanya bisa dilakukan dalam Topeng dan tidak pada bentuk teater Betawi yang lain.<br /><br />Ketupat lepas adalah ritual yang berhubungan dengan nazar si empunya hajat. Melalui upacara yang disaksikan oleh Kembang Topeng, menandakan bahwa si empunya hajat telah melunasi nazarnya, Upacara dilakukan dengan ketupat yang diletakkan di atas beras kuning bercampur dengan uang logam. Pada saat bersamaan Kembang Topeng dan orang yang dinazari memegang ketupat itu dan dari dalam ada orang yang membacakan doa. Berikut ini adalah kutipan doa dari grup Topeng Sinar Jaya, Bekasi. â⦠Tempat dulu ada ucapan pada anaknya. Kalo liwat dart susah, keberkahan, panjang umur, murah rezeki. Kalau anaknya disunatin, kaulan nanggap topeng, seberkah, dua berkah. Membayar kaulan, minta doa selamatnya dibayar uang, sekarang kaulannya lagi dibayar.â Setelah doa selesai dibacakan, ketupat dihentakkan dan uang diperebutkan oleh anak-anak yang telah siap di bagian muka. Kembang Topeng dianggap mempunyai kekuatan supranatural, seperti halnya Sukma Jaya yang menjadi ronggeng Topeng bernama Gandawirang. Kaki Jugil dalam cerita Jaka Pertaka telah memberi hidup sebuah patung kayu perempuan. Kesaktian inilah yang dibawa ke dalam Topeng. Dari narasi tersebut, Topeng diyakini mempunyai sifat religius dan membedakan dari teater-teater Betawi yag lain.<br /><br /><span style="font-weight: bold">Ritual Topeng</span><br />Bagi masyarakat Betawi, Topeng digunakan dalam ritual kehidupan yang dianggap cukup penting, seperti perkawinan dan khitanan. Pada kedua ritual itu. Topeng dipagelarkan untuk memeriahkan pesta. Juga biasanya, Topeng digelar dengan tujuan membayar nazar. Meskipun harus membayar mahal untuk sebuah pertunjukan Topeng, rasanya itu tidak menjadi persoalan. âBiar tekor asal kesohor,â begitu ungkapan kalangan masyarakat Betawi tertentu dalam menjaga imej status sosiainya. Nah, bila si empunya hajat inggin menggelar Topeng, ia lebih dulu membayar panjer (uang muka) pada grup yang telah dipilih, setelah ada kesepakatan biaya. Kekurangannya akan dibayar pagi setelah pesta usai, uangnya diambil dari amplop sumbangan dari para tetamu.<br /><br />Pentingnya kesaksian bahwa nazar sudah dibayar melalui pagelaran Topeng, tidak berarti dengan sendirinya semua orang Betawi menganggap Topeng itu penting. Sebab, tidak semua lokasi di wilayah persebaran Topeng ini memperlihatkan indikasi pentingnya Topeng. Menurut catatan Ninuk, terdapat 60 grup Topeng yang ada di wilayah Jabotabek pada tahun 1975. Persebaran grup Topeng tersebut dapat dilacak berdasarkan beberapa wilayah yang ada, saat menggelar pertunjukan. Untuk Kabupaten/Kodya Bogorr misalnya, ada dua kecamatan (Cibinong dan Cimanggis) yang memiliki grup Topeng. Di kawasan Tangerang terdapat tujuh kecamatan (Curug, Cikupa, Balaraja, Tigaraksa, Kronjo, Kresek, Rejeg). Di Bekasi lebih banyak lagi, yakni 10 kecamatan (Bekasi, Tambun, Cikarang, Cibitung, Setu, Lemah Abang. Sukatani, Pebayuran, Babelan, Pondok Gede). Sedangkan DKI Jaya empat kecamatan (Koja, Jatinegara, Kramat Jali, Pasar Rebo). Dari beberapa wilayah persebaran grup Topeng, masing-masing kabupaten mempunyai pusat Topeng tersendiri. Balaraja misalnya dijadikan pusat Topeng di Tangorang, Tambun dan Babelan sebagai pusat Topeng di Bekasi, dan Pasar Rebo adalah daerah Topeng di DKI Jaya. Adapun persebaram grup dalam suatu wilayah geografis tidak berbeda dari persebaran pengguna Topeng. Hal itu disebabkan karena suatu grup Topeng bermain di wilayah tertentu yang sudah dilakukannya sejak dulu.<br /><br />Wilayah persebaran Topeng di Jabotabek tersebut, sebenarnya masih terbagi ke dalam tiga kelompok Topeng, berdasarkan ciri bahasa, penggunaan tempat pertunjukan dan kekhasan pagelaran. Grup Topeng di Tangerang tampaknya berdiri sendiri (daerah ini lebih dikenal sebagai wilayah Lenong), sedangkan di wilayah lain dikenal dua bentuk Topeng yang menurut istilah setempat adalah Kanda Wetan dan Kanda Kulon, Wetan adalah timur, dan kanda berarti daerah, Dengan demikian, grup yang termasuk Kanda Wetan adalah grup-grup dari Bekasi, sedangkan grup yang termasuk dalam Kanda Kulon adalah grup-grup dari DKI dan Bogor bagian utara. Sementara itu, ada grup peralihan yang berdiri diantara Kanda Wetan dan Kanda Kulon. Berdasarkan bahasa yang digunak dalam pagelaran, grup-grup Topeng Tangerang menggunakan bahrasa Sunda. Pasar Rebo dan Bekasi, pagelaran Tope menggunakan bahasa Melayu Betawi.<br /><br /><span style="font-weight: bold">Pergeseran Waktu</span><br />Seiring pergeseran zaman, Topei Betawi tampaknya telah terjadi transformasi yang menggambarkan perubahan Topeng Ada lima bentuk perubahan yang disebabkan oleh urutan waktu dalam sejara Pertama, esensi Topeng yang sakral dan magis tak lagi menjadi motivasi bagi yai punya hajat. Topeng tak lagi berfungsi sebagai penolak bala atau nazar bagi anak yang sering sakit-sakitan, karena memar puskesmas makin mudah dijangkau.<br /><br />Kedua, pagelaran yang diselenggarakan dalam lingkup tradisi yaitu ritus perkawinan dan khitanan, juga mengalami pergeseran ke arah ritus nasional. Ketiga, keragaman estetika yang muncul dalam Kanda Wetan dan Kanda Kulon pun mulai menghilang karena masuknya para pendatang ke daerah orang-orang Betawi. Termasuk berbag bentuk kedok yang memperlihatkan ks ragaman topeng, hilang secara perlahai lahan. Terakhir, kedok Bapak Jantuk pui sudah tidak dikenal lagi.<br /><br />Keempat, ruang lingkup seni pertunjuka mengalami pergeseran. Jika dulu (tahun 70-an) masih berlangsung hingga pukul 4 pag lama kelamaan bergeser durasinya, paling lambat pukul 3 atau lebih maju pukul 1 dini hari sudah harus dihentikan karena oran harus bersiap diri untuk sembahyang Subu agar tidak kesiangan.<br /><br />Kelima, narasi pagelaran Topeng, tak lagi mengangkat tema kemiskinan di wilayar wilayah tuan-tuan tanah, dan telah beralih dengan mengunakan isu nasional yang kadang menjadi legitimasi kepentingan politik tertentu.<br /><br />Bisa dirasakan, berkembangnya zaman telah merubah historical sequences Topeng tidak saja secara fisik tetapi juga ideologinya. Dengan kata lain, telah terjadi pertumbuhan keragaman budaya, dalam hal ini keragaman pagelaran Topeng. Itu bisa dimaklumi, mengingat rasa memiliki terhadap budaya Betawi, kini bukan hanya milik orang Betawi saja, tapi juga dimiliki para pendatang yang ingin melestarikan budaya Betawi menurut zamannya.<br /><br /><span style="font-weight: bold">Sumber : </span><a href="http://rumah-stil.blogspot.com/">http://apit.wordpress.com</a><br /><span style="font-weight: bold">Foto : </span><a href="http://fotokita.net/microsite/sonycontest09/ctg_umum/8138_ctg_umum_248.jpg">http://fotokita.net</a><span style="font-weight: bold"></span><br /></div><div class="blogger-post-footer"><img width='1' height='1' src='https://blogger.Car.com/indah/2624359141219824923-4997036741652874212?l=rumah-stil.blogspot.com' alt='' /></div> Tinggalkan komentar anda tentang <a href="http://rumah-stil.blogspot.com/">Topeng Betawi dalam Kacamata Mistis</a><br> infohttp://www.blogger.com/profile/14229387099866067801noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-452429034841350010.post-87039222939959613882010-04-30T19:00:00.001-07:002010-04-30T19:00:51.719-07:00Calung<br>Informasi terbaru Calung <div style="text-align: justify">Calung adalah alat musik Sunda yang merupakan prototipe (purwarupa) dari angklung. Berbeda dengan angklung yang dimainkan dengan cara digoyangkan, cara menabuh calung adalah dengan mepukul batang (wilahan, bilah) dari ruas-ruas (tabung bambu) yang tersusun menurut titi laras (tangga nada) pentatonik (da-mi-na-ti-la). Jenis bambu untuk pembuatan calung kebanyakan dari awi wulung (bambu hitam), namun ada pula yang dibuat dari awi temen (bambu yang berwarna putih). Pengertian calung selain sebagai alat musik juga melekat dengan sebutan seni pertunjukan. Ada dua bentuk calung Sunda yang dikenal, yakni calung rantay dan calung jinjing.<br /><br /><span style="font-weight: bold">Calung Rantay</span><br />Calung rantay bilah tabungnya dideretkan dengan tali kulit waru (lulub) dari yang terbesar sampai yang terkecil, jumlahnya 7 wilahan (7 ruas bambu) atau lebih. Komposisi alatnya ada yang satu deretan dan ada juga yang dua deretan (calung indung dan calung anak/calung rincik). Cara memainkan calung rantay dipukul dengan dua tangan sambil duduk bersilah, biasanya calung tersebut diikat di pohon atau bilik rumah (calung rantay Banjaran-Bandung), ada juga yang dibuat ancak "dudukan" khusus dari bambu/kayu, misalnya calung tarawangsa di Cibalong dan Cipatujah, Tasikmalaya, calung rantay di Banjaran dan Kanekes/Baduy.<br /><br /><span style="font-weight: bold">Calung Jingjing</span><br />Adapun calung jinjing berbentuk deretan bambu bernada yang disatukan dengan sebilah kecil bambu (paniir). Calung jinjing terdiri atas empat atau lima buah, seperti calung kingking (terdiri dari 12 tabung bambu), calung panepas (5 /3 dan 2 tabung bambu), calung jongjrong(5 /3 dan 2 tabung bambu), dan calung gonggong (2 tabung bambu). Kelengkapan calung dalam perkembangannya dewasa ini ada yang hanya menggunakan calung kingking satu buah, panempas dua buah dan calung gonggong satu buah, tanpa menggunakan calung jongjrong Cara memainkannya dipukul dengan tangan kanan memakai pemukul, dan tangan kiri menjinjing/memegang alat musik tersebut. Sedangkan teknik menabuhnya antar lain dimelodi, dikeleter, dikemprang, dikempyung, diraeh, dirincik, dirangkep (diracek), salancar, kotrek dan solorok.<br /><br /><span style="font-weight: bold">Perkembangan</span><br />Jenis calung yang sekarang berkembang dan dikenal secara umum yaitu calung jinjing. Calung jinjing adalah jenis alat musik yang sudah lama dikenal oleh masyarakat Sunda, misalnya pada masyarakat Sunda di daerah Sindang Heula - Brebes, Jawa tengah, dan bisa jadi merupakan pengembangan dari bentuk calung rantay. Namun di Jawa Barat, bentuk kesenian ini dirintis popularitasnya ketika para mahasiswa Universitas Padjadjaran (UNPAD) yang tergabung dalam Departemen Kesenian Dewan Mahasiswa (Lembaga kesenian UNPAD) mengembangkan bentuk calung ini melalui kreativitasnya pada tahun 1961. Menurut salah seorang perintisnya, Ekik Barkah, bahwa pengkemasan calung jinjing dengan pertunjukannya diilhami oleh bentuk permainan pada pertunjukan reog yang memadukan unsur tabuh, gerak dan lagu dipadukan. Kemudian pada tahun 1963 bentuk permainan dan tabuh calung lebih dikembangkan lagi oleh kawan-kawan dari Studiklub Teater Bandung (STB; Koswara Sumaamijaya dkk), dan antara tahun 1964 - 1965 calung lebih dimasyarakatkan lagi oleh kawan-kawan di UNPAD sebagai seni pertunjukan yang bersifat hiburan dan informasi (penyuluhan (Oman Suparman, Ia Ruchiyat, Eppi K., Enip Sukanda, Edi, Zahir, dan kawan-kawan), dan grup calung SMAN 4 Bandung (Abdurohman dkk). Selanjutnya bermunculan grup-grup calung di masyarakat Bandung, misalnya Layung Sari, Ria Buana, dan Glamor (1970) dan lain-lain, hingga dewasa ini bermunculan nama-nama idola pemain calung antara lain Tajudin Nirwan, Odo, Uko Hendarto, Adang Cengos, dan Hendarso.<br /><br />Perkembangan kesenian calung begitu pesat di Jawa Barat, hingga ada penambahan beberapa alat musik dalam calung, misalnya kosrek, kacapi, piul (biola) dan bahkan ada yang melengkapi dengan keyboard dan gitar. Unsur vokal menjadi sangat dominan, sehingga banyak bermunculan vokalis calung terkenal, seperti Adang Cengos, dan Hendarso.<br />Sumber Rujukan<br /><br /> * Ganjar Kurnia. 2003. Deskripsi kesenian Jawa Barat. Dinas Kebudayaan & Pariwisata Jawa Barat, Bandung.<br /> * wikipedia.org<br /><br /><span style="font-weight: bold">Sumber :<a href="http://www.kasundaan.org/id/index.php?option=com_content&view=article&id=88:calung&catid=49:calung&Itemid=72"> </a></span><a href="http://www.kasundaan.org/id/index.php?option=com_content&view=article&id=88:calung&catid=49:calung&Itemid=72">http://www.kasundaan.org</a><br /></div><div class="blogger-post-footer"><img width='1' height='1' src='https://blogger.Car.com/indah/2624359141219824923-2460865544577828481?l=rumah-stil.blogspot.com' alt='' /></div> Tinggalkan komentar anda tentang <a href="http://rumah-stil.blogspot.com/">Calung</a><br> infohttp://www.blogger.com/profile/14229387099866067801noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-452429034841350010.post-3183335664232675962010-04-26T22:26:00.000-07:002010-04-26T22:26:00.324-07:00Baju Hamil Model BaruSemakin banyak perancang Indonesia yang melirik untuk merangcang busana khusus untuk ibu hamil. <a href="http://www.busanamuslimgrosir.com">BAJU HAMIL</a> yang mereka rancang sekarang sudah banyak beredar di toko-toko busana di tanah air. Siapakah perancang itu? Saya yakin anda semua sudah tau siapa yang saya maksud. Banyak model baru dengan berbagai motif telah diluncurkan oleh banyak desainer baju, dan memang ketertarikan masyarakat sangat besar, khususnya ibu hamil.<br /><br />Hari ini saya melihat spanduk yang sangat besar di sebuah perempatan jalan, isinya kurang lebih seperti ini “<a href="http://www.busanamuslimgrosir.com">GROSIR BUSANA MUSLIM</a> dan baju hamil”. Wow perkembangan yang pesat sekali. Di spanduk itu juga terdapat contoh baju hamil yang menurut saya sangat elegant dan memang kelihatan sekali berkelas. Dan harga yang ditawarkan untuk baju hamil dan busana muslim itu sangat terjangkau untuk kantong orang seperti saya.infohttp://www.blogger.com/profile/14229387099866067801noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-452429034841350010.post-54781503121416198192010-04-25T18:46:00.001-07:002010-04-25T18:46:11.446-07:00Bathing Beauties di Kali Molenvliet<br>Informasi terbaru Bathing Beauties di Kali Molenvliet <a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjgEGdV2sDZ8wdxlSV3EkYRfP0UaPrAiTnbLdLidI9qntQWfm6i69sYX0OER8vKOeG7-RhzEDvzUXT3dE2EAtQXgB0nnvBelxDieZ9J7_9s-X7HvWwOV95MXpAbdjyxkXLLD02paZWwaL0/s1600/btv-BOW.JPG"><img style="margin: 0px auto 10px;text-align: center;cursor: pointer;width: 230px;height: 116px" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjgEGdV2sDZ8wdxlSV3EkYRfP0UaPrAiTnbLdLidI9qntQWfm6i69sYX0OER8vKOeG7-RhzEDvzUXT3dE2EAtQXgB0nnvBelxDieZ9J7_9s-X7HvWwOV95MXpAbdjyxkXLLD02paZWwaL0/s400/btv-BOW.JPG" alt="" border="0" /></a><br /><div style="text-align: justify">Oleh : <span style="font-weight: bold">Alwi Sahab</span><br />Generasi sekarang sudah tidak banyak lagi mengenal Molenvliet. Padahal, sampai awal 1960'an, jalan yang kini bernama Hayam Wuruk dan Gajah Mada di Jakarta Kota lebih dikenal dengan Molenvliet. Kata dalam Belanda yang artinya Molen (kincir) dan vliet (aliran). Karena dulunya sini terdapat kincir angin meniru sistem pengairan di Belanda. Di tengah kedua jalan yang selalu hiruk-pikuk ini terdapat Kali Ciliwung, yang dulunya juga lebih dikenal sebagai kali Molenvliet. Kali ini sendiri merupakan kanal dengan menyedot kali Ciwilung.<br /><br />Sungai atau kanal ini membujur dari selatan ke utara hingga Pasar Ikan diapit oleh jalan Hayam Wuruk dan Gajah, mulai dari Harmoni hingga Kalibesar. Sampai awal 1950-an, sungai ini masih jernih sehingga menjadi tempat cuci pakaian, mandi dan buang air besar. Bahkan, di antara yang mandi ada yang berbugil ria, sehingga jadi pentas tontonan bathing beauties. Tetapi sekarang sudah demikian kotor, penuh Lumpur dan sampah. Fungsinya sendiri sudah hilang, ketika dibangun sebagai kanal pertengahan abad ke-17 untuk memperlancar arus barang dari selatan ke pusat kota, dan sebaliknya.<br /><br />Akibat tidak berfungsinya sungai ini, pernah ada sejumlah insinyur mengusulkan ditutup dan ditimbun saja. Guna mengurangi kemacetan lalu lintas di Jl Hayam Wuruk dan Gajah Mada. Kita sengaja mengetengahkannya, karena Banyak yang tidak tahu bahwa sungai tersebut merupakan sungai buatan atau tepatnya sebuah kanal dengan 'menyobek' kali Ciliwung yang dialirkan ke sana. Arsitek dari proyek besar waktu itu, adalah Phoa Beng Gan, seorang kapiten Cina yang dikenal sebagai ahli pengairan.<br /><br />Seperti diketahui Jan Pieterszoon Coen mendirikan Batavia di atas rawa-rawa. Hingga bila musim hujan daerah itu terendam, airnya susah kering. Dan kota menjadi sarang nyamuk malaria. Banyak orang mati karena penyakit ini. VOC sendiri tidak bisa berbuat apa-apa menghadapinya.<br /><br />Dalam keadaan demikian, Kapiten Phoa Beng Gan merasa terpanggil. Apalagi korbannya banyak etnis Cina yang saat itu hampir mayoritas di Batavia. Phoa kemudian mengadakan rapat kongkoan (Dewan Tionghoa) yang setuju membiayai penggalian kanal mengingat VOC tidak punya uang.<br /><br />Penggalian dimulai pada 1624 dari ujung Molenvliet, di depan Harmoni sekarang. Penggalian dipimpin oleh Phoa sendiri. Ia menggunakan tenaga kerja sangat banyak mengingat peralatan untuk penggalian masih sangat sederhana.<br /><br />Saat penggalian sampai ke Jalan Ketapang, mulai terlihat manfaat pembuatan kanal tersebut. Daerah rawa di sekitarnya menjadi kering, sehingga nyamuk-nyamuk anopheles makin berkurang. Dengan banyaknya rawa mengering, banyak dibangun rumah dan perkebunan. Sedangkan hasil buminya dapat diangkut dengan perahu-perahu melalui kanal tersebut.<br /><br />Sayangnya, kebahagiaan penduduk Batavia tidak ber¬langsung lama. Karena ketika terjadi bencana kekeringan yang hebat akibat musim panas berkepanjangan, air sungai Molenvliet jadi kering kerontang. Perdagangan dan pertani¬an menjadi mandek total. Tapi, Kapiten Phoa tidak putus asa. Ia pun merencanakan proyek pembuatan kali yang lebih besar yang akan dapat menyalurkan air ke tengah-tengah kota Batavia. Ia mengadakan survei ke daerah lebih selatan yang waktu itu masih hutan belukar, dan banyak binatang buas. Di daerah hutan belukar itu, yang sekarang bernama Pejambon, terdapat sungai Ciliwung yang airnya sangat deras.<br /><br />Dia pun merencanakan membuat kanal yang akan menghubungkan Sungai Ciliwung dengan Molenvliet. Ketika usulnya disampaikan ke VOC, kebetulan Batavia sedang menghadapi seruan Inggris. AL Inggris memblokade kota, hingga pasokan mesiu untuk mempertahankan kota terhenti. Maka diputuskan proyek penggalian kanal ditambah dengan pembangunan pabrik mesiu.<br /><br />Pabrik mesiu ini harus didirikan ditempat yang jauh dari pusat kota agar bila terjadi kecelakaan tidak mengganggu penduduk. Tempatnya di Jl Hayam Wuruk, tidak jauh dari pertokoan Harco, Glodok sekarang.<br /><br />Di samping membangun kanal dan pabrik mesiu, kapiten Phoa juga membangun 'Rumah Sakit Cina' dengan obat-obatan serba lengkap. Lokasinya sekarang di Jl Pejagalan, Jakarta Kota. RS ini kemudian `merana' akibat tersaingi oleh CBZ (kini RS Cipto Mangunkusumo) di Salemba. RS Cina kemudian dibongkar gemeente (dewan kota) karena punya utang verponding selama puluhan tahun. Kemudian, masyarakat Cina mendirikan RS `Jang Seng Ie' yang kini bernama RS Husada di Jl Mangga Besar.<br /><br />Sedangkan kali Molenvliet, sampai tahun 1950'an sering digelar berbagai atraksi. Seperti pesta perahu (peh cun) di malam hari, diiringi tanjidor clan tarian cokek di mana para siacia dan kongcu saling ngibing, atau joget sekarang ini.<br /><br />Dari Queen of The East (Koningen Van Oost)<br /><br /><span style="font-weight: bold">Sumber : </span><a href="http://rumah-stil.blogspot.com/">http://www.strada.or.id</a><br /><span style="font-weight: bold">Foto :<a href="http://images.djawatempodoeloe.multiply.com/image/98/photos/391/500x500/2/btv-BOW.JPG?et=0WADxeVYvDlJZiVCqjChag&nmid=76424202"> </a></span><a href="http://images.djawatempodoeloe.multiply.com/image/98/photos/391/500x500/2/btv-BOW.JPG?et=0WADxeVYvDlJZiVCqjChag&nmid=76424202">http://images.djawatempodoeloe.multiply.com</a><br /></div><div class="blogger-post-footer"><img width='1' height='1' src='https://blogger.Car.com/indah/2624359141219824923-4000603977307031674?l=rumah-stil.blogspot.com' alt='' /></div> Tinggalkan komentar anda tentang <a href="http://rumah-stil.blogspot.com/">Bathing Beauties di Kali Molenvliet</a><br> infohttp://www.blogger.com/profile/14229387099866067801noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-452429034841350010.post-68842977235315636702010-04-24T12:55:00.001-07:002010-04-24T12:55:13.001-07:00Kabupaten Aceh Barat<br>Informasi terbaru Kabupaten Aceh Barat <div style="text-align: justify"> <span style="font-weight: bold">Sejarah Kabupaten Aceh Barat</span><br /><br /> Wilayah bagian barat Kerajaan Aceh Darussalam mulai dibuka dan dibangun pada abad ke XVI Masehi atas prakarsa Sultan Saidil Mukamil (Sultan Aceh yang hidup antara tahun 1588 - 1604 M), kemudian dilanjutkan oleh Sultan Iskandar Muda (Sultan Aceh yang hidup tahun (1607-1636 M) dengan mendatangkan orang-orang Aceh Rayeuk dan Pidie.<br /><br /> Daerah ramai pertama adalah di teluk Meulaboh (Pasi Karam) yang diperintah oleh seorang raja yang bergelar Teuku Keujruen Meulaboh, dan Negeri Daya (Kecamatan Jaya) yang pada akhir abad ke XV M telah berdiri sebuah kerajaan dengan rajanya adalah Sultan Salatin Alaidin Riayat Syah dengan gelar Poteu Meureuhom Daya.<br /><br /> Dari perkembangan selanjutnya, wilayah Aceh Barat diakhir abad XVII telah berkembang menjadi beberapa kerajaan kecil yang dipimpin oleh Uleebalang, yaitu : Kluang; Lamno; Kuala Lambeusoe; Kuala Daya; Kuala Unga; Babah Awe; Krueng No; Cara' Mon; Lhok Kruet; Babah Nipah; Lageun; Lhok Geulumpang; Rameue; Lhok Rigaih; Krueng Sabee; Teunom; Panga; Woyla; Bubon; Lhok Bubon; Meulaboh; Seunagan; Tripa; Seuneu'am; Tungkop; Beutong; Pameue; Teupah (Tapah); Simeulue; Salang; Leukon; Sigulai.<br /><br /> Dimasa penjajahan Belanda, melalui suatu perjanjian (Korte Verklaring), diakui bahwa masing-masing Uleebalang dapat menjalankan pemerintahan sendiri (Zelfsbestuur) atau swaparaja (landschap). Oleh Belanda Kerajaan Aceh dibentuk menjadi Gouvernement Atjeh en Onderhorigheden (Gubernemen Aceh dan Daerah Taklukannya) dan selanjutnya dengan dibentuknya Gouvernement Sumatera, Aceh dijadikan Keresidenan yang dibagi atas beberapa wilayah yang disebut afdeeling (propinsi) dan afdeeling dibagi lagi atas beberapa onderafdeeling (kabupaten) dan onderafdeeling dibagi menjadi beberapa landschap (kecamatan).<br /><br /> Seluruh wilayah Keresidenan Aceh dibagi menjadi 4 (empat) afdeeling yang salah satunya adalah Afdeeling Westkust van Atjeh atau Aceh Barat dengan ibukotanya Meulaboh. Afdeeling Westkust van Atjeh (Aceh Barat) merupakan suatu daerah administratif yang meliputi wilayah sepanjang pantai barat Aceh, dari gunung Geurutee sampai daerah Singkil dan kepulauan Simeulue serta dibagi menjadi 6 (enam) onderafdeeling, yaitu :<br /><br />1. Meulaboh dengan ibukota Meulaboh dengan Landschappennya Kaway XVI, Woyla, Bubon, Lhok Bubon, Seunagan, Seuneu'am, Beutong, Tungkop dan Pameue;<br /><br />2. Tjalang dengan ibukota Tjalang (dan sebelum tahun 1910 ibukotanya adalah Lhok Kruet) dengan Landschappennya Keluang, Kuala Daya, Lambeusoi, Kuala Unga, Lhok Kruet, Patek, Lageun, Rigaih, Krueng Sabee dan Teunom;<br /><br />3. Tapaktuan dengan ibukota Tapak Tuan;<br /><br />4. Simeulue dengan ibukota Sinabang dengan Landschappennya Teupah, Simalur, Salang, Leukon dan Sigulai;<br /><br />5. Zuid Atjeh dengan ibukota Bakongan;<br /><br />6. Singkil dengan ibukota Singkil.<br /><br /> Di zaman penjajahan Jepang (1942 - 1945) struktur wilayah administrasi ini tidak banyak berubah kecuali penggantian nama dalam bahasa Jepang, seperti Afdeeling mejadi Bunsyu yang dikepalai oleh Bunsyucho, Onderafdeeling menjadi Gun yang dikepalai oleh Guncho dan Landschap menjadi Son yang dikepalai oleh Soncho.<br /><br /> Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, berdasarkan Undang-undang Nomor 7 (Drt) Tahun 1956 tentang pembentukan Daerah Otonom Kabupaten-kabupaten dalam lingkungan Propinsi Sumatera Utara, wilayah Aceh Barat dimekarkan mejadi 2 (dua) Kabupaten yaitu Kabupaten Aceh Barat dan Kabupaten Aceh Selatan. Kabupaten Aceh Barat dengan Ibukota Meulaboh terdiri dari tiga wilayah yaitu Meulaboh, Calang dan Simeulue, dengan jumlah kecamatan sebanyak 19 (sembilan belas) Kecamatan yaitu Kaway XVI; Johan Pahlwan; Seunagan; Kuala; Beutong; Darul Makmur; Samatiga; Woyla; Sungai Mas; Teunom; Krueng Sabee; Setia Bakti; Sampoi Niet; Jaya; Simeulue Timur; Simeulue Tengah; Simeulue Barat; Teupah Selatan dan Salang. Sedangkan Kabupaten Aceh Selatan, meliputi wilayah Tapak Tuan, Bakongan dan Singkil dengan ibukotanya Tapak Tuan.<br /><br /> Pada Tahun 1996 Kabupaten Aceh Barat dimekarkan lagi menjadi 2 (dua) Kabupaten, yaitu Kabupaten Aceh Barat meliputi kecamatan Kaway XVI; Johan Pahlwan; Seunagan; Kuala; Beutong; Darul Makmur; Samatiga; Woyla; Sungai Mas; Teunom; Krueng Sabee; Setia Bakti; Sampoi Niet; Jaya dengan ibukotanya Meulaboh dan Kabupaten Adminstrtif Simeulue meliputi kecamatan Simeulue Timur; Simeulue Tengah; Simeulue Barat; Teupah Selatan dan Salang dengan ibukotanya Sinabang.<br /><br />Kemudian pada tahun 2000 berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 5, Kabupaten Aceh Barat dimekarkan dengan menambah 6 (enam) kecamatan baru yaitu Kecamatan Panga; Arongan Lambalek; Bubon; Pantee Ceureumen; Meureubo dan Seunagan Timur. Dengan pemekaran ini Kabupaten Aceh Barat memiliki 20 (dua puluh) Kecamatan, 7 (tujuh) Kelurahan dan 207 Desa.<br /><br />Selanjutnya pada tahun 2002 kabupaten Aceh Barat daratan yang luasnya 1.010.466 Ha, kini telah dimekarkan menjadi tiga Kabupaten yaitu Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten Nagan Raya dan Kabupaten Aceh Barat dengan dikeluarkannya Undang-undang N0.4 Tahun 2002<br /><br /><span style="font-weight: bold">Keterangan Umum Daerah</span> <span style="font-weight: bold">Kabupaten Aceh Bara</span>t<br /> Kabupaten Aceh Barat dengan Ibukotanya Meulaboh, sebelum pemekaran mempunyai luas wilayah 10.097.04 Km² atau 1.010.466 Ha dan secara astronomi terletak pada 2° - 5°,16 Lintang Utara dan 95°,10° Bujur Timur dan merupakan bagian wilayah pantai barat dan selatan kepulauan Sumatra yang membentang dari barat ke timur mulai dari kaki gunung Geurutee (perbatasan dengan Aceh Besar) sampai kesisi Krueng Seumayam (perbatasan Aceh Selatan) dengan panjang garis pantai sejauh 250 Km.<br /><br />Sesudah pemekaran letak geografis Kabupaten Aceh Barat secara agronomi terletak pada 04°61 - 04°47 Lintang utara dan 95° - 86°30 Bujur Timur dengan luas wilayah 2.442,00Km² bujur sangkar dengan batas-batas sebagai berikut :<br /><br />Sebelah Utara :Kabupaten Aceh Jaya dan Kabupaten Pidie<br /><br />Sebelah Selatan :Samudra Indonesia dan Kabupaten Nagan Raya<br /><br />Sebelah Timur :Kabupaten Aceh Tenggah dan Kabupaten Nagan Raya<br /><br />Sebelah Barat :Samudera Indonesia<br /><br /><span style="font-weight: bold">Lambang Kabupaten Aceh Barat</span><br />Lambang Daerah Kabupaten Aceh Barat ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Aceh Barat No. 12 Tahun 1976 Tanggal 26 Nopember 1976 tentang Lambang Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Barat dan telah mendapat pengesahan dari Menteri Dalam Negeri berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor Pem./10/32/46-263 Tanggal 17 Mei 1976 serta telah diundangkan dalam Lembaran Daerah Tingkat II Aceh Barat Nomor 10 Tahun 1980 Tan ggal 3 Januari 1980.<br /><br />Lambang Kabupaten Aceh Barat mempunyai perisai berbentuk kubah mesjid yang berisi lukisan lukisan dengan bentuk, warna dan perbandingan ukuran tertentu dan mempunyai maksud serta makna sebagai berikut:<br /><br />Perisai berbentuk kubah mesjid, melambangkan ketahanan Nasional dan kerukunan yang dijiwai oleh semangat keagamaan;<br /><br />Bintang persegi lima, melambangkan falsafah negara, Pancasila;<br /><br />Kupiah Meukeutop, melambangkan kepemimpinan;<br /><br />Dua tangkai kiri kanan yang mengapit Kupiah Meukeutop terdiri dari kapas, padi, kelapa dan cengkeh, melambangkan kesuburan dan kemakmuran daerah;<br /><br />Rencong, melambangkan jiwa patriotik/kepahlawanan rakyat;<br /><br />Kitab dan Kalam, melambangkan ilmu pengetahuan dan peradaban;<br /><br />Tulisan "Aceh Barat" mengandung arti bahwa semua unsur tersebut diatas terdapat di dalam Kabupaten Aceh Barat.<br /><br /> Lambang Daerah ini digunakan sebagai merek bagi perkantoran pemerintah Kabupaten Aceh Barat<br /><br />Sebagai petanda batas wilayah Kabupaten Aceh Barat dengan Kabupaten lainnya.<br /><br />Sebagai cap atau stempel jabatan dinas.<br /><br />Sebagai lencana yang digunakan oleh pegawai pemerintah Kabupaten Aceh Barat yang sedang menjalankan tugasnya.<br /><br />Sebagai panji atau bendera digunakan oleh suatu rombongan yang mewakili atau atas nama pemerintah Kabupaten Aceh Barat<br /><br /> dan dapat dipergunakan pada tempat tempat upacara resmi, pintu gerbang dan lain sebagainya.<br /><br /> Lambang Daerah Kabupaten Aceh Barat ini dilarang digunakan apabila bertentangan dengan Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 1976 dan barang siapa yang melanggarnya dapat dikenakan hukuman selama-lamanya 1 bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 10.000.- (sepuluh ribu rupiah).<br /><br /><span style="font-weight: bold">Visi Misi Kabupaten Aceh Barat</span><br /> <span style="font-weight: bold">Visi</span><br />Terwujudnya masyarakat Aceh Barat yang aman, damai, adil, makmur dan sejahtera, yang didukung Manusia yang beriman, bertaqwa, berilmu pengetahuan dan menguasai teknologi dengan menjunjung tinggi Budaya Daerah.<br /><br /><span style="font-weight: bold">Misi</span><br />Untuk mewujudkan visi masyarakat Aceh Barat di masa depan, ditetapkan misi sebagai berikut:<br /><br />1. Meningkatkan pengamalan Syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat.<br /><br />2. Mengembangkan kehidupan masyarakat yang aman, rukun dan damai serta beretika dan berbudaya.<br /><br />3. Meningkatkan Sumber Daya Manusia yang berilmu pengetahuan dan menguasai tehnologi yang tepat guna dan berhasil guna.<br /><br />4. Menumbuh kembangkan kegiatan usaha yang berbasis ekonomi kerakyatan.<br /><br />5. Tersedianya sarana dan prasarana dasar ekonomi dan sosial.<br /><br />6. Terciptanya lapangan kerja dan kesempatan berusaha serta meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan.<br /><br />7. Melaksanakan pembangunan yang berwawasan lingkungan.<br />Program Strategis Pembangunan Daerah<br /><br />Pembangunan Aceh Barat mencakup semua kegiatan pembangunan daerah dan sektoral yang dikelola oleh pemerintah bersama masyarakat.<br /><br />Titik berat pembangunan diletakan pada bidang ekonomi kerakyatan melalui peningkatan dan perluasan pertanian dalam arti luas sebagai pengerak utama pembangunan yang saling terkait secara terpadu dengan bidang-bidang pembangunan lainnya dalam suatu kebijakan pembangunan. maka ditetapkan prioritas pembangunan sebagai berikut :<br /><br />1. Meningkatkan pelaksanaan Syariat Islam, peran ulama dan adat istiadat.<br /><br />2. Peningkatan Sumber Daya Manusia.<br /><br />3. Pemberdayaan ekonomi masyarakat.<br /><br />4. Meningkatakan aksesibilitas daerah.<br /><br />5. Meningkatkan pendapatan daerah.<br /><br /><span style="font-weight: bold">Sumber : </span><a href="http://rumah-stil.blogspot.com/">http://acehbarat.tripod.com</a><br /></div><div class="blogger-post-footer"><img width='1' height='1' src='https://blogger.Car.com/indah/2624359141219824923-2028570745491463473?l=rumah-stil.blogspot.com' alt='' /></div> Tinggalkan komentar anda tentang <a href="http://rumah-stil.blogspot.com/">Kabupaten Aceh Barat</a><br> infohttp://www.blogger.com/profile/14229387099866067801noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-452429034841350010.post-37753855705729012242010-04-17T00:27:00.001-07:002010-04-17T00:27:30.972-07:00Arsitektur Masjid Pada Masa Awal Perkembangan Islam<br>Informasi terbaru Arsitektur Masjid Pada Masa Awal Perkembangan Islam <a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEix3T79W8LZQK5wT0OkSrP_dh08Gz4i8ZqrIVBgOYrb_dcrV_yFHpxRODIk3k4qJanu8DmXynqGByDYXuKLWndAmkCPHX1cCoEuOxp78o6vP9NMp5k5mXWFBbuuqhlCpMPncj0dMwzlW1U/s1600/qiblatain-mesjid.jpg"><img style="margin: 0px auto 10px;text-align: center;cursor: pointer;width: 235px;height: 162px" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEix3T79W8LZQK5wT0OkSrP_dh08Gz4i8ZqrIVBgOYrb_dcrV_yFHpxRODIk3k4qJanu8DmXynqGByDYXuKLWndAmkCPHX1cCoEuOxp78o6vP9NMp5k5mXWFBbuuqhlCpMPncj0dMwzlW1U/s400/qiblatain-mesjid.jpg" alt="" border="0" /></a><br /><div style="text-align: justify">Bangsa Indonesia sangat kaya dengan peninggalan-peninggalan sejarah dan purbakala yang sekarang disebut benda cagar budaya, diantaranya berupa masjid-masjid kuno. Arsitektur masjid-masjid kuno di Indonesia meskipun sederhana, tetapi memiliki ciri khas lokal yang terlihat pada komponen-komponen bangunannya. Tetapi sebelum membahasnya, sebaiknya kita melihat perkembangan arsitektur masjid secara umum pada masa Nabi Muhammad SAW dan para khalifah pelanjutnya agar mendapatkan gambaran arsitektur masjid pada awal perkembangan agama Islam agama Islam.<br /></div><div style="text-align: justify"><br /><span style="font-weight: bold">1. Masa Nabi Muhammad SAW (610-632 M)</span><br />Pada awal da'wah agama Islam di Mekkah, hal pertama yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW adalah menata kembali dan membina kebudayaan dalam wujud akal pikiran (sistem nilai dan gagasan), serta dalam wujud tingkah laku, yaitu memberikan ajaran : keimanan, Akhlak, dan ibadah. Keberadaan Masjidil Haram yang sangat penting artinya bagi umat Islam karena terdapat Ka'bah di tengah-tengahnya, belum dapat digunakan sepenuhnya oleh Nabi dan pengikutnya, sebab digunakan juga sebagai tempat ritual kepercayaan masyarakat setempat. Jadi ajaran yang menyangkut bidang duniawi wujud kebudayaan fisik, seperti tempat ibadah, belum mendapat perhatian khusus.<br /><br />Saar itu perjuangan Nabi mendapat tantangan yang keras dari kaum kafir Quraisy di Mekkah, maka akhirnya Nabi dan para pengikutnya melakukan hijrah ke Madinah pada tahun 622 M (1 Hijriyah). Sesampainya di Quba, Nabi beristirahat selama empat hari (Senin s.d. Kamis), dan pada hari pertama kedatangannya itu pula ia bersama pengikutnya mendirikan sebuah masjid yang dikenal sebagai Masjid Quba.<br /><br />Masjid Quba awalnya merupakan pelataran yang kemudian dipagari dengan dinding tembok yang cukup tinggi, pada sisi utaranya yang memanjang timur barat didirikan bangunan untuk ibadah shalat (biasa disebut al-maghata). Pada saat itu bangunannya masih sangat sederhana tiang-tiangnya dari batang pohon kurma dan atapnya dari pelepah daun kurma yang dicampur/pleester dengan tanah liat. Mimbamya terbuat dari potongan batang-batang pohon kurma yang ditidurkan dan ditumpuk tindih menindih. Tanda kiblat yang menjacli tujuan arah pada waktu shalat dibuat oleh Nabi dengan memakai bahan batu yang dimintanya dari penduduk Quba.<br /><br />Meskipun sangat sederhana, masjid ini bisa dianggap sebagai contoh awal bentuk dari masjid-masjid yang didirikan oleh ummat Islam selanjutnya. Memiliki ruang persegi empat dan berdinding di sekelilingnya, serta di sebelah utaranya terdapat serambi untuk tempat shalat. Di tengah-tengah lapangan terbuka dalam masjid itu (biasa disebut shaan), terdapat sebuah sumur tempat berwudhu. Masjid ini telah mengalami beberapa kali perbaikan. Sekarang, temboknya terbuat dari batu, berkubah , dan memiliki menara. Dihiasi dengan dekorasi-dekorasi yang indah, ditambah, ditambah tiang batu dan kayu yang megah. Meskipun secara ornamental dan bahan yang digunakan mengalami banyak perubahan, tetapi denah awalnya tidak berubah.<br />Di Madinah ia membangun Masjid Nabawi dengan pola yang sama seperti Masjid Quba, yaitu berbentuk segi empat panjang berpagar tembok tinggi, sebagian berupa halaman dalam (shaan) dan sebagian lagi berbentuk bangunan (liwan). Pola awal ini memang cenderung fungsional sesuai kebutuhan yang diajarkan oleh Nabi, untuk menampung kegiatan ibadah maupun muamalah.<br /><br />Di sebelah selatan masjid ini terdapat suatu ruangan asrama untuk para musafir dan fakir miskin, serta ruangan tempat Nabi mengajar umatnya. Sedangkan di sebelah timur dibangun rumah sederhana buat isteri-isteri Nabi. Masjid Nabawi yang awalnya berbentuk sederhana ini diperluas dan dibangun kembali oleh Khalifah Khalid al-Walid tahun 706 M.<br /><br /><span style="font-weight: bold">2. Masa Khulafaur Rasyidin (632 - 661 M)</span><br />Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, maka pimpinan umat Islam dijabat oleh khalifah-khalifah yang terdiri dari sahabat-sahabat Nabi, yakni empat orang khalifah yang terkenal dengan sebutan Khulafaur Rasyidin; mereka adalah: Abu Bakar ash-Shidiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan All bin Abu Thalib.<br /><br />Produk budaya materi berupa sarana ibadah, masjid, pada masa Khulafaur Rasyidin tidaklah banyak. Perjuangan utama mereka dalam hal mengamalkan dan menyebarkan ajaran Islam yang diajarkan Nabi. Masjid-masjid didirikan dalam bentuk yang fungsional, baru pada khalifah ketiga dan keempat mulai diperkaya dan dipercantik. Pola yang dianut masih tetap pola awal, yakni pola empat persegi panjang, berdinding tembok tinggi yang di dalamnya terdapat shaan dan liwan.<br /><br />Pada masa khalifah Umar telah ada usaha membangun kembali bangunan Masjidil Haram di Mekkah, meskipun masih dalam bentuk yang sederhana dan mengarah ke sifat fungsional. Selain itu, khalifah Umar juga membangun Masjid Kuffah (637 M) yang unik. Masjid ini tidak dibatasi dengan (finding tembok batu/tanah liat yang tinggi, melainkan dibatasi dengan kolam air. Liwan-nya (tempat shalat) bertiang marmer yang konon berasal dari Kerajaan Parsi. Masjid ini kemudian diperbaiki oleh khalifah-khlaifah Bani Muawiyah/Ummaiyah (661-680 M), diantaranya: bangunan tambahan berupa riwaqs (serambi/selasar) di sekeliling shaan, serta dinding pembatas yang berupa kolam diganti dengan tembok keliling (670 M) (Wiryoprawiro 1986).