Balap Kerbau Pantai Cipatujah Tasikmalaya


Informasi terbaru Balap Kerbau Pantai Cipatujah Tasikmalaya
Balap kerbau merupakan budaya tradisional yang berkembang sejalan dengan potensi daerah Cipatujah sebagai daerah peternakan kerbau. Balap kerbau sebenarnya acara para peternak kerbau dalam mengisi kebutuhan rekreasi mereka disaat-saat senggang, diiringi kesenian rakyat seperti kendang penca, buncis dan dogdog.

Balap kerbau berkaitan dengan agrowisata kerbau seluas 40 hektar yang masih di dalam area Pantai Cipatujah, didalamnya kita bisa melihat dan mempelajari bagaimana cara-cara para peternak beternak kerbau dengan pendekatan secara tradisional. Para wisatawan yang berkunjung ke daerah ini juga bisa menikmati acara kumpul kebo, yaitu berkumpul bersama kerbau dan para peternak kerbau.

Atraksi lain yang bisa dilakukan di Pantai Cipatujah ini adalah menaiki kerbau yang dimiliki oleh para peternak, dan mencoba bertanding menjadi pembalap kerbau antar sesama wisatawan yang datang ke daerah ini. Atraksi ini sangat diminati oleh wisatawan yang datang, terutama dari wisatawan mancanegara. Atraksi ini merupakan atraksi langka di negara asal wisatawan, karena mungkin disana tidak ada kerbau yang bisa digunakan untuk balapan seperti di Pantai Cipatujah ini.

Sumber : http://khastasikmalaya.blogspot.com
Foto : http://www.kabarindonesia.com
Tinggalkan komentar anda tentang Balap Kerbau Pantai Cipatujah Tasikmalaya

Tuanku Hasyim Bangta Muda Pahlawa Asal Aceh


Informasi terbaru Tuanku Hasyim Bangta Muda Pahlawa Asal Aceh
Pendahuluan
Tuanku Hasyim Bangta Muda yang diperkirakan lahir antara tahun 1834 dan tahun 1840 merupakan keturunan kaum keluarga sultan Aceh. Dia adalah putra dari Tuanku Abdul Kadir bin Tuanku Cut Zainal Abidin bin Sultan Alaiddin Mahmudsyah, Sultan Aceh yang memerintah antara tahun 1781 hingga tahun I 795.Semenjak kecil beliau diasuh oleh Sultan Alaiddin Ibrahim Mansursyah, berkat usahanya Tuanku Hasyim Bangta Muda menjadi seorang pemuda yang gagah berani, cerdas dan bijaksana. Dari pernikahannya dengan Cut Nyak Puan, ia memperoleh dua orang anak yaitu Tuanku Musa yang bergelar Tuanku Raja Keumala dan Tengku Ratna Keumala. Dengan asuhan yang cukup bijaksana akhirnya Tuanku Raja Keumala menjadi tokoh besar yang turut mengusir penjajah Belanda di Aceh sedangkan Tengku Ratna Keumala menikah dengan Seri Muda Perkasa Teuku Panglima Polem Muhammad Daud.

Awal Perjuangan Tuanku Hasyim Bangta Muda
Perjuangan pertama yang diemban oleh Tuanku Hasyim Bangta Muda adalah ketika Sultan Ibrahim Mansursyah, menugaskannya ke Sumatra Timur karena Belanda mulai mengganggu ketentraman wilayah kerajaan Aceh. Tugas yang diberikan oleh sultan tersebut mengandung ketentuan bahwa ia menjadi wakil Sultan Aceh untuk Sumatra Timur dengan wilayah wewenang Tamiang, Langkat, Deli dan Serdang seterusnya Asahan bahkan seluruh Sumatra Timur.
Tuanku Hasyim Bangta Muda ternyata sangat terampil dalam pemerintahan, politik dan kemiliteran. Dalam waktu yang tidak begitu lama Tuanku Hasyim Bangta Muda dapat menundukkan para penguasa di daerah yang kurang setia terhadap pemerintahan kesultanan Aceh. Hubungan baik Tuanku Hasyim Bangta Muda dengan Pangeran Musa di Langkat yang sudah memihak Sultan Aceh menyebabkan Pangeran Musa merelakan putrinya, Tengku Ubang menjadi isteri Tuanku Hasyim Bangta Muda.

Selanjutnya, ia membangun dan memperkuat benteng benteng yang bertujuan untuk menangkis serangan pasukan kolonial. Belanda di bawah pimpinan Netscher berulangkali menyerang benteng pertahanan Tuanku Hasyim Bangta Muda, pada bulan Agustus 1862 dan 1863 namun gagal. Baru pada tahun 1865, Belanda dapat menaklukkan benteng pertahanan Tuanku Hasyim Bangta Muda di Pulau Kampai. Ketika terjadi serangan Belanda kedua ke Aceh pada akhir 1873, Tuanku Hasyim Bangta Muda juga ikut mengorganisir dan mengkoordinir seluruh potensi yang ada, baik uleebalang, ulama, orang kaya (bangsawan), dan seluruh rakyat. Terutama untuk menjaga dua wilayah tanggung jawab keamanannya yaitu daerah Kuta Raja Pirak dan Benteng Pertahanan di Makam Syiah Kuala.

Dari Pertempuran Demi Pertempuran
Setelah melalui beberapa pertempuran, pada tahun 1874 pasukan Belanda menduduki Mesjid Raya yang sebelumnya terbakar pada ekspedisi pertama. Kehadiran kembali pasukan Belanda menyebabkan terjadi lagi pertempuran yang dahsyat dengan pasukan Aceh. Perang di Mesjid Raya, oleh Belanda diakui sebagai perang yang paling dahsyat. Perang itu dipimpin langsung oleh Tuanku Hasyim Bangta Muda.

Setelah dalam (kraton) jatuh ke tangan Belanda pada tanggal 24 Januari 1874, Tuanku Hasyim Bangta Muda ber¬gerak ke daerah Sagi 26 Mukim untuk memantau situasi secara langsung. Tidak lama setelah itu, Tuanku Hasyim Bangta Muda kembali ke Mesjid Pagar Aye sebagai tempat markas sementara.Tuanku Hasyim Bangta Muda memanggil uleebalang untuk bermusyawarah. Dalam musyawarah itu mengikrarkan suatu sumpah yang diucapkan bersama, yang menyatakan wajib perang sabil untuk mengusir kafir Belanda.

Setelah lama Tuanku Hasyim Bangta Muda terjun ke lapangan, kemudian dinobatkan sebagai panglima tertinggi Angkatan Perang dan sebagai Mangkubumi, Wali dan Pelaksanaan Urusan Kerajaan Aceh.

Pada akhir t-siun 1879, Tuanku Hasyim Bangta Muda bersama Sultan Muhammad Daud Syah yang masih berusia sekitar 10 tahun menempati Kuta Keumala Dalam sebagai ganti dalam atau Kutaraja yang sudah dikuasai oleh Belanda. Setelah Muhammad Daud Syah dewasa, Tuanku Hasyim Bangta Muda meninggalkan Keumala Dalam. Pada tahun 1894 kembali ke Reubee di rumah peninggalan leluhurnya. Tahun 1896, Tuanku Hasyim Bangta Muda kembali ke rumah yang dibuat oleh menantunya, Teuku Panglima Polem Muhammad Daud, di Padang Tiji, Wilayah XXII Mukim (sekarang masuk wilayah Kabupaten Pidie).

Perjuangan yang tidak kenal Ielah
Tuanku Hasyim Bangta Muda pun kemudian sudah mulai lanjut usia dan sudah terlalu letih dalam perjuangan. Sekitar 15 tahun dalam bentuk konfrontasi dengan Belanda di Sumatra Timur dan Aceh Timur (1858-1873) dan sekitar 25 tahun dalam bentuk perang resmi di Aceh Raya hingga di Keumala (1873-1897).Tuanku Hasyim Bangta Muda yang telah memimpin perlawanan terhadap kolonial dan menyumbangkan darma baktinya kepada agama, bangsa dan negara begitu lama, menghadap sang Ilahi di Padang Tiji pada tanggal 18 Syakban 1314 Hijriah bertepatan dengan 22 Januari 1897.

Kebesaran dan ketokohan Tuanku Hasyim Bangta Muda digambarkan oleh J.F.B Bruinsma dengan rangkaian kata kata sebagai berikut : "Andaikata dia (Tuanku Hasyim penulis) tidak pernah hidup barangkali sudah lama kita menduduki Aceh dengan tentram".

Teuku Muhammad Daud
Sampai saat ini belum ditemukan keterangan yang jelas mengenai tanggal dan tahun kelahiran Teuku Panglima Polem Muhammad Daud, yang jelas dia berasal dari keturunan kaum bangsawan Aceh. Ayahnya bernama Panglima Polem VIII Raja Kuala anak dari Teuku Panglima Polem Sri Imam Muda Mahmud Arifin yang juga terkenal dengan nama Cut Banta (Panglima Polem VII (1845-1879). Mahmud Arifin merupakan Panglima Sagoe XXVI Mukim Aceh Besar. Sebutan Panglima Polem merupakan gelar kehormatan bagi sagoe pedalaman Sagoe XXII Mukim.

Setelah dewasa, Teuku Panglima Polem Muhammad Daud menikah dengan Tengku Ratna Keumala salah seorang puteri Tuanku Hasyim Bangta Muda, tokoh Aceh yang seperjuangan dengan ayahnya. Panglima Polem mendapat gelar Teuku Panglima Polem Sri Muda Setia Perkasa Muhammad Daud.

Di penghujung bulan Maret 1896 Teuku Panglima Polem Muhammad Daud bersama 400 orang pasukannya bergabung dengan Teuku Umar untuk menghadapi serangan Belanda. Dalam pertempuran besar-besaran yang berlang¬sung selama 14 hari, sejak tanggal 8 sampai 21 April 1896 di pihak Belanda jatuh korban 25 orang tewas dan 190 orang luka-luka.

Gerilya ke Pegunung, XXII Mukim
Bersamaan dengan menyingkirnya Sultan Muhammad Daud Syah ke Pidie, maka demi menegakkan hak, martabat dan harga diri rakyat Aceh, Panglima Polem bersama pasukannya langsung menuju ke pegunungan XXII Mukim. Mereka berusaha memperkuat benteng pertahanan di wilayah itu. Menghadapi kenyataan itu Panglima Polem bersama pasukannya mulai membuat perhitungan dengan pasukan Belanda, terutama dengan cara bergerilya sambil mendiri¬kan kubu-kubu pertahanan di pegunungan Seulimeum, seperti di Gle Yeueng. Pada tahun 1897 Belanda berhasil menguasai wilayah Seulimeum dan Panglima Polem terpaksa hijrah ke Pidie.

Menyusun Strategi Baru
Pada bulan Nopember 1897 kedatangan Panglima Polem di Pidie diterima oleh Sultan Aceh (Muhammad Daud Syah) yang sejak beberapa bulan sebelumnya telah berada di Keumala.

Bulan Februari 1898, Teuku Umar tiba di wilayah VII Mukim Pidie bersama seluruh kekuatan pasukannya lalu bergabung dengan Panglima Polem dan para pejuang lainnya untuk memperkuat barisan pertahanan di sana. Pada tanggal 1 April 1898, Teuku Panglima Polem bersama Teuku Umar dan para ulama serta uleebalang terkemuka lainnya menyatakan sumpah setianya kepada Sultan Muhammad Daud Syah dengan tekad bulat bersama-sama meneruskan perjuangan melawan Belanda.

Menghadapi Serangan Belanda
Pada tanggal 1 Juni hingga pertengahan September 1898 Belanda melakukan serangan besar-besaran ke wilayah Pidie. Serangan ini berada di bawah komando van Heutsz. Dalam menyusun strategi, Heutsz didampingi oleh Snouck Hurgronje yang diangkat selaku Penasehat Pemerintah Hindia Belanda urusan Bumiputra.

Untuk menghadapi serangan tersebut pasukan pejuang Aceh dibagi menjadi beberapa kelompok. Untuk wilayah VII Mukim sepenuhnya dipercayakan kepada Panglima Polem bersama Tuanku Muhammad sedangkan dalam wilayah Pidie secara langsung berada dibawah komando Sultan bersama para pengikutnya.

Pada bulan November 1898, Sultan Muhammad Daud Syah dan Panglima Polem sendiri akhirnya mengambil jalan pintas untuk mengundurkan din dan Pidie menuju Timur ke perbukitan hulu sungai Peusangan. Sementara Belanda terus mengejar mereka sampai akhirnya meletus perang di Buket Cot Phie. Dalam pertempuran ini pasukan Panglima Polem hanya berhasi I menewaskan pihak Belanda sebanyak 3 orang dan 8 orang luka¬luka, sedangkan korban pasukan di pihak Aceh seluruhnya mencapai 34 orang.

Keberhasilan Belanda dalam serangan ini memaksa Sultan menyingkir ke Bukit Keureutoe, Teuku Chik Peusangan ke Bukit Peu toe sedangkan Panglima Polem menuju ke pegunungan di bagian Selatan Lembah Pidie.

