Berbagi Tips dan Triks Gratis

Dapatkan Tips dan triks Gratis untuk menghasilkan Uang Dari Blog. Di
www.uangdariblog.com anda akan menemukan banyak sekali tips yang akan
membatu anda mendapatkan penghasilan pertama dari blog. Semua tips dan
trik itu bisa anda dapatkan dengan gratis tanpa mengeluarkan uang
sepeserpun. Selain dari Di www.uangdariblog.com, anda juga bisa
mendapatkan berbagai trik di www.ayoberbagi.com.

Rumah Adat Karo


Informasi terbaru Rumah Adat Karo
Oleh : Eddy Suranta Sembiring

Mengenal sejenak Rumah Adat
Karo Suku Karo mendiami daerah bagian utara Propinsi Sumatera Utara, terutama di daerah tinggi Karo, Langkat Hulu, Deli Hulu, Serdang Hulu, dan sebagian Dairi. Sebagian besar orang Karo masih hidup di desa-desa yang disebut kuta. Kuta merupakan kesatuan territorial yang dihuni oleh penduduk dari beberapa merga (klen) yang berbeda. Dalam kuta terdapat dua atau lebih deretan rumah adat. Namun, sekarang tidak semua kuta memiliki rumah adat. Di beberapa tempat kita masih dapat menemukan rumah adat Karo yang sudah berusia ratusan tahun diantaranya di desa Lingga, Dokan dan Peceren. Rumah Adat Karo terkenal karena keunikan teknik bangunan dan nilai sosial-budayanya. Rumah adat Karo memiliki konstruksi yang tidak memerlukan penyambungan. Semua komponen bangunan seperti tiang, balik, kolom, pemikul lantai, konsol, dan lain-lain tetap utuh seperti aslinya tanpa dilakukan penyerutan ataupun pengolahan. Pertemuan antarkomponen dilakukan dengan tembusan kemudian dipantek dengan pasak atau diikat menyilang dengan ijuk untuk menjauhkan rayapan ular. Bagian bawah, yaitu kaki rumah, bertopang pada satu landasan batu kali yang ditanam dengan kedalaman setengah meter, dialasi beberapa lembar sirih dan benda sejenis besi. Rumah adat Karo berbentuk panggung dengan dinding miring dan beratap ijuk. Letaknya memanjang 10-20 meter dari timur ke barat dengan pintu di kedua jurusan mata angin itu. Posisi bangunan Rumah Adat Karo biasanya mengikuti aliran sungai yang ada di sekitar desa. Pada serambi muka terdapat semacam teras dari bambu yang disusun yang disebut ture.

Nilai Kepercayaan dalam Pembangunan Rumah Adat Karo
Sebelum membangun rumah, orang Karo mengadakan musyawarah dengan teman satu rumah mengenai besar, tempat, dan hal-hal lain. Waktu membersihkan dan meratakan tanah ditentukan oleh guru (dukun) untuk mendapatkan hari yang baik. Ketika akan mengambil kayu ke hutan mereka kembali menanyakan hari yang baik untuk menebang pohon kepada guru. Sebelum menebang kayu guru akan memberi persembahan kepada penjaga hutan agar jangan murka terhadap mereka karena kayu itu dipakai untuk membangun rumah. Dalam proses pembangunan mulai dari peletakan alas rumah selalu ada ritual yang dibuat agar pembangunan rumah tersebut diberkati oleh yang maha kuasa dan agar tidak tejadi hal-hal yang buruk. Setelah rumah selesai dibangun masih ada ritual yang diadakan. Guru dan beberapa sanak keluarga yang membangun rumah akan tidur di rumah baru itu sebelum rumah itu ditempati. Mereka akan memimpikan apakah rumah tersebut baik untuk dihuni atau tidak. Waktu memasuki rumah baru biasanya diadakan kerja mengket rumah mbaru (pesta memasuki rumah baru). Pesta ini menunjukkan rasa syukur atas rumah baru tersebut kepada saudara-saudara dan kepada yang maha kuasa. Dalam pesta ini ada acara makan bersama dengan para kerabat, kenalan, dan orang-orang sekampung. Lalu, acara dilanjutkan dengan acara ngerana (memberi kata sambutan dan petuah-petuah) oleh pihak-pihak yang berkompeten seperti: Kalimbubu, Anak beru, dan Senina. Dalam pesta ini juga biasanya ada acara tepung tawar untuk rumah baru. Guru akan menepungtawari bagian-bagian tertentu dari rumah. Tujuannya ialah agar segala yang jahat keluar dari rumah dan yang baik tinggal dalam rumah untuk membuat para penghuni rumah bisa bahagia menempati rumah tersebut. Acara lain yang kadang dibuat adalah gendang. Gendang ini bertujuan untuk mengusir hal-hal jahat yang masih tinggal di dalam rumah tersebut. gendang tersebut juga menunjukkan rasa gembira dan syukur bersama warga sedesa.