<br /><br /><span style="font-weight: bold">3. Masa Khalifah Bani Ummaiyah/Muawiyah</span><br /><br /><span style="font-weight: bold">Damaskus (661-750 M)</span><br />Pada pemerintahan Bani Ummaiyah pada tahun 661-750 M sistem pemerintahan yang demokratis telah banyak ditinggalkan dan berubah menjadi suatu kerajaan Islam meskipun para pemimpirmya masih menggunakan gelar khalifah. Pusat pemerintahan tidak lagi di Kuffah atau Madinah, tetapi dipindahkan ke Damsyik/Damaskus di Syria.<br /><br />Saat pemerintahan dipimpin oleh Khalifah Khalid al-Walid telah dibangun Masjid Jamik Damsyik yang mempunyai Shaan dan Riwaqs/Liwan. Pengamh Khalifah ini sangat luas, ke barat sampai di Spanyol dan Perancis Selatan; ke timur sampai ke India dan Samarkand.<br /><br />Melihat kemegahan gedung-gedung Kristen dan Romawi maka tergugahlah semangatnya untuk membangun masjid yang megah maka dibangunnya Masjid Bani Ummaiyah. Sayangnya pada tahun 1483 masjid ini terbakar sebagian, dan kemudian oleh Sultan Malmuk dari Mesir dibangun kembali dan diberi nama Masjid Keit Bey. Pola clan organisasi ruang dari masjid ini amat berpengaruh pada pembangunan masjid bertiang banyak pada zaman kemudian, seperti Masjid Qiruan dekat Tunisia yang terkenal dengan menaranya yang tua.<br /><br />Saat Khalifah Abdul Malik (685-688 M) berkuasa, dibangun Qubbah al-Sahra (Dome of the Rock) di Yerusalem, tempat Nabi Muhammad dahulu memulai naik ke langit pada saat menjalankan Isra Mi'raj. Bangunan ini merupakan suatu monumen yang bentuknya mirip dengan bentuk Bassilika di Constantinopel, Yerusalem/Palestina.<br /><br />Secara umum bentuk bangunan masjid masa Khalifah Bani Ummaiyah masih memakai pola Masjid Kufah yang berciri: shaan, riwaqs, liwan yang bertembok keliling dan mempunyai satu kubah di dekat Mihrab. Sistem struktumya juga tetap memakai bentuk relung yang terbuat dari susunan batu cadas (arch/vault construction) yang diplester yang semakin diperkaya dengan ornamen dekoratif bermotif geometris dan atau motif tetumbuhan. Selain itu pada masa ini juga terdapat maksurah yaitu bilik yang berbentuk kotak, berdindingkan pagar atau terali sehingga tembus pandang. Bilik ini diperuntukan Ichusus untuk para pembesar pada waktu shalat. Di dalam satu masjid bisa terdapat satu atau lebih maksurah. Fungsinya untuk menjaga keamanan khalifah dan gubemur-gubemur dari serangan tiba-tiba pihak musuh.<br /><br />Pola tembok keliling dengan shaan (court) di tengahnya memang amat sesuai dengan arsitektur dan alam lingkungan setempat yang berildim subtropis. Kaidah keindahan (estetika) seperti: irama (rythm), keseimbangan (balance), tekanan (emphazise), proporsi (proportion), skala (scale), dan sebagainya sudah mendapatkan pengolahan yang cukup baik, meskipun sistem struktur pada saat itu didominasi oleh banyaknya kolom/pilar. Kesemuanya itu terlihat jelas pada bangunan Masjid Jamik Damsyik (Damaskus) dan Masjid al-Aqsa di Yerusalem (Wiryoprawiro, 1986).<br /><br /><span style="font-weight: bold">Spanyol (757-1236 M)</span><br />Cordova ibukota Khalifah Ummaiyah di Spanyol merupakan pusat ilmu pengetahuan yang terkenal di seluruh Benua Eropa. Banyak orang Eropa yang menuntut ilmu di negeri Mi. Pada zaman ini dibangunlah perguruan-perguruan tinggi, perpustakaan-perpustakaan, rumah-rumah sakit dan bangunan lain yang megah. Di kota ini didirikan Masjid Jamik Cordoba yang indah. Relung¬relungnya dihias dengan motif geometris disertai pilar-pilar penyangga yang berjumlah ratusan. Memiliki empat kubah dan sebuah menara yang dibangun di halaman masjid (shaan).<br />Wujud budaya materi sudah maju, hal ini terlihat dari bentuk arsitektur masjidnya. Denah bangunan masjid masih tetap menggunakan pola masjd Jamik Kufah yang menggunakan struktur relung dan pilar (arch construction) dengan atap datar lengkap dengan shaan, riwaqs dan liwan serta kubah dan menara. Ragam hias berkembang dengan sangat kaya, rumit, dan artistik. Motif geometris, tetumbuhan (flora), awan (alam) dan kaligrafi dikembangkan dengan cermat. Sedang¬kan motif figuratif dan fauna tidak dikembangkan sebab kurang sesuai dengan ajaran Islam.<br /><br /><span style="font-weight: bold">4. Masa Khalifah Bani Abbasiyah (750 -1258 M)</span><br />Pada masa ini pusat pemerintahan sudah jauh keluar dari jazirah Arab, yakni di kota Bagdad, Irak. Peradaban Islam sudah sangat maju, tidak hanya dari segi rohaniah tetapi juga dari segi lahiriahnya. Saat pemerintahan dipimpin oleh Abu Ja'far al-Mansyur (khalifah kedua), ilmu pengetahuan mendapat perhatian khusus. Kitab-kitab produk kerajaan Romawi dikumpulkan dan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. ilmu falak dan filsafat mulai digali dan dikembangkan. Usaha ini kemudian dilanjutkan oleh Khalifah Harun al-Rasyid dan Al-Ma'mun. Bahkan pada masa Al-Ma'mun sampai clidirikan Majelis Ilmu Pengetahuan "Bait al-Hikmah", sehingga Bagdad tidak hanya menjadi pusat pemerintahan tetapi sekaligus sebagai pusat ilmu pengetahuan. Dengan demikian telah timbul Renaissance Timur di dalam wilayah kaum muslim yang berpusat di Bagdad sekitar tahun 600 M, sebelum timbul Renaissance di Eropa Barat.<br /><br />Bidang arsitektur pun maju pesat, selain dari segi ilmunya maupun dari segi wujud bangunannya. Karena saat itu banyak didatangkan ahli-ahli bangunan untuk memperbaiki dan membuat berbagai bangunan. Mereka datang dari: Mesir, Syria, Romawi Timur, Parsi dan bahkan ada yang berasal dari India, sehingga semakin memperkaya khasanah arsitektur di Bagdad, termasuk dalam hal arsitektur bangunan sarana ibadah seperti masjid.<br /><br />Pola bangunan masjid dapat dikatakan sama dengan masa sebelumnya, hanya bentuk: menara, relung, dan ornamentasinya semakin kaya dan rumit. Saat itu tidak hanya bangunan masjid dan bangunan perumahan yang dikembangkan namun juga tata kota dan tata daerah-nya. Kota ditata dengan pola bundar (konsentris) dan yang menjadi titik tengahnya adalah masjid serta istana khalifah dengan alun-alunnya yang luas. Di luarnya terbentang melingkar daerah pemukiman penduduk dengan jaringan jalan yang melingkar dan memusat (radial) yang berakhir di tembok/benteng kota dengan empat pintu gerbangnya.<br /><br /><span style="font-weight: bold">5. Masa Dinasti Seljuk Asia Kecil</span><br />Penyebaran Islam di daerah ini telah dimulai sejak tahun 704 M setelah tentara Islam dan Bagdad yang dipimpin oleh Quthaibah al-Bahili berhasil menguasi Bukhara. Samarkand, dan Khawarizin. Kerajaan Bani Seljuk di Asia Kecil ini beribukota di Iconium atau yang kini dikenal dengan nama Konia. Sultan Alauddin merupakan Raja Bani Seljuk yang cukup besar jasanya dalam membangun kota ini. Bahkan kemudian terkenal di dunia barat lewat cerita 'Arabian Nights' atau Cerita 1001 Malam, serta cerita 'Aladin dengan Lampu Wasiatnya' (Israr 1958: 27).<br /><br />Bentuk arsitektur masjid yang dibangun di kota ini awalnya menggunakan pola masjid Dunia Arab, namun kemudian mengalami perubahan-perubahan. Perubahan itu antara lain: semakin menghilangnya halaman dalam yang dikenal sebagai shaan, dan kemudian muncul semacam ventilasi udara di atapnya. Bentuk relung dengan tiang penyangga masih tetap ada, namun kemudian muncul ragam hias unik muyarnash yang selain dekoratifjuga berfungsi struktural. Ragam hias ini biasanya terdapat di kepala tiang, relung, maupun kubah yang bentuknya menyerupai sarang lebah bergantung atau bentuk stalaktit.<br /><br /><span style="font-weight: bold">Persia</span><br />Perkembangan arsitektur masjid di Persia saat berada di bawah kekuasaan Bani Seljuk memang tidak begitu berbeda dengan masa sebelumnya, hanya terjadi pemakaian shaan dan penambahan ruangan-ruangan yang tentunya disesuaikan dengan iklim setempat (sub tropis) dan kebutuhan masyarakat pada saat itu. Di sekelilingnya terdapat riwaqs yang berkembang dengan kamar-kamar tempat kegiatan pendidikan keagamaan (madrasah). Di keempat sisi shaan-nya dibuat `kubah separuh' yang dihiasi dengan motif miiqarnas. Bangunan masjidnya ditutup dengan kubah-kubah yang besar berbentuk bawang terpancung. Menaranya dibuat berpasangan dengan bentuk silinder yang mencuat ke angkasa. Sedangkan bentuk relungnya mirip dengan lunas kapal yang terbalik, yang kemudian dikenal dengan nama Lengkung Persia (Persian arch ).<br /><br />Masjid Syah merupakan salah satu masjid yang dapat dijadikan contoh untuk mewakili bentuk masjid di Persia. Masjid ini dibangun pada tahun 1610 M di Isfahan dan terletak di ujung kompleks Istana Syah. Bangunannya dilengkapi dengan ruang-ruang madrasah. Selain bangunan masjid, istana, dan madrasah , dibangun juga turbah (makam) yang indah-indah, seperti Turbah Sheik Sayifus di Ardabil. Kompleks bangunan seperti ini di kemudian hari rnernpengaruhi bangsa¬loangsa lam, seperti yang dilakukan oleh Syah Jehan yang membangun Turbah Taj Mahal di India.<br /><br /><span style="font-weight: bold">6. Masa Dinasti Utsmaniah di Turki</span><br />Setelah dinasti Seljuk di Asia Kecil melemah dan akhimya dikalahkan oleh keturunan Ertoghrul pada tahun 1290 M, maka selanjutnya berkuasalah Sultan Utsman (1290-1326 M) di negeri ini. Kekuasaan Bani Utsmaniah ini berlangsung sampai berabad-abad, sehingga kemudian terkenal sebagai dinasti Utsmaniah di Turki (orang Barat menyebutnya Ottaman). Dinasti ini banyak membangun masjid, madrasah, dan perguruan tinggi. Bentuk arsitelcturnya masih melanjutkan arsitektur yang dibangun Bani Seljuk yang berkuasa sebelumnya. Atap berkubah mulai dominan sehingga atap yang dulunya berbentuk datar itu cenderung bertutupkan kubah.<br /><br />Pada tahun 1453 M kota Konstantinopel (ibukota imperium Romawi Timur) yang dulunya be mama Byzantium dapat direbut dan dikuasai, kemudian diganti namanya menjadi Istambul. Arsitektur Byzantium yang megah banyak mempengaruhi perkembangn arsitektur Bani Utsmaniah. Seperti Gereja Aya Sofia merupakan bangunan di tengah kota Istambul yang banyak dikagumi oleh umat Islam. Bangunan ini memiliki kubah lebar (diametemya 30 m) dan tinggi (54 m), dan menjadi inspirasi bagi Bani Utsmaniah dalam membangun masjid-masjid. Selanjutnya fungsi Aya Sofia yang sebelumnya gereja diubah menjadi masjid. Ornamen-ornamen atau lukisan yang tidak sesuai dihilangkan dan diganti dengan yang bemafaskan Islam. Di keempat penjurunya kemudian dibangun empat buah menara yang langsing menjulang tinggi.<br /><br />Pada kurun Istambul ini banyak didirikan masjid yang megah. Ruang liwan yang dilindungi oleh kubah-kubah besar menjadi Ionggar apalagi kemudian kubah itu disangga oleh pilar yang caul) langsing (bukan sistem tembok pemikul lagi) menjadikan ruang ini terasa menyatukan jamaahnya dan juga jelas orientasi kiblatnya. Masjid-masjid tersebut diantaranya adalah Masjid Sultan Sulaiman (1555 M) dan Masjid Sultan Ahmad di Istambul.<br /><br />Dari uraian sebelumnya secara umum dapatlah disimpulkan bahwa bangunan-bangunan masjid sejak masa Nabi Muhammad sampai dengan Dinasti Utsmaniah memiliki pola dasar yang dapat dikatakan sama, yaitu: bertembok keliling, memiliki halaman dalam (shaan), memiliki ruang masjid (liwan), memiliki serambi keliling (riwaqs), memiliki atap datar yang disangga oleh relung dan pilar, memiliki kubah, memiliki ceruk di tembok (mihrab), dan memiliki satu atau lebih menara. Disamping itu, terdapat komponen lainnya yang bentuknya mengikuti perkembangan jaman, jadi mengalami perbaikan-perbaikan, baik dari segi: omamentasi, bahan, maupun keletakannya. Sebagian diantaranya adalah mimbar dan ruangan-ruangan tambahan (madrasah, ruang buat petugas masjid, mck, perpustakaan, dan lain-lain).<br /><br /><span style="font-weight: bold">B. Arsitektur Masjid Kuno di Indonesia</span><br />Arsitektur masjid-masjid kuno di Indonesia bila dibandingkan dengan arsitektur masjid-masjid kuno di dunia Islam lainnya, sangatlah sederhana. Sehingga keberadaannya kurang mendapat perhatian dalam literatur-literatur umumnya yang memaparkan arsitektural Islam di seluruh dunia. Padahal kemegahan arsitekural masa sebelumnya (sebelum Islam masuk ke Indonesia) sangatlah menonjol, hal ini dapat kita saksikan pada karya-karya bangunan suci seperti Candi Borobudur atau Candi Prambanan. Fenomena ini tentunya sangatlah menarik untuk dikaji, sebab ada suatu asumsi bahwa arsitektur masjid suatu tempat/wilayah seringkali dipengaruhi oleh kondisi setempat, atau dengan kata lain dipengaruhi oleh arsitektural yang berkembang di tempat itu, sebelum Islam masuk.<br /><br />Menurut Wiyoso Vudoseputro (1986: 13) hal tersebut dikarenakan gairah mencipta karya seni tidak begitu raja muncul, artinya perlu ada rangsangan. Rupa-rupanya kondisi kebudayaan kurang menguntungkan pada waktu itu untuk mendirikan bangunan-bangunan yang serba megah dan serba besar dengan nilai-nilai monumental. Konsolidasi kekuasaan dan peperangan yang terus¬menerus antar-kekuasaan dan melawan kekuasaan asing dapat mengurangi gairah mencipta. Keadaan tersebut menjadikan arsitektur kuno Islam di Indonesia seakan-akan kembali kepada tradisi bangunan kayu.<br /><br />Pendapat di atas sebelumnya pernah disampaikan oleh Sutjipto Wirjosuparto (1961-1962: 65-67). la mengatakan bahwa tradisi bangunan kayu merupakan tradisi yang berasal dari masa prasejarah, masa sebelum masyarakat Indonesia menerima pengaruh Hindu-Budha yang kemudian mengenalkan konstruksi batu dalam bidang seni bangunan.<br /><br />Berdasarkan bentuknya, W.F. Stutterheim berpendapat bahwa ruang-ruang yang kecil atau sempit pada candi tidak mungkin dapat dijadikan model sebuah masjid yang memerlukan ruang besar guna keperluan shalat berjamaah. Oleh karena itu, is berpendapat bahwa bangunan gelanggang menyabung ayam (wantilan) sebagai model masjid. Bangunan ini ialah bangunan khas dari masa pm-Islam yang kini masih ditemukan di Bali. Denahnya persegi empat, mempunyai atap dan sisi¬sisinya tidak berdinding. Apabila sisi-sisinya ditutup dan pada sisi barat diberi bagian mihrab, maka jadilah is memenuhi syarat sebagai bangunan masjid (Stutterheim 1953: 153-140).<br /><br />H.J. de Graaf menyanggah pendapat di atas, menurutnya tidaklah mungkin orang-orang Islam di Indonesia memilih bangunan tempat menyambung ayam sebagai model masjid. Selain itu wantilan atapnya tidak bertingkat seperti atap masjid kuno, hanya ditemukan di Jawa dan Bali, serta tidak memiliki serambi. la mengajukan pendapat bahwa model masjid-masjid kuno di Indonesia berasal dari wilayah Gujarat, Kashmir, dar Vishir (116). Bukti yang memperkuat pendapatnya adalah hasil telaahrrya atas urataa data Nog clitsmat dell Jan Huygens van Linschoten (seorang Belanda yang mengunjungi lira pada abed X1) tentang masjid di Malabar yang mempunyai denah segi empat sena beratap an** Sahh satu dari tingkat tersebut digunakan untuk belajar asama. Hal demikian ditemukan jugs olleh Graaf pada Masjid Taluk, Sumatera Barat (Graaf 1947/1848: 298). Berdasarkan data banding inilah is kemudian menggeneralisasilcamlya untuk seluruh masjid tradisional di Indonesia hingga menghasilkan teori seperti di atas.<br /><br />Teori Graaf disanggah oleh Sutjipto Wirjosuparto yang rnengatalcan bahwa hasil perbandingannya tidak tepat. Menurutnya kendati sama-sama memiliki atap bertingkat, namun terdapat perbedaan prinsipil antara masjid di Malabar dan Masjid Taluk tersebut. Masjid di Malabar mempunyai denah empat persegi panjang, sedangkan masjid di Taluk berdenah bujur sangkar. Sementara itu masjid di Malabar tidak memiliki tempat wudhu yang berbentuk pant, sebaliknya hal itu ditemukan di Taluk.<br /><br />Selanjutnya Sutjipto mengemukakan gagasan bahwa model masjid kuno di Indonesia berasal dari bangunan tradisional Jawa yang bernama pendopo (Dendapa). Istilah pendopo berasal dari kata mandapa dalam bahasa Sangsekerta yang mengacu pada suatu bagian dari kuil Hindu di India yang berbentuk persegi dan dibangtm langsung di atas tanah. Di Indonesia, arsitektur mandapa tersebut dimodifikasi menjadi sebuah ruang besar dan terbuka yang sering digunakan untuk menerima tamu yang kemudian dinamakan pendopo. Denah pendopo yang bujur sangkar itulah yang menjadi alasan bagi Sutjipto untuk menduganya sebagai model masjid-masjid tua di Indonesia.<br /><br />Mengenai atap yang bertingkat, rupanya dapat diwakili oleh bangunan Jawa lainnya, yang disebut rumah joglo. Tipe atap rumah joglo ini menjadi benih Bari atap tumpang pada masjid. Alasan estetika kemudian menjadikan bentuk atap rumah joglo pada masjid memakai bentuk tingkat untuk mengimbangi ukuran ruangnya yang besar (Wirjosuparto 1961/1962; 1986).<br /><br />Menyinggung tentang persamaan-persamaan yang ada pada masjid di. Malabar dan di Taluk, Sutjipto menjelaskan bahwa memang telah terjadi `pertumbuhan yang sejajar' diantara keduanya (India dan Indonesia) pada waktu itu. Ini disebabkan di kedua tempat itu bangunan mandapa telah sama-sama dimodifikasi menjadi bagian Bari suatu rumah untuk kemudian dijadikan dasar bangunan masjid. Jadi sekali lagi persamaan-persamaan itu tidaklah berarti masjid di Taluk mencontoh masjid di Malabar.<br /><br />Sedangkan menurut C.F. Pijper (1992: 24), Indonesia memiliki arsitektur masjid kuno yang khas yang membedakannya dengan bentuk-bentuk masjid di negara lain. Tipe masjid Indonesia berasal dari Pulau Jawa, sehingga orang dapat menyebut masjid tipe Jawa. Ciri khas masjid tipe Jawa ialah:<br /><br />1. Fondasi bangunan yang berbentuk persegi dan pejal (massive) yang agak tinggi;<br />2. Masjid tidak berdiri di atas tiang, seperti rumah di Indonesia model kuno dan langgar, tetapi di atas dasar yang padat;<br />3. Masjid itu mempunyai atap yang meruncing ke atas, terdiri dari dua sampai lima tingkat, ke atas makin kecil;<br />4. Masjid mempunyai tambahan ruangan di sebelah barat atau barat laut, yang dipakai untuk mihrab;<br />5. Masjid mempunyai serambi di depan maupun di kedua sisinya;<br />6. Halaman di sekeliling masjid dibatasi oleh tembok dengan satu pintu masuk di depan, disebut gapura.<br />7. Denahnya berbentuk segi empat;<br />8. Dibangun di sebelah barat alun-alun;<br />9. Arah mihrab tidak tepat ke kiblat;<br />10.Dibangun dari bahan yang mudah rusak;<br />11. Terdapat pant, di sekelilingnya atau di depan masjid;<br />12. Dahulu dibangun tanpa serambi (intinya saja).<br /><br />Ciri-ciri khas ini menunjukkan bahwa masjid tipe Jawa bukan merupakan bangunan asing yang dibawa ke negeri ini oleh mubaligh muslim dari luar, tetapi bentuk asli yang disesuaikan dengan kebutuhan peribadatan secara Islam. Fondasi yang berbentuk persegi itu dikenal juga dalam bangunan Hindu-Jawa, yaitu: candi yang masih terdapat di Pulau Jawa. Kemudian, candi dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu fondasi, candi itu sendiri, dan atap. Tidak sulit untuk melihat bahwa dasar fondasi masjid yang padat itu merupakan sisa bentuk fondasi candi. Fondasi ini selalu ada pada setiap masjid.<br /><br />Bangunan lain yang digunakan untuk ibadah Islam, yaitu langgar, tajug, dan bale biasanya dibangun di atas tiang, masih terus mengikuti pola bangunan Indonesia kuno. Hal ini juga terdapat di daerah Pulau Jawa dengan rumah-rumahnya yang tidak lagi dibangun di atas tiang. Atap masjid terdiri dari beberapa tingkat yang meruncing dan di puncaknya terdapat hiasan. Bentuk atap ini terdapat pada banyak bangunan yang tidak mempunyai hubungan dengan Islam. Kita hams mengembalikannya kepada meru di Bali, menara persegi yang meruncing ke atas dan mempunyai atap yang berjumlah lima sampai sepuluh atau lebih (Bali = tumpang).<br /><br />Mungkin atap yang tinggi itu dahulu terdapat di Jawa, tetapi karena atap seperti itu dibuat dari bahan yang mudah rusak seperti yang terdapat di Bali, maka atap itu mudah musnah dan dilupakan. Mungkin atap masjid yang bersusun di Pulau Jawa itu merupakan sisa meru. Kita dapat menyaksikannya pada masjid kuno di Banten, yang berasal dari zaman Kesultanan Banten, dan bentuknya yang sekarang ini mungkin berasal dari zaman abad 16. Atap masjid ini terdiri dari lima tingkat, tiga tingkat yang teratas sama kecilnya. Francois Valentijn yang mengunjungi Banten pada tahun 1694, mengatakan: voorzien van viff verdiepingen of daken (mempunyai atap lima tingkat) (Pijper 1992: 25).<br /><br />Selain atap, salah satu ciri khas masjid kuno di Jawa adalah tembok yang mengelilinginya. Hanya di kota-kota yang jarang terdapat tempat luas, aturan ini diabaikan. Tetapi pada masjid tipe Jawa yang murni, tempat ini mesti ada; yang memisahkan daerah suci dengan daerah kotor. Di depan ada pintu gerbang, bentuknya bermacam-macam. Kita dapat menemukan sebuah bentuk yang disebut `tembok bentar', tidak beratap tetapi juga ada pintu gerbang yang beratap (Jawa=gapura; Sansekerta=gopura), yang kemudian kerapkali berkembang menjadi bentuk pintu gerbang yang tinggi<br /><br />Tembok yang mengelilingi itu bukan ciri khas muslim, tetapi merupakan salah satu sisa bangunan candi desa di Bali, yaitu pura desa. Kerapkali pura desa di Bali terdiri dari tiga halaman, tiap-tiap halaman dikelilingi oleh tembok. Bahwa pembagian daerah suci ini menjadi beberapa halaman bertembok, hal ini masih terlihat baik dalam bangunan makam-makam tua di Jawa yang terletak di dekat ma§jid. Contohnya makam suci Sunan Ampel (Ampel Rahmat) di Surabaya. Makam yang sebenamya, terletak di halaman terakhir, yang terdekat dengan masjid. Bagan makam suci Tembayat atau Bayat di Klaten seperti: pertama masjid, kemudian beberapa halaman yang satu di belakang yang lain, lalu bangunan makam. Makam keramat lainnya yang diletakkan dalam satu halaman bertembok dengan masjidnya adalah makam Sunan Gin di Gresik. Demikian pula makam Sunan Pejagung di Tuban Selatan dan makam Ratu Kalinyamat di Mantingan, Jepara. Makam¬makam yang lebih kecil kerapkali terdiri dari dua halaman: awalnya masjid dikelilingi tembok, dan di belakangnya, melalui pintu gerbang dekat masjid adalah makam suci, juga dalam ruangan bertembok, seperti terdapat di Jatianom, Surakarta.<br /><br />Serambi yang sekarang dibangun pada tiap-tiap masjid, merupakan tambahan path bangunan pokok. Ini terbukti, karena adanya atap tersendiri yang tidak mempunyai hubungan dengan masjid. Juga yang merupakan jalan masuk ke dalam. Suatu yang penting ialah bahwa pemerian lama tidak pemah menyebut adanya serambi. Kemudian hams dicatat bahwa masjid-masjid yang dibangun oleh bangsa Arab atau yang mendapat pengaruh Arab, semuanya tanpa serambi. Juga tidak ada serambi pada kebanyakan masjid di Jakarta. Di kota ini pengaruh bangsa Arab dalam soal keagamaan sangat besar. Juga di kota-kota lain tempat bangsa Arab mendirikan masjid sendiri dengan gaya mereka sendiri, tidak ditemukan serambi. Tetapi alasan yang penting lainnya ialah bahwa serambi itu sampai sekarang dipakai untuk keperluan lain dibandingkan dengan bagian dalam masjid tidak ada serambi pada kebanyakan masjid. Mengingat hal ini semua ada kemungkinan bahwa serambi itu sekarang menjadi bagian masjid, meskipun asalnya merupakan tambahan, dan kemudian dibangun pada masjid ash yang berbentuk persegi.<br /><br />Hal lain yang diduga asing pada tipe masjid ash (Imo) adalah tambahan berbentuk persegi kecil di sisi barat atau barat laut; dalam bahasa Arab disebut mihrab . Dilihat dari dalam masjid, mihrab merupakan sebuah rongga. Seperti yang kita ketahui, mihrab ini terdapat di negara Islam lainnya. Kegunaannya untuk menunjukkan arah kiblat bagi orang yang salat, dan dipakai untuk imam. Di beberapa masjid di Jawa terdapat dua rongga yang berdekatan, yang satu untuk mihrab (dalam bahasa Jawa disebut pangimaman, bahasa Sunda: paimaman, artinya tempat imam), sedangkan rongga yang lain berisi mimbar (dalam bahasa Jawa disebut pangimbaran, bahasa Sunda: paimbaran, artinya tempat mimbar). Juga terdapat masjid yang mempunyai rongga tiga buah yang berdekatan.<br /><br />Sampai sekarang, banyak menara dibangun di Jawa, dan jumlahnya bertambah terus. Pembangunan menara .menunjuldcan bahwa keinginan untuk menghias tampak lebih besar daripada keinginan untuk memenuhi persyaratan keagamaan. Berdasarkan pandangan yang terakhir ini, meskipun masjid-masjid itu mempunyai menara, orang mengikuti kebiasaan lama untuk mengumandangkan serum shalat (azan) dari gapura masjid atau dari salah satu atap masjid. Menara ini hanya dipakai untuk dua atau satu kali azan dari lima kali shalat. Pada hari Jumat (shalat Jum'at), maka terbukti hanya menara yang dipakai untuk azan. Di beberapa tempat ada kebiasaan untuk menyerukan azan di menara pada setiap waktu shalat, terutama pada bulan Ramadhan.<br /><br />Menara masjid yang dianggap tertua di Pulau Jawa, yaitu menara Kudus. Bangunannya berbentuk asli Hindu-Jawa dan telah diteliti oleh Brumund dan Krom. Krom memperkirakan menara ini berasal dari permulaan abad 16, tetapi apakah menara itu memang asli menara?. Pertama, karena agak aneh bahwa bangunan yang bagus ini setelah dijadikan tempat untuk menara pada abad 16 M, tidak pernah ada yang meniru; semua menara tua dibangun dengan gaya asing, dan tidak dalam bentuk nasional yaitu bentuk Hindu-Jawa. Kedua, dapat dilihat bahwa menara Kudus mempunyai beduk yang besar yang dipukul beberapa kali. Menurut adat di Jawa, bedug dipukul untuk mengumumkan waktu salat sebelum azan dikumandangkan. Beduk itu merupakan hasil kebudayaan Indonesia kuno, dan kebiasaan memukul beduk pada mulanya tidak ada hubungannya dengan agama Islam. Di tempat lain, beduk itu tidak diletakkan di menara; pada umumnya diletakkan di serambi. Kadang-kadang beduk diletakkan di masjid bagian dalam atau di dalam bangunan kecil di halaman masjid. Di Jawa Timur, beduk kerapkali diletakkan di bagian atas gapura. Gapura ini memisahkan halaman masjid dengan jalan.<br /><br />Gapura itu merupakan sebuah bangunan pintu berbentuk persegi, dengan sebuah ruangan di atasnya. Atapnya bertumpu pada empat tiang sehingga ruangan atas ini terbuka pada semua sisi. Gapura yang istimewa ini bukan merupakan sebuah menara, yang mungkin berdasarkan kenyataan bahwa di halaman masjid yang sama itu kadang-kadang terdapat juga sebuah menara. Bentuk gapura ini mengingatkan kita kepada menara kulkul yang terdapat di Bali atau dekat pura desa yang kadang¬kadang terletak di atas tembok candi. Menara Kudus menurut Pijper bukan merupakan sebuah menara, tetapi sebuah bangunan Hindu yang disesuaikan dengan bentuk dan tujuan sekarang.<br /><br />Kemungkinan besar menara tertua di Pulau Jawa berada di Banten. sebuah menara putih tidak ramping bersegi-segi berclin di muka masjid Kesultanan Banten Bangunan yang besar ini dilihat dari jauh mengingatkan kita pada sebuah bangunan menara soar Belanda. Menurut cerita, menara masjid tersebut dibangun oleh seorang arsitek Belanda yang bernarna Lucas Cardeel. Bentuk bangunan yang masih ada adalah tiamah (terletak di sebelah selatan masjid) juga merupakan hasil serambi pada kebanyakan masjid di Jakarta. Di kota ini pengaruh bangsa Arab dalam soal keagamaan sangat besar. Juga di kota-kota lain tempat bangsa Arab mendirikan masjid sendiri dengan gaya mereka sendiri, tidak ditemukan serambi. Tetapi alasan yang penting lainnya ialah bahwa serambi itu sampai sekarang dipakai untuk keperluan lain dibandingkan dengan bagian dalam masjid tidak ada serambi pada kebanyakan masjid. Mengingat hal ini semua ada kemungkinan bahwa serambi itu sekarang menjadi bagian masjid, meskipun asalnya merupakan tambahan, dan kemudian dibangun pada masjid ash yang berbentuk persegi.<br /><br />Hal lain yang diduga asing pada tipe masjid ash (Imo) adalah tambahan berbentuk persegi kecil di sisi barat atau barat laut; dalam bahasa Arab disebut mihrab . Dilihat dari dalam masjid, mihrab merupakan sebuah rongga. Seperti yang kita ketahui, mihrab ini terdapat di negara Islam lainnya. Kegunaannya untuk menunjukkan arah kiblat bagi orang yang salat, dan dipakai untuk imam. Di beberapa masjid di Jawa terdapat dua rongga yang berdekatan, yang satu untuk mihrab (dalam bahasa Jawa disebut pangimaman, bahasa Sunda: paimaman, artinya tempat imam), sedangkan rongga yang lain berisi mimbar (dalam bahasa Jawa disebut pangimbaran, bahasa Sunda: paimbaran, artinya tempat mimbar). Juga terdapat masjid yang mempunyai rongga tiga buah yang berdekatan.<br /><br />Sampai sekarang, banyak menara dibangun di Jawa, dan jumlahnya bertambah terus. Pembangunan menara .menunjuldcan bahwa keinginan untuk menghias tampak lebih besar daripada keinginan untuk memenuhi persyaratan keagamaan. Berdasarkan pandangan yang terakhir ini, meskipun masjid-masjid itu mempunyai menara, orang mengikuti kebiasaan lama untuk mengumandangkan serum shalat (azan) dari gapura masjid atau dari salah satu atap masjid. Menara ini hanya dipakai untuk dua atau satu kali azan dari lima kali shalat. Pada hari Jumat (shalat Jum'at), maka terbukti hanya menara yang dipakai untuk azan. Di beberapa tempat ada kebiasaan untuk menyerukan azan di menara pada setiap waktu shalat, terutama pada bulan Ramadhan.<br /><br />Menara masjid yang dianggap tertua di Pulau Jawa, yaitu menara Kudus. Bangunannya berbentuk asli Hindu-Jawa dan telah diteliti oleh Brumund dan Krom. Krom memperkirakan menara ini berasal dari permulaan abad 16, tetapi apakah menara itu memang asli menara?. Pertama, karena agak aneh bahwa bangunan yang bagus ini setelah dijadikan tempat untuk menara pada abad 16 M, tidak pernah ada yang meniru; semua menara tua dibangun dengan gaya asing, dan tidak dalam bentuk nasional yaitu bentuk Hindu-Jawa. Kedua, dapat dilihat bahwa menara Kudus mempunyai beduk yang besar yang dipukul beberapa kali. Menurut adat di Jawa, bedug dipukul untuk mengumumkan waktu salat sebelum azan dikumandangkan. Beduk itu merupakan hasil kebudayaan Indonesia kuno, dan kebiasaan memukul beduk pada mulanya tidak ada hubungannya dengan agama Islam. Di tempat lain, beduk itu tidak diletakkan di menara; pada umumnya diletakkan di serambi. Kadang-kadang beduk diletakkan di masjid bagian dalam atau di dalam bangunan kecil di halaman masjid. Di Jawa Timur, beduk kerapkali diletakkan di bagian atas gapura. Gapura ini memisahkan halaman masjid dengan jalan.<br /><br />Gapura itu merupakan sebuah bangunan pintu berbentuk persegi, dengan sebuah ruangan di atasnya. Atapnya bertumpu pada empat tiang sehingga ruangan atas ini terbuka pada semua sisi. Gapura yang istimewa ini bukan merupakan sebuah menara, yang mungkin berdasarkan kenyataan bahwa di halaman masjid yang sama itu kadang-kadang terdapat juga sebuah menara. Bentuk gapura ini mengingatkan kita kepada menara kulkul yang terdapat di Bali atau dekat pura desa yang kadang¬kadang terletak di atas tembok candi. Menara Kudus menurut Pijper bukan merupakan sebuah menara, tetapi sebuah bangunan Hindu yang disesuaikan dengan bentuk dan tujuan sekarang.<br /><br />Kemungkinan besar menara tertua di Pulau Jawa berada di Banten. sebuah menara putih tidak ramping bersegi-segi berclin di muka masjid Kesultanan Banten Bangunan yang besar ini dilihat dari jauh mengingatkan kita pada sebuah bangunan menara soar Belanda. Menurut cerita, menara masjid tersebut dibangun oleh seorang arsitek Belanda yang bernarna Lucas Cardeel. Bentuk bangunan yang masih ada adalah tiamah (terletak di sebelah selatan masjid) juga merupakan hasil sambung-menyambung dari bawah sampai ke atas. Begitu juga Masjid Asasi Nagari Gunung, Padangpanjang yang beratapkan ijuk yang meruncing, bersusun tiga tingkat dengan teratur.<br /><br />Masjid Pontianak. Masjid ini merupakan salah satu masjid kuno di Kalimantan Barat yang menggunakan konstruksi kayu, berdiri di atas tiang, dan terletak di pinggir sungai. Secara umum, di Kalimantan Barat dan Selatan banyak didapati masjid-masjid yang dibangun di pinggir sungai, karena sungai merupakan salah satu sarana transportasi yang pertting. Model atapnya bertingkat¬tingkat dengan lapisan atasnya dibentuk menyerupai kubah yang unik, sehingga mirip bangunan sebuah lonceng. Kubah ini dikelilingi oleh empat buah kubah kecil yang lain pada tiap-tiap sudut masjid. Kubah-kubah kecil itu sepintas lalu menyerupai menara tempat azan.<br /><br />Karena air. sungai sering pasang-surut, maka jalan dari tepi sungai ke masjid cukup sukar. Maka dibuat jembatan yang panjang dari pinggir sungai sampai ke pintu masjid itu, dan di ujung jembatannya disediakan sebuah pangkalan yang diberi atap, tempat orang turun naik ke dalam perahu.<br /><br />Di Sulawesi, Masjid Tua Bungku merupakan salah satu masjid kuno yang banyak dikunjungi masyarakat. Atapnya tumpang lima dengan kombinasi bentuk kubah pada bagian puncaknya. Di antara tiap-tiap tingkatan atap terdapat jendela kaca.<br /><br /><span style="font-weight: bold">Sumber :</span><br />Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1999, <span style="font-weight: bold">Masjid Kuno Indonesia</span>, Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.<br /><br /><span style="font-weight: bold">Foto : </span><a href="http://rumah-stil.blogspot.com/">http://wayofmuslim.files.wordpress.com</a><br /></div><div class="blogger-post-footer"><img width='1' height='1' src='https://blogger.Car.com/indah/2624359141219824923-1335347871802839932?l=rumah-stil.blogspot.com' alt='' /></div> Tinggalkan komentar anda tentang <a href="http://rumah-stil.blogspot.com/">Arsitektur Masjid Pada Masa Awal Perkembangan Islam</a><br> infohttp://www.blogger.com/profile/14229387099866067801noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-452429034841350010.post-60212303878303900872010-04-11T23:54:00.001-07:002010-04-11T23:54:57.533-07:00Watak Budaya Sunda<br>Informasi terbaru Watak Budaya Sunda <div style="text-align: justify">Sunda berasal dari kata Su = Bagus/ Baik, segala sesuatu yang mengandung unsur kebaikan, orang Sunda diyakini memiliki etos/ watak/ karakter Kasundaan sebagai jalan menuju keutamaan hidup. Watak / karakter Sunda yang dimaksud adalah cageur (sehat), bageur (baik), bener (benar), singer (mawas diri), dan pinter (pandai/ cerdas) yang sudah dijalankan sejak jaman Salaka Nagara sampai ke Pakuan Pajajaran, telah membawa kemakmuran dan kesejahteraan lebih dari 1000 tahun.<br /><br />Sunda merupakan kebudayaan masyarakat yang tinggal di wilayah barat pulau Jawa namun dengan berjalannya waktu telah tersebar ke berbagai penjuru dunia. Sebagai suatu suku, bangsa Sunda merupakan cikal bakal berdirinya peradaban di Nusantara, di mulai dengan berdirinya kerajaan tertua di Indonesia, yakni Kerajaan Salakanagara dan Tarumanegara. Sejak dari awal hingga kini, budaya Sunda terbentuk sebagai satu budaya luhur di Indonesia. Namun, modernisasi dan masuknya budaya barat lambat laun mengikis keluhuran budaya Sunda, yang membentuk etos dan watak manusia Sunda.<br /><br />Makna kata Sunda sangat luhur, yakni cahaya, cemerlang, putih, atau bersih. Makna kata Sunda itu tidak hanya ditampilkan dalam penampilan, tapi juga didalami dalam hati. Karena itu, orang Sunda yang 'nyunda' perlu memiliki hati yang luhur pula. Itulah yang perlu dipahami bila mencintai, sekaligus bangga terhadap budaya Sunda yang dimilikinya.<br /><br />Setiap bangsa memiliki etos, kultur, dan budaya yang berbeda. Namun tidaklah heran jika ada bangsa yang berhasrat menanamkan etos budayanya kepada bangsa lain. Karena beranggapan, bahwa etos dan kultur budaya memiliki kelebihan. Kecenderungan ini terlihat pada etos dan kultur budaya bangsa kita, karena dalam beberapa dekade telah terimbas oleh budaya bangsa lain. Arus modernisasi menggempur budaya nasional yang menjadi jati diri bangsa. Budaya nasional kini terlihat sangat kuno, bahkan ada generasi muda yang malu mempelajarinya. Kemampuan menguasai kesenian tradisional dianggap tak bermanfaat. Rasa bangsa kian terkikis, karena budaya bangsa lain lebih terlihat menyilaukan. Kondisi memprihatinkan ini juga terjadi pada budaya Sunda, sehingga orang Sunda kehilangan jati dirinya.<br /><br />Untuk menghadapi keterpurukan kebudayaan Sunda, ada baiknya kita melangkah ke belakang dulu. Mempelajari, dan mengumpulkan pasir mutiara yang berserakan selama ini. Banyak petuah bijak dan khazanah ucapan nenek moyang jadi berkarat, akibat tidak pernah tersentuh pemiliknya. Hal ini disebabkan keengganan untuk mempelajari dengan seksama, bahkan mereka beranggapan ketinggalan zaman. Bila dipelajari, sebenarnya pancaran etika moral Sunda memiliki khazanah hikmah yang luar biasa. Hal itu terproyeksikan lewat tradisinya. Karena itu, marilah kita kenali kembali, dan menguak beberapa butir peninggalan nenek moyang Sunda yang hampir.<br /><br />Ada beberapa etos atau watak dalam budaya Sunda tentang satu jalan menuju keutamaan hidup. Selain itu, etos dan watak Sunda juga dapat menjadi bekal keselamatan dalam mengarungi kehidupan di dunia ini. Etos dan watak Sunda itu ada lima, yakni cageur, bageur, bener, singer, dan pinter yang sudah lahir sekitar jaman Salakanagara dan Tarumanagara. Ada bentuk lain ucapan sesepuh Sunda yang lahir pada abad tersebut. Lima kata itu diyakini mampu menghadapi keterpurukan akibat penjajahan pada zaman itu. Coba kita resapi pelita kehidupan lewat lima kata itu. Semua ini sebagai dasar utama urang Sunda yang hidupnya harus 'nyunda', termasuk para pemimpin bangsa.<br /><br />Cara meresapinya dengan memahami artinya. Cageur, yakni harus sehat jasmani dan rohani, sehat berpikir, sehat berpendapat, sehat lahir dan batin, sehat moral, sehat berbuat dan bertindak, sehat berprasangka atau menjauhkan sifat suudzonisme. Bageur yaitu baik hati, sayang kepada sesama, banyak memberi pendapat dan kaidah moril terpuji ataupun materi, tidak pelit, tidak emosional, baik hati, penolong dan ikhlas menjalankan serta mengamalkan, bukan hanya dibaca atau diucapkan saja. Bener yaitu tidak bohong, tidak asal-asalan dalam mengerjakan tugas pekerjaan, amanah, lurus menjalankan agama, benar dalam memimpin, berdagang, tidak memalsu atau mengurangi timbangan, dan tidak merusak alam. Singer, yaitu penuh mawas diri bukan was-was, mengerti pada setiap tugas, mendahulukan orang lain sebelum pribadi, pandai menghargai pendapat yang lain, penuh kasih sayang, tidak cepat marah jika dikritik tetapi diresapi makna esensinya. Pinter, yaitu pandai ilmu dunia dan akhirat, mengerti ilmu agama sampai ke dasarnya, luas jangkauan ilmu dunia dan akhirat walau berbeda keyakinan, pandai menyesuaikan diri dengan sesama, pandai mengemukakan dan membereskan masalah pelik dengan bijaksana, dan tidak merasa pintar sendiri sambil menyudutkan orang lain.