Menyingkir ke Daerah Gayo
Di awal tahun 1901, Sultan Muhammad Diad Syah bersama Panglima Polem mengambil inisiatif untuk sama-sama menyingkir ke daerah Gayo dan kemudian menjadikan daerah ini sebagai pusat pertahanan Aceh. Di daerah ini Sultan Aceh bersama Panglima Polem dan pasukannya kembali menyusun strategi baru untuk mempersiapkan penyerangan terhadap Belanda.

Setelah pihak Belanda mengetahui keberadaan Sultan dan Panglima Polem di daerah Gayo, Belanda semakin mengincar daerah tersebut. Melalui Pase Pasukan Belanda yang dipimpin Mayor Van Daalen selama tiga bulan (sejak September hingga November 1901) melakukan gerakan pengejaran terhadap Sultan dan Panglima Polem yang telah berada di Gayo. Pada bulan Juni sampai September 1902 Penguasa Belanda memerintahkan Letnan satu W.B.J.A Scheepens bersama sejumlah pasukannya bergerak dari Meureudu ke Gayo. Namun kegagalan kembali ditelan oleh Belanda

Siasat Kelicikan Belanda
Setelah mengalami kegagalan demi kegagalan dalam usahanya menangkap Sultan Muhammad Daud Syah bersama Panglima Polem, maka selama hampir satu bulan Belanda menghentikan penyerangannya ke daerah Gayo. Selama masa itu pula Belanda mengatur strategi baru dengan cara yang sangat licik, yakni dengan cara menangkap orang-orang dekat, ahli kerabat yang paling disayangi Sultan dan mengeluarkan ancaman bahwa kerabat Sultattakan dibuang.

Menerima berita ancaman itu, akhirnya pada tanggal 10 Januari 1903 Sultan Muhammad .Daud Syah terpaksa berdamai dengan Belanda. Sedangkan Teuku Panglima. Polem Sri Muda Perkasa Muhammad Daud baru pada tanggal 7 September 1903 secara terpaksa juga berdamai dengan Belanda.

Secara khusus dengan berdamainya Sultan Muhammad Daud Syah dan Teuku Panglima Polem, pihak Belanda mengira bahwa secara keseluruhan wilayah dan rakyat Aceh telah berhasil mereka kuasai sepenuhnya. Perkiraan Belanda ternyata sangat bertolak belakang dengan kenyataan yang terjadi kemudian, ternyata rakyat Aceh tidak pernah mau berdamai apa lagi menyerah kepada Belanda.

Perjuangan yang cukup gigih dan tidak mengenal lelah telah ditunjukkan oleh Tuanku Hasyim Bangta Muda dan Teuku Panglima Polem. Sikap tersebut pantas untuk kita teladani dalam menghadapi perkembangan Aceh ke depan yang secara khusus melaksanakan syariat Islam dan Indonesia dalam menghadapi era globalisasi

Sumber :
Waryanti Sri dkk, Biografi Sejarah Perjuangan, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh 2002

Keterangan Dalam tulisan ini nama tempat dan nama-nama orang telah disesuaikan dengan EYD
Tinggalkan komentar anda tentang Tuanku Hasyim Bangta Muda Pahlawa Asal Aceh

Bangunan Bersejarah di Kota Madya Bandung 1


Informasi terbaru Bangunan Bersejarah di Kota Madya Bandung 1
I. Pendahuluan
Belum dapat diketahui secara pasti, kapan Bandung dibentuk menjadi sebuah pemukiman karena tanggal yang dijadikan dasar berdirinya pun diambil dari terbitnya Surat Keputusan Bandung menjadi gemlente. Surat Keputusan tersebut terbit pada tanggal 1 April 1906. Saat itu pemerintahan kota Bandung mulai dipisahkan dengan pemerintahan Kabupaten Bandung oleh Gubernur Jenderal JB Van Heutch.

Sebuah cerita menuturkan bahwa yang membuat Bandung menjadi sebuah kota adalah Gubernur Jenderal Daendels. Ketika itu, Daendels sedang mengawasi pem¬bangunan jalan rayapos yang melintasi Bandung. Di dekat jembatan Sungai Cikapundung (Sekitar Gedung Merdeka) yang tengah diselesaikan oleh -pasukan zeni militer Belanda dibantu penduduk Kampung Cikapundung, Daendels menancapkan patok kayu sambil berkata "usahakan yang terbaik, jika aku kembali lagi, ditempat ini telah dibangun sebuah kota". Pada patok itu berdiri, orang kemudian membuat tanda berupa tugu yang menyatakan tanda kilometer 0 untuk daerah Bandung. Sejak itulah kota Bandung dibangun hingga mencapai bentuk perkembangan sekarang ini.

A. Lokasi dan Kondisi Geografis
Dari tahun ke tahun, Bandung menunjukkan perkem¬bangan yang sangat pesat. Kepesatan tersebut di¬mungkinkan karena letaknya yang strategis sebagai hinterland ibu kota. Di bidang budaya, Bandung berkembang menjadi pusat budaya Jawa Barat mengalahkan Cianjur, Banten, dan Cirebon yang telah memiliki akar budaya lebih tua. Kemudian dari segi politik, Bandung sering dijadikan barometer politik, dan dari segi ekonomi Bandung menjadi koridor utama Jakarta serta pusat pertumbuhan ekonomi wilayah Priangan, Cianjur, Cirebon, dan Jawa Tengah.

Dengan alasan-alasan tersebut, tidak heran jika Bandung memiliki berbagai macam fungsi, seperti pusat pemerintahan Jawa Barat dengan adanya Kantor Gubernur di Gedung Sate. Kemudian sebagai kota pendidikan, dengan adanya ITB, Unpad, IKIP serta puluhan perguruan tinggi swasta dan berbagai macam pendidikan lainnya. Bandung juga merupa¬kan pusat perdagangan regional Jawa Barat; kota industri, pusat budaya dan pariwisata, serta etalasi Jawa Barat.

Secara astronomic, Bandung yang dikelilingi pe¬gunungan ini, terletak di antara 107" BT dan 6° 55' LS. Jarak antara ibukota negara (Jakarta) sekitar 180 km, dari Bogor kurang lebih 126 Km, dan dari Cirebon sekitar 130 Km. Ditinjau dari segi topografi, Bandung terletak pada ketinggian rata-rata 768 meter diatas permukaan laut. Sisi sebelah Utara berupa perbukitan dengan titik tertinggi 1.050 meter diatas permukaan laut. Sedangkan sisi sebelah Selatan yang relatif datar, titik terendahnya sekitar 675 meter diatas permukaan laut.

Kawasan kota Bandung yang dahulunya merupakan danau purba Bandung ini, dikelilingi beberapa gunung, antara lain : Gunung Tangkuban Perahu (2.076 m), Gunung Malabar (2.321 m), Gunung Burangrang (2.064 m), Gunung Bukit Tunggul (2.209 m), Gunung Patuha (2.249 m), Gunung Palasari, Gunung Mang¬layang, dan Gunung Tilu. Oleh karena dipengaruhi iklim pegunungan yang lembab dan sejuk, temperatur rata-rata harian antara 18° C sampai 28,2" C dengan curah hujan antara 77,2 mm hingga 178,6 mm. Jumlah hari hujan dalam setahun rata-rata 208 hari.

Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 135/331/PUOD tanggal 23 Juni 1986 luas wi¬layah Kotamadya Bandung yang semula 12.758 hektar berkembang menjadi kurang lebih 17.000 hektar dengan batas-batas: Sebelah utara sampai dengan garis ketinggian 750 m, sebelah timur sam¬pai Sungai Cibiru, sebelah selatan sampai jalan Tol Padalarang-Cileunyi, dan sebelah barat sampai jalan Terusan Pasteur, Jalan Raya- Bandung Cimahi, dan batas wilayah Kota Administratif Cimahi. Wilayah seluas 17.000 hektar tersebut dimanfaatkan untuk perumahan (54%), perkotaan (9%), perkotaan dan perdagangan (4%), industri (2%), pertanian (14%), kompleks militer (8%), cadangan untuk pengem¬bangan (3%), dan kegunaan lain-lain (6%); serta meliputi 4 Wilayah Pembantu Walikota Madya, 26 kecamatan, dan 135 kelurahan.

Pengembangan luas wilayah yang dipergunakan untuk pemukiman penduduk dilakukan dengan melingkari wilayah yang telah ada. Hal tersebut menyebabkan tempat tinggal penduduk semakin jauh letaknya dari pusat kota. Perluasan wilayah itu tidak diimbangi dengan pembuatan alternatifjalan yang baru, bahkan jalur jalan untuk mencapai pusat kota masih meng¬gunakan jalan yang lama, sehingga Bandung dapat dikatakan tidak teratur dan mengakibatkan pemakai jalan selalu dihadapkan pada persoalan kemacetan lalu lintas yang hampir berlangsung setiap hari.

B. Kependudukan
Bandung merupakan salah satu kota di Indonesia yang memiliki perkembangan penduduk yang sangat pusat. Tingkat kepadatan penduduknya rata-rata mencapai 135 jiwa/hektar. Bahkan beberapa wilayah seperti Pagarsih, Jamika, Kiaracondong, Cicadas, Binong, dan Babakan Ciparay, mencapai kepadatan 250 jiwa/ hektar sampai 400 jiwa/hektar. Padahal menurut ketentuan WHO, tingkat kepadatan penduduk kota paling ideal sekitar 60 jiwa/hektar.

Lajti Pertumbuhan penduduk (LPP) Kodya Bandung mencapai 3,48%. Padahal data asli dari BKKBN (se¬suai dengan angka kelahiran) hanya 1,08%. Berarti, 2,4% LPP berasal dari kaum pendatang.

Memang berdasarkan data kependudukan yang ter¬dapat di Pemda Kodya Bandung, setiap tahun Bandung di banj iri kaum pendatang antara 40.000 â€" 50.000 orang. Mereka datang dari berbagai pelosok untuk mencari kehidupan yang lebih baik dibanding di daerah asal. Selain oleh pencari nafkah, Bandung juga diserbu pelajar dan mahasiswa dari berbagai daerah dengan jumlah setahunnya mencapai sekitar 10.000 orang. Yang mengkhawatirkan adalah apabila pendatang (termasuk pelajar/mahasiwa) tidak mau kembali ke tempat asalnya. Tidak sedikit dari mereka yang mendapatkan pasangan (suami atau istri) orang Bandung dan kemudian tinggal di Bandung.

Beberapa nama tempat di Bandung, mencerminkan keberadaan kaum pendatang seperti di kawasan Kiaracondong, terdapat kampung yang disebut pen¬duduk setempat "Kampung Jawa" karena sebagian besar penduduknya berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di kawasan Sumur Bandung juga ter¬dapat "Babakan Ciamis" yang kalau ditelusuri latar belakangnya, ternyata karena di tempat tersebut banyak dihuni oleh penduduk yang berasal dari Ciamis, terutama dari Kecamatan Panjalu.

Bertambahnya jumlah pendatang yang merupakan produk parahnya arus urbanisasi, diakibatkan juga oleh banyak didirikan pabrik-pabrik tekstil atau garmen yang menyerap pekerja sampai ribuan orang dan sebagian besar diantaranya berasal dari daerah luar Bandung. Jumlah tersebut akan semakin meningkat apabila ditambah lagi dengan pendatang yang bersifat commuter (Wang alik). Pendatang tersebut hadir di Bandung karena berhubungan dengan pekerjaan (tempat kerjanya di Bandung) dan sekolah. Menurut perhitungan jumlah pendatang commuter diperkirakan mencapai 300.000 setitap harinya. Mereka datang dari kota satelit seperti Ciparay, Majalaya, Banjaran. Soreang, Lembang, Cililin, Cicalengka atau Subang dan beberapa kota yang letaknya terlalu jauh.

Berdasarkan komposisi penduduk menurut umur yang tercatat pada data kependudukan Kotamadya Bandung tahun 1996, jumlah penduduk yang berusia muda menunjukkan perbandingan lebih besar dibandingkan dengan jumlah penduduk usia sedang/produktif dan tua. Oleh karena itu, beban ketergantungan (depen¬dency ratio) yang dapat dihitung diperkirakan sekitar 72,8 persen, yang berarti bafiwa setiap 100 orang berusia produktif atau konsumtif harus menang-gung 72 orang yang nonproduktif atau konsumtif. Tinggi beban ketergantungan ini menyebabkan pen-dapatan Kota Madya Bandung habis dikonsumsi oleh penduduk nonproduktif.

C. Kehidupan Sosial, Ekonomi dan Budaya
Pembangunan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Kotamadya Bandung serta segenap lapisan masyarakat selama kurun waktu 90 tahun ini telah menunjukkan keberhasilan yang cukup menggembira¬kan. Hal tersebut dapat dilihat dari angka laju per¬tumbuhan ekonomi yang dewasa ini mencapai 1156%, jauh di atas laju pertumbuhan ekonomi nasional yang hanya 6% dan laju pertumbuhan eknomi Jawa Bann 9%.