Nilai Kepercayaan dalam Bentuk Bangunan Rumah Adat Karo
Struktur bangunan rumah adat Karo terbagi atas tiga bagian, yaitu atap sebagai dunia atas, badan rumah sebagai dunia tengah, dan kaki sebagai dunia bawah, yang dalam bahasa Karo disebut Dibata Atas, Dibata Tengah, dan Dibata Teruh (Allah Atas, Allah Tengah, dan Allah Bawah). Pembagian anatomi rumah adat Karo menggambarkan: dunia atas tempat yang disucikan, dunia tengah tempat keduniawian, dan dunia bawah tempat kejahatan sehingga layak untuk tempat binatang piaraan, yang dalam kepercayaan suku Karo dikuasai oleh Tuhan Banua Koling. Penguasa yang jahat dipuja dan dihormati agar tidak mengganggu kehidupan manusia. Dalam pembangunan rumah adat, hal yang terpenting adalah prosesnya yang sakral dibandingkan segi fisiknya. Hal ini tampak mulai dari penentuan tapak/lahan, pemilihan kayu di hutan, hari baik untuk pendirian rumah, pemasangan atap sampai memasuki rumah. Kesemuanya dilakukan melalui upacara-upacara ritual dengan kerbau sebagai korban. Upacara-upacara ini menunjukkan kepercayaan yang besar orang Karo akan kekuasaan yang melebihi kekuatan manusia.

Nilai Kebersamaan dari Rumah Adat Karo
Suatu rumah adat biasanya dihuni oleh empat atau delapan bahkan sampai enam belas keluarga batih (jabu), yang masih terikat hubungan kekerabatan secara patrilineal. Penempatan jabu di dalam rumah diatur menurut ketentuan adat. Inilah yang menjadi kekhasan rumah adat Karo bila dibandingkan dengan rumah adat lain. Jumlah anggota keluarga ini berkaitan dengan tungku masak di dalam rumah. Tiap tungku digunakan oleh dua keluaga sehingga dua keluarga biasanya memakan makanan yang sama. Ini juga menjadi keunikan yang menunjukkan kebersamaan dalam Rumah Adat Karo. Kegembiran atau kesusahan satu anggota keluarga menjadi kegembiran seluruh penghuni rumah adat. Dan lewat perayaan-perayaan hidup seperti membangun rumah, pesta tahunan, kerja di ladang, pernikahan, kelahiran anak, dan kematian tampaklah kebersamaan itu semakin hidup.

Sumber : http://deparita.multiply.com
Tinggalkan komentar anda tentang Rumah Adat Karo

Topeng Betawi dalam Kacamata Mistis


Informasi terbaru Topeng Betawi dalam Kacamata Mistis
Oleh: apit

Orang Betawi dulu menganggap Topeng memiliki kekuatan magis. Selain dapat menolak bala, juga dinilai mampu menghilangkan kedukaankarena kematian, sakit atau pun petaka lainnya. Selama ini Topeng sering diartikan sebagai kedok. Tetapi bagi orang Betawi, Topeng berbeda dengan kedok, Kalau kedok adalah penutup muka, sedangkan topeng adalah pertunjukan. Misalnya di Jakarta sering kita dengar sebutan Topeng Monyet yang berarti pertunjukan dengan menggunakan monyet. Maka yang diartikan Topeng Betawi di sini, sebenarnya adalah pertunjukan dalam bentuk teater yang mengandung aspek tari, nyanyi, narasi dengan dialog maupun monolog.

Menurut Antropolog dari LIPI, Ninuk Kleden Probonegoro, ada dua narasi tentang asal muasal Topeng Betawi yang menjadi cikal bakal pagelaran yaitu narasi yang berhubungan dengan Jaka Pertaka, dan satu lagi narasi tentang Sukma Jaya. Narasi tentang ini memperlihatkan bahwa Topeng dianggap mempunyai kekuatan magis.