<br /><br />Sumber: Bapak Eman Sulaeman, Yayasan Hanjuang Bodas, Bogor.<br /><a href="http://www.kasundaan.org/id/index.php?option=com_content&view=article&id=53&Itemid=82">http://www.kasundaan.org</a><br /></div><div class="blogger-post-footer"><img width='1' height='1' src='https://blogger.Car.com/indah/2624359141219824923-2157921440129306537?l=rumah-stil.blogspot.com' alt='' /></div> Tinggalkan komentar anda tentang <a href="http://rumah-stil.blogspot.com/">Watak Budaya Sunda</a><br> infohttp://www.blogger.com/profile/14229387099866067801noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-452429034841350010.post-22166559562005012602010-04-10T18:08:00.000-07:002010-04-10T18:09:00.876-07:00Pemanfaatan Tradisi Lisan Di Dalam Pertunjukan Teater Indonesia<br>Informasi terbaru Pemanfaatan Tradisi Lisan Di Dalam Pertunjukan Teater Indonesia <div style="text-align: justify">Oleh : <span style="font-weight: bold">Dra. Yudiaryani, M. A.</span><br /><span style="font-weight: bold"></span><br /><span style="font-weight: bold">Identitas Tradisi Lisan dalam Pertunjukan Teater</span><br />Jan Vansina memberi batasan tradisi lisan (oral tradition) sebagai oral testimony transmitted verbally, from one generation to the next one or more. Dalam tradisi lisan tidak termasuk kesaksian mata yang merupakan data lisan. Juga di sini tidak termasuk rerasan masyarakat atau gosip yang meskipun lisan tetapi tidak ditularkan dari satu generasi ke generasi yang lain. Tradisi lisan dengan demikian terbatas di dalam kebudayaan lisan dari masyarakat yang belum mengenal tulisan. Sama seperti dokumen dalam masyarakat yang sudah mengenal tulisan, tradisi lisan merupakan sumber sejarah yang merekam masa lampau.1<br /><br />Namun kesejarahan tradisi lisan barulah sebagian dari isi tradisi lisan itu sendiri, karena banyaknya peristiwa keseharian, nilai-nilai moral, keagamaan, adat-istiadat, cerita-cerita khayali, peribahasa, nyanyian, dan mantra yang terkandung dalam tradisi lisan. Dengan demikian, luas dan beragamnya muatan dalam tradisi lisan menjadikannya sumber penulisan bagi antropolog, sejarawan, penulis naskah drama, dan pekerja seni lainnya.<br /><br />Di dalam penulisan naskah drama dan pertunjukan teater modern, tradisi lisan sudah memberi kontribusi yang cukup banyak. Kisah Mahabharata banyak menjadi ide penulisan naskah drama dan pertunjukan teater, di antaranya Karno Tanding, yang merupakan kerja kolaborasi antara seniman Indonesia dan Jepang di tahun 1998. Peter Brook memproduksi Mahabharata di tahun 1987 menampilkan kembali kodifikasi dramatik tradisi dengan cara tampilan yang modern. Kemudian Ku Na'uka Theater Company dari Jepang mengusung cerita-cerita dalam Mahabarata melalui kisah Prabu Nala dan Damayanti yang ditampilkan di Yogyakarta tahun 2005. Pertunjukan teater La Galigo juga berdasarkan cerita lisan tentang La Galigo dari budaya Bugis Kuno, yang dipentaskan di beberapa negara tahun 2003.<br /><br />Di mancanegara pun cerita lisan memegang peranan penting bagi terciptanya sebuah naskah drama dan pertunjukan teater. Di Negara Yunani, kisah Oidipus merupakan cerita lisan yang disebarkan dari satu generasi ke generasi berikutnya, tanpa diketahui siapa pengarangnya. Sophocles kemudian mengangkatnya menjadi drama trilogi, yaitu Oidipus Rex, Oidipus at Colunus, dan Antigone. Versi Sophocles tersebut kemudian dibaca kembali oleh seniman masa kini dalam pesan-pesan konteks yang berbeda, seperti ketika Rendra mementaskan Oidipus Sang Raja.<br /><br />Dengan demikian, pertunjukan teater Indonesia tidak asing dengan kontribusi dari cerita-cerita lisan. Banyak pertunjukan teater modern dan kontemporer berawal dari cerita-cerita rakyat/lisan, yang disampaikan melalui naskah drama atau langsung ke atas panggung pertunjukan teater.<br /><br />Cerita lisan yang berkembang awalnya dari suku-suku bangsa yang belum mengenal tata tulis, pada perkembangan waktu kalangan terpelajar dengan budaya tulisnya menyebabkan cerita lisan tersebut menjadi dikenal di luar lingkungannya dan mendapatkan cara pembacaan dan penanggapan yang baru. Identitas cerita lisan atau tradisi lisan tidak lagi berbicara "hanya" di sekitar pemiliknya, tetapi juga bersinggungan dengan nilai-nilai budaya dari penikmatnya yang lain.2<br /><br />Identitas penikmatnya menyebabkan identitas tradisi lisan pun mengalami perubahan. Makna kehadiran tradisi lisan turut mengalami perkembangan. Demikian juga elemen-elemen tradisi lisan dan bagaimana cara penyebarannya, serta fungsinya dalam masyarakat juga berubah. Penting mempelajari bagaimana seorang seniman masa kini mempelajari tradisi. Dipastikan mereka mempelajarinya berkat versi seniman lain.3 Versi tersebut terekam dalam bentuk pertunjukan dan bentuk tertulis. Persoalannya adalah seberapa jauh rekaman tertulis menampilkan keutuhan tradisi lisan, karena sebuah tulisan sering hanya merekam kepentingan penulisnya. Seberapa jauh pertunjukan merekam tradisi lisan, karena hal tersebut tergantung pada situasi perekaman dan tanggapan penontonnya. Dengan demikian, versi yang dibuat dan dikenal dari generasi ke generasi berikutnya menunjukkan perkembangan cara perekamannya dan cara menanggapinya<br /><br /><span style="font-weight: bold">Pertunjukan Teater</span><br />Pertunjukan teater di samping tari, musik, dan puisiâ"adalah media yang mampu menjadi alat perekam tradisi lisan. Eric Bentley menyebutkan bahwa "sesuatu" dibuat oleh A (seniman) menjadi B (karya seni) untuk C (penonton).4 Peristiwa-peristiwa faktual dalam sejarah lisan dan narasi fiktif dalam tradisi lisan diolah kembali oleh seniman teater menjadi pertunjukan teater untuk penonton. Di dalam pertunjukan teater, kehadiran penbonton penting karena tanpa penonton tak ada teater.<br /><br />Di dalam pembicaraan tentang pertunjukan teater di Indonesia, sering didengar istilah 'teater tradisi' dan 'teater modern'; 'teater istana' dan 'teater rakyat'; 'teater daerah' dan 'teater kota'. Istilah-istilah tersebut yang akan dilekatkan pada sebuah pertunjukan teater perlu didudukkan terlebih dahulu dalam rangka memperjelas identitas dan kegunaannya bagi masyarakat.<br /><br /><span style="font-weight: bold">Teater Istana dan Teater Rakyat</span><br />Istilah 'istana/bangsawan' dan 'rakyat' mencerminkan suatu status sosial seniman dan fungsi pertunjukan bagi status penonton secara sosial di mana pertunjukan teater istana dan rakyat diproduksi oleh seniman bagi kepentingan status sosial mereka. Istilah 'daerah' dan 'kota' mencerminkan perubahan dan pergeseran wilayah geografis dari desa ke kota yang disebabkan perpindahan penduduk dari desa ke kota, serta perubahan wilayah yang dulu desa menjadi kota secara administratif.<br /><br />Istilah 'tradisi' dan 'modern' digunakan untuk memaknai karakter, watak, dan pemahaman yang akan dilekatkan ke dalam pertunjukan. Dalam istilah tersebut, gagasan ideologis ikut serta membentuk makna pertunjukan tersebut. Dengan demikian, mencoba memaknai kehadiran sebuah pertunjukan teater dapat diawali dari bentuk atau identitas mereka, setelah itu, barulah mengamati perubahannya.<br /><br />Teater Istana. Teater istana/keraton/bangsawan merupakan seni pertunjukan yang muncul di kalangan para raja dan bangsawan sejak abad ke¬4M. Pada masa itu kehidupan teater menjadi amat penting dalam upacara keagamaan.5 Hinduisme berkembang di Pulau Jawa, Kalimantan, Sumatra, dan kemudian di Pulau Bali. Para raja serta bangsawan pada masa itu memang membinanya. Banyak prasasti yang mengungkapkan adanya seni pertunjukan teater di kalangan istana, seperti relief-relief di candi Borobudur dan Prambanan. Contoh pertunjukan teater istana ini, Wayang Orang, hanya untuk menyebut pertunjukan yang berkembang di istana atau keraton.<br /><br />Pertunjukan teater istana muncul bersamaan dengan munculnya sistem kerajaan di Indonesia.6 Pertunjukan teater istana dilakukan guna menambah legitimasi kehadiran raja di atas tahta. Tema-tema yang ditampilkan selalu melambangkan kesuburan yang digambarkan lewat perkawinan atau perang antara dua keluarga, yaitu Pandawa dan Korawa dalam kisah Mahabharata. Pertunjukan akbar yang berlangsung sampai empat hari empat malam itu selalu memperingati peristiwa penting di istana, seperti ulang tahun berdirinya istana, ulang tahun Raja atau Sultan, dan pernikahan putra-putri Raja atau Sultan. Pertunjukan teater istana menduduki tiga fungsi utama, yakni sebagai ritus, sebagai pelengkap kebesaran raja, dan sebagai hiburan yang menekankan pada selera estetika tinggi.7<br /><br />Teater Rakyat. Cerita-cerita lisan tidak hanya digunakan dalam pertunjukan teater istana, tetapi juga di dalam pertunjukan teater rakyat. Teater rakyat yang menjadi salah satu bentuk ungkap kehendak masyarakat memiliki fungsi sebagai berikut.8 Pertama, sebagai alat pendidikan anggota masyarakat pemilik cerita lisan tersebut. Kedua, sebagai alat penebal perasaan solidaritas kolektif. Ketiga, sebagai alat seseorang menegur orang lain yang melakukan kesalahan. Keempat, sebagai alat protes terhadap ketidakadilan. Kelima, sebagai kesempatan seseorang melarikan diri untuk sementara dari kehidupan nyata yang membosankan ke dunia khayalan yang indah.<br /><br />Pertunjukan teater rakyat yang diadakan di pedesaan sering dianggap sebagai teater komunal karena sifatnya yang diperuntukkan kepentingan masyarakat.7 Pemainnya adalah semua anggota masyarakat atau komunitas bersangkutan. Sifat pertunjukan ini improvisasi, tanpa koreografi yang pasti. Bentuk teater komunal dianggap juga sebagai teater primitif.9<br /><br />Pertunjukan teater rakyat banyak terdapat di lingkungan kelompok suku di daerah-daerah di Indonesia. Suatu ciri yang tampak khas dari pertunjukan teater rakyat adalah bentuk dan gaya teater tutur/lisan, seperti dalam pertunjukan Sinkrilik dari Sulawesi, Kentrung dari Jawa Timur, Bakaba dari Minangkabau, dan Cakepung dari Bali/Lombok. Meskipun sebenarnya pertunjukan teaternya tidak menghadirkan peristiwa dramatik, namun seorang pencerita akan menuturkan secara lisan cerita dramatiknya.10 Pertunjukan teater rakyat mengenal adanya pertunjukan dengan cerita tertentu untuk peristiwa upacara tertentu, misalnya upacara kelahiran, inisiasi, ruwatan (permohonan ampun), kurban, perkawinan, dan meninggal dunia (seratus hari, nyadran, nyewu). Juga ada pertunjukan yang diperuntukkan kelompok sosial tertentu, seperti kesenian untuk upacara tanam padi, panen, dan bersih desa.<br /><br />Pertunjukan teater rakyat dan teater Istana seringkali membawa kelangsungan pertunjukan teater primitifnya dan membawa juga pengaruh pertunjukan teater istana,seperti pertunjukan Langendrian yang semula adalah pertunjukan teater rakyat kemudian ditampilkan di kalangan keraton dan kemudian menjadi pertunjukan teater istana.<br /><br /><span style="font-weight: bold">Teater Daerah dan Teater Kota</span><br />Teater Daerah. Teater rakyat muncul dan berkembang di daerah-daerah tertentu dengan mengusung ciri khas daerah tersebut.11 Ciri-ciri khas kedaerahan terletak pada suasana yang berlangsung selama pertunjukan, stilisasi elemen-elemen pendukung pertunjukan, serta sistem pelatihan yang dihasilkan dari sistem berguru atau nyantrik. Pertunjukan teater daerah sering dianggap sebagai teater total, karena terbentuk dari paduan berbagai elemen seni pendukung, misalnya tarian, nyanyian, dan akting, dan diperuntukkan bagi seluruh lapisan masyarakat serta pribadi-pribadi.<br /><br />Biasanya teater daerah dipentaskan di daerah pedesaan. Suasana ketika pertunjukan berlangsung santai, sehingga menumbuhkan suasana betah bagi penontonnya. Suasana semacam itu sampai sekarang masih ditemui dalam pertunjukan ketoprak, wayang kulit, wayang orang, ludruk, dan drama gong yang di selenggarakan di desa-desa di luar gedung pertunjukan.<br /><br />Penonton teater daerah sering melakukan interaktif dengan pertunjukan. Mereka menonton dengan cara duduk melingkar di sekeliling panggung pertunjukan, sehingga kebersamaan mereka dengan pertunjukan menjadi dekat dan kuat. Misalnya, mereka dapat langsung mengomentari adegan yang sedang berlangsung; mereka bersuit-suit ketika pemain favorit mereka muncul; mereka bertepuk tangan ketika terjadi adegan perang, perkelahian, atau ketika ada tembang yang mempesona perasaan mereka, seperti pertunjukan Ketoprak dan Ludruk.<br /><br />Pertunjukan teater daerah direncanakan untuk penonton yang lebih menyeluruh. Sifat totalitas teater daerah ini sering menjadikan teater daerah sebagai "alat" bagi kepentingan tertentu anggota masyarakat. Di dalam pertunjukan teater daerah di Indonesia terdapat titik di mana realitas atau dunia nyata tenggelam dalam pengindahan sehingga menjadi ungkapan tari murni, misalnya di dalam pertunjukan Topeng Babakan (Cirebon), Legong (Bali), dan Bedaya (Jawa).12<br />Teater kota. Teater kota mencerminkan adanya pergeseran masyarakat daerah dengan kesenian dan nilai budayanya yang bersifat kedaerahan pula. Kelahiran kebudayaan kotaâ"dan bersamanya juga kesenian perkotaanâ"terjadi pada saat timbulnya kesadaran bahwa perangkat nilai yang ada tidak lagi dapat menjawab tantangan yang ditimbulkan oleh adanya perubahan lingkungan dan hubungan antarmanusia.<br /><br />Bentuk kesenian kota hadir dari keseimbangan sosial baru di kota-kota besar. Oleh karena kota menjadi wilayah pertemuan antarbudaya, pertunjukan teater kota mencerminkan suatu potensi menyerap kebudayaan Baratâ"atau mancanegaraâ", tetapi sekaligus cenderung menoleh kepada budaya daerah yang masih memiliki potensi saling keterhubungan yang mengindonesia. Kebudayaan masyarakat kota hadir melalui bentuk pertunjukan teater yang baru.<br /><br />Ciri-ciri teater kota semacam ini sebagai berikut.13 Pertama, pertunjukan teater ini dianggap sebagai teater kota yang "tradisional". Teater ini mengacu kepada bentuk kesenian serta nilai-nilai budaya yang dikenal sebelumnya Pada waktu Wayang Orang mulai diapresiasi oleh penonton, Wayang Orang komersial itu pun menjadi satu pertunjukan teater kota yang kedaerahan. Contoh lainnya adalah pertunjukan Ketoprak Humor, Ketoprak Plesetan, dan Ketoprak Ringkes. Kedua, pertunjukan teater dikembangkan melalui nilai budaya daerah yang lebih urban sifatnya. Teater kota ini lebih berorientasi kepada lingkungan kota besar yang berorientasi kepada nilai-nilai budaya komersial. Misalnya Teater Srimulat, Teater Gandrik, dan Teater koma. Ketiga, pertunjukan teater kini bergaya Mini Kata Rendra. Pertunjukan teater kota kontemporer atau teater kini. Gaya pertunjukan teater ini berkembang dari satu orientasi tentang kebudayaan baru sebagai konsekuensi kemerdekaan Indonesia.<br /><br />Khusus untuk karakteristik ketiga, Kayam menyebutkan bahwa bentuk pertunjukan bergaya Mini Kata harus mampu menciptakan satu idiom teater yang sama sekali baru dan berbicara di depan penonton yang baru. Artinya, idiom teater yang Indonesia di hadapan penonton yang Indonesia, namun memiliki bingkai berbeda, yaitu konteks orientasi terhadap pilihan bentuk sebagai pertunjukan teater Indonesia baru.14<br /><br /><span style="font-weight: bold">Teater Tradisi dan Teater Modern</span><br />Dengan demikian, teater Indonesia berada dalam ketegangan antara identitas teater istana dan teater rakyat, serta teater daerah dan teater kota. Perkembangan watak masyarakat di kalangan istana dan rakyat serta perkembangan wilayah desa/daerah menjadi kota sekaligus menunjukkan perkembangan dan perubahan sifat pertunjukan teater yang tradisi menjadi pertunjukan teater bersifat modern bahkan kontemporer.<br /><br />Modernisasi teater Indonesia sesungguhnya mencerminkan tiga jalur perkembangan. Jalur pertama adalah jalur pembaratan yang menggeser masyarakat Indonesia yang berwajah petani menjadi wajah keterpelajaran. Jalur kedua yaitu jalur nasionalisme di masa prakemerdekaan yang telah berjalan lebih dari setengah abad.15 Jalur ketiga, pada saat berakhirnya satu tatanan politik negara yang berakhir dengan sebuah peristiwa benturan besar yang dikenal sebagai gerakan G30S PKI.16 Walaupun agak jauh jarak waktu antara ketiga jalur itu, ketiganya sekarang bertemu dan bergulat ikut mengisi pengertian baru kata "Indonesia".<br /><br />Bahkan saat ini teater Indonesia mengalami perkembangan dengan hadirnya peristiwa kebangsaan yang dikenal dengan era reformasi. Babakan baru atau jalur keempat ini menjadi penting karena makna keIndonesiaan mulai dipertanyakan dan dihadapkan dengan multikulturalisme kedaerahan yang cenderung mengedepankan ketegangan antara Indonesia dan daerah dalam wacana pluralisme, individualisme, dan, demokratisasi.<br /><br />Kata "Indonesia" tidak lagi berarti bukan lagi kota ataupun daerah, tetapi sebuah bentuk dan gaya baru yang unik dalam maknanya sendiri terhadap kepekaan yang disebut kepekaan Indonesia.17 Pada saat seniman berkomunikasi dengan "orang Indonesia", ia diharapkan mampu menyelesaikan masalah bahwa orang Indonesia kebanyakan bikultural, yaitu berbicara dalam kerangka budaya Indonesia dan daerah. Indonesia adalahâ" meminjam istilah Bennedict Andersonâ"komunitas-komunitas terbayang yang di dalamnya membayang suatu pergumulan, tarik menarik, dan ketegangan secara interteks nilai-nilai kedaerahan dan nilai keIndonesiaan.1$<br />Antara kedua nilai tersebut memiliki proses perjalanan sinkronis yang baru di mana bentuk teater Indonesia yang berada pada posisi yang memungkinkan hadir sebagai pihak yang hidup secara sejajar dengan teater¬teater daerah yang hadir lebih lamaâ"kalaupun pernah saling jumpa, toh nyatanya mereka tak berjalan sepanjang arah yang sama. Artinya, di masa prakemerdekaan, makna kedaerahan seolah tersingkir untuk menemukan makna Indonesia. Pascakemerdekaan makna kedaerahan seolah mendapat tempat untuk berkembang. Namun di tahun 1960-an kembali makna kedaerahan tergusur dengan universalitas yang melanda dunia saat itu. Saat ini, masalah identitas pertunjukan teater Indonesia yang pernah "mentradisi" seolah dipertanyakan kembali fungsinya.<br /><br />Keberadaan multikultralisme dalam teater Indonesia menyebabkan bentuk-bentuk pertunjukan teater istana, teater rakyat, teater daerah, dan teater kota melekat di dalamnya. Sifat dan ideologis dalam bentukan pertunjukan, status sosial penggarap pertunjukan teater, dan perubahan wilayah geografis penimat pertunjukan teater menjadi elemen-elemen pendukung terciptanya suatu bentuk pertunjukan teater Indonesia.<br /><br />Dengan demikian, mungkinkah nilai tradisi lisan yang tumbuh di kalangan warga daerah/desa tetap mampu menyampaikan pesan kulturalnya kepada warga kota yang Indonesia? Bagaimana cara mengkomunikasikan nilai¬nilai tradisi lisan kepada penikmat/penonton yang sedang berubah? Apakah watak pertunjukan teater modern Indonesia yang multikultur dan bilingual mampu menjadi wahana komunikasi nilai-nilai tradisi lisan?<br /><br /><span style="font-weight: bold">Identitas Masyarakat Indonesia dan Teater Indonesia</span><br />Masyarakat Indonesia saat ini merupakan masyarakat yang "digempur" oleh nilai-nilai kapitalisme. Kondisi ini dapat diamati pada kehidupan manusia di kota-kota besar, seperti Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, dan sebagainya. Keadaan ini belum akan terbayangkan pada orang-orang yang hidup di pedesaan, yang secara relatif masih kurang dirasuki oleh sistem kapitalisme. Sistem Kapitalisme memiliki nilai-nilai di antaranya, konsumerisme, individualisme, dan pragmatisme.<br /><br />Konsumerisme merupakan sesuatu yang wajar dalam sistem kapitalisme karena dengan konsumerisme lah sistem ini bergerak dan hidup. Konsumerisme berarti memperluas pasar. Orang menjadi membeli barang¬barang yang diproduksikan. Karena itu, para produsen berusaha mendorong konsumerisme. Dengan demikian, konsumerisme dan kapitalisme merupakan dua sisi dari satu mata uang yang sama. Etos kerja manusia modern Indonesia pun harus dihubungkan dengan sistem kapitalisme. Pragmatisme menggejala di mana-mana. Di bawah sistem kapitalisme, orang harus berkompetisi. Kalau dia kalah dalam kompetisi, maka dia akan tersingkir dan menjadi miskin.19<br /><br />Di manakah letak seni tradisi dalam masyarakat kota yang modernis? Mungkinkah nilai tradisi lisan yang pernah menjadi landasan hidup komunal diubah dan digeser menjadi seni modernis?<br />Rendra menyatakan bahwa manusia pada dasarnya selalu membutuhkan nilai-nilai tradisi dalam rangka memperbaiki hidup bermasyarakatnya. Nilai tradisi menjadi ungkapan kesadaran kolektif sebuah masyarakat. Ia membantu memperlancar tumbuh kembangnya pribadi anggota masyarakat.20 Besarnya sumbangan nilai tradisi terhadap perkembangan nilai bermasyarakat karena nilai tradisi masih menjalankan adat kebiasaan di kalangan masyarakat pemiliknya secara turun temurun.<br /><br />Perubahan zaman mengubah pula pertunjukan teater daerah menjadi teater modern. Selera masyarakat pendukungnya berubah, sehingga identitas seni daerah pun berubah. Pertunjukan teater daerah semakin terpisah dimensinya dari kecenderungan untuk menjadi teater daerah yang bersifat tradisi, untuk kemudian berubah menjadi pertunjukan teater yang lebih bersifat modern. Elemen-elemen pertunjukan daerah difungsikan untuk kegunaan yang lebih luas. Tidak sekedar kepentingan komunal tetapi juga masyarakat luas. Istilah tradisi dan modern digunakan untuk menampilkan sifat teater daerah yang terus menerus mengalami perkembangan. Tradisi menjadi sifat dari suatu kondisi yang menetap dan selalu ada secara turun temurun, sedangkan modern menjadi sifat dari suatu keadaan yang selalu berubah dan berkembang dengan mengikuti perubahan zaman.<br /><br />Pertunjukan teater yang memiliki sifat atau watak tradisi menuntut totalitas ekspresinya. Sifat perlawanan yang khas teater tradisi harus tetap ditampilkan. Oleh karena teater tradisi memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan zaman, yang berarti menunjukkan kedekatan sifatnya dengan lingkungan, maka seniman teater tradisi dituntut untuk terus¬menerus berdialog, baik dengan persoalan teknis maupun wacana di luar tradisi mereka.<br /><br />Teater tradisi dengan sifat-sifatnya yang komunal dialogis, di satu sisi, terkadang mudah dipengaruhi oleh semacam sistem kekuasaan yang memiliki sifat-sifat yang berbeda. Hirarki birokrasi yang menjadi sifat kekuasaan, misalnya, merasuki sifat-sifat komunal tradisi kerakyatan. Akibatnya, kesenian tradisi mudah dimanfaatkan oleh penguasa untuka menyamp[aikan pesan=pesan ideologis mereka kepada rakyat. Pemanfaatan tersebut menyebabkan ekspresi rakyat yang biasanya tersalurkan melalui media teater tersumbat.21 Keinginan masyarakat terkadang tidak selaras dengan apa yang diinginkan dalam sistem pemerintahan, sehingga kesenian pun akhirnya menjadi cerminan bagi konflik yang terjadi antara penguasa dan rakyatnya.<br /><br />Di sisi lain, kekuasaan mampu menjadikan teater tradisi menjadi media yang efektif bagi rakyat dan seniman untuk melakukan kritik terhadap pemerintah. Pertunjukan teater tradisi dianggap sebagai media bagi budaya perlawanan atau budaya tanding dari rakyat kepada pemerintah.<br /><br />Tepatlah seperti yang disampaikan Rendra bahwa tradisi tidak harus dipandang bukan sebagai barang mati. Sikap seniman bukanlah sikap "benalu" pada tradisi. Dengan kata lain, Rendra menolak sikap yang memperlakukan tradisi sebagai 'kasur tua untuk tidur-tidur saja, bermalas¬malas menempuh gaya hidup cendawan'.22<br /><br />Dengan mendudukkan teater tradisi sebagai teater yang sedang berproses, maka teater tradisi memiliki ruang pembebasan yang ada dan terjadi dalam dirinya sendiri, yaitu pembebasan melalui nilai-nilai kedaerahannya.23 Proses pembebasan tersebut dianggap Umar kayam sebagai 'pembebasan budaya-budaya daerah' dan Rendra menyebutnya dengan 'mempertimbangkan tradisi', sedangkan Emha Ainun Najib menyebutnya dengan 'budaya tanding'. Proses ini akan menunjukkan sifat tradisi yang cair, plastis, dan dinamis.<br /><br /><br />PERTUNJUKAN TEATER INDONESIA<br />TEATER DAERAH TEATER KOTA<br />BERSIFAT TRADISI BERSIFAT MODERN<br /> TEATERISTANA TEATER RAKYAT TEATER<br />TEATER<br />KONTEMPORER/BARU<br />.. <br />Teater Teater Teater Teater Teater Teater Teater Teater Teater<br />Primitif Klasik Tutur Topeng Tari verbal Kata Tubuh/ Seni<br /> bersifat bersifat Mini Rupa<br /> tradisi tradisi Kata<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold">Pertunjukan Teater Indonesia Kini</span><br />Pertunjukan Teater Indonesia Sebagai Pembacaan Budaya Sumber (Tradisi Lisan) bagi Budaya Target (Apresiasi Penonton)<br /><br />Menempatkan peran aktif pembaca sebagai pembaca karya seni berarti menghadirkan suatu proses interpretasi. Seperti yang disampaikan oleh Janet Wolf bahwa proses interpretasi adalah sebuah proses mencipta kembali, yang berarti juga refungsi makna karya tersebut. E. D. Hirsch Jr. menganggap bahwa beralihnya pusat pemaknaan ke tangan setiap pembaca menyebabkan makna karya seni menjadi berbeda-beda. Tak ada lagi determinasi dan kekuasaan pengarang, yang ada hanyalah proses interpretasi terus menerus dari pembaca terhadap apa-apa yang disampaikan pengarang.<br /><br />Dalam ilmu sastra, pandangan yang memberi tempat yang penting kepada peran pembaca tersebut telah melahirkan teori yang dikenal dengan teori resepsi. Teori ini berangkat dari peran pembaca dalam proses pembacaan.24 Pada waktu menghadapi suatu teks, pembaca sudah mempunyai bekal yang berkaitan dengan karya yang dibacanya. Bekal pengetahuan inilah yang selanjutnya menyediakan kepada si pembaca satu cakrawala harapan. Kedalaman bekal pembaca diangkat dari "gudang" pengetahuan dan pengalamannya yang diistilahkan sebagai literary repertoire,25 yaitu "gudang" pembaca yang berisikan seperangkat norma-norma sosial, historis, dan budaya yang dimanfaatkan dalam proses pembacaan pembaca.<br /><br />Gudang pengetahuan pembaca senantiasa bertambah dan berubah, sehingga hasil penerimaan dan sambutan berbeda pula. Keadaan ini memperlihatkan gejala bahwa dalam proses membaca terjadi interaksi dialog antara pembaca dengan teks yang dibacanya. Kondisi tersebut selanjutnya menghadirkan varian-varian teksnya.<br /><br />Kehadiran varian-varian teks tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya sebuah teks jika belum dibaca, ia masih berada dalam tatanan artefak. Karya cipta baru menjadi karya seni, yaitu menjadi objek estetik dan berfungsi estetik, setelah dibaca.26 Teori yang merupakan manifestasi dari pandanganâ" yang sering disebut resepsi estetikaâ"itu dalam menghadapi karya seni, memandang pembaca melakukan tindakan yang dalam ilmu sastra disebut konkretisasi. Hirsch menyebutnya sebagai tindakan interpretasi.<br /><br />Interpretasi pembaca terhadap pertunjukan tradisi lisan yang sesuai adalah pembaca yang membaca selaku peneliti. Peneliti dalam tradisi lisan merupakan pembaca model (model reader)27, karena di dalam proses pembacaannya teks tidak akan pernah menjadi target, tetapi teks adalah prafigur yang cara menanggapinya tergantung pada peranannya sebagai pembaca. Maka dari itu, proses membaca model menjadi cara berinteraksi antara teks dengan tanggapan pembaca secara dinamis.28 Peran pembaca model tersebut mendudukkan teks menjadi suatu karya artisik dan teks sebagai karya estetik. Karya artistik mengacu pada karya-karya yang dicipta seniman melalui materi-materi pilihannya dan teknik ungkapnya, sedangkan karya fiksi menjadi estetik jika telah direalisasi dan ditanggapi pembaca. Sebuah karya artistik menjadi karya estetis berkat resepsi estetis pembaca atau penonton.<br /><br />Namun demikian, pembaca tradisi lisan tidaklah dapat semaunya memilih perspektif. Ia tidak sepenuhnya mampu mendekati teks secara utuh. Pembaca hanya mampu mendekati dimensi semu (virtual dimension) yang dimiliki teks. Dimensi semu ini bukanlah teks sebenarnya, bukan juga imajinasi pembaca, tetapi kehadiran bersama teks dan imajinasi pembaca. Dimensi semu karya seni membantu pembaca untuk mengaktifkan potensi bacaannya (imajinasinya) yang mampu mencipta kembali kebaruan dunia teks. Hasilnya adalah bentuknya baru, tetapi teksnya tetap lama. Teks hadir dengan seluruh realitas kebaruannya, yaitu ada intensi pengarang, karya, dan interpretasi pembacanya.29<br /><br />Kegiatan membaca tradisi lisan adalah membangun kembali dimensi semu dari teks secara aktual. Dimensi semu di dalam teks mengungkapkan adanya ruang-ruang kosong yang menunjuk pada kemungkinan indeterminasi,30 yaitu ruang yang memberi kesempatan bagi imajinasi pembaca berpartisipasi untuk mengkonstruksi apa yang dibacanya.31 Hasilnya adalah pembacaan yang berulang. Pengulangan pembacaan tidak hanya menghadirkan serangkaian perbedaan pengalaman membaca, tetapi juga pengembaraan pembacaan secara inovatif.32<br /><br />Pertunjukan tradisi lisan berarti menuliskan rangkaian konkretisasi dari transformasi elemen-elemen pertunjukan teatrikal tradisi lisan kepada penontonnya.33 Keadaan tersebut dapat dilakukan dengan cara. Pertama, pembentukan mise en scene, 'konkretisasi pemanggungan' tradisi lisan. Kedua, rekonstruksi dan refungsi langkah-langkah penciptaan artistik secara metodis, sistematis, dan teknis.34 Patrice Pavis menyebutkan dua faktor yang harus diperhatikan dalam membentuk mise en scene, yaitu, kekuatan budaya sumber dan budaya target.35 Dalam gambar di bawah ditunjukkan Pavis bagaimana pertemuan antara budaya sumber (produser, si pengirim) ke budaya target (si penerima, penonton) melalui mise en scene.<br /><br /><span style="font-weight: bold">Pertemuan Budaya 3umber dan Budaya target</span><br />source culture = budaya sumber; target culture = budaya target;<br />original situation of enunciation = situasi pengirim; intended situation of enunciation = situasi penerima.<br /><br />Wilayah (T) merupakan mise en scene atau wilayah pertemuan teatrikal antara wilayah ucapan situasi pengirim yang sebenarnya dan wilayah ucapan situasi yang diharapkan penerima. Antara keinginan pengirim yang sebenarnya dengan harapan yang diterima penerima tidak berlangsung secara utuh. Pertunjukan tradisi lisan sebagai wilayah konkretisasi mise en scene tetap menyisakan wilayah semu atau abu-abu.<br /><br />Tahapan pertemuan budaya sumber dan budaya target (T) dalam mise en scene pertunjukan berlangsung sebagai berikut.36<br /><br /><span style="font-weight: bold">Tahapan proses pertemuan Budaya Sumber dan Budaya Target</span><br />Tahap pertama, (To) yaitu identifikasi gagasan tradisi lisan. Tahapan ini berada dalam wilayah budaya sumber yang dikenal seniman. Gagasan masih abstrak dan berada di angan dan pikiran seniman, sehingga gagasan ini belum memiliki bentuk yang jelas. Tahapan ini dapat digunakan sebagai cara menemukenali kembali cerita lisan yang pernah hidup dan berkembang di masyarakat. Tahapan ini menjadi sumber garapan pertunjukan, dan juga menjadi sumber budaya yang menjadi pesan kepada penerimanya.<br /><br />Tahap kedua, (T1) yaitu observasi artistik tradisi lisan. Tahapan ini merupakan textual concretitation (konkretisasi tekstual), yaitu usaha seniman mengkonkretkan gagasan melalui bentuk artistik. Cara yang dilakukan adalah mencari spirit tradisi yang pernah dikenali. Misalnya, kisah Palguna-Palgunadi, kisah Roro Jonggrang, kisah Srikandi belajar Memanah, atau kisah Djoko Tingkir bisa menjadi sumber pesan yang akan disampaikan seniman.<br /><br />Tahap ketiga, (T2) perspektif seniman. Tahapan ini merupakan tahapan dramaturgical concretization (konkretisasi dramaturgis), yaitu usaha penyesuaian antara eksplorasi seniman dengan perspektifnya. Konteks¬konteks mulai diperhitungkan seniman. Budaya target penerima mulai ditanggapi oleh pengirim, karena dramaturgi menampilkan keterkaitan antara seniman dan penonton. Selera penonton mulai diamati dengan cermat. Kecenderungan artistik yang disukai menjadi bahan olahan mereka.<br /><br />Tahap keempat (T3), stage concretitation (konkretisasi pemanggungan), transfer gagasan melalui konkretisasi pemanggungan. Tahapan ini merupakan usaha mendekatkan perspektif seniman dengan penerimanya melalui elemen¬elemen media pemanggungannya.<br /><br />e. Tahap kelima (T4), receptive concretitation (konkretisasi resepsi) penonton. Tahapan ini merupakan konkretisasi penerimaan, yaitu ujicoba mendekatkan ungkapan gerak spontan dengan penerimanya melalui pertunjukan. Budaya target yang dimiliki penonton mulai diperhitungkan seniman. Selera modern bertemu dengan artistik seni tradisi. Proses penyampaian tentu saja menuntut kreativitas artistik yang saling tarik ulur dengan penonton.<br /><br />Pertunjukan teatrikal tradisi lisan ditampilkan di hadapan penonton Indonesia yang memiliki beragam interpretasi. Tahapan Pavis tersebut dapat digunakan untuk membaca bagaimana seorang seniman membangun kreativitas artistiknya dan bagaimana menyampaikannya pada penonton<br /><br />1Pendapat Jan Vansina ini dikutip Kuntowijoyo dalam bukunya Metodologi Sejarah (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 2003), 25.<br />2Amin Sweeney, A Full Hearing. Orality and Literacy in the Malay world (London: University of California Press, Ltd., 1987), 3.<br />3James Dananjaya, "Fungsi Teater Rakyat Bagi Kehidupan Masyarakat Indonesia. (Ketoprak/Dagelan Siswo Budoyo Sebagai Suatu Kasus Studi)", dalam Edi Sedyawati. Sapardi Djoko Damono, ed. Seni Dalam Masyarakat Indonesia. Bunga Rampai (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1983), 80.<br />4Oscar G. Brockett, The Essential Theatre. Fourth Edition (Orlando, Florida: Holt, Rinehart and Winston, Inc., 1988),19.<br />5I. Made Bandem, & Sal Murgiyanto. Teater Daerah Indonesia (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1996), 22.<br />6Soedarsono, Seni pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002), 145.<br />7Soedarsono, 2002, 140 - 141.<br />8Dananjaya, 1983, 81.<br />7Bandem & Sal Murgiyanto, Teater daerah, 1996, 20.<br />9Jacob Sumardjo, Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1992), 16.<br />10 Sumardjo, 1992, 39.<br />11Bandem & Sal Murgiyanto, Teater Daerah, 1996, 14.<br />12 Bandem & Sal Murgiyanto, 1996, 15.<br />13Umar Kayam, Seni, Tradisi, Masyarakat, (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1981), 93.<br />14 Kayam, 1981, 94.<br />15Umar Kayam, "Pembebasan Budaya-Budaya Kita", dalam Agus R. Sarjono, ed. Pembebasan Budaya-Budaya Kita. Sejumlah Gagasan Di Tengah Taman Ismail Marzuki, (Jakarta: PT Gramedia Utama, 1999), 72.<br />16Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), 170.<br />17Saini Kosim, "Teater Indonesia, Sebuah Perjalanan Dalam MultiKulturalisme", dalam Keragaman dan Silang Budaya. Dialog Art Summit, Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia Thn IX-1998/1999 (Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 1999), 194.<br />18Benedict Anderson, Imagined Communities. Komunitas-Komunitas Terbayang (Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Insist, 2001), 286. Di dalam buku ini Anderson menjelaskan bagaimana hubungan emosional, politik, ekonomi, dan sosial antara negara Eropa dan negara koloninya, Amerika. Bahwa meskipun Amerika sebagai negara merdeka, ternyata tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh kekuasaan negara induknya, Eropa. Sekuat apa pun Amerika berusaha melepaskan diri dari bayang-bayang Eropa, namun Amerika tetap merupakan suatu âkomunitas bayanganâ Eropa.<br />19Arief Budiman, "Konsumerisme dan Etos Kerja dalam masyarakat Modern", dalam Johanes Mardimin, ed. Jangan Tangisi Tradisi. Transformasi Budaya Menuju Masyarakat Indonesia Modern (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1994), 98.<br />20Rendra, Mempertimbangkan Tradisi (Jakarta: PT Gramedia, 1984), 3.<br />21Emha Ainun Nadjib, Terus Mencoba Budaya Tanding (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), 252.<br />22Rendra, Mempertimbangkan Tradisi, 1984, 6.<br />23Kayam, "Pembebasan Budaya, dalam Sarjono, ed., Pembebasan Budaya¬Budaya Kita, 1999, 70.<br />24Teori resepsi dikemukakan pertama kali oleh Hans Robert Jauss. Jauss berhasil mensistematiskan pandangan ini menjadi suatu landasan teoretis terhadap berbagai varian interpretasi. Siti Chamamah Soeratno mengamati teori resepsi yang dapat digunakan sebagai metodologi. "Pengkajian Sastra Dari Sisi Pembaca: Satu Pembicaraan Metodologi", dalam Jabrohim, ed., Metodologi Penelitian Sastra (Yogyakarta: Hamnindita Graha Widya, 2003), 137.<br />25Periksa pula pengamatan Wolfgang Iser dalam bukunya The Art of Reading. A Theory of Aesthetic Response (Baltimore and London: The Johns Hopkins University Press, 1980), 80 - 81. Iser menunjukkan elemen-elemen literary repertoire yang mendukung terbentuknya pedoman-pedoman dialog antara teks dan pembacanya.<br />26Siti Chamamah S., dalam Jabrochim, ed., Pengkajian Sastra, 2003, 138. Periksa pula Wolfgang Iser, The Implied Reader. Patterns of Communication in Prose Fiction from Bunyan to Beckett (Baltimore and London: The Johns Hopkins University Press, 1974), 274 - 275. Dalam bukunya Iser menjelaskan perubahan karya artistik menjadi karya estetik setelah mendapat tanggapan dari pembacanya.<br />27Marco de Marinis, The Semiotics of Performance. Terj. Aine O'Heady, (Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press, 1993), 164.<br />28Iser, The Art of, 1980, 107. Periksa pula Iser, The Implied Reader, 1974, 274 -<br />275.<br />29Vansina, Oral Tradition, 1985, 35.<br />30Istilah ini dipakai oleh Iser, 1980, 182 - 183.<br />31Marinis, 1993, 163 - 164.