Walaupun laju pertumbuhan ekonominya tinggi, ter¬nyata masih banyak warga kota Bandung yang belum berhasil dalam bidang materi. Hal tersebut terlihat dengan adanya tiga desa/kelurahan yang tertinggal, yaitu Desa Mengger, Kelurahan Cigondewah Wetan, dan Kelurahan Sukapura, serta terdapatnya hampir 150.000 KK yang dinyatakan prasejahtera dan mis¬kin (40% dari seluruh penduduk Kodya Bandung).

Upaya yang dilakukan Pemda Kotamadya Bandung untuk membrantas kemiskinan. antara lain memberi¬kan dana IDT (Inpres Desa Tertinggal) kepada tiga kelurahan tertinggal, dan membentuk KBS (Kelom¬pok Bina Sosial) untuk membantu penduduk yang kekurangan modal. Selain itu. dibentuk juga Yayusan Berhiber, merealisasikan program Rereongan Sarupi, dan program Satata Sariksa.

Sikap-sikap seperti itu menunjukkan bahwa masya¬rakat Jawa Barat umumnya. khususnya kota Bandung masih memiliki kepedulian sosial yang relatif tinggi terhadap sesamanya. Namun perlu juga disadari bahwa nilai-nilai luhur tersebut kin i memudar seiring dengan perkembangan zaman. terutama di daerah pusat kota yang sudah individualistis. Padahal kalau sikap hidup demikian diupayakan dan dibina kembali, niscaya merupakan potensi yang luar biasa untuk menjarnin kemajuari di segala bidang kehidupan.

Pemerintah Daerah Kotamadya Bandung menyadari bahwa berbagai permasalahan kerapkali timbul, walaupun upaya pembangunan di segala bidang dilaksanakan secara terencana. menyelunth, dan ber¬kesinambungan.

Permasalahan yang timbul antara lain diakibatkan bertambahnya penduduk yang berpengaruh terhadap fasilitas dan utilitas yang dibangun Pemda. Adapun yang paling dominan adalah semakin sempitnya lahan terbuka karena hampir sebagian besar digunakan untuk pemukiman.

Walaupun secara umum dapat dikatakan bahwa kon¬disi tempat tinggal penduduk Bandung dan sekitar¬nya relatif balk tetapi terdapat juga kondisi pemukiman yang kurang memadai sebagai tempat tinggal atau kumuh. Daerah kumuh tersebut umumnya terdapat dipinggir rel kereta api, Daerah-daerah Aliran Sungai (DAS), bahkan tidak sedikit yang menjadikan kuburan (tempat pemakaman umum) sebagai pemukiman. Dengan demikian, upaya pemenuhan utilitas dan fasilitas kota yang dilaksanakan saat ini, masih jauh tertinggal dibanding kebutuhan.


Peta Kotamadya Bandung

II Bangunan Bersejarah Di Kota Bandung
1. Gedung Sate

Pembangunan gedung ini dirintis tahun 1918, dan iibangun pada tahun 1920. Bangunannya berbentuk 7.ersegi panjang. Pintu masuk utama terletak di tengah-tengah bagian gedung yang memanjang, rnenghadap ke utara. Puncak atapnya bersusun tiga dengan antena anti petir yang terletak di tengahnya berbentuk setusuk sate, menurut sebagian orang lambang setusuk sate tersebut melambangkan biaya ang dikeluarkan pemerintah kolonial untuk mem¬bangun gedung tersebut


Gedung Sate, Jalan Diponegoro

Enam bulatan tersebut berarti enam juta gulden. Menurut catatan pembangunan gedung sate itu hanya lima juta gulden (Comite van Artie, "Bandung de Staat op de Hoogulakte"). Puncak atap tersebut memotong atap bangunan menjadi dua bagian Gedung ini pernah dijadikan kantor Departemen Verkeer en Waterstaat juga sering disebut Gedung Gouvernements Bedrijven. Sekarang dipergunakan sebagai Kantor Pemerintah Daerah Tingkat I Propinsi Jawa Barat.

Gedung ini pernah dijadikan kantor Departemen Verkeer en Waterstaat juga sering disebut Gedung Gouvernements Bedrijven. Sekarang dipergunakan sebagai Kantor Pemerintah Daerah Tingkat I Propinsi Jawa Barat.

2. Gedung Pakuan
Gedung Pakuan didirikan pada tahun 1867 atas prakarsa Residen Priangan RAA. Wiranatakusuma IV (Dalem Bintang 1), Bupati Bandung ketujuh di¬bantu oleh para pekerja perkebunan Babakan Bogor.



Gedung Pakuan, Jalan Ottó Iskandardinata

Perancang bangunan ini adalah insinyur kepala dan staf dari Residen Van der Moore dan mulai dibangun tahun 1864. Gedung Pakuan memiliki langgam Indische Empire Stijl (Gaya Empire Hindia). Bentuk dan gaya gedung itu tampak merupakan perpaduan antara bentuk dan gaya bangunan Sunda dengan gaya dan bentuk bangunan Eropa. Nama Gedung Pakuan diusulkan oleh Dalem Isteri RAA Wiranatakusuma V.

Gedung Pendopo Kabupaten Bandung, Jalan Dalem Kaum

Pada dinding, pintu dan palang-palang bangunannya terdapat karya seni semacam kaligrafi, berupa ayat¬ayat suci Al Qur'an.

Dalam bangunan ini terdapat sebuah ruangan tempat Bupati menerima tamu dan pendopo. Pendopo ini dibangun pada tahun 1950 pada masa petherintahan Bupati RAA Wiranatakusumah IV.

3. Gedung Dwi Warna
Gedung ini dibangun pada tahun 1940 di bawah pengawasan Technisishon Dionstdor Stadsge¬meente Bandung, dipergunakan sebagai Pension Fonds seluruh Indonesia. Pada waktu pemerintah Jepang berkuasa di Indonesia, gedung ini diperguna¬kan sebagai gedung Kempe Tai, kemudian sebagai gedung Rekomba, dan pada masa feodal sebagai gedung DPR Negara Pasundan.

Di gedung ini pula dilakukan demonstrasi pem¬bubaran Negara Pasundan yang kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia.


Gedung Dwi Warna, Jalan Diponegoro

Setelah Negara Pasundan bersatu (kembali) ke Negara Kesatuan, gedung DPR Tingkat I Jawa Barat (dulu) oleh Bung Karno dipergunakan sebagai gedung Sekretariat Konferensi Asia Afrika dan di¬beri nama "Gedung Dwi Wama". Setelah konferensi selesai, kembali ke fungsi semula yaitu sebagai gedung KP3 (Kantor Pusat Pensiunan Pegawai), kemudian sebagai Kantor Pusat Administrasi Belanja Pegawai, namanya "Sub Direktorat Pe¬ngumpulan Data Seluruh Indonesia".

4. Gedung Merdeka
Gedung Merdeka dibangun pada tahun 1879, oleh arsitektur berkebangsaan Belanda hernama Van Galen Last dan CP. Wolf Schoomaker, kemudian dibangun sampai berbentuk sekarang tahun 1927 - 1929. Dahulu gedung ini terdiri atas dua huah bangunan, yakni bangunan pokok yang disehut Gedung Schowberg dan satu lagi yang disehut Societiet Concordia. Kedua gedung ini disatukan dan telah dilaksanakan perombakan besar tahun I954, dalam rangka akan diselenggarakannya Konferensi Asia Afrika pada bulan April 1955.

Dahulu gedung ini merupakan gedung pertemuan orang Belanda dari kalangan atas, seperti kaum intelektual, perwira militer, -pemilik perusahaan perkebunan di sekitar kota Bandung.


Gedung Merdeka, Jalan Asia Afrika

Sejak tahun 1955 gedung ini merupakan gedung .bersejarah yang terkenal ke seluruh dunia, karena di gedung inilah berlangsung Konferensi Asia Afrika yang membangkitkan semangat untuk gerakan ke¬merdekaan negara-negara terjajah yang ada di seluruh Asia Afrika. Di samping itu, di gedung ini pula tempat dilangsungkannya pertemuan-pertemuan nasional maupun internasional, seperti Konferensi Islam Asia Afrika, Konferensi Wartawan Asia Afrika, Konferensi WHO, dan sekarang digunakan sebagai gedung Museum Asia Afrika.

Gedung tersebut telah mengalami pemugaran pada tahun 1978/1979 oleh Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (bersambung)

Sumber :
RosmanaTjetjep dkk, 1999/2000 Bangunan Bersejarah Di Kota Bandung Jakarta. Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia

Tinggalkan komentar anda tentang Bangunan Bersejarah di Kota Madya Bandung 1

Ziarah Budaya Itu Bernama Mudik


Informasi terbaru Ziarah Budaya Itu Bernama Mudik
Oleh: Nur Faizah

Fenomena mudik adalah budaya khas setiap tahun masyarakat muslim Indonesia dalam menyambut datangnya Idul Fitri, yang populer dengan sebutan Lebaran. Secara sosiologis, mudik merupakan ajang tamasya budaya dan dalam berbagai sisi memunculkan sirkulasi tata kehidupan. Dalam pelbagai bentuknya, migrasi besar-besaran yang ditimbulkan akibat mudik selalu melahirkan dilema dan problema sosial yang silang sengkarut. Kebiasaan rehat dari kesibukan keseharian bagi orang-orang kota dengan cara menikmati suasana kampung halaman amat membantu mereka mempersegar etos kerja.

Terlepas dari segala dampak yang ditimbulkannya, KH Mustofa Bisri (2007), misalnya, menilai bahwa fenomena tamasya budaya semacam ini adalah wahana strategis untuk menata kembali tata ruang kebudayaan dalam skala yang luas. Masih banyak ruang budaya yang belum terelaborasi dan terjamah oleh tangan peradaban. Ia merupakan peluang bagi pelaku budaya dan kesenian kita agar lebih sudi memperlebar spektrum kebudayaan sebagai lahan hijau dalam menggali gagasan dan inspirasi-inspirasi baru.

Kaum urban yang datang ke kota bermaksud menggantung harapan hidup mereka ke arah yang lebih baik. Pada saat itulah, naluri dan nurani mereka terpaksa bersitatap dengan realitas sosial yang mungkin sama sekali belum pernah terbayangkan di benak mereka sebelumnya. Mereka memiliki kesempatan secara langsung membuktikan bahwa adagium “ibu kota lebih kejam daripada ibu tiri” adalah satire pahit dari kehidupan kota sesungguhnya dan bukan hanya isapan jempol.

Dengan kata lain, aktivitas mudik bukan sekadar lalu lalang perpindahan penduduk yang bergerak massal. Sebaliknya, fenomena mudik tak ubahnya ziarah lintas wilayah yang menuntut manusia (pemudik) berjumpa dengan pelbagai tipe manusia dan karakter sosial yang amat plural. Pada dimensi filosofis, mudik merupakan perlambang kesadaran manusia menjalankan hidupnya dalam satu garis linear (hablun min an-naas) untuk menuju titik pusat transendensi, berupa perlindungan Tuhan (hablun min Allah) serta restu leluhur (ridha alwalidayn).

Tepat di aras inilah, makna hakiki Lebaran sebagai silaturahmi kemanusiaan yang mampu menihilkan noda dan dosa menemukan momentum pembenarannya. Meminjam istilah Mochtar Naim (1999), fenomena kebudayaan seperti ini memiliki potensi memadukan beragam kutub, termasuk persinggungan dinamis antara masyarakat arus bawah dan arus atas. Berawal dari dialektika ini, anasir-anasir konflik dimungkinkan luruh dan menjadi harmoni yang saling mengayomi dan lintas batas.

Berkaca dari kenyataan bahwa ritus mudik adalah safari lintas budaya, kita seakan diingatkan kembali pada panorama serupa yang terjadi di dunia sastra. Fenomena transkulturalisme dalam sastra merupakan wacana lawas yang, dalam konteks ini, penting untuk direnungkan ulang, baik esensi maupun kontekstualisasinya. Sejumlah alasan dapat dikemukakan dalam kaitan ini.

Pertama, karya sastra adalah ruang semesta. Dengan ketajaman dan keliarannya, ia bisa menembus dan melintasi apa saja, termasuk di sini sekat budaya, batas bangsa, tabir agama, hingga tangga-tangga hierarki kasta. Kedua, adanya kecenderungan sementara sastrawan untuk mengabadikan tapak tilas mereka dalam karya sastra. Perjalanan mudik yang melelahkan berpotensi mengendapkan sekaligus mengabadikan kenangan yang menarik selama dalam perjalanan. Ketiga, nyaris tak bisa ditampik bahwa, dengan wataknya sebagai ruang semesta itulah, karya sastra juga telah serta-merta mengekalkan kerinduan seseorang terhadap belahan bumi leluhur yang pernah dihuni dan disinggahi sebelumnya.

Bertolak dari ketiga lanskap di atas, kita bisa menangkap kecenderungan akan tumbuhnya karya sastra sebagai "sarana tamasya" dalam khazanah kesusastraan kita. Konsep transkulturalisme yang digagas Kaplan telah dipraktekkan secara nyata oleh para sastrawan, baik lewat karya sajak maupun roman (prosa). Gejala seperti ini terasa kian kuat manakala dipandang dari sudut otentisitas dan empirisitas karya.

Serupa seorang pengelana (musafir) yang sedang menikmati perjalanan mudik, kepekaan seorang sastrawan ditantang untuk dituangkan dalam bentuk media ungkap yang estetik. Muncul kemudian pertanyaan, bisakah, misalnya, seorang sastrawan hanyut dan melancong sedemikian jauh hingga meninggalkan pijakan muasal (empiris) yang dijejaknya?

Belantika sastra mutakhir kita menunjukkan tidak sedikit para sastrawan yang mampu mengabadikan pengalamannya saat ia menjadi musafir di negeri orang, lalu merasa cemas akan hal itu saat mereka pulang (mudik). Sebutlah antara lain cerpen Mustofa W. Hasyim berjudul Mudik (1997). Cerpen itu bercerita tentang kehidupan menjelang Lebaran di perumahan kumuh di pinggiran rel kereta di Jakarta. Pengarang menggambarkan bagaimana penghuni rumah-rumah di sepanjang rel merasa gelisah setiap kali kereta melintas ke arah timur. Mereka seperti didorong-dorong demikian kuatnya untuk meninggalkan Jakarta menuju ke tempat asal yang lebih damai dan tenteram. Seakan ada yang bergerak-gerak dalam dada, dan seperti terdengar teriakan yang memberi peringatan bahwa mereka memiliki tanah asal, punya masa lampau, kerabat yang sedang menunggu.

Hal yang sama pernah pula dilakukan Umar Kayam (almarhum) lewat cerita pendeknya yang genial dan memukau berjudul Seribu Kunang-kunang di Manhattan. Latar keriuhan kota termasyhur di Amerika, di tangan Kayam menjelma menjadi ramuan cerita yang padat, kuat, dan memikat. Esai-esai reflektif seniman Emha Ainun Nadjib yang terhimpun dalam antologi Dari Pojok Sejarah: Renungan Perjalanan juga termasuk karya dalam kategori ini.

Beberapa amsal di atas kian menandaskan kesimpulan bahwa negeri seberang (baca: di luar kampung halaman) menjadi wahana yang baik dan alternatif dalam mewadahi imajinasi dan kreativitas sastrawi. Dengan demikian, sastra lintas budaya menjadi tidak melulu dipandang sebagai tulisan tentang kampung seberang dari perspektif kampung halaman, namun juga bisa sebaliknya.

Pilihan sastra lintas budaya seperti ini ditempuh sementara orang demi mencari lingkungan yang lebih sunyi, steril, dan aman sehingga memungkinkan tersaji pengalaman dan harapan secara lebih jernih, berani, dan elegan. Demikian halnya dengan tradisi mudik.

Demi semangat berbagi dan bersua dengan sanak famili, saban tahun pemudik menjalankannya dengan kelegaan hati kendati harus menempuh bentangan jarak yang jauh dan balutan keletihan. Menurut sastrawan Mochtar Lubis, melestarikan kebiasaan sosial seperti mudik ini sama halnya dengan memelihara salah satu akar budaya nenek moyang yang diwariskan sejak zaman megalit lampau.

Karena itu, mudik Lebaran tak ubahnya laku ziarah atas ruang dan waktu, kembali pada roh masa lalu demi menemukan kesadaran tentang kefitrahan manusia, betapapun kaburnya konsep “kefitrahan” itu. Mudik Lebaran di kampung halaman hadir sebagai sesuatu yang berkaitan dengan asal-usul setiap orang. Bagi orang Jawa, misalnya, prosesi mudik Lebaran adalah manifestasi dari keinginan diri untuk merenungkan dan menelusuri sangkan paraning dumadi: mengingat-ingat asal-muasal diri yang dibarengi dengan kesadaran akan nasib yang akan tiba di kemudian hari. Kampung halaman dengan demikian menyimpan berhampar makna simbolis bagi setiap orang yang hendak mencari dan menemukan kembali jejak-jejak awal sejarah dirinya.

Di kampung halaman inilah manusia bisa kembali bersahabat dengan “ruang” dan “waktu”. Ruang betul-betul menjadi lokus di mana manusia urban kembali menghayati waktu dalam bentuknya yang utuh dan komplet dalam tiga dimensi: masa lalu, masa kini, dan masa datang. Manusia urban bisa kembali menapaki tetapak masa silam yang telah terlewat dan yang telah membentuk sebagian besar kediriannya. Di titimangsa itulah kemudian masa kini hadir sebagai sebuah persambungan sejarah, yang dari sana tiap orang bisa mengukur kembali segenap laku hidupnya: sudahkah cita-cita dan harapan yang dianyam sejak dulu itu tercapai?

Meski saat ini mudik cenderung dikemas sebagai “komoditas” sosial dalam kemasan modern yang semakin hari kian termodifikasi dalam banyak versi, pesan kemanusiaan ritual mudik sejatinya sebanding dan bisa ditarik sealur dengan spirit sastra lintas budaya. Keduanya telah mengingatkan kita bahwa “sejauh-jauh manusia dan sastra berkelana, toh akhirnya tetap akan pulang jua”.
__________
Nur Faizah, Mahasiswa Agama dan Lintas Budaya Pascasarjana UGM, Yogyakarta

Sumber : www.tempointeraktif.com
Tinggalkan komentar anda tentang Ziarah Budaya Itu Bernama Mudik

Warung Klangenan


Informasi terbaru Warung Klangenan
Oleh: Djoko Poernomo

Penguji rasa di Warung SGPC Bu Wiryo 1959 di Yogyakarta tidak hanya seorang atau dua orang, melainkan ribuan orang. Mereka para mahasiswa yang setia menyambangi warung tadi sejak didirikan tahun 1959 hingga hari ini.

Kalau dirasa kurang enak atau sebab lain, Warung SGPC Bu Wiryo pasti sudah ditinggalkan para pelanggan. Nyatanya tidak. Bahkan semakin berkibar-kibar meski warung dengan menu sejenis terus saja berdiri di kota pelajar ini.

Semula warung dengan spesialisasi menu nasi pecel tersebut berdiri di sebelah timur kantor pusat tata usaha Universitas Gadjah Mada (UGM) di lingkungan Kampus Bulaksumur. Tetapi, akibat perluasan Fakultas Teknologi Pertanian, warung kemudian pindah ke arah utara ke Jalan Agro CT VIII, Sleman, berseberangan dengan kampus Fakultas Peternakan UGM.

Warung ini didirikan tahun 1959, 10 tahun setelah pendirian UGM, oleh pasangan suami-istri Dario dan Suyati yang memiliki nama keluarga Wiryosoenarto. Kala itu mereka belum memberi nama warung itu. Baru beberapa tahun kemudian, nama SGPC dilabelkan para pelanggan dengan menyebutnya SGPC, kependekan dari sega pecel. Satu menu spesial lain, sup, tak ikut disebut-sebut.

Oleh pengelola sekarang, Kelik Indarto (49), anak tertua Wiryosoenarto, di belakang nama SGPC kemudian diimbuhi potongan nama orangtuanya. Jadilah nama Warung SGPC Bu Wiryo 1959. Angka yang disebut terakhir adalah tahun pendirian.

Pasangan Dario-Suyati tidak keberatan dengan penamaan itu, terutama Suyati yang kemudian sendirian mengomando warung SGPC hingga akhir hayat tahun 1995.

Kecuali menempati rumah sendiri, perkembangan lain warung SGPC adalah diperkenalkannya musik guna memeriahkan suasana sekaligus membuat betah pelanggan. Ini merupakan upaya pribadi Kelik Indarto dua tahun terakhir. Meski demikian, menu utama masih seperti sediakala, yaitu sega (nasi) pecel dan sup.

”Lauknya juga masih seperti dulu, hanya terdiri dari tahu, tempe, dan telur ceplok. Harganya pas bagi kantong mahasiswa...,” tutur Sudadi (49), karyawan paling senior di SGPC. Sudadiâ€"biasa dipanggil para pelanggan dengan sebutan Jonâ€" bergabung sejak tahun 1979 dan hingga sekarang tidak pernah ganti profesi. Demikian pula 12 karyawan lain yang sebagian besar masih ada hubungan kekerabatan dengan pemilik.

Nostalgia
Warung SGPC pindah ke tempat baru tahun 1994. Jam buka di tempat lama, kata Sudadi, disesuaikan dengan jam buka kantor, pukul 06.00 hingga 16.00. Guna memenuhi permintaan pelanggan, jam layanan di tempat baru kemudian diperpanjang hingga pukul 21.00. Sepanjang tahun warung ini tak pernah tutup, kecuali hari pertama Lebaran.

”Pelanggan SGPC mayoritas mahasiswa dan karyawan UGM,” tambah Sudadi. Begitu kerapnya melayani pelanggan, pria asal Kulonprogo, DIY, ini hafal satu demi satu nama para pelanggan yang sekarang sudah “menjadi orang”, di antaranya Gubernur BI Boediono, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Depkeu Anggito Abimanyu, Juru Bicara Kepresidenan Andi Alifian Mallarangeng, calon presiden Rizal Mallarangeng, ditambah ratusan nama lain.

”Bapak-bapak tersebut, kalau pas pulang ke Yogya atau dinas ke Yogya, pasti meluangkan waktu ke sini. Tak hanya sendirian, tetapi mengajak anggota keluarga,” tutur Sudadi. Mereka menjadikan warung murah meriah ini sebagai klangenan.

Ketua Mahkamah Konstitusi Moh Mahfud MD yang selalu sarapan di SGPC Bu Wiryo, setiap kali mudik selalu mampir. ”Saya sering menggunakan warung ini untuk bernostalgia...,” ungkap Mahfud, pekan lalu, ketika kepergok di SGPC Bu Wiryo bersama keluarga.

Di sini, warung itulah, Mahfud pada tahun 1980-an bertemu dengan Zaizatun Nihayati yang kini menjadi istri dan telah memberinya tiga anak.

Menurut Mahfud, masakan di warung itu enak, sayurannya segar, bersih, serta suasananya bisa memancing selera. ”Tak terikat protokoler dan bebas bicara dengan semua kalangan,” tambah dia.

Di SGPC orang memang bebas bersuara. Malah beberapa aktivis mahasiswa menjadikan warung ini sebagai entry point berbagai unjuk rasa.

Ingar-bingar
Menurut Gutomo Priyatmono, Direktur Institute for Multiculturalism and Pluralism Studies (Kompas, 17/9/2007), warung itu penuh sesak hingga sore hari bukan saja karena enaknya rasa pecel yang menjadi menu utama, tetapi karena menawarkan atmosfer Yogyakarta.

”Identitas Yogyakarta muncul di sana bukan karena cita rasa sambal pecelnya, tetapi karena persahabatan yang ditawarkan para penyaji sega pecel beserta jus tomat maupun es kunir asam. Persahabatan di sini bukan dalam arti sekadar kenal dan tahu, melainkan persahabatan yang mendudukkan pembeli merasa ‘hidup secara bersama-sama‘ dengan SGPC. Warung sega pecel itu membuat sekat di antara pengunjung dengan berbagai latar belakang dan status sosial menjadi cair,” tulisnya.

Hidup bersama-sama dapat digambarkan dengan hubungan penyaji SGPC yang aktif menyapa, menyilakan, melayani, dan menyajikan sega pecel untuk dinikmati para pengunjung. Sebaliknya, para pengunjung terus aktif menjadi penikmat.

Sumber : http://cetak.kompas.com
Foto : http://community.kompas.com
Tinggalkan komentar anda tentang Warung Klangenan

Visit Batam 2010, Ironi Sebuah Logo


Informasi terbaru Visit Batam 2010, Ironi Sebuah Logo
Oleh Kolubi Arman

Pada bulan Oktober dan November 2008 yang lalu perusahaan tempat saya bekerja di Kawasan Industri Lobam-Bintan, mendapat kesempatan untuk melatih pekerja yang berasal dari Negara Vietnam, jumlah mereka 12 orang. Jabatan mereka paling rendah teknisi hingga engineer, mereka semua masih muda, baru tamat dari berbagai fakultas di negaranya (baca: berpendidikan semua). Setiap dua minggu di akhir pekan saya diminta oleh perusahaan untuk mengadakan kegiatan bagi mereka.

Olahraga, jalan-jalan ke Lagoi, ke Tanjungpinang, dan Batam. Kegiatan yang diadakan di samping agar mereka tidak bosan didormitory di akhir pekan juga kita bermaksud untuk memperkenalkan budaya serta tempat-tempat wisata di Bintan dan Batam. Tulisan tidak bermaksud buruk terhadap program Pemko Batam, Visit Batam 2010, namun tulisan ini sebagai bentuk kepedulian saya.