<br />32 Marinis, 1993, 164.<br />33Patrice Pavis, Theatre at the Crossroads of Culture (New York: Routledge, London, 1992), 136.<br />34Pavis, 1992, 24 - 25.<br />35 Pavis, 1992, 136.<br />36 Pavis, 1992, 185-207.<br /><br /><span style="font-weight: bold">Data personal</span><br />Nama : Dra. Hj. Yudiaryani, M.A<br />Pendidikan : - S1 (Dra) Sarjana Sastra Perancis UGM<br />- S2 (MA) Theatre and Film Studies,<br />University of New South Wales (UNSW)<br />Sydney, Australia.<br />- Kandidat Doktor Ilmu Budaya Universitas Gadjah<br />Mada<br />Pekerjaan (3 Tahun Terakhir)<br />Staf Pengajar Jurusan Teater Fakultas Seni Pertunjukan ISI Yogyakarta<br />Staf Pengajar Pascasarjana ISI Yogyakarta<br />Pengelola Jurnal Seni Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Jurnal Ekspresi ISI Yogyakarta, dan Jurnal Seni dan Pendidikan Imaji, Fakultas Bahasa dan Seni UNY.<br />Nara sumber dan instruktur dalam seminar dan workshop Penyutradaraan:<br />2006 Instruktur dan Pemateri pada pelatihan Penyusunan Naskah Teater dan Penyutradaraan se-Kalimantan Barat yang diselenggarakan oleh Unit Taman Budaya Propinsi Kalimantan Barat tgl 19 Juni-22 Juni di Pontianak.<br />2006 Pemateri Metode Pembelajaran Teateral yang disampaikan dalam rangka "Seminar Sehari Guru Teateral", kerjasama Dirjen Pengembangan Mutu dan Kualitas dan Pendidik, Departemen Pendidikan Nasional dengan Federasi Teater Indonesia, Jumat 12 Mei 2006, DEPDIKNAS, Jakarta.<br />2006 Instruktur dan pemateri workshop Komunitas Teater Kampus se Jabodetabek bekerjasama dengan Federasi Teater Indonesia (FTI) tanggal 21-22 April 2006 di Taman Situ Gintung Ciputat Jakarta Selatan.<br />2005 Instruktur dan Pemateri pada acara "Pelatihan Penyusunan Naskah Teater dan Penyutradaraan". Dinas Kebudayaan dan Pariwisata PEMPROV Kalimantan Barat. Pontianak.Tanggal 23-26 Juni<br />2005 Koordinator pembuatan Modul Tugas Akhir Mahasiswa Jurusan Teater ISI Yogyakarta, Maret-April 2005.<br />2005 Instruktur untuk acara "Revisi Kurikulum Berbasis Kompetensi" Jurusan Teater di STSI Padang Panjang, 24-28 Maret 2005.<br />2005 Ketua Pelaksana Lokakarya Perempuan Penulis Naskah Drama kerjasama DKJ-ISI Yogyakarta-LP3Y tanggal 13-15 Januari 2005 untuk wilayah Yogyakarta-Jawa Tengah-Jawa Timur.<br />2004 Internasional Residency in Art Management, Ford Foundation dan Asia Link selama 3 bulan (Januari - April 2004) di Adelaide dan Melbourne Australia untuk mengamati manajemen komunitas teater perempuan di Australia.<br /><br />Sebagai Peneliti:<br />2005-2007 Penelitian Pemanfaatan Modul Pembelajaran Penulisan Naskah Drama Bagi Perempuan Penulis Naskah Drama Berperspektif Jender, Penelitian Hibah Bersaing Perguruan Tinggi, Dirjen DIKTI.<br />2003-2004. Penelitian Teater Modern Indonesia di Yogyakarta Tahun 1990-an hingga tahun 2000-an: Kajian Tekstual Teater Garasi dan Teater Eska, Penelitian Dosen Muda, Dirjen Dikti, (2003/2004).<br />1999-2000 Penelitian Sistem Pembentukan dan Pengembangan Pementasan Teater Modern Yogyakarta: Sebuah Kajian Fungsionalisme Estetika Sosial. (Studi Kasus Pementasan Teater Modern Pada Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) I s/d X(1989-1999), Proyek Peneliti Muda, Dirjen DIKTI, 1999.<br />Sebagai Penulis Artikel<br />2005 Artikel "Memahami Gaya dan Aplikasinya Untuk Penciptaan Teater Masa Kini", dalam Ekspresi Jurnal Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Volume 15, Tahun 5, 2005.<br />2005 Artikel "Dongeng dari Teater Perempuan (Menangkap Peluang dan Berpikir Strategis)", dalam acara Pertemuan Perempuan di Panggung Teater Indonesia pada tanggal 3 Agustus 2005 di TIM yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).<br />2005 Artikel "Teater Antropologi: Teknik Gerak Tubuh bagi Teater Panggung", dalam Jurnal Kebudayaan Selarong , Dewan Kebudayaan Bantul, Volume 4-2005.<br />2004 Artikel, "Metode Perancangan Penyutradaraan", disampaikan pada Workshop Metodologi Penelitian dan Perancangan Tugas Akhir dengan Proyek Peningkatan ISI Yogyakarta Pengembangan Jurusan dan UPT Perpustakaan Tahun Anggaran 2004, 24-25 Mei 2004, Hotel Ros Inn, Yogyakarta.<br />2003. Artikel "Teori Mise En Scene Interkultur. Pengenalan Pada Teori Seni Pertunjukan Teater", dalam buku Kembang Setaman. Persembahan untuk Sang Mahaguru. Ed. A.M. Hermien Kusmayati, Yogyakarta.BP ISI Yogyakarta, 2003.<br />7. Sebagai Juri Festival Teater<br />2005 Juri dalam penyelenggaraan Festival Teater Kampus se Indonesia (FESTAMASIO) di Taman Budaya Societet Yogyakarta.<br />2003. Juri Festival Teater Modern Riau di Pekanbaru<br />2002 Juri festival Teater Modern Riau di Kabupaten Bengkalis Pekanbaru<br />. Sebagai Sutradara Teater<br />2006 Mementaskan Konde Yang Terburai (Edisi Khusus] pada tanggal 31 Maret dan 1 April di Graha Bhakti Budaya TIM Jakarta, tanggal 3 April di gedung Sawunganten Banten, tanggal 27 April di Teater Besar STSI Surakarta.<br />2005 Mementaskan naskah "Mandala Diri" dalam rangka memperingati 16 hari Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan kerjasama Dengan Serikat Perempuan Kinasih, Taman Siswa 10 Desember 2005, Yogyakarta.<br />2005. Mementaskan Teater Musikal "Indahnya Kebersamaan" dalam rangka " kerjasama antara S&Y Production dengan Lembaga Teater Perempuan Yogyakarta dalam rangka 17th Asian Conference on Mental Retardation, 19-23 November 2005, Yogyakarta, Indonesia.<br />2005 Sebagai sutradara Lembaga Teater Perempuan dalam pementasan Konde Yang Terburai dalam rangka "Pertemuan Perempuan di Panggung Teater, Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 2-6 Agustus 2005.<br />2004 Sebagai sutradara Lembaga Teater Perempuan dalam pementasan Perempuan Mencari Pengarang tanggal 14 & 15 Juli 2004 dalam rangka FKY XVI di Gedung Socitet Taman Budaya Yogyakarta.<br />2003 Sebagai sutradara (Stage Director] dalam pementasan opera Panji Raja Bali Chandrakirana ISI Yogyakarta. Komposer Prof Vincent Dermott, dalam rangka FKY XV 2003, tgl 19&20 Juni di Yogyakarta.<br />2003 Sebagai sutradara Komunitas Teater Perempuan ISI Yogyakarta dalam pementasan Vagina Monolog bekerjasama dengan Koalisi Perempuan Indonesia, di Yogyakarta, Maret 2003.<br /><br /><span style="font-weight: bold">Sumber :</span><br />Makalah ini disampaikan dalam rangka kegiatan Workshop dan Festival Tradisi Lisan dengan tema "<span style="font-weight: bold">Seni Tradisi Lisan Sebagai Wahana Komunikasi Yang Sangat Efektif di Tengah Masyarakat yang Sedang Berubah</span>", yang diselenggarakan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, tanggal 6 - 7 September 2006, di Yogyakarta.<br /></div><div class="blogger-post-footer"><img width='1' height='1' src='https://blogger.Car.com/indah/2624359141219824923-6637340985706016444?l=rumah-stil.blogspot.com' alt='' /></div> Tinggalkan komentar anda tentang <a href="http://rumah-stil.blogspot.com/">Pemanfaatan Tradisi Lisan Di Dalam Pertunjukan Teater Indonesia</a><br> infohttp://www.blogger.com/profile/14229387099866067801noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-452429034841350010.post-66372790494637054232010-03-30T21:52:00.001-07:002010-03-30T21:52:04.866-07:00Balap Kerbau Pantai Cipatujah Tasikmalaya<br>Informasi terbaru Balap Kerbau Pantai Cipatujah Tasikmalaya <a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhw2mpWv2EO1gR_v8mE5uYrlPFSwuxQSBzu_hypeYJnCIPBVRSGS2a93pyzSAc495lOlMgCovTsbf1j1MMc2uhCnaLUjPIexfKW2i1vt-aPp4dxDmkDctYyD-1wOrlJTuTwExFvT96JsEE/s1600/kerbau.JPG"><img style="margin: 0px auto 10px;text-align: center;cursor: pointer;width: 198px;height: 127px" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhw2mpWv2EO1gR_v8mE5uYrlPFSwuxQSBzu_hypeYJnCIPBVRSGS2a93pyzSAc495lOlMgCovTsbf1j1MMc2uhCnaLUjPIexfKW2i1vt-aPp4dxDmkDctYyD-1wOrlJTuTwExFvT96JsEE/s400/kerbau.JPG" alt="" border="0" /></a><br /><div style="text-align: justify">Balap kerbau merupakan budaya tradisional yang berkembang sejalan dengan potensi daerah Cipatujah sebagai daerah peternakan kerbau. Balap kerbau sebenarnya acara para peternak kerbau dalam mengisi kebutuhan rekreasi mereka disaat-saat senggang, diiringi kesenian rakyat seperti kendang penca, buncis dan dogdog.<br /><br />Balap kerbau berkaitan dengan agrowisata kerbau seluas 40 hektar yang masih di dalam area Pantai Cipatujah, didalamnya kita bisa melihat dan mempelajari bagaimana cara-cara para peternak beternak kerbau dengan pendekatan secara tradisional. Para wisatawan yang berkunjung ke daerah ini juga bisa menikmati acara kumpul kebo, yaitu berkumpul bersama kerbau dan para peternak kerbau.<br /><br />Atraksi lain yang bisa dilakukan di Pantai Cipatujah ini adalah menaiki kerbau yang dimiliki oleh para peternak, dan mencoba bertanding menjadi pembalap kerbau antar sesama wisatawan yang datang ke daerah ini. Atraksi ini sangat diminati oleh wisatawan yang datang, terutama dari wisatawan mancanegara. Atraksi ini merupakan atraksi langka di negara asal wisatawan, karena mungkin disana tidak ada kerbau yang bisa digunakan untuk balapan seperti di Pantai Cipatujah ini.<br /><br /><span style="font-weight: bold">Sumber :<a href="http://rumah-stil.blogspot.com/"> </a></span><a href="http://rumah-stil.blogspot.com/">http://khastasikmalaya.blogspot.com</a><br /><span style="font-weight: bold">Foto : </span><a href="http://rumah-stil.blogspot.com/">http://www.kabarindonesia.com</a><br /></div><div class="blogger-post-footer"><img width='1' height='1' src='https://blogger.Car.com/indah/2624359141219824923-1836549116204723542?l=rumah-stil.blogspot.com' alt='' /></div> Tinggalkan komentar anda tentang <a href="http://rumah-stil.blogspot.com/">Balap Kerbau Pantai Cipatujah Tasikmalaya</a><br> infohttp://www.blogger.com/profile/14229387099866067801noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-452429034841350010.post-65957570528991014152010-03-28T09:12:00.001-07:002010-03-28T09:12:22.231-07:00Tuanku Hasyim Bangta Muda Pahlawa Asal Aceh<br>Informasi terbaru Tuanku Hasyim Bangta Muda Pahlawa Asal Aceh <div style="text-align: justify"><span style="font-weight: bold">Pendahuluan</span><br />Tuanku Hasyim Bangta Muda yang diperkirakan lahir antara tahun 1834 dan tahun 1840 merupakan keturunan kaum keluarga sultan Aceh. Dia adalah putra dari Tuanku Abdul Kadir bin Tuanku Cut Zainal Abidin bin Sultan Alaiddin Mahmudsyah, Sultan Aceh yang memerintah antara tahun 1781 hingga tahun I 795.Semenjak kecil beliau diasuh oleh Sultan Alaiddin Ibrahim Mansursyah, berkat usahanya Tuanku Hasyim Bangta Muda menjadi seorang pemuda yang gagah berani, cerdas dan bijaksana. Dari pernikahannya dengan Cut Nyak Puan, ia memperoleh dua orang anak yaitu Tuanku Musa yang bergelar Tuanku Raja Keumala dan Tengku Ratna Keumala. Dengan asuhan yang cukup bijaksana akhirnya Tuanku Raja Keumala menjadi tokoh besar yang turut mengusir penjajah Belanda di Aceh sedangkan Tengku Ratna Keumala menikah dengan Seri Muda Perkasa Teuku Panglima Polem Muhammad Daud.<br /><br /><span style="font-weight: bold">Awal Perjuangan Tuanku Hasyim Bangta Muda</span><br />Perjuangan pertama yang diemban oleh Tuanku Hasyim Bangta Muda adalah ketika Sultan Ibrahim Mansursyah, menugaskannya ke Sumatra Timur karena Belanda mulai mengganggu ketentraman wilayah kerajaan Aceh. Tugas yang diberikan oleh sultan tersebut mengandung ketentuan bahwa ia menjadi wakil Sultan Aceh untuk Sumatra Timur dengan wilayah wewenang Tamiang, Langkat, Deli dan Serdang seterusnya Asahan bahkan seluruh Sumatra Timur.<br />Tuanku Hasyim Bangta Muda ternyata sangat terampil dalam pemerintahan, politik dan kemiliteran. Dalam waktu yang tidak begitu lama Tuanku Hasyim Bangta Muda dapat menundukkan para penguasa di daerah yang kurang setia terhadap pemerintahan kesultanan Aceh. Hubungan baik Tuanku Hasyim Bangta Muda dengan Pangeran Musa di Langkat yang sudah memihak Sultan Aceh menyebabkan Pangeran Musa merelakan putrinya, Tengku Ubang menjadi isteri Tuanku Hasyim Bangta Muda.<br /><br />Selanjutnya, ia membangun dan memperkuat benteng benteng yang bertujuan untuk menangkis serangan pasukan kolonial. Belanda di bawah pimpinan Netscher berulangkali menyerang benteng pertahanan Tuanku Hasyim Bangta Muda, pada bulan Agustus 1862 dan 1863 namun gagal. Baru pada tahun 1865, Belanda dapat menaklukkan benteng pertahanan Tuanku Hasyim Bangta Muda di Pulau Kampai. Ketika terjadi serangan Belanda kedua ke Aceh pada akhir 1873, Tuanku Hasyim Bangta Muda juga ikut mengorganisir dan mengkoordinir seluruh potensi yang ada, baik uleebalang, ulama, orang kaya (bangsawan), dan seluruh rakyat. Terutama untuk menjaga dua wilayah tanggung jawab keamanannya yaitu daerah Kuta Raja Pirak dan Benteng Pertahanan di Makam Syiah Kuala.<br /><br /><span style="font-weight: bold">Dari Pertempuran Demi Pertempuran</span><br />Setelah melalui beberapa pertempuran, pada tahun 1874 pasukan Belanda menduduki Mesjid Raya yang sebelumnya terbakar pada ekspedisi pertama. Kehadiran kembali pasukan Belanda menyebabkan terjadi lagi pertempuran yang dahsyat dengan pasukan Aceh. Perang di Mesjid Raya, oleh Belanda diakui sebagai perang yang paling dahsyat. Perang itu dipimpin langsung oleh Tuanku Hasyim Bangta Muda.<br /><br />Setelah dalam (kraton) jatuh ke tangan Belanda pada tanggal 24 Januari 1874, Tuanku Hasyim Bangta Muda ber¬gerak ke daerah Sagi 26 Mukim untuk memantau situasi secara langsung. Tidak lama setelah itu, Tuanku Hasyim Bangta Muda kembali ke Mesjid Pagar Aye sebagai tempat markas sementara.Tuanku Hasyim Bangta Muda memanggil uleebalang untuk bermusyawarah. Dalam musyawarah itu mengikrarkan suatu sumpah yang diucapkan bersama, yang menyatakan wajib perang sabil untuk mengusir kafir Belanda.<br /><br />Setelah lama Tuanku Hasyim Bangta Muda terjun ke lapangan, kemudian dinobatkan sebagai panglima tertinggi Angkatan Perang dan sebagai Mangkubumi, Wali dan Pelaksanaan Urusan Kerajaan Aceh.<br /><br />Pada akhir t-siun 1879, Tuanku Hasyim Bangta Muda bersama Sultan Muhammad Daud Syah yang masih berusia sekitar 10 tahun menempati Kuta Keumala Dalam sebagai ganti dalam atau Kutaraja yang sudah dikuasai oleh Belanda. Setelah Muhammad Daud Syah dewasa, Tuanku Hasyim Bangta Muda meninggalkan Keumala Dalam. Pada tahun 1894 kembali ke Reubee di rumah peninggalan leluhurnya. Tahun 1896, Tuanku Hasyim Bangta Muda kembali ke rumah yang dibuat oleh menantunya, Teuku Panglima Polem Muhammad Daud, di Padang Tiji, Wilayah XXII Mukim (sekarang masuk wilayah Kabupaten Pidie).<br /><br /><span style="font-weight: bold">Perjuangan yang tidak kenal Ielah</span><br />Tuanku Hasyim Bangta Muda pun kemudian sudah mulai lanjut usia dan sudah terlalu letih dalam perjuangan. Sekitar 15 tahun dalam bentuk konfrontasi dengan Belanda di Sumatra Timur dan Aceh Timur (1858-1873) dan sekitar 25 tahun dalam bentuk perang resmi di Aceh Raya hingga di Keumala (1873-1897).Tuanku Hasyim Bangta Muda yang telah memimpin perlawanan terhadap kolonial dan menyumbangkan darma baktinya kepada agama, bangsa dan negara begitu lama, menghadap sang Ilahi di Padang Tiji pada tanggal 18 Syakban 1314 Hijriah bertepatan dengan 22 Januari 1897.<br /><br />Kebesaran dan ketokohan Tuanku Hasyim Bangta Muda digambarkan oleh J.F.B Bruinsma dengan rangkaian kata kata sebagai berikut : "Andaikata dia (Tuanku Hasyim penulis) tidak pernah hidup barangkali sudah lama kita menduduki Aceh dengan tentram".<br /><br /><span style="font-weight: bold">Teuku Muhammad Daud</span><br />Sampai saat ini belum ditemukan keterangan yang jelas mengenai tanggal dan tahun kelahiran Teuku Panglima Polem Muhammad Daud, yang jelas dia berasal dari keturunan kaum bangsawan Aceh. Ayahnya bernama Panglima Polem VIII Raja Kuala anak dari Teuku Panglima Polem Sri Imam Muda Mahmud Arifin yang juga terkenal dengan nama Cut Banta (Panglima Polem VII (1845-1879). Mahmud Arifin merupakan Panglima Sagoe XXVI Mukim Aceh Besar. Sebutan Panglima Polem merupakan gelar kehormatan bagi sagoe pedalaman Sagoe XXII Mukim.<br /><br />Setelah dewasa, Teuku Panglima Polem Muhammad Daud menikah dengan Tengku Ratna Keumala salah seorang puteri Tuanku Hasyim Bangta Muda, tokoh Aceh yang seperjuangan dengan ayahnya. Panglima Polem mendapat gelar Teuku Panglima Polem Sri Muda Setia Perkasa Muhammad Daud.<br /><br />Di penghujung bulan Maret 1896 Teuku Panglima Polem Muhammad Daud bersama 400 orang pasukannya bergabung dengan Teuku Umar untuk menghadapi serangan Belanda. Dalam pertempuran besar-besaran yang berlang¬sung selama 14 hari, sejak tanggal 8 sampai 21 April 1896 di pihak Belanda jatuh korban 25 orang tewas dan 190 orang luka-luka.<br /><br /><span style="font-weight: bold">Gerilya ke Pegunung, XXII Mukim</span><br />Bersamaan dengan menyingkirnya Sultan Muhammad Daud Syah ke Pidie, maka demi menegakkan hak, martabat dan harga diri rakyat Aceh, Panglima Polem bersama pasukannya langsung menuju ke pegunungan XXII Mukim. Mereka berusaha memperkuat benteng pertahanan di wilayah itu. Menghadapi kenyataan itu Panglima Polem bersama pasukannya mulai membuat perhitungan dengan pasukan Belanda, terutama dengan cara bergerilya sambil mendiri¬kan kubu-kubu pertahanan di pegunungan Seulimeum, seperti di Gle Yeueng. Pada tahun 1897 Belanda berhasil menguasai wilayah Seulimeum dan Panglima Polem terpaksa hijrah ke Pidie.<br /><br /><span style="font-weight: bold">Menyusun Strategi Baru</span><br />Pada bulan Nopember 1897 kedatangan Panglima Polem di Pidie diterima oleh Sultan Aceh (Muhammad Daud Syah) yang sejak beberapa bulan sebelumnya telah berada di Keumala.<br /><br />Bulan Februari 1898, Teuku Umar tiba di wilayah VII Mukim Pidie bersama seluruh kekuatan pasukannya lalu bergabung dengan Panglima Polem dan para pejuang lainnya untuk memperkuat barisan pertahanan di sana. Pada tanggal 1 April 1898, Teuku Panglima Polem bersama Teuku Umar dan para ulama serta uleebalang terkemuka lainnya menyatakan sumpah setianya kepada Sultan Muhammad Daud Syah dengan tekad bulat bersama-sama meneruskan perjuangan melawan Belanda.<br /><br /><span style="font-weight: bold">Menghadapi Serangan Belanda</span><br />Pada tanggal 1 Juni hingga pertengahan September 1898 Belanda melakukan serangan besar-besaran ke wilayah Pidie. Serangan ini berada di bawah komando van Heutsz. Dalam menyusun strategi, Heutsz didampingi oleh Snouck Hurgronje yang diangkat selaku Penasehat Pemerintah Hindia Belanda urusan Bumiputra.<br /><br />Untuk menghadapi serangan tersebut pasukan pejuang Aceh dibagi menjadi beberapa kelompok. Untuk wilayah VII Mukim sepenuhnya dipercayakan kepada Panglima Polem bersama Tuanku Muhammad sedangkan dalam wilayah Pidie secara langsung berada dibawah komando Sultan bersama para pengikutnya.<br /><br />Pada bulan November 1898, Sultan Muhammad Daud Syah dan Panglima Polem sendiri akhirnya mengambil jalan pintas untuk mengundurkan din dan Pidie menuju Timur ke perbukitan hulu sungai Peusangan. Sementara Belanda terus mengejar mereka sampai akhirnya meletus perang di Buket Cot Phie. Dalam pertempuran ini pasukan Panglima Polem hanya berhasi I menewaskan pihak Belanda sebanyak 3 orang dan 8 orang luka¬luka, sedangkan korban pasukan di pihak Aceh seluruhnya mencapai 34 orang.<br /><br />Keberhasilan Belanda dalam serangan ini memaksa Sultan menyingkir ke Bukit Keureutoe, Teuku Chik Peusangan ke Bukit Peu toe sedangkan Panglima Polem menuju ke pegunungan di bagian Selatan Lembah Pidie.<br /><br /><span style="font-weight: bold">Menyingkir ke Daerah Gayo</span><br />Di awal tahun 1901, Sultan Muhammad Diad Syah bersama Panglima Polem mengambil inisiatif untuk sama-sama menyingkir ke daerah Gayo dan kemudian menjadikan daerah ini sebagai pusat pertahanan Aceh. Di daerah ini Sultan Aceh bersama Panglima Polem dan pasukannya kembali menyusun strategi baru untuk mempersiapkan penyerangan terhadap Belanda.<br /><br />Setelah pihak Belanda mengetahui keberadaan Sultan dan Panglima Polem di daerah Gayo, Belanda semakin mengincar daerah tersebut. Melalui Pase Pasukan Belanda yang dipimpin Mayor Van Daalen selama tiga bulan (sejak September hingga November 1901) melakukan gerakan pengejaran terhadap Sultan dan Panglima Polem yang telah berada di Gayo. Pada bulan Juni sampai September 1902 Penguasa Belanda memerintahkan Letnan satu W.B.J.A Scheepens bersama sejumlah pasukannya bergerak dari Meureudu ke Gayo. Namun kegagalan kembali ditelan oleh Belanda<br /><br /><span style="font-weight: bold">Siasat Kelicikan Belanda</span><br />Setelah mengalami kegagalan demi kegagalan dalam usahanya menangkap Sultan Muhammad Daud Syah bersama Panglima Polem, maka selama hampir satu bulan Belanda menghentikan penyerangannya ke daerah Gayo. Selama masa itu pula Belanda mengatur strategi baru dengan cara yang sangat licik, yakni dengan cara menangkap orang-orang dekat, ahli kerabat yang paling disayangi Sultan dan mengeluarkan ancaman bahwa kerabat Sultattakan dibuang.<br /><br />Menerima berita ancaman itu, akhirnya pada tanggal 10 Januari 1903 Sultan Muhammad .Daud Syah terpaksa berdamai dengan Belanda. Sedangkan Teuku Panglima. Polem Sri Muda Perkasa Muhammad Daud baru pada tanggal 7 September 1903 secara terpaksa juga berdamai dengan Belanda.<br /><br />Secara khusus dengan berdamainya Sultan Muhammad Daud Syah dan Teuku Panglima Polem, pihak Belanda mengira bahwa secara keseluruhan wilayah dan rakyat Aceh telah berhasil mereka kuasai sepenuhnya. Perkiraan Belanda ternyata sangat bertolak belakang dengan kenyataan yang terjadi kemudian, ternyata rakyat Aceh tidak pernah mau berdamai apa lagi menyerah kepada Belanda.<br /><br />Perjuangan yang cukup gigih dan tidak mengenal lelah telah ditunjukkan oleh Tuanku Hasyim Bangta Muda dan Teuku Panglima Polem. Sikap tersebut pantas untuk kita teladani dalam menghadapi perkembangan Aceh ke depan yang secara khusus melaksanakan syariat Islam dan Indonesia dalam menghadapi era globalisasi<br /><br /><span style="font-weight: bold">Sumber :</span><br />Waryanti Sri dkk, Biografi Sejarah Perjuangan, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh 2002<br /><br />Keterangan Dalam tulisan ini nama tempat dan nama-nama orang telah disesuaikan dengan EYD<br /></div><div class="blogger-post-footer"><img width='1' height='1' src='https://blogger.Car.com/indah/2624359141219824923-7067767971977775014?l=rumah-stil.blogspot.com' alt='' /></div> Tinggalkan komentar anda tentang <a href="http://rumah-stil.blogspot.com/">Tuanku Hasyim Bangta Muda Pahlawa Asal Aceh</a><br> infohttp://www.blogger.com/profile/14229387099866067801noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-452429034841350010.post-88234094964352615922010-03-24T15:43:00.001-07:002010-03-24T15:43:50.970-07:00Bangunan Bersejarah di Kota Madya Bandung 1<br>Informasi terbaru Bangunan Bersejarah di Kota Madya Bandung 1 <div style="text-align: justify"><span style="font-weight: bold">I. Pendahuluan</span><br />Belum dapat diketahui secara pasti, kapan Bandung dibentuk menjadi sebuah pemukiman karena tanggal yang dijadikan dasar berdirinya pun diambil dari terbitnya Surat Keputusan Bandung menjadi gemlente. Surat Keputusan tersebut terbit pada tanggal 1 April 1906. Saat itu pemerintahan kota Bandung mulai dipisahkan dengan pemerintahan Kabupaten Bandung oleh Gubernur Jenderal JB Van Heutch.<br /><br />Sebuah cerita menuturkan bahwa yang membuat Bandung menjadi sebuah kota adalah Gubernur Jenderal Daendels. Ketika itu, Daendels sedang mengawasi pem¬bangunan jalan rayapos yang melintasi Bandung. Di dekat jembatan Sungai Cikapundung (Sekitar Gedung Merdeka) yang tengah diselesaikan oleh -pasukan zeni militer Belanda dibantu penduduk Kampung Cikapundung, Daendels menancapkan patok kayu sambil berkata "usahakan yang terbaik, jika aku kembali lagi, ditempat ini telah dibangun sebuah kota". Pada patok itu berdiri, orang kemudian membuat tanda berupa tugu yang menyatakan tanda kilometer 0 untuk daerah Bandung. Sejak itulah kota Bandung dibangun hingga mencapai bentuk perkembangan sekarang ini.<br /><br /><span style="font-weight: bold">A. Lokasi dan Kondisi Geografis</span><br />Dari tahun ke tahun, Bandung menunjukkan perkem¬bangan yang sangat pesat. Kepesatan tersebut di¬mungkinkan karena letaknya yang strategis sebagai hinterland ibu kota. Di bidang budaya, Bandung berkembang menjadi pusat budaya Jawa Barat mengalahkan Cianjur, Banten, dan Cirebon yang telah memiliki akar budaya lebih tua. Kemudian dari segi politik, Bandung sering dijadikan barometer politik, dan dari segi ekonomi Bandung menjadi koridor utama Jakarta serta pusat pertumbuhan ekonomi wilayah Priangan, Cianjur, Cirebon, dan Jawa Tengah.<br /><br />Dengan alasan-alasan tersebut, tidak heran jika Bandung memiliki berbagai macam fungsi, seperti pusat pemerintahan Jawa Barat dengan adanya Kantor Gubernur di Gedung Sate. Kemudian sebagai kota pendidikan, dengan adanya ITB, Unpad, IKIP serta puluhan perguruan tinggi swasta dan berbagai macam pendidikan lainnya. Bandung juga merupa¬kan pusat perdagangan regional Jawa Barat; kota industri, pusat budaya dan pariwisata, serta etalasi Jawa Barat.<br /><br />Secara astronomic, Bandung yang dikelilingi pe¬gunungan ini, terletak di antara 107" BT dan 6° 55' LS. Jarak antara ibukota negara (Jakarta) sekitar 180 km, dari Bogor kurang lebih 126 Km, dan dari Cirebon sekitar 130 Km. Ditinjau dari segi topografi, Bandung terletak pada ketinggian rata-rata 768 meter diatas permukaan laut. Sisi sebelah Utara berupa perbukitan dengan titik tertinggi 1.050 meter diatas permukaan laut. Sedangkan sisi sebelah Selatan yang relatif datar, titik terendahnya sekitar 675 meter diatas permukaan laut.<br /><br />Kawasan kota Bandung yang dahulunya merupakan danau purba Bandung ini, dikelilingi beberapa gunung, antara lain : Gunung Tangkuban Perahu (2.076 m), Gunung Malabar (2.321 m), Gunung Burangrang (2.064 m), Gunung Bukit Tunggul (2.209 m), Gunung Patuha (2.249 m), Gunung Palasari, Gunung Mang¬layang, dan Gunung Tilu. Oleh karena dipengaruhi iklim pegunungan yang lembab dan sejuk, temperatur rata-rata harian antara 18° C sampai 28,2" C dengan curah hujan antara 77,2 mm hingga 178,6 mm. Jumlah hari hujan dalam setahun rata-rata 208 hari.<br /><br />Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 135/331/PUOD tanggal 23 Juni 1986 luas wi¬layah Kotamadya Bandung yang semula 12.758 hektar berkembang menjadi kurang lebih 17.000 hektar dengan batas-batas: Sebelah utara sampai dengan garis ketinggian 750 m, sebelah timur sam¬pai Sungai Cibiru, sebelah selatan sampai jalan Tol Padalarang-Cileunyi, dan sebelah barat sampai jalan Terusan Pasteur, Jalan Raya- Bandung Cimahi, dan batas wilayah Kota Administratif Cimahi. Wilayah seluas 17.000 hektar tersebut dimanfaatkan untuk perumahan (54%), perkotaan (9%), perkotaan dan perdagangan (4%), industri (2%), pertanian (14%), kompleks militer (8%), cadangan untuk pengem¬bangan (3%), dan kegunaan lain-lain (6%); serta meliputi 4 Wilayah Pembantu Walikota Madya, 26 kecamatan, dan 135 kelurahan.<br /><br />Pengembangan luas wilayah yang dipergunakan untuk pemukiman penduduk dilakukan dengan melingkari wilayah yang telah ada. Hal tersebut menyebabkan tempat tinggal penduduk semakin jauh letaknya dari pusat kota. Perluasan wilayah itu tidak diimbangi dengan pembuatan alternatifjalan yang baru, bahkan jalur jalan untuk mencapai pusat kota masih meng¬gunakan jalan yang lama, sehingga Bandung dapat dikatakan tidak teratur dan mengakibatkan pemakai jalan selalu dihadapkan pada persoalan kemacetan lalu lintas yang hampir berlangsung setiap hari.<br /><br /><span style="font-weight: bold">B. Kependudukan</span><br />Bandung merupakan salah satu kota di Indonesia yang memiliki perkembangan penduduk yang sangat pusat. Tingkat kepadatan penduduknya rata-rata mencapai 135 jiwa/hektar. Bahkan beberapa wilayah seperti Pagarsih, Jamika, Kiaracondong, Cicadas, Binong, dan Babakan Ciparay, mencapai kepadatan 250 jiwa/ hektar sampai 400 jiwa/hektar. Padahal menurut ketentuan WHO, tingkat kepadatan penduduk kota paling ideal sekitar 60 jiwa/hektar.<br /><br />Lajti Pertumbuhan penduduk (LPP) Kodya Bandung mencapai 3,48%. Padahal data asli dari BKKBN (se¬suai dengan angka kelahiran) hanya 1,08%. Berarti, 2,4% LPP berasal dari kaum pendatang.<br /><br />Memang berdasarkan data kependudukan yang ter¬dapat di Pemda Kodya Bandung, setiap tahun Bandung di banj iri kaum pendatang antara 40.000 â" 50.000 orang. Mereka datang dari berbagai pelosok untuk mencari kehidupan yang lebih baik dibanding di daerah asal. Selain oleh pencari nafkah, Bandung juga diserbu pelajar dan mahasiswa dari berbagai daerah dengan jumlah setahunnya mencapai sekitar 10.000 orang. Yang mengkhawatirkan adalah apabila pendatang (termasuk pelajar/mahasiwa) tidak mau kembali ke tempat asalnya. Tidak sedikit dari mereka yang mendapatkan pasangan (suami atau istri) orang Bandung dan kemudian tinggal di Bandung.<br /><br />Beberapa nama tempat di Bandung, mencerminkan keberadaan kaum pendatang seperti di kawasan Kiaracondong, terdapat kampung yang disebut pen¬duduk setempat "Kampung Jawa" karena sebagian besar penduduknya berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di kawasan Sumur Bandung juga ter¬dapat "Babakan Ciamis" yang kalau ditelusuri latar belakangnya, ternyata karena di tempat tersebut banyak dihuni oleh penduduk yang berasal dari Ciamis, terutama dari Kecamatan Panjalu.<br /><br />Bertambahnya jumlah pendatang yang merupakan produk parahnya arus urbanisasi, diakibatkan juga oleh banyak didirikan pabrik-pabrik tekstil atau garmen yang menyerap pekerja sampai ribuan orang dan sebagian besar diantaranya berasal dari daerah luar Bandung. Jumlah tersebut akan semakin meningkat apabila ditambah lagi dengan pendatang yang bersifat commuter (Wang alik). Pendatang tersebut hadir di Bandung karena berhubungan dengan pekerjaan (tempat kerjanya di Bandung) dan sekolah. Menurut perhitungan jumlah pendatang commuter diperkirakan mencapai 300.000 setitap harinya. Mereka datang dari kota satelit seperti Ciparay, Majalaya, Banjaran. Soreang, Lembang, Cililin, Cicalengka atau Subang dan beberapa kota yang letaknya terlalu jauh.<br /><br />Berdasarkan komposisi penduduk menurut umur yang tercatat pada data kependudukan Kotamadya Bandung tahun 1996, jumlah penduduk yang berusia muda menunjukkan perbandingan lebih besar dibandingkan dengan jumlah penduduk usia sedang/produktif dan tua. Oleh karena itu, beban ketergantungan (depen¬dency ratio) yang dapat dihitung diperkirakan sekitar 72,8 persen, yang berarti bafiwa setiap 100 orang berusia produktif atau konsumtif harus menang-gung 72 orang yang nonproduktif atau konsumtif. Tinggi beban ketergantungan ini menyebabkan pen-dapatan Kota Madya Bandung habis dikonsumsi oleh penduduk nonproduktif.<br /><br /><span style="font-weight: bold">C. Kehidupan Sosial, Ekonomi dan Budaya</span><br />Pembangunan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Kotamadya Bandung serta segenap lapisan masyarakat selama kurun waktu 90 tahun ini telah menunjukkan keberhasilan yang cukup menggembira¬kan. Hal tersebut dapat dilihat dari angka laju per¬tumbuhan ekonomi yang dewasa ini mencapai 1156%, jauh di atas laju pertumbuhan ekonomi nasional yang hanya 6% dan laju pertumbuhan eknomi Jawa Bann 9%.<br /><br />Walaupun laju pertumbuhan ekonominya tinggi, ter¬nyata masih banyak warga kota Bandung yang belum berhasil dalam bidang materi. Hal tersebut terlihat dengan adanya tiga desa/kelurahan yang tertinggal, yaitu Desa Mengger, Kelurahan Cigondewah Wetan, dan Kelurahan Sukapura, serta terdapatnya hampir 150.000 KK yang dinyatakan prasejahtera dan mis¬kin (40% dari seluruh penduduk Kodya Bandung).<br /><br />Upaya yang dilakukan Pemda Kotamadya Bandung untuk membrantas kemiskinan. antara lain memberi¬kan dana IDT (Inpres Desa Tertinggal) kepada tiga kelurahan tertinggal, dan membentuk KBS (Kelom¬pok Bina Sosial) untuk membantu penduduk yang kekurangan modal. Selain itu. dibentuk juga Yayusan Berhiber, merealisasikan program Rereongan Sarupi, dan program Satata Sariksa.<br /><br />Sikap-sikap seperti itu menunjukkan bahwa masya¬rakat Jawa Barat umumnya. khususnya kota Bandung masih memiliki kepedulian sosial yang relatif tinggi terhadap sesamanya. Namun perlu juga disadari bahwa nilai-nilai luhur tersebut kin i memudar seiring dengan perkembangan zaman. terutama di daerah pusat kota yang sudah individualistis. Padahal kalau sikap hidup demikian diupayakan dan dibina kembali, niscaya merupakan potensi yang luar biasa untuk menjarnin kemajuari di segala bidang kehidupan.<br /><br />Pemerintah Daerah Kotamadya Bandung menyadari bahwa berbagai permasalahan kerapkali timbul, walaupun upaya pembangunan di segala bidang dilaksanakan secara terencana. menyelunth, dan ber¬kesinambungan.<br /><br />Permasalahan yang timbul antara lain diakibatkan bertambahnya penduduk yang berpengaruh terhadap fasilitas dan utilitas yang dibangun Pemda. Adapun yang paling dominan adalah semakin sempitnya lahan terbuka karena hampir sebagian besar digunakan untuk pemukiman.<br /><br />Walaupun secara umum dapat dikatakan bahwa kon¬disi tempat tinggal penduduk Bandung dan sekitar¬nya relatif balk tetapi terdapat juga kondisi pemukiman yang kurang memadai sebagai tempat tinggal atau kumuh. Daerah kumuh tersebut umumnya terdapat dipinggir rel kereta api, Daerah-daerah Aliran Sungai (DAS), bahkan tidak sedikit yang menjadikan kuburan (tempat pemakaman umum) sebagai pemukiman. Dengan demikian, upaya pemenuhan utilitas dan fasilitas kota yang dilaksanakan saat ini, masih jauh tertinggal dibanding kebutuhan.<br /><br /><br /><div style="text-align: center"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjBcsJ7_H-D7EV82zY9CAh-m4ZXdqm4yTLZ8OdxYWDUzoC8G2m8M8LfkRcpR_wq8ETCeU5WLKsBJutzWbO7FZ7sEiH_dol9MeBkYG5gwNQunjMuaKaw_McD5Ce8o46k_Yr6twrwHEwi8lU/s1600-h/pt+bdg.jpg"><img style="margin: 0px auto 10px;text-align: center;cursor: pointer;width: 225px;height: 167px" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjBcsJ7_H-D7EV82zY9CAh-m4ZXdqm4yTLZ8OdxYWDUzoC8G2m8M8LfkRcpR_wq8ETCeU5WLKsBJutzWbO7FZ7sEiH_dol9MeBkYG5gwNQunjMuaKaw_McD5Ce8o46k_Yr6twrwHEwi8lU/s400/pt+bdg.jpg" alt="" border="0" /></a>Peta Kotamadya Bandung<br /></div><br /><span style="font-weight: bold">II Bangunan Bersejarah Di Kota</span> <span style="font-weight: bold">Bandung</span><span style="font-weight: bold"><br />1. Gedung Sate</span><br />Pembangunan gedung ini dirintis tahun 1918, dan iibangun pada tahun 1920. Bangunannya berbentuk 7.ersegi panjang. Pintu masuk utama terletak di tengah-tengah bagian gedung yang memanjang, rnenghadap ke utara. Puncak atapnya bersusun tiga dengan antena anti petir yang terletak di tengahnya berbentuk setusuk sate, menurut sebagian orang lambang setusuk sate tersebut melambangkan biaya ang dikeluarkan pemerintah kolonial untuk mem¬bangun gedung tersebut<br /><br /><br /><div style="text-align: center"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhJdqB8MI9XmKGPEHAhTKoRKvD6Wp3BosoHRE-38G1IbuDhdWhGL-4uf9gomHJ5Ac5m3hpXtPrVLXrdJwCqUTp-Xq4sLdF02WR5Kzx4EMHoWH8LGRQT_vFyge_XbyP7-R_ckaRBnCbWy6g/s1600-h/gd+sate.jpg"><img style="margin: 0px auto 10px;text-align: center;cursor: pointer;width: 221px;height: 126px" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhJdqB8MI9XmKGPEHAhTKoRKvD6Wp3BosoHRE-38G1IbuDhdWhGL-4uf9gomHJ5Ac5m3hpXtPrVLXrdJwCqUTp-Xq4sLdF02WR5Kzx4EMHoWH8LGRQT_vFyge_XbyP7-R_ckaRBnCbWy6g/s400/gd+sate.jpg" alt="" border="0" /></a>Gedung Sate, Jalan Diponegoro<br /></div><br />Enam bulatan tersebut berarti enam juta gulden. Menurut catatan pembangunan gedung sate itu hanya lima juta gulden (Comite van Artie, "Bandung de Staat op de Hoogulakte"). Puncak atap tersebut memotong atap bangunan menjadi dua bagian Gedung ini pernah dijadikan kantor Departemen Verkeer en Waterstaat juga sering disebut Gedung Gouvernements Bedrijven. Sekarang dipergunakan sebagai Kantor Pemerintah Daerah Tingkat I Propinsi Jawa Barat.<br /><br />Gedung ini pernah dijadikan kantor Departemen Verkeer en Waterstaat juga sering disebut Gedung Gouvernements Bedrijven. Sekarang dipergunakan sebagai Kantor Pemerintah Daerah Tingkat I Propinsi Jawa Barat.<br /><br /><span style="font-weight: bold">2. Gedung Pakuan</span><br />Gedung Pakuan didirikan pada tahun 1867 atas prakarsa Residen Priangan RAA. Wiranatakusuma IV (Dalem Bintang 1), Bupati Bandung ketujuh di¬bantu oleh para pekerja perkebunan Babakan Bogor.<br /><br /><br /><br /><div style="text-align: center"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiHnFx9B15blIkAOBkAaUShrtCcdfSEOSV74eVfvjt4HscOIW4M_dEmgLy1LcJG9KfWIHCShLu9jFi6_LrbYAkj-H9hmrOJIyDLUpL4F_xSicZH4wOZJ_2LDvnvMYpicngLm0NH_HTQfYE/s1600-h/gd+pakuan.jpg"><img style="margin: 0px auto 10px;text-align: center;cursor: pointer;width: 208px;height: 97px" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiHnFx9B15blIkAOBkAaUShrtCcdfSEOSV74eVfvjt4HscOIW4M_dEmgLy1LcJG9KfWIHCShLu9jFi6_LrbYAkj-H9hmrOJIyDLUpL4F_xSicZH4wOZJ_2LDvnvMYpicngLm0NH_HTQfYE/s400/gd+pakuan.jpg" alt="" border="0" /></a>Gedung Pakuan, Jalan Ottó Iskandardinata<br /></div><br />Perancang bangunan ini adalah insinyur kepala dan staf dari Residen Van der Moore dan mulai dibangun tahun 1864. Gedung Pakuan memiliki langgam Indische Empire Stijl (Gaya Empire Hindia). Bentuk dan gaya gedung itu tampak merupakan perpaduan antara bentuk dan gaya bangunan Sunda dengan gaya dan bentuk bangunan Eropa. Nama Gedung Pakuan diusulkan oleh Dalem Isteri RAA Wiranatakusuma V.<br /><br /><div style="text-align: center"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhWRTA7WaJRS6MvINHnetUavTNVgqzw4FNbIwoGCPQwYFOY_Dnek1-TGeXg6cetbsqBBKHzs8yx65ZQP3iTVhIip66D43N6YTYFpMXJb1D_Tb6bVpKga992MilddyXPb6py5sFf-RfcfNk/s1600-h/gd+pendopo.jpg"><img style="margin: 0px auto 10px;text-align: center;cursor: pointer;width: 211px;height: 112px" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhWRTA7WaJRS6MvINHnetUavTNVgqzw4FNbIwoGCPQwYFOY_Dnek1-TGeXg6cetbsqBBKHzs8yx65ZQP3iTVhIip66D43N6YTYFpMXJb1D_Tb6bVpKga992MilddyXPb6py5sFf-RfcfNk/s400/gd+pendopo.jpg" alt="" border="0" /></a>Gedung Pendopo Kabupaten Bandung, Jalan Dalem Kaum<br /></div><br />Pada dinding, pintu dan palang-palang bangunannya terdapat karya seni semacam kaligrafi, berupa ayat¬ayat suci Al Qur'an.