Di Lagoi mereka sangat terkesan dikarenakan memang Lagoi adalah kawasan pariwisata yang dikemas dan dikelola secara internasional. Jelas sekali bagaimana kawasan itu mempersiapkan diri. Mulai dari pintu masuk dari laut maupun dari darat, apalagi ketika memasuki kawasan hingga ke tempat-tempat resort dan pantainya, kesiapan kawasan dan resort benar-benar maksimal. Infrastruktur, lingkungan yang bersih dan tertata secara maksimal, dan orang-orang yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dengan para turis sangat maksimal juga pelayanannya.

Sabtu pagi di pertengahan Oktober 2008 rombongan kami berangkat menuju Batam. Punggur adalah tempat pertama kami memasuki Batam. Kesan yang pertama mereka alami adalah kesemrawutan, sumpek dari sebuah terminal yang tak tertata dan manusia di sana terkesan tidak ramah, sopir taksi hampir semua menegur dan terus mengikuti walau sudah dijelaskan kita sudah ada jemputan. Ketika orang-orang Vietnam itu mempertanyakan siapa mereka, saya tidak berani memastikan apakah mereka benar-benar sopir taksi atau tidak.

Esoknya di hari Minggu kami menuju Barelang, sebelum sampai di jembatan yang menjadi ikon Batam dan Logo Visit Batam 2010, kami sempat menjumpai logonya. Hal wajar jika orang bertanya tentang logo itu dan mengapa dipilih jembatan sebagai logo, saya bersama rekan kerja dengan semangat menjelaskan jembatan kebanggaan itu sebisa kami dan tentu saja kami coba menjelaskan secara baik. Sebagai ikon dan logo tentu jembatan tersebut harusnya menjadi daya tarik utama kota Batam, tapi alangkah kecewa dan malunya kami ketika sampai di jembatan itu. Jembatan itu tidak memiliki tanda-tanda sebagai ikon.

Bagaimana kami tidak malu, suasana dijembatan itu tidak bersih, tidak indah, tidak rapi, orang sesukanya memarkirkan kendaraannya. Jauh benar dari yang kami jelaskan, tak sesuai dari harapan dan cerita indah kami kepada orang-orang Vietnam itu. Rasa penasaran tentang jembatan sebagai ikon lenyap seketika.

Tidak ada orang yang sepatutnya berjaga-jaga atau bertugas di sana, tempat bertanya atau sebagai orang yang sigap untuk menolong atau menegur orang yang berdiri terlalu pingir, orang buang sampah sembarangan, orang yang hendak mencoba merusak jembatan. Tidak ada informasi apapun yang dapat layak kami dapatkan, baik secara lisan,tertulis, maupun photo-photo misalnya sejarah, panjang, tinggi jembatan, souvenir khas ikon (baca: jembatan), tidak ada juga fasilitas umum seperti toilet dan musala.

Tidak ada fasilitas tambahan apapun di sana untuk mendukung sebuah ikon agar lebih menarik dan dimanfaatkan sebagai wahana rekreasi, berkreasi, bermain, bersantai serta bergembira untuk menyenangkan diri, seperti pengeras suara, kafe, arena bermain, kolam bermain dan sebagainya. Di malam hari jembatan itu juga sangat tidak menarik, pencahayaannya kurang, lampu sorot/penerangan yang seharusnya memperindah jembatan hampir tidak ada. Konon katanya setiap malam minggu di sana banyak pasangan muda mudi yang duduk-duduk untuk menghabiskan waktu sambil berbuat maksiat yang semakin menambah kelam jembatan itu.

Saya pikir Visit Batam 2010 tidak hanya sekadar slogan dan program yang tanpa makna dan persiapan. Tapi sepertinya program itu hanya akan menjadi mimpi indah belaka karena ikon dan logonya saja seperti itu, apalagi tempat atau sudut-sudut lain di Batam. Ikon adalah simbol dari nilai-nilai peradaban/budaya, kemajuan, keberhasilan, kejayaan, kemegahan, estetika atau sesuatu menjadi ikon karena lebih menonjol, selalu muncul dan sering dilihat/dikunjungi oleh orang banyak. Ikon adalah bermakna positif jika dikaitkan dengan Visit Batam 2010.

Lihatlah Malaysia dengan ikon Menara Kembar benar-benar sebuah simbol dari nilai-nilai peradaban/budaya, kemajuan, keberhasilan, kejayaan, kemegahan, estetika. Malaysia benar-benar bangga dan menggunakan menara kembar dan lingkungannya sebagai tempat yang layak dikunjungi karena membuat orang penasaran ingin melihat secara langsung, sepertinya belum lengkap ke Malaysia jika belum ke Menara Kembar, lingkungannya bersih, asri, dan sangat nyaman, dengan mudah pula kita dapatkan souvenir khas menara kembar.

Lalu bagaimana dengan Ikon Visit Batam 2010? Tampaknya pemerintah Kota Batam harus berbenah dan bekerja ekstra keras agar ikonnya tidak sekadar ada. Masih banyak yang harus disediakan dan dilengkapi agar orang mau berkunjung dan terus ingin mengulanginya, dan akhirnya adalah sukses untuk menghasilkan atau meningkatkan pendapatan Kota Batam. Mampukah pemerintah kota Batam melakukan hal itu dalam hitungan beberapa bulan lagi? Sepertinya sulit, dengar kisah Jodoh Boulevard. Jika itu tidak dilakukan maka pemilihan ikon dan logo program Visit Batam 2010 tersebut hanya akan menjadi sebuah ironi dan lalu sia-sia.
__________
Kolubi Arman adalah Karyawan Industri Lobam-Bintan

Sumber :http://batampos.co.id
Tinggalkan komentar anda tentang Visit Batam 2010, Ironi Sebuah Logo

Legenda situs Karangkamulyan


Informasi terbaru Legenda situs Karangkamulyan

Legenda situs Karangkamulyan berkisah tentang Ciung Wanara yang berhubungan dengan Kerajaan Galuh. Cerita ini banyak dibumbui dengan kisah kepahlawanan yang luar biasa seperti kesaktian dan keperkasaan yang tidak dimiliki oleh orang biasa namun dimiliki oleh Ciung Wanara.

Kisah Ciung Wanara merupakan cerita tentang Kerajaan Galuh (zaman sebelum berdirinya Kerajaan Majapahit dan Pajajaran). Tersebutlah raja Galuh saat itu Prabu Adimulya Sanghyang Cipta Permana Di Kusumah dengan dua permaisuri, yaitu Dewi Naganingrum dan Dewi Pangrenyep. Mendekati tibanya ajal, sang Prabu mengasingkan diri dan kekuasaan diserahkan kepada Patih Bondan Sarati karena Sang Prabu belum mempunyai anak dari permaisuri pertama (Dewi Naganingrum). Singkat cerita, dalam memerintah Raja Bondan hanya mementingkan diri sendiri, sehingga atas kuasa Tuhan Dewi Naganingrum dianugerahi seorang putera, yaitu Ciung Wanara yang kelak akan menjadi penerus resmi kerajaan Galuh yang adil dan bijaksana.

Kawasan yang luasnya kurang lebih 25 Ha ini menyimpan berbagai benda-benda yang diduga mengandung sejarah tentang Kerajaan Galuh yang sebagian besar berbentuk batu. Batu-batu ini letaknya tidaklah berdekatan tetapi menyebar dengan bentuknya yang berbeda-beda. Batu-batu ini berada di dalam sebuah bangunan yang strukturnya terbuat dari tumpukan batu yang bentuknya hampir sama. Struktur bangunan ini memiliki sebuah pintu sehingga menyerupai sebuah kamar.

Batu-batu yang ada di dalam struktur bangunan ini memiliki nama dan menyimpan kisahnya sendiri, begitu pula di beberapa lokasi lain yang berada di luar struktur batu. Masing-masing nama tersebut merupakan pemberian dari masyarakat yang dihubungkan dengan kisah atau mitos tentang kerajaan Galuh seperti ; pangcalikan atau tempat duduk, lambang peribadatan, tempat melahirkan, tempat sabung ayam dan Cikahuripan.

Situs Karangkamulyan terletak di daerah berhawa sejuk dan telah dilengkapi dengan areal parkir yang luas dengan pohon-pohon besar. Setelah gerbang utama, situs pertama yang akan dilewati adalah Pelinggih (Pangcalikan). Pelinggih merupakan sebuah batu bertingkat-tingkat berwarna putih serta berbentuk segi empat, termasuk ke dalam golongan Yoni (tempat pemujaan) yang letaknya terbalik, digunakan untuk altar. Di bawah Yoni tersebut terdapat beberapa buah batu kecil yang seolah-olah sebagai penyangga, sehingga memberi kesan seperti sebuah dolmen (kubur batu). Letaknya berada dalam sebuah struktur tembok yang lebarnya 17,5 x 5 meter.

Kisah tentang Ciung Wanara memang menarik untuk ditelusuri, karena selain menyangkut cerita tentang Kerajaan Galuh, juga dibumbui dengan hal luar biasa seperti kesaktian dan keperkasaan yang tidak dimiliki oleh orang biasa namun dimiliki oleh Ciung Wanara.

Kisah Ciung Wanara merupakan cerita tentang kerajaan Galuh ( sebelum berdirinya Kerajaan Majapahit dan Pajajaran ). Tersebutlah raja Galuh saat itu Prabu Adimulya Sanghyang Cipta Permana Di Kusumah dengan dua permaisuri, yaitu Dewi Naganingrum dan Dewi Pangrenyep. Mendekati ajal tiba Sang Prabu mengasingkan diri dan kekuasaan diserahkan kepada patih Bondan Sarati karena Sang Prabu belum mempunyai anak dari permaisuri pertama ( Dewi Naganingrum ). Singkat cerita, dalam memerintah raja Bondan hanya mementingkan diri sendiri, sehingga atas kuasa Tuhan Dewi Naganingrum dianugerahi seorang putera, yaitu Ciung Wanara yang kelak akan menjadi peenrus kerajaan Galuh dengan adil dan bijaksana.

Bila kita telusuri lebih jauh kawasan yang luasnya kurang lebih 25 Ha ini menyimpan berbagai benda-benda yang diduga mengandung sejarah tentang Kerajaan Galuh yang sebagian besar berbentuk batu. Batu-batu ini letaknya tidaklah berdekatan tetapi menyebar dengan bentuknya yang berbeda-beda, berada dalam sebuah tempat berupa struktur bangunan terbuat dari tumpukan batu yang bentuknya hampir sama. Struktur bangunan ini memiliki sebuah pintu sehingga menyerupai sebuah kamar.

Situs Karangkamulyan merupakan peninggalan Kerajaan Galuh Pertama menurut penyelidikan Tim dari Balar yang dipimpin oleh Dr Tony Jubiantoro pada tahun 1997. Bahwasannya di tempat ini pernah ada kehidupan mulai abad ke IX, karena dalam penggalian telah ditemukan keramik dari Dinasti Ming. Situs ini terletak antara Ciamis dan Banjar, jaraknya sekitar 17 km ke arah timur dari kota Ciamis atau dapat ditempuh dengan kendaraan sekitar 30 menit.

Situs ini juga dapat dikatakan sebagai situs yang sangat strategis karena berbatasan dengan pertemuan dua sungai yakni Sungai Citanduy dan Cimuntur, dengan batas sebelah utara adalah jalan raya Ciamis-Banjar, sebelah selatan sungai Citanduy, sebelah barat merupakan sebuah pari yang lebarnya sekitar 7 meter membentuk tanggul kuno, dan batas sebelah timur adalah sungai Cimuntur. Karena merupakan peninggalan sejarah yang sangat berharga, akhirnya kawasan ini ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya oleh Pemerintah.

Udara yang cukup sejuk terasa ketika kita memasuki gerbang utama situs ini. Tempat parkir yang luas dengan pohon-pohon besar disekitar semakin menambah sejuk Setelah gerbang utama, situs pertama yang akan kita lewati adalah Pelinggih ( Pangcalikan ). Pelinggih merupakan sebuah batu bertingkat-tingkat berwarna putih serta berbentuk segi empat, termasuk ke dalam golongan / jenis yoni ( tempat pemujaan ) yang letaknya terbalik, digunakan untuk altar. Di bawah Yoni terdapat beberapa buah batu kecil yang seolah-olah sebagai penyangga, sehingga memberi kesan seperti sebuah dolmen ( kubur batu ). Letaknya berada dalam sebuah struktur tembok yang lebarnya 17,5 x 5 meter.

Sahyang Bedil
Tempat yang disebut Sanghyang Bedil merupakan suatu ruangan yang dikelilingi tembok berukuran 6.20 x 6 meter. Tinggi tembok kurang lebih 80 cm. Pintu menghadap ke arah utara, di depan pintu masuk terdapat struktur batu yang berfungsi sebagai sekat (schutsel). Di dalam ruangan ini terdapat dua buah menhir yang terletak di atas tanah, masing-masing berukuran 60 x 40 cm dan 20 x 8 cm. Bentuknya memperlihatkan tradisi megalitik. Menurut masyarakat sekitar, Sanghyang Bedil dapat dijadikan pertanda datangnya suatu kejadian, terutama apabila di tempat itu berbunyi suatu letusan, namun sekarang pertanda itu sudah tidak ada lagi.