<br /><br />Dalam bangunan ini terdapat sebuah ruangan tempat Bupati menerima tamu dan pendopo. Pendopo ini dibangun pada tahun 1950 pada masa petherintahan Bupati RAA Wiranatakusumah IV.<br /><br /><span style="font-weight: bold">3. Gedung Dwi Warna</span><br />Gedung ini dibangun pada tahun 1940 di bawah pengawasan Technisishon Dionstdor Stadsge¬meente Bandung, dipergunakan sebagai Pension Fonds seluruh Indonesia. Pada waktu pemerintah Jepang berkuasa di Indonesia, gedung ini diperguna¬kan sebagai gedung Kempe Tai, kemudian sebagai gedung Rekomba, dan pada masa feodal sebagai gedung DPR Negara Pasundan.<br /><br />Di gedung ini pula dilakukan demonstrasi pem¬bubaran Negara Pasundan yang kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia.<br /><br /><br /><div style="text-align: center"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg2w1_s9jJ8WHs-p1qT9Vv3ZlTXN9y2TSHcLrftjEfjU2I2UwfxaXT28MkA4CbJgEtjm1M6KsAW8fYDUczHHeBFe0AfVylKP4gY-SGEXZjQgufqfh90aVkzrCOA_5p2g5Mb4vLB2Gw5Z8s/s1600-h/gd+dwi+warna.jpg"><img style="margin: 0px auto 10px;text-align: center;cursor: pointer;width: 212px;height: 140px" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg2w1_s9jJ8WHs-p1qT9Vv3ZlTXN9y2TSHcLrftjEfjU2I2UwfxaXT28MkA4CbJgEtjm1M6KsAW8fYDUczHHeBFe0AfVylKP4gY-SGEXZjQgufqfh90aVkzrCOA_5p2g5Mb4vLB2Gw5Z8s/s400/gd+dwi+warna.jpg" alt="" border="0" /></a>Gedung Dwi Warna, Jalan Diponegoro<br /></div><br />Setelah Negara Pasundan bersatu (kembali) ke Negara Kesatuan, gedung DPR Tingkat I Jawa Barat (dulu) oleh Bung Karno dipergunakan sebagai gedung Sekretariat Konferensi Asia Afrika dan di¬beri nama "Gedung Dwi Wama". Setelah konferensi selesai, kembali ke fungsi semula yaitu sebagai gedung KP3 (Kantor Pusat Pensiunan Pegawai), kemudian sebagai Kantor Pusat Administrasi Belanja Pegawai, namanya "Sub Direktorat Pe¬ngumpulan Data Seluruh Indonesia".<br /><br /><span style="font-weight: bold">4. Gedung Merdeka</span><br />Gedung Merdeka dibangun pada tahun 1879, oleh arsitektur berkebangsaan Belanda hernama Van Galen Last dan CP. Wolf Schoomaker, kemudian dibangun sampai berbentuk sekarang tahun 1927 - 1929. Dahulu gedung ini terdiri atas dua huah bangunan, yakni bangunan pokok yang disehut Gedung Schowberg dan satu lagi yang disehut Societiet Concordia. Kedua gedung ini disatukan dan telah dilaksanakan perombakan besar tahun I954, dalam rangka akan diselenggarakannya Konferensi Asia Afrika pada bulan April 1955.<br /><br />Dahulu gedung ini merupakan gedung pertemuan orang Belanda dari kalangan atas, seperti kaum intelektual, perwira militer, -pemilik perusahaan perkebunan di sekitar kota Bandung.<br /><br /><br /><div style="text-align: center"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhlmkOXQwsiDVSo10YDwEUTH7Z2OU-8aXxsaVfWelTnAt8qqKahbf92DVe5y-PGIJe7qQMKjL_XtrQMrj9-lXqgQXMhyphenhyphenuPsuQ7mKJeDbsr0c8-janL_13SX9p1qAcIOklw3s2KpoOLsH-Q/s1600-h/gd+merdeka.jpg"><img style="margin: 0px auto 10px;text-align: center;cursor: pointer;width: 198px;height: 111px" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhlmkOXQwsiDVSo10YDwEUTH7Z2OU-8aXxsaVfWelTnAt8qqKahbf92DVe5y-PGIJe7qQMKjL_XtrQMrj9-lXqgQXMhyphenhyphenuPsuQ7mKJeDbsr0c8-janL_13SX9p1qAcIOklw3s2KpoOLsH-Q/s400/gd+merdeka.jpg" alt="" border="0" /></a>Gedung Merdeka, Jalan Asia Afrika<br /><br /></div>Sejak tahun 1955 gedung ini merupakan gedung .bersejarah yang terkenal ke seluruh dunia, karena di gedung inilah berlangsung Konferensi Asia Afrika yang membangkitkan semangat untuk gerakan ke¬merdekaan negara-negara terjajah yang ada di seluruh Asia Afrika. Di samping itu, di gedung ini pula tempat dilangsungkannya pertemuan-pertemuan nasional maupun internasional, seperti Konferensi Islam Asia Afrika, Konferensi Wartawan Asia Afrika, Konferensi WHO, dan sekarang digunakan sebagai gedung Museum Asia Afrika.<br /><br />Gedung tersebut telah mengalami pemugaran pada tahun 1978/1979 oleh Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (bersambung)<br /><br /><span style="font-weight: bold">Sumber :</span><br /><span style="letter-spacing: 0.3pt;font-family:Arial" lang="SV">RosmanaTjetjep dkk, 1999/2000 <b>Bangunan Bersejarah Di Kota Bandung</b> Jakarta. Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia</span><p class="MsoNormal" style="text-align: justify"></p></div><div class="blogger-post-footer"><img width='1' height='1' src='https://blogger.Car.com/indah/2624359141219824923-825921343036393121?l=rumah-stil.blogspot.com' alt='' /></div> Tinggalkan komentar anda tentang <a href="http://rumah-stil.blogspot.com/">Bangunan Bersejarah di Kota Madya Bandung 1</a><br> infohttp://www.blogger.com/profile/14229387099866067801noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-452429034841350010.post-1144410365444558002010-03-18T11:12:00.001-07:002010-03-18T11:12:55.611-07:00Ziarah Budaya Itu Bernama Mudik<br>Informasi terbaru Ziarah Budaya Itu Bernama Mudik <div style="text-align: justify">Oleh: <span style="font-weight: bold">Nur Faizah<br /><br /></span>Fenomena mudik adalah budaya khas setiap tahun masyarakat muslim Indonesia dalam menyambut datangnya Idul Fitri, yang populer dengan sebutan Lebaran. Secara sosiologis, mudik merupakan ajang tamasya budaya dan dalam berbagai sisi memunculkan sirkulasi tata kehidupan. Dalam pelbagai bentuknya, migrasi besar-besaran yang ditimbulkan akibat mudik selalu melahirkan dilema dan problema sosial yang silang sengkarut. Kebiasaan rehat dari kesibukan keseharian bagi orang-orang kota dengan cara menikmati suasana kampung halaman amat membantu mereka mempersegar etos kerja.<br /><br />Terlepas dari segala dampak yang ditimbulkannya, KH Mustofa Bisri (2007), misalnya, menilai bahwa fenomena tamasya budaya semacam ini adalah wahana strategis untuk menata kembali tata ruang kebudayaan dalam skala yang luas. Masih banyak ruang budaya yang belum terelaborasi dan terjamah oleh tangan peradaban. Ia merupakan peluang bagi pelaku budaya dan kesenian kita agar lebih sudi memperlebar spektrum kebudayaan sebagai lahan hijau dalam menggali gagasan dan inspirasi-inspirasi baru.<br /><br />Kaum urban yang datang ke kota bermaksud menggantung harapan hidup mereka ke arah yang lebih baik. Pada saat itulah, naluri dan nurani mereka terpaksa bersitatap dengan realitas sosial yang mungkin sama sekali belum pernah terbayangkan di benak mereka sebelumnya. Mereka memiliki kesempatan secara langsung membuktikan bahwa adagium âibu kota lebih kejam daripada ibu tiriâ adalah satire pahit dari kehidupan kota sesungguhnya dan bukan hanya isapan jempol.<br /><br />Dengan kata lain, aktivitas mudik bukan sekadar lalu lalang perpindahan penduduk yang bergerak massal. Sebaliknya, fenomena mudik tak ubahnya ziarah lintas wilayah yang menuntut manusia (pemudik) berjumpa dengan pelbagai tipe manusia dan karakter sosial yang amat plural. Pada dimensi filosofis, mudik merupakan perlambang kesadaran manusia menjalankan hidupnya dalam satu garis linear (hablun min an-naas) untuk menuju titik pusat transendensi, berupa perlindungan Tuhan (hablun min Allah) serta restu leluhur (ridha alwalidayn).<br /><br />Tepat di aras inilah, makna hakiki Lebaran sebagai silaturahmi kemanusiaan yang mampu menihilkan noda dan dosa menemukan momentum pembenarannya. Meminjam istilah Mochtar Naim (1999), fenomena kebudayaan seperti ini memiliki potensi memadukan beragam kutub, termasuk persinggungan dinamis antara masyarakat arus bawah dan arus atas. Berawal dari dialektika ini, anasir-anasir konflik dimungkinkan luruh dan menjadi harmoni yang saling mengayomi dan lintas batas.<br /><br />Berkaca dari kenyataan bahwa ritus mudik adalah safari lintas budaya, kita seakan diingatkan kembali pada panorama serupa yang terjadi di dunia sastra. Fenomena transkulturalisme dalam sastra merupakan wacana lawas yang, dalam konteks ini, penting untuk direnungkan ulang, baik esensi maupun kontekstualisasinya. Sejumlah alasan dapat dikemukakan dalam kaitan ini.<br /><br />Pertama, karya sastra adalah ruang semesta. Dengan ketajaman dan keliarannya, ia bisa menembus dan melintasi apa saja, termasuk di sini sekat budaya, batas bangsa, tabir agama, hingga tangga-tangga hierarki kasta. Kedua, adanya kecenderungan sementara sastrawan untuk mengabadikan tapak tilas mereka dalam karya sastra. Perjalanan mudik yang melelahkan berpotensi mengendapkan sekaligus mengabadikan kenangan yang menarik selama dalam perjalanan. Ketiga, nyaris tak bisa ditampik bahwa, dengan wataknya sebagai ruang semesta itulah, karya sastra juga telah serta-merta mengekalkan kerinduan seseorang terhadap belahan bumi leluhur yang pernah dihuni dan disinggahi sebelumnya.<br /><br />Bertolak dari ketiga lanskap di atas, kita bisa menangkap kecenderungan akan tumbuhnya karya sastra sebagai "sarana tamasya" dalam khazanah kesusastraan kita. Konsep transkulturalisme yang digagas Kaplan telah dipraktekkan secara nyata oleh para sastrawan, baik lewat karya sajak maupun roman (prosa). Gejala seperti ini terasa kian kuat manakala dipandang dari sudut otentisitas dan empirisitas karya.<br /><br />Serupa seorang pengelana (musafir) yang sedang menikmati perjalanan mudik, kepekaan seorang sastrawan ditantang untuk dituangkan dalam bentuk media ungkap yang estetik. Muncul kemudian pertanyaan, bisakah, misalnya, seorang sastrawan hanyut dan melancong sedemikian jauh hingga meninggalkan pijakan muasal (empiris) yang dijejaknya?<br /><br />Belantika sastra mutakhir kita menunjukkan tidak sedikit para sastrawan yang mampu mengabadikan pengalamannya saat ia menjadi musafir di negeri orang, lalu merasa cemas akan hal itu saat mereka pulang (mudik). Sebutlah antara lain cerpen Mustofa W. Hasyim berjudul Mudik (1997). Cerpen itu bercerita tentang kehidupan menjelang Lebaran di perumahan kumuh di pinggiran rel kereta di Jakarta. Pengarang menggambarkan bagaimana penghuni rumah-rumah di sepanjang rel merasa gelisah setiap kali kereta melintas ke arah timur. Mereka seperti didorong-dorong demikian kuatnya untuk meninggalkan Jakarta menuju ke tempat asal yang lebih damai dan tenteram. Seakan ada yang bergerak-gerak dalam dada, dan seperti terdengar teriakan yang memberi peringatan bahwa mereka memiliki tanah asal, punya masa lampau, kerabat yang sedang menunggu.<br /><br />Hal yang sama pernah pula dilakukan Umar Kayam (almarhum) lewat cerita pendeknya yang genial dan memukau berjudul Seribu Kunang-kunang di Manhattan. Latar keriuhan kota termasyhur di Amerika, di tangan Kayam menjelma menjadi ramuan cerita yang padat, kuat, dan memikat. Esai-esai reflektif seniman Emha Ainun Nadjib yang terhimpun dalam antologi Dari Pojok Sejarah: Renungan Perjalanan juga termasuk karya dalam kategori ini.<br /><br />Beberapa amsal di atas kian menandaskan kesimpulan bahwa negeri seberang (baca: di luar kampung halaman) menjadi wahana yang baik dan alternatif dalam mewadahi imajinasi dan kreativitas sastrawi. Dengan demikian, sastra lintas budaya menjadi tidak melulu dipandang sebagai tulisan tentang kampung seberang dari perspektif kampung halaman, namun juga bisa sebaliknya.<br /><br />Pilihan sastra lintas budaya seperti ini ditempuh sementara orang demi mencari lingkungan yang lebih sunyi, steril, dan aman sehingga memungkinkan tersaji pengalaman dan harapan secara lebih jernih, berani, dan elegan. Demikian halnya dengan tradisi mudik.<br /><br />Demi semangat berbagi dan bersua dengan sanak famili, saban tahun pemudik menjalankannya dengan kelegaan hati kendati harus menempuh bentangan jarak yang jauh dan balutan keletihan. Menurut sastrawan Mochtar Lubis, melestarikan kebiasaan sosial seperti mudik ini sama halnya dengan memelihara salah satu akar budaya nenek moyang yang diwariskan sejak zaman megalit lampau.<br /><br />Karena itu, mudik Lebaran tak ubahnya laku ziarah atas ruang dan waktu, kembali pada roh masa lalu demi menemukan kesadaran tentang kefitrahan manusia, betapapun kaburnya konsep âkefitrahanâ itu. Mudik Lebaran di kampung halaman hadir sebagai sesuatu yang berkaitan dengan asal-usul setiap orang. Bagi orang Jawa, misalnya, prosesi mudik Lebaran adalah manifestasi dari keinginan diri untuk merenungkan dan menelusuri sangkan paraning dumadi: mengingat-ingat asal-muasal diri yang dibarengi dengan kesadaran akan nasib yang akan tiba di kemudian hari. Kampung halaman dengan demikian menyimpan berhampar makna simbolis bagi setiap orang yang hendak mencari dan menemukan kembali jejak-jejak awal sejarah dirinya.<br /><br />Di kampung halaman inilah manusia bisa kembali bersahabat dengan âruangâ dan âwaktuâ. Ruang betul-betul menjadi lokus di mana manusia urban kembali menghayati waktu dalam bentuknya yang utuh dan komplet dalam tiga dimensi: masa lalu, masa kini, dan masa datang. Manusia urban bisa kembali menapaki tetapak masa silam yang telah terlewat dan yang telah membentuk sebagian besar kediriannya. Di titimangsa itulah kemudian masa kini hadir sebagai sebuah persambungan sejarah, yang dari sana tiap orang bisa mengukur kembali segenap laku hidupnya: sudahkah cita-cita dan harapan yang dianyam sejak dulu itu tercapai?<br /><br />Meski saat ini mudik cenderung dikemas sebagai âkomoditasâ sosial dalam kemasan modern yang semakin hari kian termodifikasi dalam banyak versi, pesan kemanusiaan ritual mudik sejatinya sebanding dan bisa ditarik sealur dengan spirit sastra lintas budaya. Keduanya telah mengingatkan kita bahwa âsejauh-jauh manusia dan sastra berkelana, toh akhirnya tetap akan pulang juaâ.<br />__________<br />Nur Faizah, Mahasiswa Agama dan Lintas Budaya Pascasarjana UGM, Yogyakarta<br /><br /><span style="font-weight: bold">Sumber : </span><i><span style="font-size: 8pt;font-family: Verdana;color: black" lang="IN"><a href="http://www.tempointeraktif.com/hg/kolom/2008/10/01/kol,20081001-30,id.html"><span>www.tempointeraktif.com</span></a></span></i></div><div class="blogger-post-footer"><img width='1' height='1' src='https://blogger.Car.com/indah/2624359141219824923-6538536732598341208?l=rumah-stil.blogspot.com' alt='' /></div> Tinggalkan komentar anda tentang <a href="http://rumah-stil.blogspot.com/">Ziarah Budaya Itu Bernama Mudik</a><br> infohttp://www.blogger.com/profile/14229387099866067801noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-452429034841350010.post-76612023930532051292010-03-17T05:42:00.001-07:002010-03-17T05:42:12.632-07:00Warung Klangenan<br>Informasi terbaru Warung Klangenan <a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjWvS1cE9jFgnEJwOGiOuUgOQhFa51VvB1nU_YS9ANy6SGz7tKQu8b1nm0Ct1js8YzmYnkUE0rGE6NgVNFYIZpVY9i20uPVhqrrM9w2I-1XepYq1K3D0tIOFo1JmL0W-tYOQpBnHXd3NKg/s1600-h/warung.jpg"><img style="margin: 0px auto 10px;text-align: center;cursor: pointer;width: 261px;height: 175px" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjWvS1cE9jFgnEJwOGiOuUgOQhFa51VvB1nU_YS9ANy6SGz7tKQu8b1nm0Ct1js8YzmYnkUE0rGE6NgVNFYIZpVY9i20uPVhqrrM9w2I-1XepYq1K3D0tIOFo1JmL0W-tYOQpBnHXd3NKg/s400/warung.jpg" alt="" border="0" /></a><br /><div style="text-align: justify">Oleh: <span style="font-weight: bold">Djoko Poernomo<br /><br /></span>Penguji rasa di Warung SGPC Bu Wiryo 1959 di Yogyakarta tidak hanya seorang atau dua orang, melainkan ribuan orang. Mereka para mahasiswa yang setia menyambangi warung tadi sejak didirikan tahun 1959 hingga hari ini.<br /><br />Kalau dirasa kurang enak atau sebab lain, Warung SGPC Bu Wiryo pasti sudah ditinggalkan para pelanggan. Nyatanya tidak. Bahkan semakin berkibar-kibar meski warung dengan menu sejenis terus saja berdiri di kota pelajar ini.<br /><br />Semula warung dengan spesialisasi menu nasi pecel tersebut berdiri di sebelah timur kantor pusat tata usaha Universitas Gadjah Mada (UGM) di lingkungan Kampus Bulaksumur. Tetapi, akibat perluasan Fakultas Teknologi Pertanian, warung kemudian pindah ke arah utara ke Jalan Agro CT VIII, Sleman, berseberangan dengan kampus Fakultas Peternakan UGM.<br /><br />Warung ini didirikan tahun 1959, 10 tahun setelah pendirian UGM, oleh pasangan suami-istri Dario dan Suyati yang memiliki nama keluarga Wiryosoenarto. Kala itu mereka belum memberi nama warung itu. Baru beberapa tahun kemudian, nama SGPC dilabelkan para pelanggan dengan menyebutnya SGPC, kependekan dari sega pecel. Satu menu spesial lain, sup, tak ikut disebut-sebut.<br /><br />Oleh pengelola sekarang, Kelik Indarto (49), anak tertua Wiryosoenarto, di belakang nama SGPC kemudian diimbuhi potongan nama orangtuanya. Jadilah nama Warung SGPC Bu Wiryo 1959. Angka yang disebut terakhir adalah tahun pendirian.<br /><br />Pasangan Dario-Suyati tidak keberatan dengan penamaan itu, terutama Suyati yang kemudian sendirian mengomando warung SGPC hingga akhir hayat tahun 1995.<br /><br />Kecuali menempati rumah sendiri, perkembangan lain warung SGPC adalah diperkenalkannya musik guna memeriahkan suasana sekaligus membuat betah pelanggan. Ini merupakan upaya pribadi Kelik Indarto dua tahun terakhir. Meski demikian, menu utama masih seperti sediakala, yaitu sega (nasi) pecel dan sup.<br /><br />âLauknya juga masih seperti dulu, hanya terdiri dari tahu, tempe, dan telur ceplok. Harganya pas bagi kantong mahasiswa...,â tutur Sudadi (49), karyawan paling senior di SGPC. Sudadiâ"biasa dipanggil para pelanggan dengan sebutan Jonâ" bergabung sejak tahun 1979 dan hingga sekarang tidak pernah ganti profesi. Demikian pula 12 karyawan lain yang sebagian besar masih ada hubungan kekerabatan dengan pemilik.<br /><br /><span style="font-weight: bold">Nostalgia</span><br />Warung SGPC pindah ke tempat baru tahun 1994. Jam buka di tempat lama, kata Sudadi, disesuaikan dengan jam buka kantor, pukul 06.00 hingga 16.00. Guna memenuhi permintaan pelanggan, jam layanan di tempat baru kemudian diperpanjang hingga pukul 21.00. Sepanjang tahun warung ini tak pernah tutup, kecuali hari pertama Lebaran.<br /><br />âPelanggan SGPC mayoritas mahasiswa dan karyawan UGM,â tambah Sudadi. Begitu kerapnya melayani pelanggan, pria asal Kulonprogo, DIY, ini hafal satu demi satu nama para pelanggan yang sekarang sudah âmenjadi orangâ, di antaranya Gubernur BI Boediono, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Depkeu Anggito Abimanyu, Juru Bicara Kepresidenan Andi Alifian Mallarangeng, calon presiden Rizal Mallarangeng, ditambah ratusan nama lain.<br /><br />âBapak-bapak tersebut, kalau pas pulang ke Yogya atau dinas ke Yogya, pasti meluangkan waktu ke sini. Tak hanya sendirian, tetapi mengajak anggota keluarga,â tutur Sudadi. Mereka menjadikan warung murah meriah ini sebagai klangenan.<br /><br />Ketua Mahkamah Konstitusi Moh Mahfud MD yang selalu sarapan di SGPC Bu Wiryo, setiap kali mudik selalu mampir. âSaya sering menggunakan warung ini untuk bernostalgia...,â ungkap Mahfud, pekan lalu, ketika kepergok di SGPC Bu Wiryo bersama keluarga.<br /><br />Di sini, warung itulah, Mahfud pada tahun 1980-an bertemu dengan Zaizatun Nihayati yang kini menjadi istri dan telah memberinya tiga anak.<br /><br />Menurut Mahfud, masakan di warung itu enak, sayurannya segar, bersih, serta suasananya bisa memancing selera. âTak terikat protokoler dan bebas bicara dengan semua kalangan,â tambah dia.<br /><br />Di SGPC orang memang bebas bersuara. Malah beberapa aktivis mahasiswa menjadikan warung ini sebagai entry point berbagai unjuk rasa.<br /><br /><span style="font-weight: bold">Ingar-bingar</span><br />Menurut Gutomo Priyatmono, Direktur Institute for Multiculturalism and Pluralism Studies (Kompas, 17/9/2007), warung itu penuh sesak hingga sore hari bukan saja karena enaknya rasa pecel yang menjadi menu utama, tetapi karena menawarkan atmosfer Yogyakarta.<br /><br />âIdentitas Yogyakarta muncul di sana bukan karena cita rasa sambal pecelnya, tetapi karena persahabatan yang ditawarkan para penyaji sega pecel beserta jus tomat maupun es kunir asam. Persahabatan di sini bukan dalam arti sekadar kenal dan tahu, melainkan persahabatan yang mendudukkan pembeli merasa âhidup secara bersama-samaâ dengan SGPC. Warung sega pecel itu membuat sekat di antara pengunjung dengan berbagai latar belakang dan status sosial menjadi cair,â tulisnya.<br /><br />Hidup bersama-sama dapat digambarkan dengan hubungan penyaji SGPC yang aktif menyapa, menyilakan, melayani, dan menyajikan sega pecel untuk dinikmati para pengunjung. Sebaliknya, para pengunjung terus aktif menjadi penikmat.<br /><br /><span style="font-weight: bold">Sumber : </span><span style="font-size:100%"><i><span style="line-height: 150%;font-family:Verdana;color:black"><a href="http://rumah-stil.blogspot.com/"><span>http://cetak.kompas.com</span></a></span></i> </span><br /><span style="font-weight: bold">Foto : </span><a href="http://rumah-stil.blogspot.com/">http://community.kompas.com</a><br /></div><div class="blogger-post-footer"><img width='1' height='1' src='https://blogger.Car.com/indah/2624359141219824923-2049750867037242684?l=rumah-stil.blogspot.com' alt='' /></div> Tinggalkan komentar anda tentang <a href="http://rumah-stil.blogspot.com/">Warung Klangenan</a><br> infohttp://www.blogger.com/profile/14229387099866067801noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-452429034841350010.post-55923201040312717272010-03-15T23:28:00.001-07:002010-03-15T23:28:34.167-07:00Visit Batam 2010, Ironi Sebuah Logo<br>Informasi terbaru Visit Batam 2010, Ironi Sebuah Logo <div style="text-align: justify">Oleh <span style="font-weight: bold">Kolubi Arman<br /><br /></span>Pada bulan Oktober dan November 2008 yang lalu perusahaan tempat saya bekerja di Kawasan Industri Lobam-Bintan, mendapat kesempatan untuk melatih pekerja yang berasal dari Negara Vietnam, jumlah mereka 12 orang. Jabatan mereka paling rendah teknisi hingga engineer, mereka semua masih muda, baru tamat dari berbagai fakultas di negaranya (baca: berpendidikan semua). Setiap dua minggu di akhir pekan saya diminta oleh perusahaan untuk mengadakan kegiatan bagi mereka.<br /><br />Olahraga, jalan-jalan ke Lagoi, ke Tanjungpinang, dan Batam. Kegiatan yang diadakan di samping agar mereka tidak bosan didormitory di akhir pekan juga kita bermaksud untuk memperkenalkan budaya serta tempat-tempat wisata di Bintan dan Batam. Tulisan tidak bermaksud buruk terhadap program Pemko Batam, Visit Batam 2010, namun tulisan ini sebagai bentuk kepedulian saya.<br /><br />Di Lagoi mereka sangat terkesan dikarenakan memang Lagoi adalah kawasan pariwisata yang dikemas dan dikelola secara internasional. Jelas sekali bagaimana kawasan itu mempersiapkan diri. Mulai dari pintu masuk dari laut maupun dari darat, apalagi ketika memasuki kawasan hingga ke tempat-tempat resort dan pantainya, kesiapan kawasan dan resort benar-benar maksimal. Infrastruktur, lingkungan yang bersih dan tertata secara maksimal, dan orang-orang yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dengan para turis sangat maksimal juga pelayanannya.<br /><br />Sabtu pagi di pertengahan Oktober 2008 rombongan kami berangkat menuju Batam. Punggur adalah tempat pertama kami memasuki Batam. Kesan yang pertama mereka alami adalah kesemrawutan, sumpek dari sebuah terminal yang tak tertata dan manusia di sana terkesan tidak ramah, sopir taksi hampir semua menegur dan terus mengikuti walau sudah dijelaskan kita sudah ada jemputan. Ketika orang-orang Vietnam itu mempertanyakan siapa mereka, saya tidak berani memastikan apakah mereka benar-benar sopir taksi atau tidak.<br /><br />Esoknya di hari Minggu kami menuju Barelang, sebelum sampai di jembatan yang menjadi ikon Batam dan Logo Visit Batam 2010, kami sempat menjumpai logonya. Hal wajar jika orang bertanya tentang logo itu dan mengapa dipilih jembatan sebagai logo, saya bersama rekan kerja dengan semangat menjelaskan jembatan kebanggaan itu sebisa kami dan tentu saja kami coba menjelaskan secara baik. Sebagai ikon dan logo tentu jembatan tersebut harusnya menjadi daya tarik utama kota Batam, tapi alangkah kecewa dan malunya kami ketika sampai di jembatan itu. Jembatan itu tidak memiliki tanda-tanda sebagai ikon.<br /><br />Bagaimana kami tidak malu, suasana dijembatan itu tidak bersih, tidak indah, tidak rapi, orang sesukanya memarkirkan kendaraannya. Jauh benar dari yang kami jelaskan, tak sesuai dari harapan dan cerita indah kami kepada orang-orang Vietnam itu. Rasa penasaran tentang jembatan sebagai ikon lenyap seketika.<br /><br />Tidak ada orang yang sepatutnya berjaga-jaga atau bertugas di sana, tempat bertanya atau sebagai orang yang sigap untuk menolong atau menegur orang yang berdiri terlalu pingir, orang buang sampah sembarangan, orang yang hendak mencoba merusak jembatan. Tidak ada informasi apapun yang dapat layak kami dapatkan, baik secara lisan,tertulis, maupun photo-photo misalnya sejarah, panjang, tinggi jembatan, souvenir khas ikon (baca: jembatan), tidak ada juga fasilitas umum seperti toilet dan musala.<br /><br />Tidak ada fasilitas tambahan apapun di sana untuk mendukung sebuah ikon agar lebih menarik dan dimanfaatkan sebagai wahana rekreasi, berkreasi, bermain, bersantai serta bergembira untuk menyenangkan diri, seperti pengeras suara, kafe, arena bermain, kolam bermain dan sebagainya. Di malam hari jembatan itu juga sangat tidak menarik, pencahayaannya kurang, lampu sorot/penerangan yang seharusnya memperindah jembatan hampir tidak ada. Konon katanya setiap malam minggu di sana banyak pasangan muda mudi yang duduk-duduk untuk menghabiskan waktu sambil berbuat maksiat yang semakin menambah kelam jembatan itu.<br /><br />Saya pikir Visit Batam 2010 tidak hanya sekadar slogan dan program yang tanpa makna dan persiapan. Tapi sepertinya program itu hanya akan menjadi mimpi indah belaka karena ikon dan logonya saja seperti itu, apalagi tempat atau sudut-sudut lain di Batam. Ikon adalah simbol dari nilai-nilai peradaban/budaya, kemajuan, keberhasilan, kejayaan, kemegahan, estetika atau sesuatu menjadi ikon karena lebih menonjol, selalu muncul dan sering dilihat/dikunjungi oleh orang banyak. Ikon adalah bermakna positif jika dikaitkan dengan Visit Batam 2010.<br /><br />Lihatlah Malaysia dengan ikon Menara Kembar benar-benar sebuah simbol dari nilai-nilai peradaban/budaya, kemajuan, keberhasilan, kejayaan, kemegahan, estetika. Malaysia benar-benar bangga dan menggunakan menara kembar dan lingkungannya sebagai tempat yang layak dikunjungi karena membuat orang penasaran ingin melihat secara langsung, sepertinya belum lengkap ke Malaysia jika belum ke Menara Kembar, lingkungannya bersih, asri, dan sangat nyaman, dengan mudah pula kita dapatkan souvenir khas menara kembar.<br /><br />Lalu bagaimana dengan Ikon Visit Batam 2010? Tampaknya pemerintah Kota Batam harus berbenah dan bekerja ekstra keras agar ikonnya tidak sekadar ada. Masih banyak yang harus disediakan dan dilengkapi agar orang mau berkunjung dan terus ingin mengulanginya, dan akhirnya adalah sukses untuk menghasilkan atau meningkatkan pendapatan Kota Batam. Mampukah pemerintah kota Batam melakukan hal itu dalam hitungan beberapa bulan lagi? Sepertinya sulit, dengar kisah Jodoh Boulevard. Jika itu tidak dilakukan maka pemilihan ikon dan logo program Visit Batam 2010 tersebut hanya akan menjadi sebuah ironi dan lalu sia-sia.<br />__________<br />Kolubi Arman adalah Karyawan Industri Lobam-Bintan<br /><br /><span style="font-weight: bold">Sumber :</span><span style="font-size: 8pt;line-height: 150%;font-family: Verdana;color: black" lang="IN"><a href="http://batampos.co.id/Opini/Opini/Visit_Batam_2010_Ironi_Sebuah_Logo.html"><span>http://batampos.co.id</span></a></span><span style="color: black"></span> </div><div class="blogger-post-footer"><img width='1' height='1' src='https://blogger.Car.com/indah/2624359141219824923-6000977218818666853?l=rumah-stil.blogspot.com' alt='' /></div> Tinggalkan komentar anda tentang <a href="http://rumah-stil.blogspot.com/">Visit Batam 2010, Ironi Sebuah Logo</a><br> infohttp://www.blogger.com/profile/14229387099866067801noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-452429034841350010.post-46311398092790121332010-03-14T17:21:00.001-07:002010-03-14T17:21:26.418-07:00Legenda situs Karangkamulyan<br>Informasi terbaru Legenda situs Karangkamulyan <a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgap7aUqUPyqErJ-Wn1JuSpoY3GZUgP2rncaJ-dT1_iNY0dnoIYJaRmd19LWSio_W0C58S5Db_iYMIeSbLkD0zqHcjrxttgYtHRnAwXFBrYpEtvPr-ngfE7kimCMIxuwo9QO6ORBHmVs-g/s1600-h/karangkamulyan4.jpg"><img style="margin: 0px auto 10px;text-align: center;cursor: pointer;width: 245px;height: 184px" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgap7aUqUPyqErJ-Wn1JuSpoY3GZUgP2rncaJ-dT1_iNY0dnoIYJaRmd19LWSio_W0C58S5Db_iYMIeSbLkD0zqHcjrxttgYtHRnAwXFBrYpEtvPr-ngfE7kimCMIxuwo9QO6ORBHmVs-g/s400/karangkamulyan4.jpg" alt="" border="0" /></a><br /><br /><div style="text-align: justify">Legenda situs Karangkamulyan berkisah tentang Ciung Wanara yang berhubungan dengan Kerajaan Galuh. Cerita ini banyak dibumbui dengan kisah kepahlawanan yang luar biasa seperti kesaktian dan keperkasaan yang tidak dimiliki oleh orang biasa namun dimiliki oleh Ciung Wanara.<br /><br />Kisah Ciung Wanara merupakan cerita tentang Kerajaan Galuh (zaman sebelum berdirinya Kerajaan Majapahit dan Pajajaran). Tersebutlah raja Galuh saat itu Prabu Adimulya Sanghyang Cipta Permana Di Kusumah dengan dua permaisuri, yaitu Dewi Naganingrum dan Dewi Pangrenyep. Mendekati tibanya ajal, sang Prabu mengasingkan diri dan kekuasaan diserahkan kepada Patih Bondan Sarati karena Sang Prabu belum mempunyai anak dari permaisuri pertama (Dewi Naganingrum). Singkat cerita, dalam memerintah Raja Bondan hanya mementingkan diri sendiri, sehingga atas kuasa Tuhan Dewi Naganingrum dianugerahi seorang putera, yaitu Ciung Wanara yang kelak akan menjadi penerus resmi kerajaan Galuh yang adil dan bijaksana.<br /><br />Kawasan yang luasnya kurang lebih 25 Ha ini menyimpan berbagai benda-benda yang diduga mengandung sejarah tentang Kerajaan Galuh yang sebagian besar berbentuk batu. Batu-batu ini letaknya tidaklah berdekatan tetapi menyebar dengan bentuknya yang berbeda-beda. Batu-batu ini berada di dalam sebuah bangunan yang strukturnya terbuat dari tumpukan batu yang bentuknya hampir sama. Struktur bangunan ini memiliki sebuah pintu sehingga menyerupai sebuah kamar.<br /><br />Batu-batu yang ada di dalam struktur bangunan ini memiliki nama dan menyimpan kisahnya sendiri, begitu pula di beberapa lokasi lain yang berada di luar struktur batu. Masing-masing nama tersebut merupakan pemberian dari masyarakat yang dihubungkan dengan kisah atau mitos tentang kerajaan Galuh seperti ; pangcalikan atau tempat duduk, lambang peribadatan, tempat melahirkan, tempat sabung ayam dan Cikahuripan.<br /><br />Situs Karangkamulyan terletak di daerah berhawa sejuk dan telah dilengkapi dengan areal parkir yang luas dengan pohon-pohon besar. Setelah gerbang utama, situs pertama yang akan dilewati adalah Pelinggih (Pangcalikan). Pelinggih merupakan sebuah batu bertingkat-tingkat berwarna putih serta berbentuk segi empat, termasuk ke dalam golongan Yoni (tempat pemujaan) yang letaknya terbalik, digunakan untuk altar. Di bawah Yoni tersebut terdapat beberapa buah batu kecil yang seolah-olah sebagai penyangga, sehingga memberi kesan seperti sebuah dolmen (kubur batu). Letaknya berada dalam sebuah struktur tembok yang lebarnya 17,5 x 5 meter.<br /><br />Kisah tentang Ciung Wanara memang menarik untuk ditelusuri, karena selain menyangkut cerita tentang Kerajaan Galuh, juga dibumbui dengan hal luar biasa seperti kesaktian dan keperkasaan yang tidak dimiliki oleh orang biasa namun dimiliki oleh Ciung Wanara.<br /><br />Kisah Ciung Wanara merupakan cerita tentang kerajaan Galuh ( sebelum berdirinya Kerajaan Majapahit dan Pajajaran ). Tersebutlah raja Galuh saat itu Prabu Adimulya Sanghyang Cipta Permana Di Kusumah dengan dua permaisuri, yaitu Dewi Naganingrum dan Dewi Pangrenyep. Mendekati ajal tiba Sang Prabu mengasingkan diri dan kekuasaan diserahkan kepada patih Bondan Sarati karena Sang Prabu belum mempunyai anak dari permaisuri pertama ( Dewi Naganingrum ). Singkat cerita, dalam memerintah raja Bondan hanya mementingkan diri sendiri, sehingga atas kuasa Tuhan Dewi Naganingrum dianugerahi seorang putera, yaitu Ciung Wanara yang kelak akan menjadi peenrus kerajaan Galuh dengan adil dan bijaksana.<br /><br />Bila kita telusuri lebih jauh kawasan yang luasnya kurang lebih 25 Ha ini menyimpan berbagai benda-benda yang diduga mengandung sejarah tentang Kerajaan Galuh yang sebagian besar berbentuk batu. Batu-batu ini letaknya tidaklah berdekatan tetapi menyebar dengan bentuknya yang berbeda-beda, berada dalam sebuah tempat berupa struktur bangunan terbuat dari tumpukan batu yang bentuknya hampir sama. Struktur bangunan ini memiliki sebuah pintu sehingga menyerupai sebuah kamar.<br /><br />Situs Karangkamulyan merupakan peninggalan Kerajaan Galuh Pertama menurut penyelidikan Tim dari Balar yang dipimpin oleh Dr Tony Jubiantoro pada tahun 1997. Bahwasannya di tempat ini pernah ada kehidupan mulai abad ke IX, karena dalam penggalian telah ditemukan keramik dari Dinasti Ming. Situs ini terletak antara Ciamis dan Banjar, jaraknya sekitar 17 km ke arah timur dari kota Ciamis atau dapat ditempuh dengan kendaraan sekitar 30 menit.<br /><br />Situs ini juga dapat dikatakan sebagai situs yang sangat strategis karena berbatasan dengan pertemuan dua sungai yakni Sungai Citanduy dan Cimuntur, dengan batas sebelah utara adalah jalan raya Ciamis-Banjar, sebelah selatan sungai Citanduy, sebelah barat merupakan sebuah pari yang lebarnya sekitar 7 meter membentuk tanggul kuno, dan batas sebelah timur adalah sungai Cimuntur. Karena merupakan peninggalan sejarah yang sangat berharga, akhirnya kawasan ini ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya oleh Pemerintah.<br /><br />Udara yang cukup sejuk terasa ketika kita memasuki gerbang utama situs ini. Tempat parkir yang luas dengan pohon-pohon besar disekitar semakin menambah sejuk Setelah gerbang utama, situs pertama yang akan kita lewati adalah Pelinggih ( Pangcalikan ). Pelinggih merupakan sebuah batu bertingkat-tingkat berwarna putih serta berbentuk segi empat, termasuk ke dalam golongan / jenis yoni ( tempat pemujaan ) yang letaknya terbalik, digunakan untuk altar. Di bawah Yoni terdapat beberapa buah batu kecil yang seolah-olah sebagai penyangga, sehingga memberi kesan seperti sebuah dolmen ( kubur batu ). Letaknya berada dalam sebuah struktur tembok yang lebarnya 17,5 x 5 meter.<br /><br /><span style="font-weight: bold">Sahyang Bedil</span><br />Tempat yang disebut Sanghyang Bedil merupakan suatu ruangan yang dikelilingi tembok berukuran 6.20 x 6 meter. Tinggi tembok kurang lebih 80 cm. Pintu menghadap ke arah utara, di depan pintu masuk terdapat struktur batu yang berfungsi sebagai sekat (schutsel). Di dalam ruangan ini terdapat dua buah menhir yang terletak di atas tanah, masing-masing berukuran 60 x 40 cm dan 20 x 8 cm. Bentuknya memperlihatkan tradisi megalitik. Menurut masyarakat sekitar, Sanghyang Bedil dapat dijadikan pertanda datangnya suatu kejadian, terutama apabila di tempat itu berbunyi suatu letusan, namun sekarang pertanda itu sudah tidak ada lagi.<br /><br /><span style="font-weight: bold">Penyabungan Ayam</span><br />Tempat ini terletak di sebelah selatan dari lokasi yang disebut Sanghyang Bedil, kira-kira 5 meter jaraknya, dari pintu masuk yakni berupa ruang terbuka yang letaknya lebih rendah. Masyarakat menganggap tempat ini merupakan tempat penyabungan ayam Ciung Wanara dan ayam raja. Di samping itu merupakan tempat khusus untuk memlih raja yang dilakukan dengan cara demokrasi.<br /><br /><span style="font-weight: bold">Lambang Peribadatan</span><br />Batu yang disebut sebagai lambang peribadatan merupakan sebagian dari kemuncak, tetapi ada juga yang menyebutnya sebagai fragmen candi, masyarakat menyebutnya sebagai stupa. Bentuknya indah karena dihiasi oleh pahatan-pahatan sederhana yang merupakan peninggalan Hindu. Letak batu ini berada di dalam struktur tembok yang berukuran 3 x 3 m, tinggi 60 cm. Batu kemuncak ini ditemukan 50 m ke arah timur dari lokasi sekarang. Di tempat ini terdapat dua unsur budaya yang berlainan yaitu adanya kemuncak dan struktur tembok. Struktur tembok yang tersusun rapi menunjukkan lapisan budaya megalitik, sedangkan kemuncak merupakan peninggalan agama Hindu.<br /><br /><span style="font-weight: bold">Panyandaran</span><br />Terdiri atas sebuah menhir dan dolmen, letaknya dikelilingi oleh batu bersusun yang merupakan struktur tembok. Menhir berukuran tinggi 120 cm, lebar 70 cm, sedangkan dolmen berukuran 120 x 32 cm. Menurut cerita, tempat ini merupakan tempat melahirkan Ciung Wanara. Di tempat itulah Ciung Wanara dilahirkan oleh Dewi Naganingrum yang kemudian bayi itu dibuang dan dihanyutkan ke sungai Citanduy. Setelah melahirkan Dewi Naganingrum bersandar di tempat itu selama empat puluh hari dengan maksud untuk memulihkan kesehatannya setelah melahirkan.<br /><br /><span style="font-weight: bold">Cikahuripan</span><br />Di lokasi ini tidak terdapat tanda-tanda adanya peninggalan arkeologis. Tetapi hanya merupakan sebuah sumur yang letaknya dekat dengan pertemuan antara dua sungai, yaitu sungai Citanduy dan sungai Cimuntur. Sumur ini disebut Cikahuripan yang berisi air kehidupan, air merupakan lambang kehidupan, itu sebabnya disebut sebagai Cikahuripan. Sumur ini merupakan sumur abadi karena airnya tidak pernah kering sepanjang tahun.