Penyabungan Ayam
Tempat ini terletak di sebelah selatan dari lokasi yang disebut Sanghyang Bedil, kira-kira 5 meter jaraknya, dari pintu masuk yakni berupa ruang terbuka yang letaknya lebih rendah. Masyarakat menganggap tempat ini merupakan tempat penyabungan ayam Ciung Wanara dan ayam raja. Di samping itu merupakan tempat khusus untuk memlih raja yang dilakukan dengan cara demokrasi.

Lambang Peribadatan
Batu yang disebut sebagai lambang peribadatan merupakan sebagian dari kemuncak, tetapi ada juga yang menyebutnya sebagai fragmen candi, masyarakat menyebutnya sebagai stupa. Bentuknya indah karena dihiasi oleh pahatan-pahatan sederhana yang merupakan peninggalan Hindu. Letak batu ini berada di dalam struktur tembok yang berukuran 3 x 3 m, tinggi 60 cm. Batu kemuncak ini ditemukan 50 m ke arah timur dari lokasi sekarang. Di tempat ini terdapat dua unsur budaya yang berlainan yaitu adanya kemuncak dan struktur tembok. Struktur tembok yang tersusun rapi menunjukkan lapisan budaya megalitik, sedangkan kemuncak merupakan peninggalan agama Hindu.

Panyandaran
Terdiri atas sebuah menhir dan dolmen, letaknya dikelilingi oleh batu bersusun yang merupakan struktur tembok. Menhir berukuran tinggi 120 cm, lebar 70 cm, sedangkan dolmen berukuran 120 x 32 cm. Menurut cerita, tempat ini merupakan tempat melahirkan Ciung Wanara. Di tempat itulah Ciung Wanara dilahirkan oleh Dewi Naganingrum yang kemudian bayi itu dibuang dan dihanyutkan ke sungai Citanduy. Setelah melahirkan Dewi Naganingrum bersandar di tempat itu selama empat puluh hari dengan maksud untuk memulihkan kesehatannya setelah melahirkan.

Cikahuripan
Di lokasi ini tidak terdapat tanda-tanda adanya peninggalan arkeologis. Tetapi hanya merupakan sebuah sumur yang letaknya dekat dengan pertemuan antara dua sungai, yaitu sungai Citanduy dan sungai Cimuntur. Sumur ini disebut Cikahuripan yang berisi air kehidupan, air merupakan lambang kehidupan, itu sebabnya disebut sebagai Cikahuripan. Sumur ini merupakan sumur abadi karena airnya tidak pernah kering sepanjang tahun.

Dipati Panaekan
Di lokasi makam Dipati Panaekan ini tidak terdapat tanda-tanda adanya peninggalan arkeologis. Tetapi merupakan batu yang berbentuk lingkaran bersusun tiga, yakni merupakan susunan batu kali. Dipati Panaekan adalah raja Galuh Gara Tengah yang berpusat di Cineam dan mendapat gelar Adipati dari Sultan Agung Raja Mataram.

Sumber :
http://id.wikipedia.org
http://navigasi.net
Foto :http://i696.photobucket.com
Tinggalkan komentar anda tentang Legenda situs Karangkamulyan

Potensi dan Masalah Kota Bawah Surabaya Sebagai Kawasan Pusaka Budaya


Informasi terbaru Potensi dan Masalah Kota Bawah Surabaya Sebagai Kawasan Pusaka Budaya Oleh : Timoticin Kwanda

Abstract
The centers of many cities are among our most valued built environments, since they are the oldest, sometimes reaching back hundreds of years. The old center of Surabaya also known as the lower city has been developed since the sixteen century. The long history of the lower city is established by the existence of various buildings that built with various architectural styles at different periods, starting from 1870s to 1940s. At the same time, the lower city is also a place of intense conflict between historic buildings and new buildings, for example at the time of property booming in 1990s, new constructions such as shopping centers, hotels, and offices have demolished these historic buildings.

To protect the historic buildings, conservation efforts have been implemented by the city government of Surabaya through issuing the Mayor‘s decree of 1996 and 1998 that listed 163 buildings and sites to be protected. However, it is not optimal to conserve the character of the lower city, since conservation of cultural heritage is not only protecting one or some buildings, but also conserving the urban fabric, such as city‘s distinctive land use patterns, various architectural styles, and daily social activities form the character of a city to be different and unique.

This study has shown that the lower city consisting of Eropean quarter, Chinese, and Arab (Ampel) quarter have potential to be maintained and developed, such as intact land use pattern and roads network, various architectural styles, and lifely social activities, especially at the Ampel quarter. On the other hand, there are some problems have to be solved and improved, such as new construction that damage the character of the area, unsupported building uses (warehouses) for maintenance, and uniform building uses that cause a “decease” area during the evening.

Pendahuluan
Pusat-pusat kota merupakan lingkungan buatan yang sangat berharga, karena mereka adalah bagian tertua dari kota dengan sejarah panjang ratusan tahun yang lalu. Sebagai sebuah kota yang memiliki sejarah panjang, Kota Surabaya juga memiliki suatu pusat kota lama yang dikenal juga dengan nama Kota Bawah (beneden stud) yang telah berkembang sejak abad lokasinya berada di sekitar kawasan Jalan Kembang Jepun, Ampel, dan Jalan Rajawali/Veteran.

Sejarah panjang Kota Bawah ini terbukti dengan kehadiran berbagai bangunan-bangunan yang didirikan pada periode yang berbeda, yaitu mulai tahun 1870-an sampai dengan tahun 1940-an dengan langgam arsitektur yang beragam pula, sehingga membuat pusat kota ini memiliki karakter yang khas.

Namun pada saat yang sama, Kota Bawah ini juga menjadi tempat konflik antara bangunan bersejarah dengan pembangunan bangunan baru. Pada saat ledakan properti di tahun 1990, pembangunan baru seperti pertokoan, hotel, dan perkantoran marak dikembangkan di kawasan ini dengan menghancurkan bangunan-bangunan bersejarah. Pembangunan terhenti sejenak dengan terjadinya Property Crash di tahun 1997, namun seiring dengan perturnbuhan ekonomi makro yang semakin membaik, maka pada tahun 2001 pembangunan baru pada kawasan ini kembali marak. Sejarah berulang kembali, pembangunan baru dimulai lagi dan melenyapkan bangunan-bangunan bersejarah seperti pada kasus-kasus penghancuran pasar Wonokromo, rumah sakit Mardi Santosa, dan stasiun kereta api Semut.

Upaya untuk melindungi bangunan-bangunan bersejarah ini telah dilakukan oleh pemerintah Kota Surabaya dengan menerbitkan Surat Keputusan Wali Kota Surabaya tahun 1996 dan tahun 1998, yang berisi tentang 163 bangunan dan situs yang harus dilindungi. Namun, upaya ini belum maksimal untuk melindungi karakter kawasan ini, karena upaya pelestarian pusaka budaya tidak hanya melindungi satu atau beberapa bangunan saja, tetapi juga rnempertahankan struktur kota/kawasan (urban fithrtc), yang meliputi pola penggunaan lahan (fungsi bangunan), langgam arsitektur, dan aktifitas kehidupan masyarakat yang membentuk karakter suatu kawasan menjadi berbeda dan unik.

Tulisan ini mencoba untuk mengetahui sejauh mana perubahan fisik dan aktivitas masyarakat yang terjadi pada Kota Bawah Surabaya sampai saat ini, sebagai akibat dart pembangunan baru pada kawasan ini, serta potensi dan masalah yang ada untuk dapat dipertahankan, dikembang¬kan, diatasi dan diperbaiki untuk masa yang akan datang.

Sejarah Singkat Kota Bawah Surabaya
Pada abad ke-18, berdasarkan perjanjian tanggal 11 November 1743 antara Gubernur Jenderal Belanda van Imhoff dengan raja Paku Buwono II dari Mataram, VOC merniliki kedaulatan penuh atas Kota Surabaya. Kedaulatan ini menjadi titik awal perkembangan Kota Bawah Surabaya. [1] Pada awal abad ke-19, Kota Bawah Surabaya terus berkembang dimana tembok kota dan kanal dibangun mengelilingi kota.

Dibawah ketentuan undang-undang Wijkenstelsel, pada tahun 1843 kota bawah dibagi dalam dua wilayah permukiman berdasarkan etnis yaitu permukiman orang Eropa berada di sisi Barat Jembatan Merah dan permukintan masyarakat Timur Asing (Vreande Oosterlingen) berada di sisi Timur yang terdiri dart permukiman masyarakat Tionghoa (Chineesche Karnp), Arab (Arabische Kamp) dan permukiman masyarakat Pribumi yang menyebar di sekitar human orang Tionghoa dan Arab. Pada kawasan Eropa terletak Balai Kota pertama yang telah musnah, menghadap langsung ke arah Jembatan Merah. Meskipun setelah tahun 1920-an undang-undang Wijkenstelsel tersebut dihapuskan, kebijakan ini berbekas pada segregasi kawasan hunian bagi orang Eropa, Arab dan Tionghoa, dan masih terilihat dengan jelas saat ini terutama pada karakter bangunannya yang berbeda.

Seperti kota-kota benteng di dunia pada saat itu, sampai pada awa 1 abad ke-19 batas Kota Bawah sangat jelas sekali dibatasi oleh tembok kota. Perkembangan yang sangat pesat terjadi pada kota-kota besar di Hindia Belanda, seperti Jakarta dan Surabaya setelah peng¬hapusan Cultuurstelsel di tahun 1870. Tahun 1870 sering dianggap sebagai permulaan dari tahap baru perkembangan era kolonial, di mana kota-kota bertumbuh pesat dengan kehadiran kantor-kantor perdagangan perusa¬haan-perusahaan dari Belanda, seperti di Kota Surabaya. Sebagai akibat perkembangan kota yang pesat, maka pada tahun 1871, tembok kota dihan¬curkan dan permukiman baru berkembang ke arah Selatan di kawasan Balai Kota sekarang yang dikenal juga sebagai kota atas. Sampai saat ini, batas Kota Atas masih dapat terlihat dari pola jalan yang mengikuti pola tembok kota yaitu:

• Untuk kawasan barat adalah Jalan Indrapura (Westerbuitenweg) pada batas sisi utara dan barat serta Jalan Kebonrejo (Regentstraat) pada batas sisi selatan,

• untuk kawasan timur adalah Jalan Benteng (Citatielweg)-Danal(arya (Pekoelen)-Pegirian pada batas sisi utara dan Jalan Kapasar. Lor-Sumbo pada batas timur serta Jalan Stasiun Kota (Stationsweg Kota) pada batas sisi selatan.

Batas Kota atas Surabaya berupa tembok kota pada tahun 1865 yang diproyeksikan pada peta kota tahun 1940, menunjukan lokasi permukiman masyarakat Eropa, Tionghoa dan Arab dan batas Kota Bawah sekarang pada peta tahun 1999 (kanan).

Kawasan Eropa
Kawasan Eropa terletak di sisi timur Kalimas dengan dua (2) jalan utama yang membelah kawasan menjadi bagian utara dan selatan dari sisi barat ke timur sampai pada Balai Kota pertama (jembatan Merah) yaitu Hereenstraat ((Jalan Rajawali) dan jalan yang sejajar dengan Kalimas dari utara ke selatan yaitu Willemskade, tempat ini kemungkinan bekas tempat berlabuh (Jalan Jembatan Merah, dan Societeitstraat (Jalan Veteran). Pada sisi barat kawasan dibatasi oleh jalan utama bemama Wester-buitenweg Jalan Indrapura) pada bagian utara dan barat dan di bagian selatan ka¬wasan adalah Regentstraat Galan Indrapura dan Kebonrejo).

Pada umumnya bangunan-bangunan umum, seperti perkarttoran dan perdagangan yang dibangun antara tahun 1870-an dan 1930-an terletak di sisi kanan-kiri jalan utama Hereenstraat dan sisi kiri Willemskade dan Societeitstraat seperti pola penataan kota di Belanda di mana bangunan menghadap ke arah sungai. Sedangkan perumahan masyarakat Eropa terle¬tak dibelakang jalan-jalan utama terdapat tiga (3) ruang terbuka yang membentuk struktur kawasan, yaitu Willemsplein (sekarang taman Jayengrono ex. Terminal Jembatan Merah) yang menghubungkan dua (2) jalan utama yaitu Hereenstraat dan Willemskade. Kedua, ruang terbuka yang menhubungkan Willemskade dengan Paradestraat (Jalan Niaga) dan Roomsche Kerkstraat (Jalan Cendrawasih) adalah Paradeplein (sekarang halaman Polwiltabes dan pom bensin). Ruang terbuka ketiga adalah Comedieplein di sisi barat gedung HVA (sekarang PT. Perkebunan XI) yang sekarang telah berubah menjadi pemukiman.

Potensi Kawasan Eropa
Sampai saat ini, secara umum tidak terjadi perubahan yang drastis pada pola penggunaan lahan dan jaringan jalan Yang ada, karena penmbangunan jalan baru atau pelebaran jalan mau tidak mau akan menghangcurkan bangunan-bangunan bersejarah yang ada. Sedangkan potensi yang ada pada kawasan ini adalah:

Keanekaragaman gaya arsitektur
Pada kawasan ini, secara garis besar keanekaragaman gaya arsitek¬tur telihat dari perkembangan arsitektur dalam empat (4) periode, antara lain:

• Indische Empire Style (1870-1900)
• Khas Belanda (1900-1910)
• Eklektisisme (1910-1925)
• Amsterdam School, De Stijl danilieuwe Zakelijkheid (1920-1942).

Indische Empire Style (neo-klasik), 1870 -1900
Arsitektur neo-klasik di Hindia Belanda dimulai dengan kedatangan Willem Daendels yang pernah menjadi seorang jenderal pada pasukan Napoleon dan ditunjuk sebagai Gubemur-Jenderal di Hindia Belanda (1808-1811). Dia memperkenalkan pengaruh gaya Empire yang kuat pada dua bangunan utama di Kota Jakarta sekarang, yaitu Istana Daendels (sekarang gedung Departemen Keuangan, 1809-1828), dan klub tertua di Asia Tenggara, Harmonie (1810) yang dihancurkan pada tahun 1985. Gaya arsitektur ini menjadi populer dikenal dengan lndische Empire Style dan berkembang subur di seluruh Pulau Jawa.

Di Surabaya, satu contoh yang bagus dari gaya neoklasik ini adalah gedung kediaman Gubernur Jawa Timur. Bangunan yang didirikan pada tahun 1870 ini memiliki veranda dengan proporsi klasik lengkap dengan kolom-kolom Dorik yang mengelilingi tampak depan bangunan, dan juga berakar pada arsitektur Jawa dengan teras depan sebagai respon pada kondisi iklim setempat dan bentuk atap limasan Jawa pada setiap ruangan dalam. Beberapa bangunan dengan langgam ini masih hanyak ditemukan pada kawasan ini seperti gedung Polwiltabes dan sebuah rumah di Jalan Sikatan.

Gaya arsitektur Belanda dalam tangan para profesional, 1900-1910
Pada akhir abad ke-19, perkembangan produksi dan pasar, perbaikan komunikasi, dan kondisi yang lebih aman secara hukum sebagai dasar untuk investasi. Di kota-kota seperti Surabaya, respon perkembangan arsitektur terhadap pertumbuhan ekonomi Hindia Belanda ini adalah pembangunan bangunan-bangunan umum, seperti perkantoran, pergu¬dangan dan pabrik, bank, kantor asuransi, pelayaran dan kereta api, jasa pos, termasuk juga bangunan sosial, seperti sekolah, rumah sakit, gereja, klub dan sejenisnya. Hampir semua arsitek gedung-gedung ini adalah arsitek profesional yang dididik di Belanda, misalnya di Surabaya antara lain adalah M. J. Hulswit, Ed Cuypers, F.J.L. Ghijsels, C. Citroen, Prof. Schoemaker dan Prof. W. Lemei.

Sebagaimana mereka terdidik di Belanda, maka hasil karya-karya mereka di Hindia Belanda juga merupakan pengaruh dari perkembangan arsitektur di Belanda. Beberapa karakter arsitektur Belanda pada arsitek¬tur kolonial adalah penggunaan gevel, dormer (jendela di atap), menara yang menyatu pada gedung, terutama menara segi empat yang ramping dengan atap lancip yang pendek. Satu contoh karakter arsitektur Belanda ini adalah De Algemeene Verzekerings Maatschappij (sekarang kantor PT. Aperdi) yang dirancang oleh Berlage dan M.J. Hulswit di tahun 1900. Peng¬gunaan gevel, dormer, dan menara yang menyatu pada gedung juga ditemukan pada bangunan-bangunan lain, namun dengan bentuk menara yang lebih sederhana disesuaikan dengan ten gaya arsitektur modem pada waktu itu, sebagai contoh adalah/Borsumij (sekarang gedung Bank Mandiri) yang didesain oleh Citroen pada tahun 1935.

Eklektisisme, 1910 â€" 1925
Pada tahun 1908, banyak cabang-cabang Javache Bank dibuka di kota¬kota besar disamping kantor pusat di Jakarta, biasanya dirancang berdasarkan gaya neo-renaissance oleh Hulswit-Fermont dan Ed. Cuypers, perusahaan konsultan arsitektur terbesar dan paling dikenal oleh masyarakat Belanda di Hindia Belanda dari tahun 1910-1942. Di Surabaya, Javache Bank dirancang oleh Hulswit-Ed. Cuypers pada tahun 1912 adalah bangunan satu lantai dengan lantai dasar, dengan menara yang ringan dan lubang ventilasi, bentuk pediment klasik yang diubah terletak pada ujung tampak depart, kolom-kolom yang menopang jendela yang masuk (niche) dan tiga jendela dormer, memberi kesan tampilan gaya Empire yang kuat pada bangunan ini. Bentuk kolom pada gedung ini adalah lonik dengan motif dan jendela lengkung. Motif-motif ukir candi Jawa digunakan pada bangunan ini. Karya ini juga dianggap sebagai suatu contoh langgam elektisisme, suatu bangunan dengan penggunaan elemen-elemen berbagai gaya secara bebas.

Contoh lainy adalah kantor Handelsvereeniging Amsterdam (HVA), sekarang adalah kantor PT. Perkebunan XI (Hulswit, Fermont and Cuvpers, tahun 1921- 1924). Lantai pertama dan kedua dikelilingi oleh koridor berkolom dengan kepala kolom dan lengkungannya bermotif bunga membentuk tulisan Islam. Bentuk atapnya yang berlapis dua ada¬lah suatu bentuk ekspresi lokal selain sebagai suatu pemecahan terhadap kondisi iklim. Bangunan ini dibangun dengan sangat baik, sehingga sampai saat ini kondisi bangunan masih hampir sama.

De Amsterdamse School, De Stijl dan De Nieirtve Zakelijkheid,1920-1942
Pada awal abad ke-20, perkembangan gerakan modern dalam arsi¬tektur Belanda diwakili oleh dua aliran yaitu aliran romantik dan Am¬sterdam dan pendekatan rasional dari Rotterdam. Sekitar tahun 1912, gerakan yang pertama ini muncul dikenal sebagai aliran Amsterdam, prinsip gerakan ini berkenaan dengan suatu model yang ambisius dan dekoratif, biasanya dengan bahan alami. Pada tahun 1917, gerakan yang kedua, De Stijl didirikan dan dinamakan menurut nama majalah De Stijl dengan editor seoarng pelukis, desainer, dan penulis Belanda, bernama Theo van Doesburg. Karakter arsitektur ini adalah asimetri, elemen geo¬metri yang sederhana, atap datar, penggunaan eksklusif garis-garis hori¬zontal dan vertikal, dicat dengan wama netral seperti putih atau abu-¬abu muda. Satu contoh yang bagus dan De Stijl di Surabaya, sebagai ba¬sil dari pengaruh gaya asimetri Wright, adalah kantor Gubemur Jawa Timur yang dirancang oleh W. Lemei pada tahun 1931.

Kemudian di tahun 1920, terdapat tren baru yang dikenal luas sebagai De Nieuwe Zakelijklteid (obyektivitas baru), Het Nieuwe Boawcz uiau Fungsionalisme. Di Surabaya, satu contoh De Nieuwe Zakelijkheid ini diwakili oleh gedung Borsuntij (sekarang Bank Mandiri). Contoh lain adalah Internationale Crediet-en Handelsverereeniging Rotterdam yang dirancang oleh F.J.L. Ghijsels di tahun 1929). Bangunan kantor 2,5 lantai ini adalah suatu kantor perusahaan perbankan dan perkebunan, berbentuk simetris dengan persilangan elemen horizontal dan vertikal, pelindung sinar matahari yang dalam untuk jendela, sepasang menara dan balkon yang masuk pada kedua ujung depan bangunan. Sebuah slo¬gan terkenal Ghijsels: "Simplicity is the Shortest Path to beauty" sungguh-¬sungguh tercermin dalam desain bangunan ini. Hampir semua detail-detail interiornya merupakan sambungan dari sistem strukturnya sendiri, tanpa suatu dekorasi yang tidak perlu.

Karya lain dari langgam ini adalah Koloniale Bank, sekarang kantor PT. Perkebunan XII yang dirancang oleh C.P. Wolff Schoemaker pada tahun 1927-1928 (gambar 5). la merupakan salah seorang tokoh yang paling penting tentang gaya intemasional seperti Art Deco dengan bentuk lengkungnya, terutama pada bangunan Villa Isola (tahun 1932) di Bandung. Gedung ini mendemonstrasikan penekanan Schoemaker pada kekuatan garis-garis horizontal yaitu penataan berbagai pintu dan jende¬la serta artikulasi elemen-elemen vertikal.

Selain bangunan-bangunan yang telah dibahas sebelumnya, pada kawasan Eropa ini relatif masih banyak bangunan-bangunan lain yang mewakili berbagai langgam arsitektur yang ada di Surabaya, sebagai potensi kawasan ini.

Masalah Kawasan Eropa
Masalah-masalah yang terjadi pada kawasan ini antara lain adalah:
1. Perubahan fungsi bangunan dan karakter kawasan
Perubahan fungsi bangunan banyak terjadi pada kawasan ini, yang memprihatinkan adalah perubahan fungsi yang tidak mendukung peme¬liharaan gedung misalnya penggunaan untuk gudang yang akan semakin merusak gedung. Sedangkan perubahan karakter kawasan relatif besar terjadi pada jalan utama yaitu Jalan Rajawali dengan adanya beberapa pembangunan baru, seperti Plasa Jembatan Merah (ex. bangunan gudang), hotel Ibis, bank BRI dan bank BCA di Jalan Veteran. Sangat disayangkan bahwa pembangunan beberapa bangunan baru ini malah merusak karakter kawasan Eropa, seperti bank BRI, BCA dan Plasa Jembatan Merah. Bangunan bank BRI yang terletak di jalan Rajawali ini memiliki ketinggian masa yang sama dengan bangunan lama di sampingnya, namun terlihat sangat kontras dengan bahan, warna bangunan dan tampilan fasade yang berbeda dimana bentuk pembukaan dan atap datar yang kontras dengan atap sejenis perisai yang berjendela. Demikian pula terlihat pada tampilan dua bangunan berikutnya yaitu Plasa Jembatan Merah (1992) dan bank BCA yang terlihat kontras antara bangunan lama dengan banguan baru, disebabkan oleh tinggi, bahan dan warna bangunan, serta tampilan fasade yang sangat berbeda.

Sedangkan hotel Ibis merupakan salah satu contoh yang baik tentang pembangunn bangunan baru yang harmonis dengan lingkungan lama¬nya. Salah satu contoh bangunan baru yang dirancang secara harmoni dengan bangunan sekitarnya adalah hotel Ibis yang terletak di jalan Rajawali. Hotel ini dahulunya adalah sebuah kantor perdagangan swasta Belanda, Geo Wehry & Co. (1913-an) dan bagian belakang bangu¬nan berfungsi sebagai gudang. Tampak depan dart gedung lama masih dipertahankan dan tampilan bangunan baru yang serasi dengan bangu¬nan-bangunan lama di sekitarnya, baik dalam hal skala, warna dan bahan bangunan, sehingga karakter lingkungan Jalan Rajawali kelihatan tidak mengalami banyak perubahan.

2. Aktifitas masyarakat
Setelah masa kemerdekaan, tentunya kehidupan masyarakat Eropa tidak terlihat lagi pada kawasan Mi. Pada saat ini, aktivitas perdagangan dan perkantoran yang dominan pada kawasan ini di pagi hingga sore hari. Pudarnya fungsi human pada kawasan ini membuat kawasan ini menjadi "kota mati" pada malam hari. Pola penggunaan bangunan yang multi fungsi seperti perdagangan, rekreasi dan hunian diharapkan akan mehidupkan aktifitas masyarakat pada kawasan ini sepanjang hari.

Kawasan Tionghoa
Permukiman Tionghoa Surabaya terletak di sisi Timur Kalimas di¬mana bangunan-bangunan utama perdagangan terletak di Jalan Han¬delsstraat, sekarang jalan Kembang Jepun. Sedangkan kawasan permu¬kiman terletak di belakang kawasan perdagangan Kembang Jepun, seperti di Jalan Chineesche Voorstraat (jalan Karet). Orang Tionghoa sudah ada di Surabaya sejak zaman Mojopahit di abad ke-15, jauh sebelum Belanda menguasai Surabaya pada tahun 1746. Mereka bermukim secara kelompok ditepi Kali Mas, di daerah sekitar Jalan Coklat yang kemudian terkenal dengan daerah Pecinan atau ‘Chineesche Kamp‘ (kampung Cina).
Pada saat itu, klenteng bukan hanya sebagai tempat berlangsung¬nya kehidupan keagamaan, tetapi juga sebagai tempat berlangsungnya khidupan sosial masyarakat Tionghoa yang berpusat di jalan Tepekong (sekarang jalan Coklat), yaitu sebuah kelenteng tertua di Surabaya ber¬nama Hok An Kiong yang dibangun sekitar tahun 1800-an. Bentuk atap¬nya yang khas serta penggunaan warna merah yang dorninan menjadi salah satu ciri khas arsitektur Cina.
Potensi Kawasan Tionghoa

Potensi yang ada pada kawasan ini adalah:
1. Pola penggunaan lahan
Sampai saat ini, secara umum tidak terjadi perubahan yang drastic pada pola penggunaan lahan dan jaringan jalan yang ada, misalnya pembangunan jalan baru dan pelebaran jalan yang akan menghangcurkan bangunan-bangunan bersejarah yang ada.