<br /><br /><span style="font-weight: bold">Dipati Panaekan</span><br />Di lokasi makam Dipati Panaekan ini tidak terdapat tanda-tanda adanya peninggalan arkeologis. Tetapi merupakan batu yang berbentuk lingkaran bersusun tiga, yakni merupakan susunan batu kali. Dipati Panaekan adalah raja Galuh Gara Tengah yang berpusat di Cineam dan mendapat gelar Adipati dari Sultan Agung Raja Mataram.<br /><br /><span style="font-weight: bold">Sumber : </span><br /><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Situs_Karangkamulyan">http://id.wikipedia.org</a><br /><a href="http://rumah-stil.blogspot.com/">http://navigasi.net</a><br /><span style="font-weight: bold">Foto :</span><a href="http://rumah-stil.blogspot.com/"><span><span style="text-decoration: underline">http://i696.photobucket.com</span></span></a><span style="font-weight: bold"><span style="text-decoration: underline"></span></span><a href="http://rumah-stil.blogspot.com/"></a><br /></div><div class="blogger-post-footer"><img width='1' height='1' src='https://blogger.Car.com/indah/2624359141219824923-5292335344021030630?l=rumah-stil.blogspot.com' alt='' /></div> Tinggalkan komentar anda tentang <a href="http://rumah-stil.blogspot.com/">Legenda situs Karangkamulyan</a><br> infohttp://www.blogger.com/profile/14229387099866067801noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-452429034841350010.post-69743553844069854992010-03-10T23:24:00.001-08:002010-03-10T23:24:36.405-08:00Potensi dan Masalah Kota Bawah Surabaya Sebagai Kawasan Pusaka Budaya<br>Informasi terbaru Potensi dan Masalah Kota Bawah Surabaya Sebagai Kawasan Pusaka Budaya Oleh : <span style="font-weight: bold">Timoticin Kwanda<br /><br /></span><div style="text-align: justify"><span style="font-weight: bold">Abstract</span><br />The centers of many cities are among our most valued built environments, since they are the oldest, sometimes reaching back hundreds of years. The old center of Surabaya also known as the lower city has been developed since the sixteen century. The long history of the lower city is established by the existence of various buildings that built with various architectural styles at different periods, starting from 1870s to 1940s. At the same time, the lower city is also a place of intense conflict between historic buildings and new buildings, for example at the time of property booming in 1990s, new constructions such as shopping centers, hotels, and offices have demolished these historic buildings.<br /><br />To protect the historic buildings, conservation efforts have been implemented by the city government of Surabaya through issuing the Mayorâs decree of 1996 and 1998 that listed 163 buildings and sites to be protected. However, it is not optimal to conserve the character of the lower city, since conservation of cultural heritage is not only protecting one or some buildings, but also conserving the urban fabric, such as cityâs distinctive land use patterns, various architectural styles, and daily social activities form the character of a city to be different and unique.<br /><br />This study has shown that the lower city consisting of Eropean quarter, Chinese, and Arab (Ampel) quarter have potential to be maintained and developed, such as intact land use pattern and roads network, various architectural styles, and lifely social activities, especially at the Ampel quarter. On the other hand, there are some problems have to be solved and improved, such as new construction that damage the character of the area, unsupported building uses (warehouses) for maintenance, and uniform building uses that cause a âdeceaseâ area during the evening.<br /><br /><span style="font-weight: bold">Pendahuluan</span><br />Pusat-pusat kota merupakan lingkungan buatan yang sangat berharga, karena mereka adalah bagian tertua dari kota dengan sejarah panjang ratusan tahun yang lalu. Sebagai sebuah kota yang memiliki sejarah panjang, Kota Surabaya juga memiliki suatu pusat kota lama yang dikenal juga dengan nama Kota Bawah (beneden stud) yang telah berkembang sejak abad lokasinya berada di sekitar kawasan Jalan Kembang Jepun, Ampel, dan Jalan Rajawali/Veteran.<br /><br />Sejarah panjang Kota Bawah ini terbukti dengan kehadiran berbagai bangunan-bangunan yang didirikan pada periode yang berbeda, yaitu mulai tahun 1870-an sampai dengan tahun 1940-an dengan langgam arsitektur yang beragam pula, sehingga membuat pusat kota ini memiliki karakter yang khas.<br /><br />Namun pada saat yang sama, Kota Bawah ini juga menjadi tempat konflik antara bangunan bersejarah dengan pembangunan bangunan baru. Pada saat ledakan properti di tahun 1990, pembangunan baru seperti pertokoan, hotel, dan perkantoran marak dikembangkan di kawasan ini dengan menghancurkan bangunan-bangunan bersejarah. Pembangunan terhenti sejenak dengan terjadinya Property Crash di tahun 1997, namun seiring dengan perturnbuhan ekonomi makro yang semakin membaik, maka pada tahun 2001 pembangunan baru pada kawasan ini kembali marak. Sejarah berulang kembali, pembangunan baru dimulai lagi dan melenyapkan bangunan-bangunan bersejarah seperti pada kasus-kasus penghancuran pasar Wonokromo, rumah sakit Mardi Santosa, dan stasiun kereta api Semut.<br /><br />Upaya untuk melindungi bangunan-bangunan bersejarah ini telah dilakukan oleh pemerintah Kota Surabaya dengan menerbitkan Surat Keputusan Wali Kota Surabaya tahun 1996 dan tahun 1998, yang berisi tentang 163 bangunan dan situs yang harus dilindungi. Namun, upaya ini belum maksimal untuk melindungi karakter kawasan ini, karena upaya pelestarian pusaka budaya tidak hanya melindungi satu atau beberapa bangunan saja, tetapi juga rnempertahankan struktur kota/kawasan (urban fithrtc), yang meliputi pola penggunaan lahan (fungsi bangunan), langgam arsitektur, dan aktifitas kehidupan masyarakat yang membentuk karakter suatu kawasan menjadi berbeda dan unik.<br /><br />Tulisan ini mencoba untuk mengetahui sejauh mana perubahan fisik dan aktivitas masyarakat yang terjadi pada Kota Bawah Surabaya sampai saat ini, sebagai akibat dart pembangunan baru pada kawasan ini, serta potensi dan masalah yang ada untuk dapat dipertahankan, dikembang¬kan, diatasi dan diperbaiki untuk masa yang akan datang.<br /><br /><span style="font-weight: bold">Sejarah Singkat Kota Bawah Surabaya</span><br />Pada abad ke-18, berdasarkan perjanjian tanggal 11 November 1743 antara Gubernur Jenderal Belanda van Imhoff dengan raja Paku Buwono II dari Mataram, VOC merniliki kedaulatan penuh atas Kota Surabaya. Kedaulatan ini menjadi titik awal perkembangan Kota Bawah Surabaya. [1] Pada awal abad ke-19, Kota Bawah Surabaya terus berkembang dimana tembok kota dan kanal dibangun mengelilingi kota.<br /><br />Dibawah ketentuan undang-undang Wijkenstelsel, pada tahun 1843 kota bawah dibagi dalam dua wilayah permukiman berdasarkan etnis yaitu permukiman orang Eropa berada di sisi Barat Jembatan Merah dan permukintan masyarakat Timur Asing (Vreande Oosterlingen) berada di sisi Timur yang terdiri dart permukiman masyarakat Tionghoa (Chineesche Karnp), Arab (Arabische Kamp) dan permukiman masyarakat Pribumi yang menyebar di sekitar human orang Tionghoa dan Arab. Pada kawasan Eropa terletak Balai Kota pertama yang telah musnah, menghadap langsung ke arah Jembatan Merah. Meskipun setelah tahun 1920-an undang-undang Wijkenstelsel tersebut dihapuskan, kebijakan ini berbekas pada segregasi kawasan hunian bagi orang Eropa, Arab dan Tionghoa, dan masih terilihat dengan jelas saat ini terutama pada karakter bangunannya yang berbeda.<br /><br />Seperti kota-kota benteng di dunia pada saat itu, sampai pada awa 1 abad ke-19 batas Kota Bawah sangat jelas sekali dibatasi oleh tembok kota. Perkembangan yang sangat pesat terjadi pada kota-kota besar di Hindia Belanda, seperti Jakarta dan Surabaya setelah peng¬hapusan Cultuurstelsel di tahun 1870. Tahun 1870 sering dianggap sebagai permulaan dari tahap baru perkembangan era kolonial, di mana kota-kota bertumbuh pesat dengan kehadiran kantor-kantor perdagangan perusa¬haan-perusahaan dari Belanda, seperti di Kota Surabaya. Sebagai akibat perkembangan kota yang pesat, maka pada tahun 1871, tembok kota dihan¬curkan dan permukiman baru berkembang ke arah Selatan di kawasan Balai Kota sekarang yang dikenal juga sebagai kota atas. Sampai saat ini, batas Kota Atas masih dapat terlihat dari pola jalan yang mengikuti pola tembok kota yaitu:<br /><br />⢠Untuk kawasan barat adalah Jalan Indrapura (Westerbuitenweg) pada batas sisi utara dan barat serta Jalan Kebonrejo (Regentstraat) pada batas sisi selatan,<br /><br />⢠untuk kawasan timur adalah Jalan Benteng (Citatielweg)-Danal(arya (Pekoelen)-Pegirian pada batas sisi utara dan Jalan Kapasar. Lor-Sumbo pada batas timur serta Jalan Stasiun Kota (Stationsweg Kota) pada batas sisi selatan.<br /><br />Batas Kota atas Surabaya berupa tembok kota pada tahun 1865 yang diproyeksikan pada peta kota tahun 1940, menunjukan lokasi permukiman masyarakat Eropa, Tionghoa dan Arab dan batas Kota Bawah sekarang pada peta tahun 1999 (kanan).<br /><br /><span style="font-weight: bold">Kawasan Eropa</span><br />Kawasan Eropa terletak di sisi timur Kalimas dengan dua (2) jalan utama yang membelah kawasan menjadi bagian utara dan selatan dari sisi barat ke timur sampai pada Balai Kota pertama (jembatan Merah) yaitu Hereenstraat ((Jalan Rajawali) dan jalan yang sejajar dengan Kalimas dari utara ke selatan yaitu Willemskade, tempat ini kemungkinan bekas tempat berlabuh (Jalan Jembatan Merah, dan Societeitstraat (Jalan Veteran). Pada sisi barat kawasan dibatasi oleh jalan utama bemama Wester-buitenweg Jalan Indrapura) pada bagian utara dan barat dan di bagian selatan ka¬wasan adalah Regentstraat Galan Indrapura dan Kebonrejo).<br /><br />Pada umumnya bangunan-bangunan umum, seperti perkarttoran dan perdagangan yang dibangun antara tahun 1870-an dan 1930-an terletak di sisi kanan-kiri jalan utama Hereenstraat dan sisi kiri Willemskade dan Societeitstraat seperti pola penataan kota di Belanda di mana bangunan menghadap ke arah sungai. Sedangkan perumahan masyarakat Eropa terle¬tak dibelakang jalan-jalan utama terdapat tiga (3) ruang terbuka yang membentuk struktur kawasan, yaitu Willemsplein (sekarang taman Jayengrono ex. Terminal Jembatan Merah) yang menghubungkan dua (2) jalan utama yaitu Hereenstraat dan Willemskade. Kedua, ruang terbuka yang menhubungkan Willemskade dengan Paradestraat (Jalan Niaga) dan Roomsche Kerkstraat (Jalan Cendrawasih) adalah Paradeplein (sekarang halaman Polwiltabes dan pom bensin). Ruang terbuka ketiga adalah Comedieplein di sisi barat gedung HVA (sekarang PT. Perkebunan XI) yang sekarang telah berubah menjadi pemukiman.<br /><br /><span style="font-weight: bold">Potensi Kawasan Eropa</span><br />Sampai saat ini, secara umum tidak terjadi perubahan yang drastis pada pola penggunaan lahan dan jaringan jalan Yang ada, karena penmbangunan jalan baru atau pelebaran jalan mau tidak mau akan menghangcurkan bangunan-bangunan bersejarah yang ada. Sedangkan potensi yang ada pada kawasan ini adalah:<br /><br /><span style="font-weight: bold">Keanekaragaman gaya arsitektur</span><br />Pada kawasan ini, secara garis besar keanekaragaman gaya arsitek¬tur telihat dari perkembangan arsitektur dalam empat (4) periode, antara lain:<br /><br />⢠Indische Empire Style (1870-1900)<br />⢠Khas Belanda (1900-1910)<br />⢠Eklektisisme (1910-1925)<br />⢠Amsterdam School, De Stijl danilieuwe Zakelijkheid (1920-1942).<br /><br /><span style="font-weight: bold">Indische Empire Style (neo-klasik), 1870 -1900</span><br />Arsitektur neo-klasik di Hindia Belanda dimulai dengan kedatangan Willem Daendels yang pernah menjadi seorang jenderal pada pasukan Napoleon dan ditunjuk sebagai Gubemur-Jenderal di Hindia Belanda (1808-1811). Dia memperkenalkan pengaruh gaya Empire yang kuat pada dua bangunan utama di Kota Jakarta sekarang, yaitu Istana Daendels (sekarang gedung Departemen Keuangan, 1809-1828), dan klub tertua di Asia Tenggara, Harmonie (1810) yang dihancurkan pada tahun 1985. Gaya arsitektur ini menjadi populer dikenal dengan lndische Empire Style dan berkembang subur di seluruh Pulau Jawa.<br /><br />Di Surabaya, satu contoh yang bagus dari gaya neoklasik ini adalah gedung kediaman Gubernur Jawa Timur. Bangunan yang didirikan pada tahun 1870 ini memiliki veranda dengan proporsi klasik lengkap dengan kolom-kolom Dorik yang mengelilingi tampak depan bangunan, dan juga berakar pada arsitektur Jawa dengan teras depan sebagai respon pada kondisi iklim setempat dan bentuk atap limasan Jawa pada setiap ruangan dalam. Beberapa bangunan dengan langgam ini masih hanyak ditemukan pada kawasan ini seperti gedung Polwiltabes dan sebuah rumah di Jalan Sikatan.<br /><br /><span style="font-weight: bold">Gaya arsitektur Belanda dalam tangan para profesional, 1900-1910</span><br />Pada akhir abad ke-19, perkembangan produksi dan pasar, perbaikan komunikasi, dan kondisi yang lebih aman secara hukum sebagai dasar untuk investasi. Di kota-kota seperti Surabaya, respon perkembangan arsitektur terhadap pertumbuhan ekonomi Hindia Belanda ini adalah pembangunan bangunan-bangunan umum, seperti perkantoran, pergu¬dangan dan pabrik, bank, kantor asuransi, pelayaran dan kereta api, jasa pos, termasuk juga bangunan sosial, seperti sekolah, rumah sakit, gereja, klub dan sejenisnya. Hampir semua arsitek gedung-gedung ini adalah arsitek profesional yang dididik di Belanda, misalnya di Surabaya antara lain adalah M. J. Hulswit, Ed Cuypers, F.J.L. Ghijsels, C. Citroen, Prof. Schoemaker dan Prof. W. Lemei.<br /><br />Sebagaimana mereka terdidik di Belanda, maka hasil karya-karya mereka di Hindia Belanda juga merupakan pengaruh dari perkembangan arsitektur di Belanda. Beberapa karakter arsitektur Belanda pada arsitek¬tur kolonial adalah penggunaan gevel, dormer (jendela di atap), menara yang menyatu pada gedung, terutama menara segi empat yang ramping dengan atap lancip yang pendek. Satu contoh karakter arsitektur Belanda ini adalah De Algemeene Verzekerings Maatschappij (sekarang kantor PT. Aperdi) yang dirancang oleh Berlage dan M.J. Hulswit di tahun 1900. Peng¬gunaan gevel, dormer, dan menara yang menyatu pada gedung juga ditemukan pada bangunan-bangunan lain, namun dengan bentuk menara yang lebih sederhana disesuaikan dengan ten gaya arsitektur modem pada waktu itu, sebagai contoh adalah/Borsumij (sekarang gedung Bank Mandiri) yang didesain oleh Citroen pada tahun 1935.<br /><br /><span style="font-weight: bold">Eklektisisme, 1910 â" 1925</span><br />Pada tahun 1908, banyak cabang-cabang Javache Bank dibuka di kota¬kota besar disamping kantor pusat di Jakarta, biasanya dirancang berdasarkan gaya neo-renaissance oleh Hulswit-Fermont dan Ed. Cuypers, perusahaan konsultan arsitektur terbesar dan paling dikenal oleh masyarakat Belanda di Hindia Belanda dari tahun 1910-1942. Di Surabaya, Javache Bank dirancang oleh Hulswit-Ed. Cuypers pada tahun 1912 adalah bangunan satu lantai dengan lantai dasar, dengan menara yang ringan dan lubang ventilasi, bentuk pediment klasik yang diubah terletak pada ujung tampak depart, kolom-kolom yang menopang jendela yang masuk (niche) dan tiga jendela dormer, memberi kesan tampilan gaya Empire yang kuat pada bangunan ini. Bentuk kolom pada gedung ini adalah lonik dengan motif dan jendela lengkung. Motif-motif ukir candi Jawa digunakan pada bangunan ini. Karya ini juga dianggap sebagai suatu contoh langgam elektisisme, suatu bangunan dengan penggunaan elemen-elemen berbagai gaya secara bebas.<br /><br />Contoh lainy adalah kantor Handelsvereeniging Amsterdam (HVA), sekarang adalah kantor PT. Perkebunan XI (Hulswit, Fermont and Cuvpers, tahun 1921- 1924). Lantai pertama dan kedua dikelilingi oleh koridor berkolom dengan kepala kolom dan lengkungannya bermotif bunga membentuk tulisan Islam. Bentuk atapnya yang berlapis dua ada¬lah suatu bentuk ekspresi lokal selain sebagai suatu pemecahan terhadap kondisi iklim. Bangunan ini dibangun dengan sangat baik, sehingga sampai saat ini kondisi bangunan masih hampir sama.<br /><br /><span style="font-weight: bold">De Amsterdamse School, De Stijl dan De Nieirtve Zakelijkheid,1920-1942</span><br />Pada awal abad ke-20, perkembangan gerakan modern dalam arsi¬tektur Belanda diwakili oleh dua aliran yaitu aliran romantik dan Am¬sterdam dan pendekatan rasional dari Rotterdam. Sekitar tahun 1912, gerakan yang pertama ini muncul dikenal sebagai aliran Amsterdam, prinsip gerakan ini berkenaan dengan suatu model yang ambisius dan dekoratif, biasanya dengan bahan alami. Pada tahun 1917, gerakan yang kedua, De Stijl didirikan dan dinamakan menurut nama majalah De Stijl dengan editor seoarng pelukis, desainer, dan penulis Belanda, bernama Theo van Doesburg. Karakter arsitektur ini adalah asimetri, elemen geo¬metri yang sederhana, atap datar, penggunaan eksklusif garis-garis hori¬zontal dan vertikal, dicat dengan wama netral seperti putih atau abu-¬abu muda. Satu contoh yang bagus dan De Stijl di Surabaya, sebagai ba¬sil dari pengaruh gaya asimetri Wright, adalah kantor Gubemur Jawa Timur yang dirancang oleh W. Lemei pada tahun 1931.<br /><br />Kemudian di tahun 1920, terdapat tren baru yang dikenal luas sebagai De Nieuwe Zakelijklteid (obyektivitas baru), Het Nieuwe Boawcz uiau Fungsionalisme. Di Surabaya, satu contoh De Nieuwe Zakelijkheid ini diwakili oleh gedung Borsuntij (sekarang Bank Mandiri). Contoh lain adalah Internationale Crediet-en Handelsverereeniging Rotterdam yang dirancang oleh F.J.L. Ghijsels di tahun 1929). Bangunan kantor 2,5 lantai ini adalah suatu kantor perusahaan perbankan dan perkebunan, berbentuk simetris dengan persilangan elemen horizontal dan vertikal, pelindung sinar matahari yang dalam untuk jendela, sepasang menara dan balkon yang masuk pada kedua ujung depan bangunan. Sebuah slo¬gan terkenal Ghijsels: "Simplicity is the Shortest Path to beauty" sungguh-¬sungguh tercermin dalam desain bangunan ini. Hampir semua detail-detail interiornya merupakan sambungan dari sistem strukturnya sendiri, tanpa suatu dekorasi yang tidak perlu.<br /><br />Karya lain dari langgam ini adalah Koloniale Bank, sekarang kantor PT. Perkebunan XII yang dirancang oleh C.P. Wolff Schoemaker pada tahun 1927-1928 (gambar 5). la merupakan salah seorang tokoh yang paling penting tentang gaya intemasional seperti Art Deco dengan bentuk lengkungnya, terutama pada bangunan Villa Isola (tahun 1932) di Bandung. Gedung ini mendemonstrasikan penekanan Schoemaker pada kekuatan garis-garis horizontal yaitu penataan berbagai pintu dan jende¬la serta artikulasi elemen-elemen vertikal.<br /><br />Selain bangunan-bangunan yang telah dibahas sebelumnya, pada kawasan Eropa ini relatif masih banyak bangunan-bangunan lain yang mewakili berbagai langgam arsitektur yang ada di Surabaya, sebagai potensi kawasan ini.<br /><br /><span style="font-weight: bold">Masalah Kawasan Eropa</span><br />Masalah-masalah yang terjadi pada kawasan ini antara lain adalah:<br />1. Perubahan fungsi bangunan dan karakter kawasan<br />Perubahan fungsi bangunan banyak terjadi pada kawasan ini, yang memprihatinkan adalah perubahan fungsi yang tidak mendukung peme¬liharaan gedung misalnya penggunaan untuk gudang yang akan semakin merusak gedung. Sedangkan perubahan karakter kawasan relatif besar terjadi pada jalan utama yaitu Jalan Rajawali dengan adanya beberapa pembangunan baru, seperti Plasa Jembatan Merah (ex. bangunan gudang), hotel Ibis, bank BRI dan bank BCA di Jalan Veteran. Sangat disayangkan bahwa pembangunan beberapa bangunan baru ini malah merusak karakter kawasan Eropa, seperti bank BRI, BCA dan Plasa Jembatan Merah. Bangunan bank BRI yang terletak di jalan Rajawali ini memiliki ketinggian masa yang sama dengan bangunan lama di sampingnya, namun terlihat sangat kontras dengan bahan, warna bangunan dan tampilan fasade yang berbeda dimana bentuk pembukaan dan atap datar yang kontras dengan atap sejenis perisai yang berjendela. Demikian pula terlihat pada tampilan dua bangunan berikutnya yaitu Plasa Jembatan Merah (1992) dan bank BCA yang terlihat kontras antara bangunan lama dengan banguan baru, disebabkan oleh tinggi, bahan dan warna bangunan, serta tampilan fasade yang sangat berbeda.<br /><br />Sedangkan hotel Ibis merupakan salah satu contoh yang baik tentang pembangunn bangunan baru yang harmonis dengan lingkungan lama¬nya. Salah satu contoh bangunan baru yang dirancang secara harmoni dengan bangunan sekitarnya adalah hotel Ibis yang terletak di jalan Rajawali. Hotel ini dahulunya adalah sebuah kantor perdagangan swasta Belanda, Geo Wehry & Co. (1913-an) dan bagian belakang bangu¬nan berfungsi sebagai gudang. Tampak depan dart gedung lama masih dipertahankan dan tampilan bangunan baru yang serasi dengan bangu¬nan-bangunan lama di sekitarnya, baik dalam hal skala, warna dan bahan bangunan, sehingga karakter lingkungan Jalan Rajawali kelihatan tidak mengalami banyak perubahan.<br /><br /><span style="font-weight: bold">2. Aktifitas masyarakat</span><br />Setelah masa kemerdekaan, tentunya kehidupan masyarakat Eropa tidak terlihat lagi pada kawasan Mi. Pada saat ini, aktivitas perdagangan dan perkantoran yang dominan pada kawasan ini di pagi hingga sore hari. Pudarnya fungsi human pada kawasan ini membuat kawasan ini menjadi "kota mati" pada malam hari. Pola penggunaan bangunan yang multi fungsi seperti perdagangan, rekreasi dan hunian diharapkan akan mehidupkan aktifitas masyarakat pada kawasan ini sepanjang hari.<br /><br /><span style="font-weight: bold">Kawasan Tionghoa</span><br />Permukiman Tionghoa Surabaya terletak di sisi Timur Kalimas di¬mana bangunan-bangunan utama perdagangan terletak di Jalan Han¬delsstraat, sekarang jalan Kembang Jepun. Sedangkan kawasan permu¬kiman terletak di belakang kawasan perdagangan Kembang Jepun, seperti di Jalan Chineesche Voorstraat (jalan Karet). Orang Tionghoa sudah ada di Surabaya sejak zaman Mojopahit di abad ke-15, jauh sebelum Belanda menguasai Surabaya pada tahun 1746. Mereka bermukim secara kelompok ditepi Kali Mas, di daerah sekitar Jalan Coklat yang kemudian terkenal dengan daerah Pecinan atau âChineesche Kampâ (kampung Cina).<br />Pada saat itu, klenteng bukan hanya sebagai tempat berlangsung¬nya kehidupan keagamaan, tetapi juga sebagai tempat berlangsungnya khidupan sosial masyarakat Tionghoa yang berpusat di jalan Tepekong (sekarang jalan Coklat), yaitu sebuah kelenteng tertua di Surabaya ber¬nama Hok An Kiong yang dibangun sekitar tahun 1800-an. Bentuk atap¬nya yang khas serta penggunaan warna merah yang dorninan menjadi salah satu ciri khas arsitektur Cina.<br />Potensi Kawasan Tionghoa<br /><br />Potensi yang ada pada kawasan ini adalah:<br />1. Pola penggunaan lahan<br />Sampai saat ini, secara umum tidak terjadi perubahan yang drastic pada pola penggunaan lahan dan jaringan jalan yang ada, misalnya pembangunan jalan baru dan pelebaran jalan yang akan menghangcurkan bangunan-bangunan bersejarah yang ada.<br /><br />2. Keanekaragaman gaya arsitektur<br />Pada jalan utama Kembang Jepun, terdapat berbagai arsitektur bangunan perdagangan (rumah toko) yang umumnya berlanggarn arsitektur kolonial Belanda. Selain kelenteng Hok An Kiong (1800-an), beberapa bangunan penting lainnya pada kawasan permukiman adalah rumah tinggal pemuka masyarakat Tionghoa pada waktu itu yaitu Mayor The dan keluarga kava Han yang bergaya arsitektur Cina dengan bentuk atap yang khas. Khusus untuk rumah tinggal keluarga Han, gaya eklektisisme terlihat dengan pemakaian berbagai elemen arsitekur seperti teras depan dan kolom klasik.<br /><br />Keluarga âTheâ adalah keluarga Cina peranakan yang terkenal pada abad ke-18 dan ke-19 di Surabaya. Keluarga ini berasal dari propinsi Fujian di Cina Selatan. Banyak keturunan dan keluarga ini menduduki jabatan Mayor, Kapten maupun Letnan pada masyarakat Tionghoa di Surabaya. Untuk memudahkan kontrol atas masyarakat Tionghoa, Pemerintah Kolonial Belanda biasanya menunjuk tokoh-tokoh masyarakat setempat yang diberi jabatan dengan pangkat Mayor, Kapten atau Letnan. Rumah tinggal ini sekarang menjadi rumah sembayang yang ramai dikunjungi sebagai tempat reuni keluarga âTheâ pada hari raya tahun baru Imlek, dan perayaan Cing Bing.<br /><br />Meskipun sudah lama bermukim di Jawa, tetapi banyak kebudayaan dan adat istiadat orang Cina yang masih dipertahankan. Salah satunya adalah pendirian rumah sembayang keluarga, yang disebut sebagai âTjoh-tjhoeâ atau rumah abu bagi keluarga terkemuka. Rumah sembahyang keluarga marga Han berada di Chineesche Voorstraat (jalan Karet). Keluarga âElanâ adalah keluarga Cina peranakan yang terkenal di Surabaya pada abad ke-18 dan ke-19. Menurut Claudine Salmon (1991), banyak anggota keluarga Han yang menjadi pejabat dan tokoh masyarakat pada masa kolonial. Tidak diketahui persis kapan bangunan ini didirikan, tetapi pada abad ke-19 bangunan ini sudah ada.<br /><br /><span style="font-weight: bold">Masalah kawasan Tionghoa</span><br />Sedangkan masalah yang dihadapi oleh kawasan ini adalah:<br />Karakter kawasan dan fungsi bangunan<br />Secara fisik perubahan banyak terjadi pada jalan utama Kembang Jepun, di mana tampilan bangunan ash telah ditutupi dengan berbagai papan iklan dan pembangunan baru seperti bank Mapion, dan bank BCA di jalan Slompretan dan bangunan baru lainnya di Jalan Karet yang telah merubah karakter kawasan ini. Selain itu, relatif banyak bangunan yang telah berubah fungsi menjadi gudang, dan penghuni pada kawasan per¬mukiman ini sudah berpindah ke kawasan-kawasan permukiman baru di timur dan barat Kota Surabaya. Sebagai contoh, saat ini hanya tersisa dua (2) keluarga yang tetap tinggal di kawasan ini, sebagai akibat pada maâam hari kawasan ini menjadi kawasan yang mati.<br /><br /><span style="font-weight: bold">Kawasan Arab</span><br />Kampung Arab Surabaya terletak di sisi utara permukiman masya¬rakat Tionghoa di mana kawasan ini umumnya adalah perumahan. Kawasan ini pada sisi barat dibatasi oleh Kalimas dan Oosterkade Kali¬mas (sekarang Jalan Kalimas Timur) dan pada sisi timur dibatasi oleh Jalan Nyamplungan dan jalan Danakarya. Jalan utama lainnya pada kawasan ini adalah Jalan K.H. Mansyur yang membentang dari utara ke selatan.<br /><br />Masjid Sunan Ampel adalah sebagai pusat kegiatan di kawasan ini bukan saja bagi masyarakat di sekitarnya, tetapi juga bagi banyak masyarakat muslim yang datang untuk berziarah. Jalan yang paling ramai di kawasan ini adalah jalan Ampel Suci dimana para pedagang dan pembeli bertemu sepanjang jalan menuju ke Masjid Sunan Ampel. Masjid Sunan Ampel yang terletak di Kampung Ngampel (Ampel) ini diduga merupakan masjid tertua di Surabaya. Sekitar tahun 1414, Raden Rachmad keponakan dari istri Raja Majapahit yang berasal dari Champa, bemama Wikrama¬wardhana (1389-1428) datang ke Surabaya. Raden Rachmad yang waktu itu masih berumur 20 tahun diberi tempat oleh raja di desa Ngampel. Ia kemudian menyiarkan agama Islam kepada penduduk di sekitar Ngampel, yang kemudian terkenal dengan sebutan Sunan Ampel, dan wafat pada tahun 1467 di Ngampel. Di dekat makamnya dibangun sebuah masjid. Pada tahun 1870-1872, komplek masjid ini diperbaiki dan didirikan sebuah masjid besar yang dinamakan masjid Sunan Ampel. Berabad abad ke¬mudian, komplek masjid Sunan Ampel ini telah mengalami beberapa kali perluasan.<br /><br /><span style="font-weight: bold">Potensi Kawasan Arab</span><br />Potensi pada kawasan ini antara lain:<br />1. Struktur kawasan: pola fungsi lahan dan pola jalan<br />Penataan lingkungan ini berpusat pada masjid Ampel, sehingga perkampungan yang ada mempunyai orientasi ke arah dalam. Hal inilah yang menyebabkan kawasan Ampel terkesan tertutup dari lingkungan di luar kawasan tersebut. Pola penggunaan lahan pada kawasan sec.ira umum tidak banyak berubah yaitu sebagai permukiman kampung dengan arsitektur rumah tinggal yang beragam terutama pada jalan atau gang-gang yang menuju ke arab masjid Ampel.<br /><br />Salah satu keunikan lain dari kawasan ini adalah jaringan jalan yang rumit, terdiri dari beberapa gang yang saling berhuhungan antara satu dengan yang lainnya. Penataan gang seperti ini tidak ditemukan dalam tatanan kampung-kampung lainnya di Surabaya. Apabila terdapat orang luar yang masuk ke lingkungan ini tentunya akan mengalami kebingu - ngan karena ia akan merasa seolah-olah masuk dalam suatu labirin. Gang-gang dalam kampung tersebut juga memiliki nama-nama yang khas Arab, seperti Ampel Suci, Ampel Magfur, dan Ampel Masjid.<br /><br />2. Keanekaragaman gaya arsitektur<br />Dari wujud kebudayaan fisik yaitu karya arsitektur berupa mesjid dan kelompok makam Sunan Ampel. Mesjid ini bercirikan arsitektur tradisional Jawa dengan kolom klasik. Pintu gerbang makam merupakan modifikasi dari pintu gerbang zaman Majapahit (Hindu). Lamanya penjajahan Belanda berpengaruh juga pada gaya arsitektur yang ada pada kawasan ini, terutama pada Jalan K.H. Mansyur dan Jalan Nyamplungan.<br /><br />Di Jalan KH. Mansyur, bangunan-bangunan yang berkembang dengan tipologi yang berbeda-beda sesuai zamannya. Sejak awal abad ke-20 atau tepatnya pada tahun 1925 di sepanjang jalan ini dijumpai banyak bangunan yang berarsitektur Eropa Klasik dan Arab yang dibangun oleh pendatang, baik dari pendatang Arab maupun orang asing lainnya.<br /><br />3. Aktivitas masyarakat<br />Kampung Ampel memiliki potensi sebagai kampung wisata dan tempat ziarah serta pada bagian pasar Ampel dapat dijumpai tempat-tempat penjualan cindera mata khas timur tengah seperti, minyak wangi, buah kurma, sajadah, jilbab-jilbab dengan warna yang beraneka ragam, permadani, dan sebagainya berupa barang untuk keperluan ibadah.<br /><br />Masjid Ampel dan Makam Sunan Ampel serta makam-makam pe-muka agama lainnya cukup dikenal, karena selain memiliki nilai-nilai religius yang tinggi dengan sendirinya ia jgua memiliki nilai historis yang tinggi.<br /><br />Banyak sekali wisatawan baik dari mancanegara ataupun dari dalam negeri yang sangat tertarik untuk mengunjungi Ampel dengan alasan utama untuk berziarah.<br /><br />Pintu Gapura menuju ke makam Sunan Ampel (kiri), masjid Ampel lama (tengah atas), hotel Kemajuan/eks kompleks perwira Belanda tahun 1928 (tengah ba¬wah), ruko tipikal bergaya Arab (kanan atas), dan bangunan arsitektur Belanda dengan gevel (kanan bawah).<br /><br /><span style="font-weight: bold">Masalah kawasan Arab</span><br />Masalah yang ada pada kawasan ini adalah kondisi bangunan. Seca¬ra umum, kondisi bangunan yang ada di kawasan Ampel terbagi menjadi dua, yaitu yang masih terawat dengan baik dan yang sama sekali tidak terawat. Yang masih terawat baik terutama adalah bangunan yang ber¬fungsi sebagai rumah tinggal, sedangkan yang tidak terawat kebanyakan berfungsi bukan rumah tinggal, yaitu seperti gudang.<br /><br /><span style="font-weight: bold">Kesimpulan</span><br />Hasil studi ini menunjukkan bahwa, Kota Bawah yang terdiri dan kawasan Eropa, Tionghoa, dan kawasan Arab (Ampel) memiliki potensi yang harus dipertahankan dan dikembangkan, seperti pola penggunaan lahan dan jaringan jalan yang relatif masih utuh, keanekaragaman langgarn arsitektur, serta aktivitas kehidupan masyarakat yang kental terutama pada kawasan Ampel. Di lain pihak, terdapat masalah-masalah yang harus diatasi dan diperbaiki, seperti pembangunan bangunan baru yang merusak karak¬ter kawasan, perubahan fungsi bangunan (pergudangan) yang tidak men¬dukung pemeliharaan bangunan, serta pola penggunaan bangunan yang relatif seragam mengakibatkan kawasan menjadi "mati" pada malam hari.<br /><br />Berdasarkan pada potensi dan masalah yang ada, maka penetapan kawasan Kota Bawah ini sebagai kawasan pusaka budaya merupakan suatu langkah awal yang diperlukan untuk melindungi kawasan ini secara utuh (urban fabric). Sedangkan, revitalisasi kawasan ini sebagai langkah lain untuk menghidupkan kembali aktivitas masyarakat agar karakter kawasan ini dapat tetap terpelihara dengan baik.<br /><br /><span style="font-weight: bold">Daftar pustaka</span><br />Broeshart, A.C. 1994. Soerabajn; Beeld van een stad. Purmerend: Asia Maior.<br /><br />Charter. 1987. Charter for the conservation of historic towns and urban areas. Wa¬shington, D.C.: the American ICOMOS.<br /><br />Ebbe, Katrinka dan D. Hankey. 1999. Case study of Ningbo, China; Cultural heritage conservation in urban upgrading. Washington, D.C.: The World Bank.<br /><br />Ebbe, Katrinka dan Lee J. Harper. 2000. Cultural heritage management and urban development; Challenge and opportunity. Beijing: International Conference Proceedings.<br /><br />International Charter. 1964-1965. International charter for the conservation and restoration of monu¬ments and sites. Venice: the Greek ICOMOS.<br /><br />Neill, William J.V. 2004. Urban planning and cultural identity. London: Routledge.<br /><br />Piagam Pelestarian. 2003. Piagam pelestarian pusaka Indonesia. Ciloto: Jaringan Pelestarian Pusaka Indonesia, Indonesia International Council on Monuments and Sites, dan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata RI.<br /><br />Principles. 2000 Principles for the conservation of heritage sites in China. Chengde: China ICOMOS.<br /><br />Recommendation. 1976. Recommendation concerning the safeguarding and contemporary role of historic areas. Nairobi: UNESCO.<br /><br />Salmon, Claudine. 1991. âTheklan family of East Java entrepreneurship and politic 18th-19(h centuriesâ, Archipel 41:53-87.<br />Vines, Elizabeth. 2003. Streetwise Asia; A practical guide for the conservation and revita-lization of heritage cities and towns in Asia. Washington, Dr.: The World Bank.<br />__________<br />Timoticin Kwanda adalah Staf Pengajar Jurusan Arsitektur, Universitas Kristen Petra â" Surabaya<br /><br />________________________________________<br />[1] Sebutan Kota Bawah (benedenstad) dipergunakan untuk membedakan dengan Kota Atas (bovenstad) yang berkembang kemudian di tahun 1920-an yang berpusat pada kawasan Balaikota sekarang.<br /><br /><span style="font-weight: bold">Sumber :</span><i><span style="font-size: 8pt;font-family: Verdana;color: black"><a href="http://www.indie-indonesie.nl/content/documents/papers-urban%20history/timoticin%20kwanda.pdf" target="_blank"><span>indie-indonesie.nl</span></a></span></i><span style="font-size: 8pt;font-family: Verdana;color: black"><br /> <!--[if !supportLineBreakNewLine]--><br /> <!--[endif]--></span></div><div class="blogger-post-footer"><img width='1' height='1' src='https://blogger.Car.com/indah/2624359141219824923-9200105098459369431?l=rumah-stil.blogspot.com' alt='' /></div> Tinggalkan komentar anda tentang <a href="http://rumah-stil.blogspot.com/">Potensi dan Masalah Kota Bawah Surabaya Sebagai Kawasan Pusaka Budaya</a><br> infohttp://www.blogger.com/profile/14229387099866067801noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-452429034841350010.post-46134310205012416072010-03-09T17:43:00.001-08:002010-03-09T17:43:44.763-08:00Pengembangan Wisata Kota Tua Bersejarah<br>Informasi terbaru Pengembangan Wisata Kota Tua Bersejarah <a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjKBwhiO81PPrKs367H8TF_lyLWAhaA0U-lHBx4npDvQJSm4Fj3crwVIw_L1D9ddFDkogIpadzOYDFOSyQIvdtVGdaXhgQfUZXyduoJ9yjg1B_02NF2VrRbTbmsqsVaYBf1NuL5y-CWUNA/s1600-h/lawwu.jpg"><img style="margin: 0px auto 10px;text-align: center;cursor: pointer;width: 235px;height: 167px" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjKBwhiO81PPrKs367H8TF_lyLWAhaA0U-lHBx4npDvQJSm4Fj3crwVIw_L1D9ddFDkogIpadzOYDFOSyQIvdtVGdaXhgQfUZXyduoJ9yjg1B_02NF2VrRbTbmsqsVaYBf1NuL5y-CWUNA/s400/lawwu.jpg" alt="" border="0" /></a><br /><div style="text-align: justify">Oleh: <span style="font-weight: bold">Bambang Budi Utomo</span><br /><span style="font-weight: bold"></span><br />Pada tanggal 30 Januariâ"7 Februari 2004, di Vientiane (Republik Rakyat Demokrasi Laos) telah diselenggarakan ASEAN Tourism Forum (ATF) 2004 dengan tema âASEAN: the New Tourism Landscapeâ. Salah satu hal yang dibicarakan dan disepakati dalam pertemuan itu adalah tentang ASEAN Heritage Cities, gagasan tentang pembentukannya diajukan oleh delegasi Thailand. Tujuan pembentukannya adalah untuk menciptakan hubungan bagi kota-kota bersejarah di wilayah Asia Tenggara, baik di daratan maupun di kepulauan.<br /><br />Rincian dari tujuan pembentukan ASEAN Heritage Cities antara lain adalah:<br />1. Menggalakkan kerja sama wisata sejarah antarnegara anggota;<br />2. Mendorong untuk pengelolaan tinggalan sejarah dan budaya masa lampau yang lebih baik di masing-masing negara anggota;<br />3. Mempromosikan wisata sejarah ASEAN dan mendorong arus wisatawan ke kawasan ASEAN;<br />4. Menggalakkan hubungan dan pemahaman antar warga negara ASEAN dan memberikan gambaran kepada dunia di luar ASEAN tentang integrasi dan keanekaragaman budaya ASEAN.<br /><br />Tujuan tersebut di atas kertas sangat menarik, namun implementasinya di lapangan saya kurang dapat membayangkan keberhasilannya. Melalui tulisan singkat ini, saya akan mencoba memberikan pemikiran bagaimana mengimplementasikannya di lapangan dengan mengambil contoh kasus di Palembang, karena:<br /><br />1. Palembang merupakan kota tertua di Indonesia yang terus berkembang dan kelahirannya dicatat dalam sebuah prasasti yang bertanggal 16 Juni 682 Masehi.<br /><br />2. Pada zaman ?r?wijaya, kota ini mempunyai hubungan persahabatan dengan N?landa dan Nagipattana, India (Prasasti N?landa, abad ke-9 M, Prasasti Raja-raja I, tahun 1044/1046 M), Nakhon Sitammarat, Thailand (Prasasti Wiang Sa, tahun 775 M), Kedah, Malaysia (Berita Tionghoa, I tsing abad ke-7 M), dan Canton, Tiongkok (Prasasti Tien Qing, tahun 1079 M).<br /><br />3. Pada masa pendudukan Majapahit (abad ke-15 M), Palembang berhubungan dengan Malaka, Malaysia. Bahkan, pembangunan Kota Malaka dikaitkan dengan Parameswara yang berasal dari Bukit Siguntang, Palembang.