2. Keanekaragaman gaya arsitektur
Pada jalan utama Kembang Jepun, terdapat berbagai arsitektur bangunan perdagangan (rumah toko) yang umumnya berlanggarn arsitektur kolonial Belanda. Selain kelenteng Hok An Kiong (1800-an), beberapa bangunan penting lainnya pada kawasan permukiman adalah rumah tinggal pemuka masyarakat Tionghoa pada waktu itu yaitu Mayor The dan keluarga kava Han yang bergaya arsitektur Cina dengan bentuk atap yang khas. Khusus untuk rumah tinggal keluarga Han, gaya eklektisisme terlihat dengan pemakaian berbagai elemen arsitekur seperti teras depan dan kolom klasik.

Keluarga ‘The‘ adalah keluarga Cina peranakan yang terkenal pada abad ke-18 dan ke-19 di Surabaya. Keluarga ini berasal dari propinsi Fujian di Cina Selatan. Banyak keturunan dan keluarga ini menduduki jabatan Mayor, Kapten maupun Letnan pada masyarakat Tionghoa di Surabaya. Untuk memudahkan kontrol atas masyarakat Tionghoa, Pemerintah Kolonial Belanda biasanya menunjuk tokoh-tokoh masyarakat setempat yang diberi jabatan dengan pangkat Mayor, Kapten atau Letnan. Rumah tinggal ini sekarang menjadi rumah sembayang yang ramai dikunjungi sebagai tempat reuni keluarga ‘The‘ pada hari raya tahun baru Imlek, dan perayaan Cing Bing.

Meskipun sudah lama bermukim di Jawa, tetapi banyak kebudayaan dan adat istiadat orang Cina yang masih dipertahankan. Salah satunya adalah pendirian rumah sembayang keluarga, yang disebut sebagai ‘Tjoh-tjhoe‘ atau rumah abu bagi keluarga terkemuka. Rumah sembahyang keluarga marga Han berada di Chineesche Voorstraat (jalan Karet). Keluarga ‘Elan‘ adalah keluarga Cina peranakan yang terkenal di Surabaya pada abad ke-18 dan ke-19. Menurut Claudine Salmon (1991), banyak anggota keluarga Han yang menjadi pejabat dan tokoh masyarakat pada masa kolonial. Tidak diketahui persis kapan bangunan ini didirikan, tetapi pada abad ke-19 bangunan ini sudah ada.

Masalah kawasan Tionghoa
Sedangkan masalah yang dihadapi oleh kawasan ini adalah:
Karakter kawasan dan fungsi bangunan
Secara fisik perubahan banyak terjadi pada jalan utama Kembang Jepun, di mana tampilan bangunan ash telah ditutupi dengan berbagai papan iklan dan pembangunan baru seperti bank Mapion, dan bank BCA di jalan Slompretan dan bangunan baru lainnya di Jalan Karet yang telah merubah karakter kawasan ini. Selain itu, relatif banyak bangunan yang telah berubah fungsi menjadi gudang, dan penghuni pada kawasan per¬mukiman ini sudah berpindah ke kawasan-kawasan permukiman baru di timur dan barat Kota Surabaya. Sebagai contoh, saat ini hanya tersisa dua (2) keluarga yang tetap tinggal di kawasan ini, sebagai akibat pada ma‘am hari kawasan ini menjadi kawasan yang mati.

Kawasan Arab
Kampung Arab Surabaya terletak di sisi utara permukiman masya¬rakat Tionghoa di mana kawasan ini umumnya adalah perumahan. Kawasan ini pada sisi barat dibatasi oleh Kalimas dan Oosterkade Kali¬mas (sekarang Jalan Kalimas Timur) dan pada sisi timur dibatasi oleh Jalan Nyamplungan dan jalan Danakarya. Jalan utama lainnya pada kawasan ini adalah Jalan K.H. Mansyur yang membentang dari utara ke selatan.

Masjid Sunan Ampel adalah sebagai pusat kegiatan di kawasan ini bukan saja bagi masyarakat di sekitarnya, tetapi juga bagi banyak masyarakat muslim yang datang untuk berziarah. Jalan yang paling ramai di kawasan ini adalah jalan Ampel Suci dimana para pedagang dan pembeli bertemu sepanjang jalan menuju ke Masjid Sunan Ampel. Masjid Sunan Ampel yang terletak di Kampung Ngampel (Ampel) ini diduga merupakan masjid tertua di Surabaya. Sekitar tahun 1414, Raden Rachmad keponakan dari istri Raja Majapahit yang berasal dari Champa, bemama Wikrama¬wardhana (1389-1428) datang ke Surabaya. Raden Rachmad yang waktu itu masih berumur 20 tahun diberi tempat oleh raja di desa Ngampel. Ia kemudian menyiarkan agama Islam kepada penduduk di sekitar Ngampel, yang kemudian terkenal dengan sebutan Sunan Ampel, dan wafat pada tahun 1467 di Ngampel. Di dekat makamnya dibangun sebuah masjid. Pada tahun 1870-1872, komplek masjid ini diperbaiki dan didirikan sebuah masjid besar yang dinamakan masjid Sunan Ampel. Berabad abad ke¬mudian, komplek masjid Sunan Ampel ini telah mengalami beberapa kali perluasan.

Potensi Kawasan Arab
Potensi pada kawasan ini antara lain:
1. Struktur kawasan: pola fungsi lahan dan pola jalan
Penataan lingkungan ini berpusat pada masjid Ampel, sehingga perkampungan yang ada mempunyai orientasi ke arah dalam. Hal inilah yang menyebabkan kawasan Ampel terkesan tertutup dari lingkungan di luar kawasan tersebut. Pola penggunaan lahan pada kawasan sec.ira umum tidak banyak berubah yaitu sebagai permukiman kampung dengan arsitektur rumah tinggal yang beragam terutama pada jalan atau gang-gang yang menuju ke arab masjid Ampel.

Salah satu keunikan lain dari kawasan ini adalah jaringan jalan yang rumit, terdiri dari beberapa gang yang saling berhuhungan antara satu dengan yang lainnya. Penataan gang seperti ini tidak ditemukan dalam tatanan kampung-kampung lainnya di Surabaya. Apabila terdapat orang luar yang masuk ke lingkungan ini tentunya akan mengalami kebingu - ngan karena ia akan merasa seolah-olah masuk dalam suatu labirin. Gang-gang dalam kampung tersebut juga memiliki nama-nama yang khas Arab, seperti Ampel Suci, Ampel Magfur, dan Ampel Masjid.

2. Keanekaragaman gaya arsitektur
Dari wujud kebudayaan fisik yaitu karya arsitektur berupa mesjid dan kelompok makam Sunan Ampel. Mesjid ini bercirikan arsitektur tradisional Jawa dengan kolom klasik. Pintu gerbang makam merupakan modifikasi dari pintu gerbang zaman Majapahit (Hindu). Lamanya penjajahan Belanda berpengaruh juga pada gaya arsitektur yang ada pada kawasan ini, terutama pada Jalan K.H. Mansyur dan Jalan Nyamplungan.

Di Jalan KH. Mansyur, bangunan-bangunan yang berkembang dengan tipologi yang berbeda-beda sesuai zamannya. Sejak awal abad ke-20 atau tepatnya pada tahun 1925 di sepanjang jalan ini dijumpai banyak bangunan yang berarsitektur Eropa Klasik dan Arab yang dibangun oleh pendatang, baik dari pendatang Arab maupun orang asing lainnya.

3. Aktivitas masyarakat
Kampung Ampel memiliki potensi sebagai kampung wisata dan tempat ziarah serta pada bagian pasar Ampel dapat dijumpai tempat-tempat penjualan cindera mata khas timur tengah seperti, minyak wangi, buah kurma, sajadah, jilbab-jilbab dengan warna yang beraneka ragam, permadani, dan sebagainya berupa barang untuk keperluan ibadah.

Masjid Ampel dan Makam Sunan Ampel serta makam-makam pe-muka agama lainnya cukup dikenal, karena selain memiliki nilai-nilai religius yang tinggi dengan sendirinya ia jgua memiliki nilai historis yang tinggi.

Banyak sekali wisatawan baik dari mancanegara ataupun dari dalam negeri yang sangat tertarik untuk mengunjungi Ampel dengan alasan utama untuk berziarah.

Pintu Gapura menuju ke makam Sunan Ampel (kiri), masjid Ampel lama (tengah atas), hotel Kemajuan/eks kompleks perwira Belanda tahun 1928 (tengah ba¬wah), ruko tipikal bergaya Arab (kanan atas), dan bangunan arsitektur Belanda dengan gevel (kanan bawah).

Masalah kawasan Arab
Masalah yang ada pada kawasan ini adalah kondisi bangunan. Seca¬ra umum, kondisi bangunan yang ada di kawasan Ampel terbagi menjadi dua, yaitu yang masih terawat dengan baik dan yang sama sekali tidak terawat. Yang masih terawat baik terutama adalah bangunan yang ber¬fungsi sebagai rumah tinggal, sedangkan yang tidak terawat kebanyakan berfungsi bukan rumah tinggal, yaitu seperti gudang.

Kesimpulan
Hasil studi ini menunjukkan bahwa, Kota Bawah yang terdiri dan kawasan Eropa, Tionghoa, dan kawasan Arab (Ampel) memiliki potensi yang harus dipertahankan dan dikembangkan, seperti pola penggunaan lahan dan jaringan jalan yang relatif masih utuh, keanekaragaman langgarn arsitektur, serta aktivitas kehidupan masyarakat yang kental terutama pada kawasan Ampel. Di lain pihak, terdapat masalah-masalah yang harus diatasi dan diperbaiki, seperti pembangunan bangunan baru yang merusak karak¬ter kawasan, perubahan fungsi bangunan (pergudangan) yang tidak men¬dukung pemeliharaan bangunan, serta pola penggunaan bangunan yang relatif seragam mengakibatkan kawasan menjadi "mati" pada malam hari.

Berdasarkan pada potensi dan masalah yang ada, maka penetapan kawasan Kota Bawah ini sebagai kawasan pusaka budaya merupakan suatu langkah awal yang diperlukan untuk melindungi kawasan ini secara utuh (urban fabric). Sedangkan, revitalisasi kawasan ini sebagai langkah lain untuk menghidupkan kembali aktivitas masyarakat agar karakter kawasan ini dapat tetap terpelihara dengan baik.

Daftar pustaka
Broeshart, A.C. 1994. Soerabajn; Beeld van een stad. Purmerend: Asia Maior.

Charter. 1987. Charter for the conservation of historic towns and urban areas. Wa¬shington, D.C.: the American ICOMOS.

Ebbe, Katrinka dan D. Hankey. 1999. Case study of Ningbo, China; Cultural heritage conservation in urban upgrading. Washington, D.C.: The World Bank.

Ebbe, Katrinka dan Lee J. Harper. 2000. Cultural heritage management and urban development; Challenge and opportunity. Beijing: International Conference Proceedings.

International Charter. 1964-1965. International charter for the conservation and restoration of monu¬ments and sites. Venice: the Greek ICOMOS.

Neill, William J.V. 2004. Urban planning and cultural identity. London: Routledge.

Piagam Pelestarian. 2003. Piagam pelestarian pusaka Indonesia. Ciloto: Jaringan Pelestarian Pusaka Indonesia, Indonesia International Council on Monuments and Sites, dan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata RI.

Principles. 2000 Principles for the conservation of heritage sites in China. Chengde: China ICOMOS.

Recommendation. 1976. Recommendation concerning the safeguarding and contemporary role of historic areas. Nairobi: UNESCO.

Salmon, Claudine. 1991. ‘Theklan family of East Java entrepreneurship and politic 18th-19(h centuries‘, Archipel 41:53-87.
Vines, Elizabeth. 2003. Streetwise Asia; A practical guide for the conservation and revita-lization of heritage cities and towns in Asia. Washington, Dr.: The World Bank.
__________
Timoticin Kwanda adalah Staf Pengajar Jurusan Arsitektur, Universitas Kristen Petra â€" Surabaya

________________________________________
[1] Sebutan Kota Bawah (benedenstad) dipergunakan untuk membedakan dengan Kota Atas (bovenstad) yang berkembang kemudian di tahun 1920-an yang berpusat pada kawasan Balaikota sekarang.

Sumber :indie-indonesie.nl

Tinggalkan komentar anda tentang Potensi dan Masalah Kota Bawah Surabaya Sebagai Kawasan Pusaka Budaya