<br /><br />4. Pada Masa Kesultanan Palembang-Darussalam (abad ke-17-19 M) terdapat hubungan persahabatan dengan Kesultanan Sulu di Filipina Selatan (Mindanau). Sebuah sumber sejarah menginformasikan bahwa salah seorang Sultan Sulu masih kerabat dekat Sultan Palembang Darussalam.<br /><br /><span style="font-weight: bold">1. Palembang Kota Tua</span><br />Indonesia atau dulunya dikenal dengan sebutan âNusantaraâ telah memiliki sejarah hunian manusia yang cukup panjang. Sebut saja Pulau Jawa yang dikenal oleh dunia internasional sebagai salah satu tempat asalnya manusia purba dengan situsnya Sangiran, Pacitan, dan Wajak. Sedangkan awal babakan sejarah Indonesia telah dimulai pada abad ke-5 M, yaitu di Kutai (Kalimantan Timur) dan Tarumanegara (Jawa Barat). Sayangnya, dari awal peradaban manusia ini tidak ditemukan sisa-sisa huniannya, apalagi hunian yang terus berkembang menjadi sebuah kota.<br /><br />Kota merupakan hasil perkembangan terakhir dari sebuah bentuk permukiman. Berkembang tidaknya sebuah permukiman menjadi sebuah kota dapat tergantung dari keletakan permukiman tersebut dan sumber daya alam yang dapat menghidupi penduduk di suatu hunian. Indonesia mempunyai banyak kota tua yang berasal dari hunian tingkat sederhana. Namun, tidak seluruhnya dapat berkembang pesat menjadi sebuah kota besar. Sebut saja, misalnya kota-kota tua di Barus, Pidie, Jambi, Palembang, Banten, Jakarta, Lasem, Tuban, Gresik, Surabaya, Makassar, Ternate, Tidore, dan masih banyak lagi.<br /><br />Di antara kota-kota tua yang ada di Nusantara, Palembang merupakan kota tua yang mempunyai keunikan, sebagaimana telah saya utarakan di bagian muka. Setelah dimukimi dan dibangun, Palembang terus berkembang dari masa ke masa hingga kini. Berbagai pemerintahan silih berganti membangun dan menghidupi kota ini.<br /><br />Palembang sebagai sebuah situs kota (urban site) tentu saja memiliki arsitektur tinggi sebagai produk peradaban. Dilihat dari data tertulis (prasasti dan naskah-naskah kuno) dan data arkeologis yang sampai kepada kita, sejarah Palembang sebagai kota metropolitan secara kronologis dapat dijelaskan sebagai berikut:<br /><br />1. Fase I merupakan Fase Awal (682-1365 M) berdirinya sebuah kota ditandai dengan pembangunan wanua (=perkampungan) ?r?wijaya pada tanggal 16 Juni 682 M oleh Dapunta Hiya? yang dilanjutkan dengan pembangunan Taman ?r?ksetra pada tanggal 23 Maret 684 M, dan akhirnya perluasan wilayah kekuasaan ke berbagai penjuru (Jambi, Bangka, dan Lampung).<br />2. Fase II merupakan Fase Pendudukan (1365-1407 M) oleh Majapahit atau dapat dikatakan juga Fase Status Quo yang terjadi pada sekitar abad ke-14 M. Pada masa ini, Palembang dalam keadaan âtidak terurusâ dan secara de jure tidak ada penguasa. Berita Tiongkok menyebutkan bahwa pada masa itu Palembang dikuasai oleh orang-orang dari Nan-hai dengan menobatkan Liang Tau-ming bersama putranya sebagai penguasa tertinggi.<br /><br />3. Fase III merupakan Fase Awal Kesultanan Palembang (1407-1642 M). Dimulai tahun 1407 M ketika Mugni diangkat menjadi raja di Palembang dengan gelar Sultan Palembang. Pada tahun 1445 M, Mugni kemudian digantikan oleh Aria Damar--seorang bangsawan Majapahit yang memeluk Islamâ"yang menjadi penguasa di Palembang setelah berganti nama menjadi Aria Dilah. Pada masa ini, Palembang masih berada di bawah pengaruh Jawa (Demak dan Mataram) sampai dengan tahun 1642 M.<br /><br />4. Fase IV merupakan Fase Kesultanan Palembang-Darussalam (1643-1821 M) dimulai dari masa pemerintahan Sri Susuhunan Abdurrahman (1643-1651 M), dan diakhiri pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin II (1811-1821 M). Pada fase ini, Palembang pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I (1724-1758) mengalami pembangunan fisik besar-besaran. Bangunan monumental yang dibuat kala itu adalah Keraton Kuto Tengkuruk, Masjid Agung Palembang, Makam Kawah Tengkurep, dan Benteng Kuto Besak.<br /><br />5. Fase V merupakan Fase Pendudukan oleh Belanda yang diawali dengan jatuhnya Benteng Koto Besak pada tahun 1821 M. Fase ini berlangsung sampai kemerdekaan tahun 1945 M. Pada masa ini, bangunan Keraton Kuto Tengkuruk diratakan dengan tanah, dan di atas reruntuhannya dibangun rumah Komisaris Belanda. Bangunan ini sekarang menjadi bangunan Museum Sultan Mahmud Badaruddin II.<br /><br />Rekonstruksi Palembang pada Masa Sriwijaya, sekitar abad ke-7-9 M (tahun 680-an) dimulai dari 1 Ilir di sebelah timur sampai Desa Karanganyar di sebelah barat, mulai dari tepi utara Musi sampai Desa Talang Kelapa di sebelah utara. Sementara itu, wilayah Seberang Ulu (selatan Musi) tidak ditemukan data arkeologis dari Masa ?r?wijaya. Ini berarti Kota Palembang yang kala itu masih bernama ?r?wijaya masih menempati areal sisi utara Sungai Musi.<br /><br />Luas Palembang pada masa kesultanan tidak jauh berbeda dengan masa ?r?wijaya. Hanya ditambah sedikit dengan wilayah seberang ulu. Namun, pusat pemerintahannya tetap di sisi utara Musi. Pusat pemerintahan (keraton tempat tinggal sultan) berpindah-pindah. Mulai dari daerah 1 Ilir (Keraton Palembang Lamo atau Kuto Gawang), 16 Ilir (Keraton Beringin Janggut), Kuto Lama atau Kuto Batu, dan terakhir Keraton Kuto Besak. Kuto Besak dibangun sekitar 100 meter di sebelah barat Keraton Kuto Lama. Belakangan keraton Kesultanan Palembang yang masih tersisa adalah Keraton Kota Besak. Pada masa ini, sudah terdapat penataan kota, misalnya tempat tinggal orang-orang asing terletak di wilayah seberang ulu, di sekitar Plaju.<br /><br /><span style="font-weight: bold">2. Palembang dan Malaka</span><br />Rupa-rupanya, dari masa ke masa Bukit Siguntang? memang sudah lama dikenal, sebagaimana tercantum dalam Kitab Sejarah Melayu yang ditulis pada tanggal 13 Mei 1612 M.<br /><br />Adapun Negeri Palembang itu, Palembang yang ada sekarang inilah. Maka di hulu Sungai Tatang itu ada sebuah sungai, Melayu namanya; di dalam sungai itu ada sebuah bukit bernama Bukit Si Guntang; di hulu Gunung Maha Miru, di daratnya ada satu padang bernama Padang Penjaringan. Maka ada dua orang perempuan berladang, Wan Empo seorang namanya dan Wan Malini seorang namanya; dan keduanya itu berumah di Bukit Si Guntang itu, terlalu luas humanya, syahadan terlalu jadi padinya, tiada dapat terkatakan; telah hampir masak padi itu.<br /><br />Itulah sepenggal kalimat yang tercantum dalam Kitab Sejarah Melayu. Seterusnya kitab itu menceriterakan turunnya makhluk setengah dewa (Sang Siperba) ke Bukit Siguntang dan di kemudian hari menurunkan raja-raja Melayu di Sumatra, Kalimantan Barat, dan Semenanjung Tanah Melayu. Menurut Sejarah Melayu, Bukit Siguntang adalah Gunung Mahameru seperti yang terdapat dalam cerita-cerita sastra agama Hindu dan Buddha.<br /><br />Telah masyhurlah pada segala negeri bahwa anak raja anak cucu Raja Iskandar Dhuâlkarnain turun ke Bukit Si Guntang Maha Miru, maka segala raja-raja dari segala negeri pun datanglah menghadap raja itu sekaliannya dengan persembahannya.<br /><br />Selanjutnya Kitab Sejarah Melayu menguraikan perjalanan Sang Siperba ke tempat lain menyeberang Sumatra menuju Kalimantan.<br /><br />Setelah keluar dari Kuala Palembang, lalu berlayar menuju selatan enam hari enam malam, jatuh ke Tanjung Pura. Maka Raja Tanjung Pura pun keluar mengelu-elukan Baginda dengan serba kebesaran dan kemuliaan ... Setelah mendengar bahwa raja turun dari Bukit Siguntang itu ada di Tanjung Pura, maka Batara Majapahit pun berangkat hendak bertemu dengan Sang Siperba.<br /><br />Dalam Kitab Sejarah Melayu tersebut, dapat diketahui ada tiga orang raja, yaitu seorang raja yang turun dari Bukit Siguntang, Raja Tanjung Pura, dan Raja Majapahit. Raja Majapahit dikatakan sebagai raja yang mulia: âAdapun pada jaman itu Ratu Majapahit itu raja besar, lagi amat bangsawanâ. Karena kehormatan Raja Majapahit, Sang Siperba, raja yang turun dari Bukit Siguntang, kemudian mengawinkan seorang putrinya dengan Raja Majapahit. Sementara itu, salah seorang anak Sang Siperba, Sang Maniaka, dikawinkan dengan anak Raja Tanjung Pura dan kemudian menjadi raja di Tanjung Pura. Keturunan dari Sang Siperba adalah Parameswara yang kemudian meneruskan perjalanannya ke Semenanjung Tanah Melayu.<br /><br />Bukit Siguntang oleh sebagian masyarakat Melayu di Sumatra dan Semenanjung, dianggap suci karena merupakan âpundenâ-nya orang-orang Melayu. Menurut Kitab Sejarah Melayu, raja yang memerintah di Malaka dikatakan sebagai keturunan dari Sang Siperba, makhluk setengah dewa yang turun di Bukit Siguntang. Oleh sebab itu, orang-orang Melayu dari Malaka yang berkunjung ke Palembang, rasanya kurang lengkap kalau tidak berkunjung ke Bukit Siguntang.<br /><br />Kuatnya âkepercayaanâ terhadap cerita sejarah Melayu tersebut mendorong Gubernur Malaka untuk melakukan napak tilas perjalanan Parameswara, mulai dari Sang Siperba hingga membangun Kesultanan Malaka di pantai barat Semenanjung Malaysia. Perjalanan napak tilas dengan menggunakan kapal layar besar ini menjadikan semacam wisata ziarah dengan tujuannya Bukit Siguntang.<br /><br />Jika dikaitkan antara Palembang dan Malaka, dan keterikatan emosional (penduduk) Malaka dan Palembang, keadaan ini akan menguntungkan kita. Orang-orang Malaka, sekurang-kurangnya kaum bangsawan Melayunya datang ke Palembang untuk melakukan perjalanan ziarah. Sepengetahuan saya pada saat tertentu di setiap tahun mereka secara berombongan datang ke Palembang.<br /><br /><span style="font-weight: bold">3. Palembang-Darussalam</span><br />Penguasa Palembang yang dikenal sebagai Tokoh Pembangunan Modern adalah Sultan Mahmud Badaruddin I atau dikenal dengan nama Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo yang memerintah pada tahun 1724-1758 M. Selama masa pemerintahannya, Sultan ini banyak melakukan pembangunan kota, di antaranya Makam Lemabang atau dikenal juga dengan nama Kawah Tengkurep (1728 M), Kuto Batu (Kuto Lamo, 29 September 1737 M), Masjid Agung (26 Mei 1748 M), dan terusan-terusan (kanal) di sekitar Kota Palembang. Konon kabarnya, Sultan ini juga memprakarsai pembangunan Benteng Kuto Besak. Selain itu, beliau juga mengembangkan tambang timah di Bangka dan menata sistem perdagangan agar lebih menguntungkan kesultanan.<br /><br />Kawasan inti Keraton Kesultanan Palembang-Darussalam pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I luasnya sekitar 50 hektar dengan batas-batas di sebelah utara Sungai Kapuran, di sebelah timur berbatasan dengan Sungai Tengkuruk (sekarang menjadi Jl. Jenderal Soedirman), di sebelah selatan berbatasan dengan Sungai Musi, dan di sebelah barat berbatasan dengan Sungai Sekanak. Pada awalnya, di areal tanah yang luasnya sekitar 50 hektar ini hanya terdapat bangunan (Benteng) Kuto Batu atau Kuto Tengkuruk dan bangunan Masjid Agung dengan sebuah menara yang atapnya berbentuk kubah.<br /><br />Perang Palembang tahun 1819 dan 1821 M antara Sultan Mahmud Badaruddin II dan Belanda, tidak hanya menghapuskan institusi kesultanan tetapi juga menghancurkan bangunan Keraton Kuto Tengkuruk. Di atas puing-puing bekas bangunan Kuto Tengkuruk dibangun sebuah rumah megah untuk kediaman Residen Palembang, van Sevenhoven (1825 M). Bangunan ini sekarang berfungsi sebagai bangunan Museum Sultan Mahmud Badaruddin II.<br /><br />Di dalam kawasan inti keraton, pada masa pemerintahan Gemeente Palembang (awal abad ke-20 M) dibuat beberapa buah bangunan yang hingga sekarang masih berdiri kokoh. Bangunan-bangunan tersebut antara lain Menara Air (sekarang Kantor Wali Kota Palembang), dan Hotel Musi. Pada masa ini pula, beberapa sungai yang terdapat di kawasan inti telah berubah fungsi. Sungai Tengkuruk yang terdapat di sebelah timur Kuto Tengkuruk ditimbun untuk jalan yang sekarang menjadi Jl. Jendral Soedirman. Sungai yang terdapat di sebelah utara Kuto Besak/Menara Air ditimbun menjadi Jl. Merdeka.<br /><br /><span style="font-weight: bold">4. Saran</span><br />Kota Palembang telah dikenal oleh dunia internasional, sekurang-kurangnya dikenal oleh para ilmuwan yang bergerak di bidang sejarah dan arkeologi. Palembang dikenal sebagai kota tua yang berkaitan erat dengan keberadaan Kerajaan ?r?wijaya. Karena itulah di kawasan regional Asia Tenggara, berbicara mengenai ?r?wijaya mau tidak mau juga harus berbicara mengenai Palembang, Kedah, Nakhon Sitammarat, Tiongkok, dan India.<br /><br />Berdasarkan pertimbangan latar belakang sejarah serta banyaknya ragam tinggalan budaya masa lampau di Palembang, pengelolaan sumber daya budaya, dan daerah kunjungan wisata (khususnya wisata sejarah dan wisata ziarah), melalui tulisan singkat ini saya mengusulkan:<br /><br />1. Membangun kawasan wisata budaya Palembang sesuai dengan kaidah-kaidah pemintakatan (zoning) benda cagar budaya sebagaimana yang telah ditetapkan oleh instansi yang berwenang. Disarankan kawasan yang dapat dijadikan kawasan kota tua bersejarah adalah pada kawasan inti keraton yang luasnya sekitar 50 ha.<br /><br />2. Melakukan pemantauan pembangunan fisik kota dengan memperhatikan tinggalan budaya baik yang ada di dalam tanah maupun yang di permukaan tanah, dan memberikan asistensi terhadap kegiatan pembangunan yang menyangkut benda cagar budaya. Apalagi pada saat ini Pemerintah Kota Palembang sedang giat melakukan pembangunan fisik. Sebuah bangunan tua, bekas tempat kediaman Residen Palembang telah dibongkar untuk dibangun Museum Tekstil (Kompas, 11 dan 14 Oktober 2005, hlm. 12). Bangunan ini dibangun tahun 1883 M, sebelum pemerintahan Gemeente Palembang.<br /><br />3. Melakukan pembenahan untuk kebersihan dan keamanan lingkungan di sekitar obyek wisata budaya dengan instansi terkait di lingkungan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kota. faktor keamanan di Palembang sangat penting untuk dibenahi, karena banyaknya tempat yang rawan kejahatan.<br /><br />4. Membuat perencanaan yang matang dengan konsep yang jelas mengenai Palembang sebagai Heritage City.<br /><br />5. Dalam usaha menggalakkan kerja sama wisata sejarah antarnegara anggota ASEAN, perlu ditekankan pada promosi mengenai hubungan kesejarahan antara Palembang dan tempat-tempat lain yang ada kaitan sejarahnya, misalnya antara Palembang dan Malaka. Secara umum, kota-kota lain di Indonesia yang akan dijadikan Heritage City sebaiknya mempunyai hubungan kesejarahan dengan Heritage City lain yang ada di kawasan Asia Tenggara (Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan).<br /><br />6. Dalam usaha memperkenalkan integrasi dan keanekaragaman budaya ASEAN, beberapa hasil budaya materi (material culture) Palembang yang mendapat pengaruh asing, misalnya pengaruh Tionghoa yang tercermin dalam seni pembuatan kerajinan lakuer dan tenunan songket, harus dipromosikan ke mancanegara.<br /><br />? Merupakan sebuah bukit kecil yang tingginya +26 meter d.p.l. Bukit ini letaknya sekitar 5 km menuju ke arah barat dari pusat Kota Palembang. Dari bukit kecil ini, terdapat tinggalan budaya masa lampau berupa sebuah arca Buddha yang tingginya sekitar 4 meter, prasasti batu, fondasi bangunan bata, pecahan-pecahan keramik dan tembikar, dan beberapa jenis artefak keagamaan lain.<br />__________<br />Bambang Budi Utomo adalah Kerani Rendahan pada Puslitbang Arkeologi Nasional.<br /><br /><span style="font-weight: bold">Foto : </span><a href="http://rumah-stil.blogspot.com/">http://www.semarang.go.id</a><br /><br /></div><div class="blogger-post-footer"><img width='1' height='1' src='https://blogger.Car.com/indah/2624359141219824923-5593903965912484144?l=rumah-stil.blogspot.com' alt='' /></div> Tinggalkan komentar anda tentang <a href="http://rumah-stil.blogspot.com/">Pengembangan Wisata Kota Tua Bersejarah</a><br> infohttp://www.blogger.com/profile/14229387099866067801noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-452429034841350010.post-80813616531233071612010-03-08T11:37:00.001-08:002010-03-08T11:37:46.398-08:00Pemodelan Sistem Dinamik Pengembangan Pariwisata dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Berkelanjutan<br>Informasi terbaru Pemodelan Sistem Dinamik Pengembangan Pariwisata dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Berkelanjutan Oleh: <span style="font-weight: bold">Agus Sa Delie<br /><br /></span><div style="text-align: justify"><span style="font-weight: bold">Abstract</span><br />Management in Ngurah Rai Forest Park has not been optimally managed as an ecotourism zone. The resources is a national asset which could contribute to coastal resource economic growth in the region, in order to develop the coastal area for sustainable tourism area, a model dynamic system as coastal zone management plan is important.<br /><br />There are two alternatives scenario, i.e. scenario of Existing Model (EM) and scenario of Zone Concession Holder (ZCH) Model. The optimal scenario of ZCH Model, was measured by comparing Net Present Value (NPV) calculated from scenario without environmental consideration (Model 1) and scenario with environmental consideration (Model 2).<br /><br />Implementation of system design on tourism development using scenario of ZCH Model 2 (environmental consideration), ecologically will increase area of mangrove resource to 1,828 ha, which will be increasing the possibility of next generation to utilize coastal resource in this area. This management plan showed that the feasibility of the project can tolerate an increase of discount rate to 20 %. Scenario ZCH Model 2 provide job opportunity 4,382 workers per year, or 14% to regional job opportunity with assumption of the number of household member is 4 (four), this scenario generate income per capita of Rp 1,828,750 per year which is higher compare to regional per capita income of Rp 1,305,938 per year.<br /><br /><span style="font-weight: bold">Pendahuluan</span><br />Dalam menyusun perencanaan dan pengelolaan pembangunan untuk masa depan diperlukan adanya suatu pergeseran paradigma dari strategi import substitution industry menjadi resource based industry. Perubahan paradigma ini perlu disertai instrumen kebijakan untuk dapat melakukan dorongan besar bagi pertumbuhan ekonomi berupa pilihan strategi pembangunan dan industrialisasi berbasis sumberdaya alam, khususnya dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan. Hal ini penting dilakukan, terutama sejalan dengan upaya pemberdayaan otonomi daerah serta menanggulangi krisis ekonomi nasional yang berkepanjangan. Salah satu contoh yang dapat dikembangkan adalah kawasan hutan mangrove di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai, Teluk Benoa, Bali.<br /><br />Sumberdaya alam mangrove ini merupakan aset nasional yang sampai saat ini belum dikelola secara optimal. Ada indikasi perubahan fungsi kawasan yang dimanfaatkan secara konvensional dan tidak terintegrasi, sehingga menimbulkan degradasi pada kawasan tersebut. Untuk menjamin fungsi hutan mangrove sesuai dengan peruntukkannya, maka diperlukan suatu konsep desain sistem penataan ruang serta pengelolaan dan pengusahaan yang tepat guna pada zona pemanfaatan, sehingga dapat bermanfaat secara optimal.<br /><br />Desain sistem dalam pengelolaan sumberdaya pesisir di kawasan Teluk Benoa ini merupakan suatu pengkajian rekayasa ekosistem berdasarkan pendekatan sistem dinamik. Pendekatan ini didasari oleh prinsip umpan balik (causal loops) antar subsistem penduduk, subsistem ruang tahura (lingkungan) serta subsistem pengusahaan kawasan (ekonomi). Salah satu karakteristik dari proses rekayasa ekosistem tersebut adalah adanya bentuk pemodelan yang bersifat dinamis dan kuantitatif guna menghasilkan keputusan yang rasional, terukur, dan transparan.<br /><br /><span style="font-weight: bold">Kerangka Pemikiran</span><br />Keterkaitan konsep ruang dan waktu merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Dalam kehidupan umat manusia, khususnya pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir membutuhkan pengaturan ruang dan waktu yang terintegrasi. Kenyataan ini telah menuntut para perencana dan pengelola wilayah pesisir agar mampu menjawab berbagai pertanyaan yang bersifat epistemologis. Dengan demikian, keterkaitan konsep ruang dan waktu sangat esensial dalam pengelolaan wilayah pesisir Tahura dan perlu diperlakukan secara eksplisit dalam setiap perencanaan dan pengelolaan, yang diarahkan ke perbaikan dan penyempurnaan kehidupan manusia. Konsep ruang dan waktu ini sangat relevan untuk mengkaji berbagai isu yang mencuat ke permukaan, khususnya mengenai isu-isu keruangan di wilayah pesisir Tahura Ngurah Rai.<br /><br />tetapi tetap memperhatikan kelestarian stok/lingkungan. Konsep dinamis yang dimaksud adalah adanya suatu desain sistem terhadap pemanfaatan suAtas dasar isu keruangan tersebut menuntut adanya suatu komitmen yang jelas dari para perencana, pengelola dan pengusaha di wilayah pesisir, agar tujuan¬tujuan pengelolaan sumberdaya pesisir berkelanjutan serta tujuan pembangunan ekonomi berkelanjutan dapat tercapai. Untuk merealisasikan tujuan-tujuan itu pada hakekatnya diperlukan suatu kearifan dalam penataan ruang, pengelolaan dan pengusahaan, sehingga diperlukan adanya suatu konsep dinamis yang dapat mengatur pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir secara optimal, akanmberdaya, sehingga secara simultan dapat diketahui tingkat pemanfaatan saat ini dan masa mendatang. Model dinamik sangat memungkinkan untuk dapat mengatur berbagai opsi antara tujuan optimasi pemanfaatan ruang dengan berbagai perubahan variabel secara berkelanjutan, dengan suatu bentuk desain sistem dan pemodelan.<br /><br /><br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjNCbM0qnTFDLWcnvtO4RwSPWeHAY95qEDgxiKEqbCUO-RE4E2ZS4R5cKh7lHNJXZ9XsDmR7xVcUFfeRSqeG8N76DW7mndk6SuJ6Tm-eC7sdEay9LmT8iSLLqyhQxWmRJIzD7EDIy6A3Cg/s1600-h/tab.jpg"><img style="margin: 0px auto 10px;text-align: center;cursor: pointer;width: 245px;height: 309px" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjNCbM0qnTFDLWcnvtO4RwSPWeHAY95qEDgxiKEqbCUO-RE4E2ZS4R5cKh7lHNJXZ9XsDmR7xVcUFfeRSqeG8N76DW7mndk6SuJ6Tm-eC7sdEay9LmT8iSLLqyhQxWmRJIzD7EDIy6A3Cg/s400/tab.jpg" alt="" border="0" /></a>Gambar 1. Kerangka Pemikiran Desain Sistem Pengembangan Pariwisata Dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Berkelanjutan<br /><br /><span style="font-weight: bold">Metode Pendekatan Sistem </span><br />Metode pendekatan sistem merupakan salah satu cara penyelesaian persoalan yang dimulai dengan dilakukannya identifikasi terhadap adanya sejumlah kebutuhan-kebutuhan, sehingga dapat menghasilkan suatu operasi dari sistem yang dianggap efektif (Eriyatno 1999).<br /><br />Dalam pendekatan sistem umumnya ditandai oleh dua hal, yaitu: (1) mencari semua faktor penting yang ada dalam mendapatkan solusi yang baik untuk menyelesaikan masalah; dan (2) dibuat suatu model kuantitatif untuk membantu keputusan rasional. Pengkajian dalam pendekatan sistem seyogyanya memenuhi tiga karakteristik, yaitu: (1) kompleks, dimana interaksi antar elemen cukup rumit; (2) dinamis, dalam arti faktor yang terlibat ada yang berubah menurut waktu dan ada pendugaan ke masa depan; dan (3) probabilistik, yaitu diperlukannya fungsi peluang dalam inferensi kesimpulan maupun rekomendasi (Eriyatno 1999).<br /><br />Dalam pelaksanaan metode pendekatan sistem diperlukan tahapan kerja yang sistematis (Hartrisari, 2001). Prosedur analisis sistem meliputi tahapan¬tahapan sebagai berikut : analisis kebutuhan, formulasi permasalahan, identifikasi sistem, pemodelan sistem, verifikasi model dan implementasi (Eriyatno, 1999). Secara diagramatik, tahapan analisis sistem disajikan pada Gambar 2.<br /><br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi58SN6MeX7p6TdwpW_JWLEhb9M_7I9322NzKrtc6DkKwLByN_CE0zFozwB2NO4JS8UHZ95kAgXSl5LlNbrcT9QuIfO-Wi6gCdJRVCqZmBPe6SNOri3ppTS_EE83obh0JLakBpezMlSejo/s1600-h/tab2.jpg"><img style="margin: 0px auto 10px;text-align: center;cursor: pointer;width: 245px;height: 210px" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi58SN6MeX7p6TdwpW_JWLEhb9M_7I9322NzKrtc6DkKwLByN_CE0zFozwB2NO4JS8UHZ95kAgXSl5LlNbrcT9QuIfO-Wi6gCdJRVCqZmBPe6SNOri3ppTS_EE83obh0JLakBpezMlSejo/s400/tab2.jpg" alt="" border="0" /></a>Gambar 2. Tahapan Analisis Sistem (Eriyatno 1999 dalam Hartrisari 2001)<br /><br />Relevansi konsep ini dengan daerah yang diteliti merupakan suatu landasan pemikiran mengenai komponen pembangun struktur pariwisata di wilayah pesisir Tahura Ngurah Rai, yaitu penggunaan kawasan pada fungsi-fungsi zonasi di Tahura Ngurah Rai, aktivitas (struktur) pariwisata, serta populasi (penduduk). Ketiga variabel tersebut merupakan variabel state (pendukung) dalam membangun model konseptual. Kemudian ditentukan variabel non-state (variabel lainnya) yang meliputi variabel penggerak (driving), variabel pembantu (auxiliary), dan variabel tetap (constant) yang melengkapi suatu model (Grant et al. 1997). Desain sistem pengembangan pariwisata dalam pengelolaan sumberdaya pesisir berkelanjutan merupakan interaksi antar sub model ketersediaan ruang Tahura (lingkungan), sub model populasi penduduk serta sub model pengusahaan pariwisata (ekonomi).<br /><br />Setelah dilakukan identifikasi terhadap variabel-variabel yang terlibat, kemudian ditentukan hubungan yang logis antar variabel tersebut. Dari hubungan itu dapat ditentukan apakah hubungannya bersifat positif atau negatif. Dengan demikian dapat dibangun hubungan umpan balik (causal loop) untuk semua variabel dalam pengusahaan pariwisata yang membentuk rantai tertutup. Secara global diagram lingkar sebab-akibat disajikan pada Gambar 3.<br /><br /><br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhicyEbt-z7_KZJvw6cKlI8Ll26ah81CyaV-iTrVwCZVndxvyXqX5VHAjocRBBrqTGLUdkRkcDxFAz4Esq4S94VfPSHuJLAvrwzWPrT7LqZbvKIvQioZTyIxLK5N_gKa07_E5o_f8HYwBk/s1600-h/tab3.jpg"><img style="margin: 0px auto 10px;text-align: center;cursor: pointer;width: 245px;height: 194px" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhicyEbt-z7_KZJvw6cKlI8Ll26ah81CyaV-iTrVwCZVndxvyXqX5VHAjocRBBrqTGLUdkRkcDxFAz4Esq4S94VfPSHuJLAvrwzWPrT7LqZbvKIvQioZTyIxLK5N_gKa07_E5o_f8HYwBk/s400/tab3.jpg" alt="" border="0" /></a>Gambar 3. Diagram Lingkar Sebab Akibat (causal loop) Sistem Pengembangan Pariwisata Alam<br /><br />Gambar 3 menunjukkan bahwa dalam sistem pengusahaan pariwisata alam ada pengaruh positif dan negatif. Pengaruh positif antara lain terhadap pendapatan pariwisata pesisir, pendapatan masyarakat serta Produk Dometik Bruto sektor. Pengaruh negatif dapat terjadi apabila perencanaan pengusahaan pariwisata kurang baik dalam pengelolaan limbah dan penanganan lingkungan, sehingga dapat menyebabkan kerusakan sumberdaya alam yang pada akhirnya dapat mengurangi ketersediaan ruang Tahura. Kerusakan lingkungan juga merupakan loop negatif; yaitu mengakibatkan biaya pengelolaan lingkungan yang harus ditanggung oleh pengusaha pariwisata, baik untuk membangun instalasi pengolah air limbah maupun biaya-biaya rencana pengelolaan lingkungan lainnya semakin meningkat. Selain itu juga masalah laju pertumbuhan penduduk yang tidak terkontrol dapat berpengaruh negatif terhadap keseimbangan ekosistem Tahura.<br /><br />Faktor pendukung berhasilnya sistem pengusahaan pariwisata antara lain adalah ketersediaan ruang Tahura, pendapatan per kapita, reboisasi serta tingkat pengenaan pajak penghasilan. Diagram tersebut juga menunjukkan bahwa sistem pengusahaan pariwisata memiliki hubungan sebab akibat (causal loop) yang luas dan beragam.<br /><br />Identifikasi sistem diagram lingkar sebab-akibat kemudian diinterpretasikan untuk membangun konsep kotak gelap (black box) diagram input-output. Diagram input-output merepresentasikan input lingkungan, input terkendali dan tak terkendali, output dikehendaki dan tak dikehendaki, serta manajemen pengendalian. Sedangkan parameter rancangan sistem dipresentasikan sebagai kotak gelap (black box) pada tengah diagram, yang menunjukkan terjadinya proses transformasi input menjadi output. Diagram input-output desain sistem pengembangan pariwisata berdasarkan hasil penelitian lapangan dalam pengelolaan pesisir berkelanjutan disajikan pada Gambar 4.<br /><br /><br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjnc2OiLBUvz6MYlC9DHxJ22Q4ZC1YiM9RMgCEY_KBsb2T2KqeadVSNWnGHe7yYvTNA2XrbMEV6IqOYAbyvN8vmE03XXS-0J8jKA-NVsA2RBkxXTGrOKfnn47hzojUqejHDG5HebBYsrbc/s1600-h/tab4.jpg"><img style="margin: 0px auto 10px;text-align: center;cursor: pointer;width: 245px;height: 227px" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjnc2OiLBUvz6MYlC9DHxJ22Q4ZC1YiM9RMgCEY_KBsb2T2KqeadVSNWnGHe7yYvTNA2XrbMEV6IqOYAbyvN8vmE03XXS-0J8jKA-NVsA2RBkxXTGrOKfnn47hzojUqejHDG5HebBYsrbc/s400/tab4.jpg" alt="" border="0" /></a>Gambar 4. Diagram Input-OutputSistem Pengembangan Pariwisata Alam Dalam Pengelolaan Sum berdaya Pesisir Berkelanjutan.<br /><br />Pemodelan merupakan suatu gugus aktivitas pembuatan model. Secara umum pemodelan didefinisikan sebagai suatu abstraksi dari sebuah obyek atau situasi aktual (Eriyatno, 1999).<br /><br />Salah satu dasar utama untuk mengembangkan model adalah guna menemukan peubah-peubah apa yang penting dan tepat. Penemuan peubah tersebut sangat erat hubungannya dengan pengkajian hubungan-hubungan yang terdapat diantara peubah-peubah. Teknik kuantitatif dan simulasi digunakan untuk mengkaji keterkaitan antar peubah dalam sebuah model.<br /><br />Analisis keruangan Tahura dilakukan dengan menggunakan Sistem Informasi Geografi (SIG) dengan metode Arc/Info, yaitu sistem informasi spasial berbasis komputer dengan melibatkan perangkat keras, perangkat lunak, mempunyai fungsi pokok untuk menyimpan, memperbaharui, menganalisis dan menyajikan kembali semua bentuk informasi spasial. Metode ini digunakan untuk mendeliniasi kawasan sesuai dengan peruntukkannya.<br /><br />Dalam identifikasi manfaat dan biaya, selain menghitung nilai ekonomi atas dasar manfaat langsung, juga menilai manfaat tidak langsung berupa nilai fisik (seperti pelindung pantai), ilai pilihan serta nilai keberadaan. Pendekatannya dilakukan dengan analisis Total Economic Value (TEV), yang terdiri dari direct use value (DUV), indirect use value (IUV), option value (OV), dan existence value (EV). Sedangkan dalam analisis manfaat dan biaya, penilaian ekonomi dikaji dan dihitung berdasarkan konsekuensi pengelolaan ekologis dimana sumberdaya yang dimiliki dikelola secara berkelanjutan, dengan mempertimbangkan tingkat suku bunga tertentu yang relevan untuk pengelolaan ekologis. Model kelayakan pengelolaan kawasan Tahura dilakukan dengan cara menganalisis beberapa kriteria kelayakan investasi seperti : Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR) serta Net Benefit Cost Ratio.<br /><br />Metode alokasi sumberdaya alam optimal untuk menyusun perencanaan kawasan Tahura dilakukan dengan membangun pemodelan sistem dinamik antara subsistem lingkungan, subsistem penduduk, serta subsistem ekonomi (pengusahaan kawasan) dengan menggunakan software I-THINK Ver. 6.01 dari High Performance System.<br /><br /><span style="font-weight: bold">Hasil dan Pembahasan Struktur Model</span><br />Pemodelan merupakan suatu gugus aktivitas pembuatan model dan merupakan suatu abstraksi dari sebuah obyek atau situasi aktual. Tujuannya adalah untuk menemukan peubah-peubah apa yang penting dan tepat, sehingga dapat dibangun struktur modelnya. Teknik kuantitatif dan simulasi digunakan untuk mengkaji keterkaitan antar peubah dalam sebuah model.<br /><br />Pemodelan sistem yang dilakukan di sini meliputi struktur: submodel Tahura (lingkungan); submodel penduduk dan submodel pengusahaan Tahura (ekonomi). Ketiga submodel tersebut akan berinteraksi satu sama lain membentuk suatu model global dalam suatu ekosistem Kawasan Tahura (Gambar 5, 6 dan 7).<br /><br /><span style="font-weight: bold">Analisis Skenario Model Dasar</span><br />Skenario model dasar yang diajukan pada penelitian ini adalah membandingkan antara dua skenario, yaitu :<br /><br /><!--[if !supportLists]-->1. Skenario Model Konservasi<br /><!--[if !supportLists]-->2. Skenario Model Hak Pengelolaan Kawasan.<br /><br />Kemudian pada Skenario Hak Pengelolaan Kawasan dicari alternatif pemodelan yang paling optimal dengan membandingkan nilai Net Present Value yang diperoleh berdasarkan pemodelan sebagai berikut :<br /><br /><!--[if !supportLists]-->1. Model 1 : Skenario tanpa biaya lingkungan.<br /><!--[if !supportLists]-->2. Model 2 : Skenario dengan mengintroduksi biaya lingkungan<br /><br />Skenario model dasar Konservasi menghasilkan Net Present Value sebesar Rp 320,91 milyar (Gambar 8). Artinya bahwa jika Kawasan Tahura ini tetap dibiarkan seperti saat ini untuk konservasi, maka pada 30 tahun yang akan datang memberikan manfaat senilai Rp 320,91 milyar. Kawasan ini akan memberikan nilai sebesar itu apabila laju populasi penduduk adalah tetap sebesar 1,05% per tahun. Ada suatu kecenderungan dimana dengan tingkat laju populasi itu pada 30 tahun yang akan datang diprediksi menjadi 845.875 jiwa. Pertambahan populasi ini dapat menyebabkan semakin meningkatnya limbah domestik yang masuk Kawasan Tahu ra.<br /><br />Sebagaimana data empirik menunjukkan bahwa di sepanjang muara kanan kiri Tukad (sungai) Buaji dan Tukad Ngenjuang (zona 1 dan zona 2) terjadi peranggasan pohon-pohon mangrove. Berdasarkan informasi dari JICA, itu terjadi sebagai akibat semakin meningkatnya limbah domestik yang masuk kawasan, terutama dari Desa Sanur Kauh, Desa Sidakarya dan Desa Sesetan. Dengan asumsi tidak terjadi perambahan pada kawasan itu, maka pada akhir simulasi diprediksi akan terjadi penyusutan hutan mangrove seluas 31,4 hektar. Apabila tidak dilakukan pengamanan yang intensif, tidak menutup kemungkinan pada akhir simulasi akan terjadi penyusutan yang lebih besar dari itu.<br /><br />Ada nilai positif dan negatif dengan Model Konservasi ini. Secara ekologis positif dimana kawasan relatif aman terhadap kerusakan, efek negatifnya adalah kurang memberikan nilai tambah nyata, karena selama umur simulasi itu tidak mandiri secara ekonomi (self financing), sehingga Pemda akan terus terbebani dengan biaya-biaya perlindungan kawasan.<br /><br /><br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgQxP1rfFiQPyQk_BYKYr79Q5dK5tFVKnMbbb4_-pu7qH1Mv7SXM9z5Pphla31oxnLKGb2r-lYsl57_zs1v62Q5fW3fhUQr5ffCW9vtKODlwCu-UcPbYUFpJPDt4YQIDXWzCl375ME4xo4/s1600-h/tab5.jpg"><img style="margin: 0px auto 10px;text-align: center;cursor: pointer;width: 245px;height: 151px" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgQxP1rfFiQPyQk_BYKYr79Q5dK5tFVKnMbbb4_-pu7qH1Mv7SXM9z5Pphla31oxnLKGb2r-lYsl57_zs1v62Q5fW3fhUQr5ffCW9vtKODlwCu-UcPbYUFpJPDt4YQIDXWzCl375ME4xo4/s400/tab5.jpg" alt="" border="0" /></a>Gambar5. Struktur Submodel Lingkungan Skenario Model HPK<br /><br /><br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhl6WXIkvBr4I3aEmkBGB6sGracrV1JXLPdDKFc_3piVW41zkFli9wJyvAVsr6h3urAgxu5tme4YG6SSjAnYS0p_SJs3i2Ngdc48rucyeX-Q8TmwRPiP1mKjc2JjjePNSL5NcBK_SESXO8/s1600-h/tab6.jpg"><img style="margin: 0px auto 10px;text-align: center;cursor: pointer;width: 245px;height: 117px" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhl6WXIkvBr4I3aEmkBGB6sGracrV1JXLPdDKFc_3piVW41zkFli9wJyvAVsr6h3urAgxu5tme4YG6SSjAnYS0p_SJs3i2Ngdc48rucyeX-Q8TmwRPiP1mKjc2JjjePNSL5NcBK_SESXO8/s400/tab6.jpg" alt="" border="0" /></a>Gambar 6. Struktur Submodel Penduduk Skenario Model HPK<br /><br /><br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjD7ozXSIl4DHqrqZpAdGpvAgWVbsXozIfO4KtZxHDCywNRBw2ClKcmxZWS4xIdIZu0MQcDrN3iteI47TquygK2XhmbqCZC6n5K6laW_Pzw87UJIKhjOcHYbcTF1nJes3zbL0hEgDrKGV8/s1600-h/tab7.jpg"><img style="margin: 0px auto 10px;text-align: center;cursor: pointer;width: 245px;height: 259px" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjD7ozXSIl4DHqrqZpAdGpvAgWVbsXozIfO4KtZxHDCywNRBw2ClKcmxZWS4xIdIZu0MQcDrN3iteI47TquygK2XhmbqCZC6n5K6laW_Pzw87UJIKhjOcHYbcTF1nJes3zbL0hEgDrKGV8/s400/tab7.jpg" alt="" border="0" /></a>Gambar 7. Struktur Submodel Ekonomi Skenario Model HPK<br /><br />Skenario model dasar Hak Pengelolaan Kawasan memberikan nilai NPV Rp 581,830 milyar (Gambar 9) lebih besar dari pada NPV Konservasi Rp 320,91 milyar (Gambar 8). Secara ekonomi menguntungkan, akan tetapi dari aspek lingkungan ada kecenderungan terjadi degradasi hutan mangrove yang eksesif seluas 14,6 hektar per tahun selama umur simulasi 30 tahun. Selain faktor tidak adanya alokasi biaya untuk merestorasi kawasan, juga jumlah populasi penduduk yang semakin meningkat berkontribusi terhadap degradasi kawasan. Oleh karena itu agar secara ekonomi dan lingkungan menguntungkan, maka perlu ada instrumen kebijakan yang mengatur masalah-masalah pengelolaan lingkungan. Salah satu instrumen kebijakan yang diusulkan adalah adanya introduksi biaya lingkungan kedalam model pembiayaan, liability laws berupa kewajiban reboisasi serta pembatasan jumlah pengunjung ke dalam kawasan sesuai dengan carrying capacity-nya.<br /><br /><br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEioLS47-nUDmFpugUsmGWbASBW0OxEoteavAOavmCjEvRk81IWUMkX010er2HlIRWsUJtnuas6YgvIXdYQq4PONGS4snW0To5x0ZEcKjCiXPmKgwzdwPKHrMGXhJEdRHCRK0lmLodwok-0/s1600-h/tab8.jpg"><img style="margin: 0px auto 10px;text-align: center;cursor: pointer;width: 245px;height: 214px" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEioLS47-nUDmFpugUsmGWbASBW0OxEoteavAOavmCjEvRk81IWUMkX010er2HlIRWsUJtnuas6YgvIXdYQq4PONGS4snW0To5x0ZEcKjCiXPmKgwzdwPKHrMGXhJEdRHCRK0lmLodwok-0/s400/tab8.jpg" alt="" border="0" /></a>Gambar 8 Perilaku Skenario Model Konservasi<br /><br /><br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh8zLLf_ezkl-YPTfV_AaSg-SR-n3NPvCdyG4VfibDJMA1Vu-RQ6gdd_GsT0ovhTuOreeHp2vuYzrKDDL9EaKG3A315l68uRL8RrnBk_Q_n2NbH7ira89uwm8SwOwPKSf11-Pa2UwuSaxs/s1600-h/tab9.jpg"><img style="margin: 0px auto 10px;text-align: center;cursor: pointer;width: 245px;height: 238px" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh8zLLf_ezkl-YPTfV_AaSg-SR-n3NPvCdyG4VfibDJMA1Vu-RQ6gdd_GsT0ovhTuOreeHp2vuYzrKDDL9EaKG3A315l68uRL8RrnBk_Q_n2NbH7ira89uwm8SwOwPKSf11-Pa2UwuSaxs/s400/tab9.jpg" alt="" border="0" /></a>Gambar 9 Perilaku Skenario Model Hak Pengelolaan Kawasan<br /><br /><span style="font-weight: bold">Optimasi Alternatif Pemodelan</span><br />Hasil simulasi Model 1 yaitu perencanaan pengusahaan pariwisata alam tanpa pembiayaan lingkungan, dengan upaya reboisasi maksimum yang dapat ditoleransi pengusaha, menunjukkan besarnya estimasi NPV sebesar Rp 581,83 milyar. Skenario ini ternyata tidak cukup memadai untuk memulihkan kondisi lingkungan, dimana selama umur simulasi terjadi penyusutan luas Tahura rata-rata 2,35 hektar per tahun.<br /><br />Sementara itu optimasi alternatif pemodelan skenario Model 2 yaitu Hak Pengelolaan Kawasan dengan biaya lingkungan serta upaya reboisasi yang dapat ditoleransi pengusaha menghasilkan nilai optimal. NPV yang diperoleh sebesar Rp 637,22 milyar dan terjadi penambahan luas Tahura sebesar 454,5 hektar selama umur simulasi 30 tahun.<br /><br />Ada banyak keuntungan dengan skenario Model 2 ini, selain memberikan manfaat kemakmuran lebih besar pada generasi yang akan datang, juga kawasan tersebut secara ekonomi mandiri (self financing). Artinya pihak Pemda tidak terbebani lagi oleh masalah-masalah pembiayaan konservasi kawasan. Yang diperlukan dari pemerintah adalah adanya pengawasan melekat (built-in control) terhadap kawasan itu agar pengelolaannya konsisten berdasarkan prinsip-prinsip pengelolaan kawasan wisata berkelanjutan.<br /><br />Kontribusi model perencanaan dengan skenario yang paling optimal terhadap Produk Domestik Bruto selama umur simulasi adalah sebesar Rp 844,96 milyar atau rata-rata sebesar Rp 28,16 milyar per tahun. Sumbangan tersebut terdiri dari pajak pendapatan. Sehingga pada tahap pembangunan diprediksi akan berimplikasi positif berupa meningkatnya produksi pada sektor pembangunan dan jasa.<br /><br />Hak Pengelolaan Kawasan Tahura ini menunjukkan sensitivitas yang tinggi terhadap nilai NPV dalam strategi alokasi kebijakan property right. Berdasarkan hasil simulasi pada discount rate 22% diperoleh nilai NPV lebih kecil dibanding NPV Skenario Model Konservasi. Oleh karena itu perlu adanya instrumen kebijakan ekonomi dalam pengelolaan Kawasan Tahura berupa insentif keringanan tingkat diskonto. Gambar 10 memberikan gambaran hasil simulasi perubahan discount rate 11%, 16,5 % dan 22% terhadap NPV yang diperoleh.<br /><br />Implikasi alternatif model perencanaan mencerminkan suatu model optimal bagi para stakeholder, yaitu tercapainya tujuan-tujuan ekonomi, lingkungan dan sosial. Dengan diterapkannya kebijakan liability laws berupa kewajiban reboisasi bagi pengusaha dengan sejumlah biaya rencana pengelolaan lingkungan, maka pada akhir tahun simulasi secara ekonomis diperoleh hasil optimum Net Present Value Rp 637,22 milyar dan secara ekologis adanya perbaikan kualitas lingkungan dengan indikator semakin luasnya Tahura menjadi 1828 hektar (Gambar 11). Akan tetapi dengan diterapkannya reboisasi tanpa diimbangi pembatasan terhadap jumlah pengunjung menjadi tidak signifikan terhadap perbaikan kualitas lingkungan.<br /><br />Selain masalah-masalah kebijakan liability laws berupa kewajiban reboisasi serta kebijakan moral suasion berupa anjuran introduksi biaya rencana pengelolaan, juga masalah-masalah yang menyangkut kapasitas kawasan (carrying capacity) perlu mendapat perhatian. Berdasarkan estimasi dapat diprediksi bahwa apabila melebihi batas daya tampungnya maka akan terjadi deteriorisasi terhadap hutan mangrove. Data empirik menunjukkan dimana berdasarkan hasil simulasi penambahan jumlah pengunjung yang melebihi daya tampungnya atau melebihi 470.100 wisatawan per tahun, maka luas Tahura pada akhir simulasi akan terjadi penyusutan yang cukup besar. Ini terjadi karena bahan pencemar yang masuk kawasan akan semakin tinggi, sehingga dapat mengganggu proses suksesi alami hutan mangrove.<br /><br /><br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjwGuckN633FuMxZ0axYt-S35QWppD3V1ug6hYuVLNxuOb8H5NCW7GEZX5cjtgtZIgReYfo1vhSUP-py36X0D-cW6AFFJu3sRsx8rqDWn4ACZPGjSM4dk7_S01g8jSKhVBSXhOMsJ0q9pk/s1600-h/tab10.jpg"><img style="margin: 0px auto 10px;text-align: center;cursor: pointer;width: 245px;height: 142px" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjwGuckN633FuMxZ0axYt-S35QWppD3V1ug6hYuVLNxuOb8H5NCW7GEZX5cjtgtZIgReYfo1vhSUP-py36X0D-cW6AFFJu3sRsx8rqDWn4ACZPGjSM4dk7_S01g8jSKhVBSXhOMsJ0q9pk/s400/tab10.jpg" alt="" border="0" /></a>Gambar 10: Perilaku Sistem pada Beberapa Perubahan discount rate: (1) i = 11%, (2) i = 16,5%, (3) i = 22%.<br /><br /><br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEioOEiZJTjpw7SCf5bjKYmooUemQyPQ46r9dRiwASp1OveD34FRexfS1EuhbXYimWStYJRMgaHCyBn7__upAQd2M747k6NdQ86gwjXYL1idnhkUPWOZn6Xb3LTdLU97YVCdDo-FBd5Nuz8/s1600-h/tab11.jpg"><img style="margin: 0px auto 10px;text-align: center;cursor: pointer;width: 245px;height: 128px" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEioOEiZJTjpw7SCf5bjKYmooUemQyPQ46r9dRiwASp1OveD34FRexfS1EuhbXYimWStYJRMgaHCyBn7__upAQd2M747k6NdQ86gwjXYL1idnhkUPWOZn6Xb3LTdLU97YVCdDo-FBd5Nuz8/s400/tab11.jpg" alt="" border="0" /></a>Gambar 11 Skenario Kebijakan Reboisasi dan Biaya Rencana Pengelolaan Lingkungan<br /><br /><span style="font-weight: bold">Kesimpulan</span><br />Pemodelan sistem dinamik pengembangan pariwisata berkelanjutan merupakan suatu kajian rekayasa sistem yang dapat digunakan untuk merancang pengelolaan sumberdaya alam, dalam hal ini Kawasan Tahura, sehingga diperoleh hasil yang optimal.<br /><br />Hasil simulasi model menunjukkan bahwa skenario Model Konservasi memiliki kecenderungan model dasar yang relevan dengan batas-batas pertumbuhan sebuah model. Kecenderungan Net Present Value pada tingkat discount rate 11% yang diperoleh sebanding dengan ketersediaan stok sumberdaya alam mangrove yang dikonservasi (1.342,1 hektar). Namun demikian, selama umur simulasi (30 tahun) dengan semakin meningkatnya jumlah populasi penduduk, ada kecenderungan terjadi penyusutan (31,4 hektar) hutan mangrove yang diprediksi sebagai akibat semakin meningkatnya laju limbah domestik yang masuk kawasan.<br /><br />Skenario Model Hak Pengelolaan Kawasan (Property Right) menunjukkan suatu kecenderungan penurunan sumberdaya alam di masa depan, sebagai akibat konversi serta semakin meningkatnya beban pencemaran pada kawasan itu. Akan tetapi penyusutan stok hutan mangrove itu dapat diimbangi dengan NPV yang lebih besar dari NPV skenario konservasi pada 30 tahun yang akan datang, sehingga Kawasan Tahura dapat mandiri secara ekonomi (self financing). Apabila skenario Hak Pengelolaan Kawasan ini tidak diimbangi dengan suatu instrumen kebijakan liability laws berupa kewajiban reboisasi dan moral suasion berupa anjuran introduksi biaya rencana pengelolaan lingkungan, dikhawatirkan terjadi deteriorisasi yang eksesif terhadap kawasan mangrove. Sehingga dikhawatirkan terjadi penurunan tingkat kemakmuran generasi yang akan datang.<br /><br /><span style="font-weight: bold">Daftar Pustaka</span><br />⢠Eriyatno. 1999. Ilmu Sistem, Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. IPB Press. Bogor.<br /><br />⢠Forrester, J.W. 1968. Principles of Systems. Wright-Allen Press, Inc. Massachusetts.<br /><br />⢠Hartrisari H. 2001. Bahan Kuliah Analisis Sistem dan Pemodelan dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (Tidak Dipublikasi). Program Pascasarjana SPL-IPB. Bogor.<br /><br />⢠High Performance Systems, Inc. 1994. Introduction to Systems Thinking and I- Think. High Performance Systems, Inc. Hanover.<br /><br />⢠Kusumastanto, T. 1995. Investasi Pertumbuhan Ekonomi dan Pembangunan Berkelanjutan. Kompas. Jakarta.<br /><br />⢠Meadows, D.H; D.L. Meadows; J. Randers; W.W. Behrens IH. 1972. The Limits to Growth. Universe Books. New York, USA<br /><br />⢠World Bank. 1996. World Development Report, World Bank-The John Hopkins Univ. Press, Baltimor-London.<br /><br />⢠World Commission on Environment and Development (WCED), 1987. Our Common Future. Oxford University Press. New York.<br /><br /><span style="font-weight: bold">Sumber : </span><span style="font-size: 10pt;font-family: Verdana;color: black"><a href="http://rumah-stil.blogspot.com/"><span>www.tumoutou.net</span></a></span></div><div class="blogger-post-footer"><img width='1' height='1' src='https://blogger.Car.com/indah/2624359141219824923-4171432229737918605?l=rumah-stil.blogspot.com' alt='' /></div> Tinggalkan komentar anda tentang <a href="http://rumah-stil.blogspot.com/">Pemodelan Sistem Dinamik Pengembangan Pariwisata dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Berkelanjutan</a><br> infohttp://www.blogger.com/profile/14229387099866067801noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-452429034841350010.post-92121455847485793932010-03-07T05:53:00.001-08:002010-03-07T05:53:44.892-08:00Pemeliharaan dan Pelestarian Warisan Benda Cagar Budaya<br>Informasi terbaru Pemeliharaan dan Pelestarian Warisan Benda Cagar Budaya <div style="text-align: justify">Oleh <span style="font-weight: bold">: Irfanuddin Wahid Marzuki<br /><br /></span>Benda Cagar Budaya merupakan benda warisan kebudayaan nenek moyang yang masih bertahan sampai sekarang. Benda cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa yang penting, artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan baik di masa kini maupun masa yang akan datang. Dengan demikian perlu dilindungi dan dilestarikan demi pemupukan kesadaran jatidiri bangsa dan kepentingan nasional. Sebagai kekayaan budaya bangsa, benda cagar budaya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan agama, sosial, pariwisata, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Menurut UUCB No. 5 th 1992, yang dimaksud dengan benda Cagar Budaya adalah.<br /><br />1. Benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan.<br /><br />2. Benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.<br /><br />Propinsi Maluku Utara banyak menyimpan tinggalan Benda Cagar Budaya, yang sampai sekarang tinggal reruntuhan ataupun yang masih utuh. Untuk menjaga kelestarian Benda Cagar Budaya tentunya membutuhkan perlakuan khusus dalam menanganinya. Benda cagar budaya secara garis besar bisa dibedakan menjadi dua yaitu benda cagar budaya yang pada saat ditemukan sudah tidak dimanfaatkan lagi seperti fungsi semula atau sering disebut dead monument dan benda cagar budaya yang masih dimanfaatkan seperti fungsi semula atau living monument. Dari segi pengelolaannya benda cagar budaya yang merupakan dead monument atau monumen mati hampir keseluruhannya dikelola oleh Pemerintah, sedangkan living monument atau monumen hidup ada yang dikelola oleh Pemerintah dan ada pula yang dikelola oleh masyarakat, kelompok atau perorangan.<br /><br />Mengingat benda cagar budaya biasanya berumur lebih dari 50 tahun, maka sudah selayaknya bila mengalami kerusakan. Oleh karena itulah perlunya perlindungan dan pemeliharaan benda cagar budaya. Perlindungan dan pemeliharaan atau pengelolaan benda cagar budaya dan situs pada dasarnya menjadi tanggungjawab Pemerintah, meskipun demikian masyarakat, kelompok, atau perorangan dapat berperan serta. Bahkan masyarakat yang memiliki atau menguasai benda cagar budaya dibebani pula kewajiban untuk melindungi dan melestarikannya lengkap dengan sanksi hukumnya. Ada beberapa kriteria suatu bangunan perlu untuk dilestarikan, yaitu;<br /><br /><span style="font-weight: bold">A. Nilai Obyeknya Sendiri</span><br />⢠Obyek tersebut merupakan contoh yang baik dari gaya arsitektur tertentu atau hasil karya arsitek terkenal.<br />⢠Obyek mempunyai nilai estetik, didasarkan pada koalitas exterior maupun interior dalam bentuk maupun detil.<br />⢠Obyek merupakan contoh yang unik dan terpandang untuk periode atau gaya tertentu.<br /><br /><span style="font-weight: bold">B. Fungsi Obyek dalam Lingkungan</span><br />⢠Kaitan antara obyek dengan bangunan lain atau ruang kota, misalnya jalan, taman, penghijauan kota,dll, yang berkaitan dengan koalitas arsitektur/urban secara menyeluruh.<br />⢠Obyek merupakan bagian dari kompleks bersejarah dan jelas berharga untuk dilestarikan dalam tatanan itu.<br />⢠Obyek mempunyai landmark yang mempunyai karakteristik dan dikenal dalam kota atau mempunyai nilai emosional bagi penduduk kota.<br /><br /><span style="font-weight: bold">C. Fungsi Obyek dalam Lingkungan Sosial dan Budaya</span><br />⢠Obyek dikaitkan dengan kenangan historis.<br />⢠Obyek menunjukkan fase tertentu dalam sejarah dan perkembangan kota.<br />⢠Obyek yang mempunyai fungsi penting dikaitkan dengan aspek-aspek fisik, emosional, atau keagamaan, seperti masjid atau gereja.<br /><br />Bertolak dari hal tersebut di atas maka diperlukan peran serta aktif semua pihak untuk melestarikan bangunan bersejarah, khususnya di Maluku Utara dalam mengelola Benda Cagar Budaya. Pemugaran yang dilakukan untuk melestarikan bangunan keaslian Benda Cagar Budaya, seringkali tidak tepat sasaran, bahkan menghilangkan keaslian dari bangunan tersebut. Pemugaran adalah serangkaian kegiatan yang bertujuan untuk mengembalikan keaslian bentuk benda cagar budaya dan memperkuat strukturnya bila diperlukan yang dapat dipertanggungjawabkan dari segi arkeologis, historis, dan teknis dalam upaya pelestarian benda cagar budaya. Pemugaran dapat atau meliputi kegiatan ârestorasi, rekonstruksi, rehabilitasi, dan konsolidasi.â<br /><br />1. Restorasi benda cagar budaya adalah suatu kegiatan pemugaran yang mengarah pada pekerjaan yang bersifat membongkar bangunan asli secara menyeluruh, tetapi tidak mengadakan penggantian bahan bangunan secara menyeluruh.<br /><br />2. Rekonstruksi adalah kegiatan penyusunan kembali struktur bangunan yang rusak/runtuh yang pada umumnya bahan-bahan bangunan yang asli sudah banyak yang hilang. Dalam hal ini dapat menggunakan bahan-bahan bangunan yang baru tetapi harus sesuai dengan bahan aslinya.<br /><br />3. Rehabilitasi adalah satu bentuk pemugaran yang sifat pekerjaannya hanya memperbaiki bagian-bagian bangunan yang mengalami kerusakan. Hal ini berlaku pada tingkat kerusakan yang kecil.<br /><br />4. Konsolidasi adalah pemugaran yang hanya bersifat memperkuat bagian bangunan yang rusak. Kegiatannya hanya dilakukan di tempat-tempat tertentu saja, dan tidak membongkar bangunan keseluruhan.<br /><br />Dari beberapa pemugaran yang dilakukan di Maluku Utara terkesan menghilangkan nilai-nilai keaslian bangunan Benda Cagar Budaya. Kalau dilihat dari definisi di atas maka bangunan atau bahan asli harus sebisa mungkin dapat dipertahankan, atau di cari yang mendekati keasliannya. Namun banyak pemugaran yang dilakukan di Maluku Utara dengan mengganti bahan yang lama dengan bahan yang baru. Penggantian dinding masjid Sultan Tidore dari tembok batu menjadi keramik adalah salah satu contoh dari sekian banyak hasil restorasi Benda Cagar Budaya yang menghilangkan nilai-nilai keasliannya. Padahal di halaman depan masih terdapat papan nama BCB yang dilindungi Undang-Undang. Hasil restorasi masjid Sultan Tidore akan menghasilkan masjid baru dengan bahan-bahan yang baru yang sesuai dengan jaman sekarang, tidak lagi kelihatan sebagai suatu bangunan masjid dari masa kejayaan Kesultanan Tidore.<br /><br />Berdasarkan Petujuk Pelaksanaan (Juklak) yang dikeluarkan oleh Dirjen Kebudayaan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam pemugaran BCB, dalam mempertahankan keasliannya.<br /><br />1. Keaslian bentuk adalah gambaran tentang bentuk bangunan pada saat awal pendiriannya atau ketika pertama kali ditemukan sesuai dengan data yang ada, mencakup komponen, unsur, langgam, gaya, ragam hias dan warna.<br /><br />2. Keaslian bahan adalah gambaran tentang bahan bangunan yang dipakai pada saat awal pendiriannya atau ketika pertama kali ditemukan sesuai dengan data yang ada,yang mencakup jenis, kualitas dan asal bahan.<br /><br />3. Keaslian pengerjaan adalah gambaran tentang pengerjaan bangunan pada saat awal pendiriannya atau ketika pertama kali ditemukan sesuai dengan data yang ada,yang mencakup teknologi dan cara pembangunan.<br /><br />4. Keaslian tata letak adalah gambaran tentang tata letak bangunan pada saat awal pendiriannya atau ketika pertama kali ditemukan sesuai dengan data yang ada, yang mencakup kedudukan, arah hadap dan orientasi bangunan terhadap lingkungannya.<br /><br />Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai warisan budaya masa lalu. Pelestarian budaya warisan masa lalu merupakan tanggung jawab kita bersama, untuk melestarikan nilai-nilai luhur budaya nenek moyang kita. Warisan budaya masa lalu merupakan sarana untuk mempelajari dan menelusuri sejarah dan budaya masa lalu yang perlu dilestarikan keberadaannya. Pelestarian benda cagar budaya merupakan inspirasi bagi kelanjutan perjuangan kita dan menjauhkan terjadinya keterasingan sejarah yang dapat mengakibatkan kemiskinan budaya.<br /><br />Maka perlu ditumbuh kembangkan pemahaman tentang pelestarian benda cagar budaya, sehingga selalu diperhatikan keserasian, keseimbangan, dan kesinambungan antara aspek fisik dan aspek sosial budaya. Kedua aspek itu tidak dapat dipisahkan untuk mendukung upaya pelestarian benda cagar budaya. Bantuan dan dukungan masyarakat sangat diperlukan, karena pada hakekatnya pelestarian benda cagar budaya tersebut menjadi tanggung jawab kita. Untuk itulah sebagai bangsa yang besar dan berbudaya marilah kita lestarikan warisan kebudayaan masa lalu untuk kebesaran bangsa tercinta.<br />__________<br />Irfanuddin Wahid Marzuki, Alumni Jurusan Arkeologi Universitas Udayana Bali, Peneliti Balai Arkeologi Manado<br /><br />Catatan: Tulisan ini pernah dimuat dalam surat kabar Ternate Pos, Sabtu, 08 Maret 2008<br /><br /><span style="font-weight: bold">Sumber :</span><span style="font-size: 8pt;font-family: Verdana;color: black" lang="IN"><a href="http://74.125.153.132/search?q=cache:IWq_95X08C8J:arkeologi.web.id/print.php%3Ftype%3DA%26item_id%3D66+Irfanuddin+Wahid+Marzuki&cd=10&hl=id&ct=clnk&gl=id&client=firefox-a"><span>http://74.125.153.132</span></a><br /> <!--[if !supportLineBreakNewLine]--><br /><!--[endif]--></span></div><div class="blogger-post-footer"><img width='1' height='1' src='https://blogger.Car.com/indah/2624359141219824923-8471924214050591172?l=rumah-stil.blogspot.com' alt='' /></div> Tinggalkan komentar anda tentang <a href="http://rumah-stil.blogspot.com/">Pemeliharaan dan Pelestarian Warisan Benda Cagar Budaya</a><br> infohttp://www.blogger.com/profile/14229387099866067801noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-452429034841350010.post-82900689372947297372010-03-06T00:09:00.001-08:002010-03-06T00:09:36.735-08:00Pariwisata Akhirnya Diakui sebagai Ilmu<br>Informasi terbaru Pariwisata Akhirnya Diakui sebagai Ilmu <div style="text-align: justify">Oleh: <span style="font-weight: bold">Amir Sodikin</span><br />Pengembangan pariwisata Indonesia selama ini bisa disebut sebagai âtak ada landasan akademisâ yang kuat atau dibangun dengan âtanpa ilmuâ. Akibatnya, kebijakan pariwisata sudah pasti disetir birokrat yang notabene tak memiliki dasar pengetahuan pariwisata mumpuni.<br /><br />Tak banyak orang menyadari, ternyata selama ini pariwisata hanya dianggap sebelah mata, bahkan tak diakui sebagai disiplin ilmu mandiri. Ini bisa menjelaskan, kenapa kualitas pengelolaan pariwisata tak sensitif terhadap pengembangan dan inovasi. Stagnan, malah makin rusak.<br /><br />âKami senang karena perjuangan panjang kami terkabul. Tahun ini kami sudah bisa membuka S-1 Pariwisata karena pariwisata sudah diakui sebagai ilmu mandiri,â begitu kata Ketua Sekolah Tinggi Pariwisata (STP) Bandung Upiek Haeryah Sadkar.<br /><br />Kegembiraan tersebut pantas dirayakan karena perjuangan mereka sudah lama. Lemahnya bangsa ini dalam mengelola aset dan potensi pariwisata ternyata juga didukung fakta masih sedikit sumber daya manusia (SDM) yang terlatih dan mengerti benar soal pariwisata.<br /><br />Dari sisi akademik, ilmu pariwisata di Indonesia baru diakui sebagai satu disiplin ilmu mandiri sejak 31 Maret 2008. âKami pernah mengajukan S-1 Pariwisata tahun 1998, perguruan tinggi lain ada yang mengajukan sejak 1980, tapi waktu itu ditolak karena pariwisata dianggap bukan ilmu mandiri,â kata Upiek.<br /><br />Sebagai âpelipur laraâ, STP Bandung berhasil mendirikan S-2 namun di bawah rumpun ilmu lain, yaitu manajemen dengan gelar magister manajemen pariwisata (MMPar). Program S-1 untuk sarjana pariwisata (SPar) belum bisa dibuka tahun itu.<br /><br />Iklim berpikir pun berubah seiring meningkatnya kebutuhan tenaga ahli di bidang pariwisata. Tentu keberhasilan itu disambut gembira kalangan perguruan tinggi yang selama ini hanya menggelar program diploma (D-1 hingga D-4) pariwisata.<br /><br />Berkat âreformasiâ itu, mulai tahun akademik 2008/2009 STP Bandung bisa menerima mahasiswa baru S-1 Studi Destinasi Pariwisata, S-1 Studi Industri Perjalanan Wisata, serta S-1 Studi Akomodasi dan Katering. STP Bali juga akan membuka S-1 Pariwisata.<br /><br />STP Bandung dan STP Bali, juga STP Makassar dan STP Medan merupakan institusi pendidikan yang bernaung di bawah Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Setelah STP ini, diperkirakan perguruan tinggi lain, baik negeri maupun swasta, akan menyusul membuka program S-1 pariwisata.<br /><br />Sejak 1985<br />Anggota dan Sekretaris Tim IX Penyusunan Naskah Akademik Pariwisata sebagai Ilmu Mandiri, yang juga Pembantu Ketua Bidang Akademik Sekolah Tinggi Pariwisata Trisakti, Kusmayadi, mengatakan, perjuangan itu dilakukan sejak 1985.<br /><br />âTahun 2006 perjuangan digiatkan lagi saat STP Trisakti jadi Sekretariat Hildiktipari,â katanya.<br />Maka, pada 31 Maret 2008, keluarlah surat izin dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional untuk membuka S-1 pariwisata di STP Bandung dan STP Bali. Sejak itu kalangan pelaku pariwisata menganggapnya sebagai sinyal pengakuan dari pemerintah.<br />âSejak tanggal itu, pemerintah mengakui pariwisata sebagai ilmu mandiri,â kata Kusmayadi.<br /><br />Hildiktipari atau Himpunan Lembaga Pendidikan Tinggi Pariwisata Indonesia merupakan wadah komunikasi perguruan tinggi pariwisata. Mereka terus menyosialisasikan ilmu pariwisata sebagai disiplin ilmu mandiri. Dalam situsnya, www.hildiktipari.org, diungkapkan empat hal mengapa pariwisata layak menjadi ilmu mandiri.<br /><br />Pertama, peran penting pariwisata yang meliputi sosial, ekonomi, budaya, dan lingkungan itu, ke depannya akan semakin besar dan menjadi industri besar di dunia. Kedua, dari perspektif filsafat, pariwisata memiliki basis yang kuat sebagai ilmu mandiri karena syarat-syarat ontologis, epistemologis, dan aksiologis sudah dipenuhi.<br /><br />Ketiga, pengalaman sejarah menunjukkan kelahiran suatu cabang ilmu yang baru selalu diwarnai pro-kontra. Keempat, untuk mengembangkan pariwisata tak cukup pendidikan vokasional. Di sini diperlukan pendidikan yang bersifat akademik dan profesi.<br /><br />âKalau dari diploma, SDM yang dihasilkan belum untuk pemikir, peneliti, birokrat, dan teknokrat. Kita butuh perencana untuk menciptakan atraksi. Kita butuh pemikir yang bisa menciptakan inovasi,â kata Kusmayadi.<br /><br />âYang utama, dengan diakuinya pariwisata sebagai ilmu mandiri adalah menjaga keberlanjutan pengembangan pariwisata itu sendiri, sustainable tourism development,â kata Kusmayadi.<br />Perjalanan âpariwisataâ<br /><br />Prof Dr IG Pitana MSc, guru besar Pariwisata Universitas Udayana yang juga Direktur Promosi Luar Negeri, Ditjen Pemasaran, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI, mengatakan, pengakuan secara formal terhadap pariwisata sebagai ilmu mandiri di Indonesia adalah hasil kerja keras semua pemangku kepentingan pariwisata.<br /><br />Ilmu pariwisata dirumuskan sebagai âilmu yang mempelajari teori dan praktik tentang perjalanan wisatawan, aktivitas masyarakat yang memfasilitasi perjalanan wisatawan, dan berbagai implikasinyaâ.<br /><br />âWacana tentang keilmuan pariwisata di Indonesia dilontarkan pertama kali oleh Nyoman S Pendit lewat tulisannya di Bali Post, 23 Maret 1983. Tahun 1985 diadakan seminar keilmuan pariwisata di Universitas Udayana, Bali, dengan menghadirkan ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu,â papar Pitana dalam orasi ilmiah dies natalis ke-39 Sekolah Tinggi Pariwisata Trisakti, Senin (2/6) di Jakarta.<br /><br />Namun pariwisata saat itu tetap hanya dijadikan obyek kajian ilmu yang telah mapan. Usaha Universitas Udayana, STP Bandung, dan beberapa universitas, institut, dan sekolah tinggi lain untuk membuka program S-1 pariwisata selalu dimentahkan dengan alasan utama âpariwisata bukan suatu disiplin ilmuâ.<br /><br />âTak diakuinya pariwisata sebagai ilmu berimbas terhadap statisnya pengembangan SDM pariwisata Indonesia,â katanya.<br /><br />Masih menurut Pitana, SDM pariwisata di tingkat tenaga teknis dan profesional memang berkualitas tinggi dan diperebutkan pasar tenaga kerja pariwisata dunia. Bahkan World Economic Forum dalam The Travel and Tourism Competitiveness Report 2008, menempatkan daya saing SDM pariwisata Indonesia pada peringkat ke-34 dari 130 negara.<br /><br />âTetapi daya saing pariwisata Indonesia secara keseluruhan tetap rendah, yaitu peringkat ke-80 dunia karena tak berkembangnya pilar-pilar daya saing lainnya. Banyak pilar tersebut memerlukan penanganan SDM yang punya kualifikasi bidang pariwisata secara akademis,â katanya.<br /><br />Pariwisata sebagai bidang ilmu mandiri, kata Pitana, bukan akhir perjuangan namun awal bagi perjuangan baru. âSeluruh stakeholder pariwisata harus terus membangun opini keilmuan pariwisata serta mengembangkannya dalam berbagai aspek, termasuk publikasi hasil penelitian,â<br /><br /><span style="font-weight: bold">Sumber :</span><span style="font-size: 8pt;font-family: Verdana;color: black"><a href="http://rumah-stil.blogspot.com/" target="_blank"><i><span>http://cetak.kompas.com</span></i></a></span><span style="color: black"></span> </div><div class="blogger-post-footer"><img width='1' height='1' src='https://blogger.Car.com/indah/2624359141219824923-6646679907621720705?l=rumah-stil.blogspot.com' alt='' /></div> Tinggalkan komentar anda tentang <a href="http://rumah-stil.blogspot.com/">Pariwisata Akhirnya Diakui sebagai Ilmu</a><br> infohttp://www.blogger.com/profile/14229387099866067801noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-452429034841350010.post-37091830255025192012010-03-02T06:25:00.001-08:002010-03-02T06:25:56.399-08:00Menyusuri Pantai, Menembus Gua<br>Informasi terbaru Menyusuri Pantai, Menembus Gua <div style="text-align: justify">Oleh: <span style="font-weight: bold">Sri Igustin<br /><br /></span>Bayangan gua yang gelap-gulita, angker, dan penuh misteri, yang selama ini ada dalam pikiranku, berganti dengan ketakjuban.<br /><br />Pagi masih berembun ketika bus yang kami tumpangi melaju pelan meninggalkan Kasembon, sebuah kecamatan di Kabupaten Malang, Jawa Timur. Petikan gitar mengiringi lagu Peterpan yang dinyanyikan murid-murid dengan suara sumbang. Ditingkahi canda dan tawa, suasana dalam bus gaduh tapi menyenangkan.<br /><br />Awal Juli 2007, saat liburan tahun ajaran baru, bersama murid Sekolah Menengah Kejuruan PGRI Kasembon, kami mengadakan perjalanan ke dua tempat wisata di Jawa Timur sebelah selatan, yaitu kawasan Pantai Popoh, Kecamatan Popoh, Kabupaten Tulungagung; dan satu lagi Gua Lowo di Kabupaten Trenggalek. Tak lupa aku mengajak dua anakku dan suami.<br /><br />Setelah tiga jam perjalanan, letih mulai aku rasakan, ditambah udara yang panas di dalam bus karena tanpa penyejuk udara. Anak-anak para guru mulai rewel.<br /><br />"Kenapa lama tidak sampai tujuan, Pak?" tanyaku pada salah seorang rekan guru.<br />"Tersesat. Satu jam lagi baru sampai," jawabnya, agak kesal kepada sopir.<br /><br />Dalam hati aku menggerutu. Waduh! Dasar sopir modal nekat, tidak hafal jalan berani angkut rombongan. Tapi untungnya muridku tenang-tenang saja sehingga tidak ada yang protes.<br /><br />Begitu sampai di kawasan Pantai Popoh, bus berhenti, semua berhamburan keluar bagai burung keluar dari sangkar.<br /><br />Berada di ujung timur Pegunungan Kidul, sekitar 30 kilometer sebelah selatan Kota Tulungagung, Pantai Popoh merupakan salah satu obyek wisata andalan Jawa Timur. Selain pantai dan pemandangan laut, terdapat pegunungan cadas yang menjulang dan memanjang kurang-lebih 25 kilometer di sepanjang jalan hingga bibir Pantai Popoh.<br /><br />Kami disambut pedagang yang menjual ikan laut yang telah diasapi, antara lain ikan tongkol. Saat itu hanya tampak beberapa pedagang. Ikan yang dijual pun sedikit. "Gelombang tinggi, nelayan tidak berani melaut," begitu jawab seorang nelayan ketika temanku bertanya tentang sepinya penjualan ikan.<br /><br />Cukup merogoh Rp 30 ribu, aku mendapat dua ekor ikan P--demikian penduduk setempat menamai ikan itu. Kalau ditimbang, satu ekor sekitar 2 kilogram. Cukup buat oleh-oleh.<br /><br />Dari Pantai Popoh, kami berjalan kaki menuju Pantai Bebas, sekitar satu kilometer dari Pantai Popoh. Sesampai di tujuan, aku hanya memandang gelombang laut yang sangat besar dari pembatas yang berupa tembok setinggi pusar orang dewasa. Meski melihat dari jauh, gelombang yang tinggi dan sangat besar menimbulkan rasa ngeri. Maklum, aku dilahirkan dan dibesarkan di daerah pegunungan.<br /><br />Setelah semuanya puas, barulah aku mengajak rombongan ke Pantai Sidem, tidak jauh dari Pantai Popoh, sekitar 10 menit perjalanan dengan bus. Tidak seperti Pantai Popoh, di Pantai Sidem kami bisa bermain air laut meski ombaknya cukup besar. Tak satu pun kapal atau perahu nelayan di tengah laut. Di tepi pantai, kami bermain air laut yang berkejar-kejaran dan membuat gunung-gunungan dari pasir. Kalau ombak mendekat, bersama kedua putriku aku cepat-cepat lari menjauh takut terkena ombak.<br /><br />Sekelompok nelayan, sekitar 10 orang, menarik tambang yang telah diikatkan pada jala. Jala itu pada malam hari ditambatkan di tengah laut untuk menjaring ikan. Dan baru keesokan harinya jala ditarik beramai-ramai ke tepi pantai. Lalu ikan yang terjaring di jala dikumpulkan. Ikan yang mereka dapatkan, kata salah seorang nelayan, jumlahnya bergantung pada rezeki. "Kalau lagi beruntung, satu orang bisa membawa pulang uang Rp 20 ribu sampai Rp 30 ribu. Tapi, kalau lagi malang, hanya bawa Rp 2.000," ujar si nelayan dengan napas masih terengah-engah habis menarik jala.<br /><br />Tak berapa lama, kami meneruskan perjalanan ke Gua Lowo. Gua ini terletak di Desa Watuagung, Kecamatan Watulimo, Kabupaten Trenggalek. Kurang-lebih 30 kilometer dari Kota Trenggalek, juga 30 kilometer dari Kota Tulungagung. Dari Surabaya ke arah pantai selatan, tepatnya Pantai Prigi, sejauh kurang-lebih 180 kilometer.<br /><br />Dari Popoh, perjalanan kami tempuh selama sekitar dua jam.<br /><br /><br /><div style="text-align: center"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhjh4I3Z6s1gp5S4EM7Tsuo4Vbnfh7HQymUoK0WxZvp2JqGSLLvNGC01oyZdJxD5DfHsH4IClt5YSlbu1lhIcpYZ8puG0urYvpvrGT-wcrVtEGkIBuiTxR4W7_EBledWfOHMX9A39lzbM8/s1600-h/gua.jpg"><img style="margin: 0px auto 10px;text-align: center;cursor: pointer;width: 313px;height: 233px" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhjh4I3Z6s1gp5S4EM7Tsuo4Vbnfh7HQymUoK0WxZvp2JqGSLLvNGC01oyZdJxD5DfHsH4IClt5YSlbu1lhIcpYZ8puG0urYvpvrGT-wcrVtEGkIBuiTxR4W7_EBledWfOHMX9A39lzbM8/s400/gua.jpg" alt="" border="0" /></a>Gua Lowo<br /><br /></div><br />Sesampai di lokasi wisata Gua Lowo, embusan angin sepoi berhawa sejuk mulai menghilangkan keletihan selama perjalanan. Tiba-tiba kedua putriku dan anak-anak yang lain berlari ke arah yang sama. Ternyata mereka berebut permainan anak-anak, seperti bandulan, jungkat-jungkit. Murid-muridku pun ikut menikmati mainan untuk anak-anak itu. Tawa dan canda, diselingi jeritan, memecahkan kesunyian hutan jati.<br /><br />Setelah puas bermain, aku menuju Gua Lowo. Untuk sampai ke mulut gua, aku berjalan menuruni tangga kira-kira 500 meter dari tempat permainan anak-anak. Di awal tangga yang menurun "dijaga" batu menyerupai kura-kura raksasa, panjangnya 9 meter dengan lebar 4,5 meter.<br /><br />Sampailah aku di mulut gua yang menganga lebar bak mulut raksasa. Bayangan gua yang gelap-gulita, angker, dan penuh misteri, yang selama ini ada dalam pikiranku, berganti dengan ketakjuban begitu aku masuk gua. Aku disambut ruang pertama yang sangat luas bagai aula. Langit-langit gua itu tingginya 20-25 meter, dan lebarnya kurang-lebih 50 meter. Wow! Luar biasa. Mataku terbelalak memandang ruang dalam gua.<br /><br />Bersama kedua putriku dan suamiku, aku langsung melangkah menapaki jembatan yang dibangun di tengah-tengah gua yang menghubungkan ruang yang satu dengan ruang yang lain. Jembatan dibangun dengan ketinggian kira-kira dua meter dari permukaan gua sehingga kita mudah mengamati dasar gua. Aku melihat ke dasar gua. Ada air bersih gemericik mengalir, yang katanya bisa membuat awet muda pengunjungnya. Tapi tak ada niat sedikit pun untuk menyentuh airnya. Ada perasaan ngeri karena agak gelap.<br /><br />Selama menapaki jalan buatan, mataku memandang dinding-dinding gua di sebelah kiri dan kanan. Dinding-dinding gua dipenuhi dengan panorama stalaktit (batuan di dalam gua yang menggantung dari atas ke bawah) dan stalagmit (batuan di dalam gua yang menyembul dari atas ke bawah). Beraneka bentuk stalaktit dan stalagmit disembur cahaya dari lampu listrik yang ditata sedemikian rupa sehingga membuat warna-warni batu semakin menawan.<br /><br />Penerangan dengan listrik baru dibuat pada Juni 2006. Sebelumnya, dipergunakan alat penerang lampu petromaks, begitu kata petugas yang mengantarkan kami. Dengan penerangan listrik, pengunjung akan dengan mudah mengamati seluruh dinding gua sampai sudut-sudutnya, dari ruang ke ruang yang berjumlah sembilan ruang itu. Tiap ruang rata-rata luasnya dua sampai empat kali ruang kelas. Berbagai bentuk batu bisa aku jumpai, antara lain batu buceng, batu sepasang kaki, batu gong, dan batu tugu.<br /><br />Pada ruang ketujuh, petugas menunjukkan langit-langit gua. Di sana terdapat lubang yang menembus ke atas sehingga sinar matahari menerobos ke dalam gua. Udara di dalam gua pun tidak pengap dan tetap terasa sejuk, ditambah stalaktit dan stalagmit yang selalu basah meneteskan air sehingga semakin berkilau kena sinar matahari. Jembatannya pun semakin licin karena tetesan stalaktit dan stalagmit. Karena itu, kami harus berjalan lebih hati-hati. Di langit-langit gua tadi terdapat kelelawar yang tak terhitung jumlahnya, tampak hitam dan menggerombol. Pada malam hari kelelawar keluar melewati lubang itu untuk mencari makan; siangnya kembali ke gua untuk tidur.<br /><br />Kami meneruskan perjalanan ke ruang kedelapan. Di antara ruang ketujuh dan kedelapan terdapat satu relung gua, yang merupakan bekas tempat pertapaan Mbah Lomedjo, yang dikenal masyarakat sebagai penemu Gua Lowo sekitar 1931. Pada 1984 gua ini dinyatakan sebagai gua alam terbesar di Asia Tenggara menurut penelitian ahli gua dari Prancis, Gilbert Manthovani dan Robert Kingstone Kho.<br /><br />Sampai ujung gua, jembatan memutar kembali ke arah mulut gua. Berarti kami sudah berjalan sejauh 800 meter dari mulut gua sampai ujung karena panjang gua 800 meter. Ternyata capek juga.<br /><br />Saat kembali ke mulut gua, di salah satu ruang, kami berhenti melepas lelah, duduk di kursi terbuat dari batu sambil menikmati makanan ringan yang kami bawa dari rumah. Setelah sedikit berkurang kelelahan kami, aku ajak anak-anak meneruskan perjalanan ke mulut gua. Meski tadi sudah aku lewati dan amati, begitu melewati lagi kekaguman masih terucap dari mulutku.<br /><br />Kami keluar dari gua, menaiki tangga. Napasku seperti mau putus, kakiku sudah letih melangkah, tapi tidak ada pilihan lain, aku harus berjalan. Beberapa muridku menertawaiku melihat aku ngos-ngosan dengan langkah yang sudah berat.<br /><br />Di tengah perjalanan ada beberapa pedagang menjual makanan khas Trenggalek, seperti keripik tempe, manco, dan alen-alen. Aku membeli ketiga jenis makanan khas tersebut. Rasanya enak dan gurih.<br /><br />Sampai di tempat parkir, aku melihat seorang penduduk menjemur kotoran kelelawar. Jumlahnya cukup banyak. Kira-kira dua karung. Katanya, kotoran kelelawar itu dikirim ke Bogor, Jawa Barat, untuk pupuk bunga. Penduduk mengambil kotoran kelelawar pada malam hari tepat di bawah kelelawar bertengger di dekat lubang langit-langit gua. Kata mereka, populasi kelelawar di gua itu sudah berkurang sehingga kotorannya pun sedikit. Karena pengunjung sudah banyak, kelelawar takut, lalu pindah tempat.<br /><br />Puas sudah kami menikmati perjalanan kali ini. Dalam hati aku berkata, kalau ada kesempatan, aku akan datang lagi.<br /><br />Kami pun pulang. Bus melaju cepat meninggalkan Gua Lowo, tapi kesan dan ketakjuban masih melekat dalam hatiku<br />__________<br />Sri Igustin, Guru SMK, tinggal di Malang, Jawa Timur<br /><br /><span style="font-weight: bold">Sumber :</span><i><span style="font-size: 8pt;line-height: 150%;font-family: Verdana;color: black"><a href="http://www.korantempo.com/korantempo/2008/02/10/Perjalanan/krn,20080210,36.id.html" target="_blank"><span>www.korantempo.com</span></a></span></i><span style="color: black"></span> <br /><span style="font-weight: bold">Foto :</span><span style="font-size: 8pt;line-height: 150%;font-family: Verdana;color: black"><a href="http://judexkerenz.multiply.com/photos/album/67/51._GUWO_LOWO_TRENGGALEK_-_Caving_Among_The_Stalactites_and_Stalagmites#7" target="_blank"><i><span>judexkerenz.multiply.com</span></i></a></span><span style="color: black"></span> </div><div class="blogger-post-footer"><img width='1' height='1' src='https://blogger.Car.com/indah/2624359141219824923-2013184440105921440?l=rumah-stil.blogspot.com' alt='' /></div> Tinggalkan komentar anda tentang <a href="http://rumah-stil.blogspot.com/">Menyusuri Pantai, Menembus Gua</a><br> infohttp://www.blogger.com/profile/14229387099866067801noreply@blogger.com0