Ada tiga hal yang dirujuk oleh kedua narasi tersebut. Pertama, Dewa Umar Maya yang dapat menghidupkan dan mematikan Ratna Cuwiri dan menghidupkan patung kayu, dianggap mempunyai kesaktian. Dewa yang menyamar sebagai dalang ini membawa kesaktiannya dalam perkumpulan Topeng. Dengan alasan itulah rupanya orang Betawi menganggap Topeng mempunyai kekuatan magis, yang bisa menghilangkan kedukaan karena kematian, sakit atau pun petaka lainnya. Karena itu pula acara ketupat lepas hanya bisa dilakukan dalam Topeng dan tidak pada bentuk teater Betawi yang lain.

Ketupat lepas adalah ritual yang berhubungan dengan nazar si empunya hajat. Melalui upacara yang disaksikan oleh Kembang Topeng, menandakan bahwa si empunya hajat telah melunasi nazarnya, Upacara dilakukan dengan ketupat yang diletakkan di atas beras kuning bercampur dengan uang logam. Pada saat bersamaan Kembang Topeng dan orang yang dinazari memegang ketupat itu dan dari dalam ada orang yang membacakan doa. Berikut ini adalah kutipan doa dari grup Topeng Sinar Jaya, Bekasi. “… Tempat dulu ada ucapan pada anaknya. Kalo liwat dart susah, keberkahan, panjang umur, murah rezeki. Kalau anaknya disunatin, kaulan nanggap topeng, seberkah, dua berkah. Membayar kaulan, minta doa selamatnya dibayar uang, sekarang kaulannya lagi dibayar.” Setelah doa selesai dibacakan, ketupat dihentakkan dan uang diperebutkan oleh anak-anak yang telah siap di bagian muka. Kembang Topeng dianggap mempunyai kekuatan supranatural, seperti halnya Sukma Jaya yang menjadi ronggeng Topeng bernama Gandawirang. Kaki Jugil dalam cerita Jaka Pertaka telah memberi hidup sebuah patung kayu perempuan. Kesaktian inilah yang dibawa ke dalam Topeng. Dari narasi tersebut, Topeng diyakini mempunyai sifat religius dan membedakan dari teater-teater Betawi yag lain.

Ritual Topeng
Bagi masyarakat Betawi, Topeng digunakan dalam ritual kehidupan yang dianggap cukup penting, seperti perkawinan dan khitanan. Pada kedua ritual itu. Topeng dipagelarkan untuk memeriahkan pesta. Juga biasanya, Topeng digelar dengan tujuan membayar nazar. Meskipun harus membayar mahal untuk sebuah pertunjukan Topeng, rasanya itu tidak menjadi persoalan. “Biar tekor asal kesohor,” begitu ungkapan kalangan masyarakat Betawi tertentu dalam menjaga imej status sosiainya. Nah, bila si empunya hajat inggin menggelar Topeng, ia lebih dulu membayar panjer (uang muka) pada grup yang telah dipilih, setelah ada kesepakatan biaya. Kekurangannya akan dibayar pagi setelah pesta usai, uangnya diambil dari amplop sumbangan dari para tetamu.

Pentingnya kesaksian bahwa nazar sudah dibayar melalui pagelaran Topeng, tidak berarti dengan sendirinya semua orang Betawi menganggap Topeng itu penting. Sebab, tidak semua lokasi di wilayah persebaran Topeng ini memperlihatkan indikasi pentingnya Topeng. Menurut catatan Ninuk, terdapat 60 grup Topeng yang ada di wilayah Jabotabek pada tahun 1975. Persebaran grup Topeng tersebut dapat dilacak berdasarkan beberapa wilayah yang ada, saat menggelar pertunjukan. Untuk Kabupaten/Kodya Bogorr misalnya, ada dua kecamatan (Cibinong dan Cimanggis) yang memiliki grup Topeng. Di kawasan Tangerang terdapat tujuh kecamatan (Curug, Cikupa, Balaraja, Tigaraksa, Kronjo, Kresek, Rejeg). Di Bekasi lebih banyak lagi, yakni 10 kecamatan (Bekasi, Tambun, Cikarang, Cibitung, Setu, Lemah Abang. Sukatani, Pebayuran, Babelan, Pondok Gede). Sedangkan DKI Jaya empat kecamatan (Koja, Jatinegara, Kramat Jali, Pasar Rebo). Dari beberapa wilayah persebaran grup Topeng, masing-masing kabupaten mempunyai pusat Topeng tersendiri. Balaraja misalnya dijadikan pusat Topeng di Tangorang, Tambun dan Babelan sebagai pusat Topeng di Bekasi, dan Pasar Rebo adalah daerah Topeng di DKI Jaya. Adapun persebaram grup dalam suatu wilayah geografis tidak berbeda dari persebaran pengguna Topeng. Hal itu disebabkan karena suatu grup Topeng bermain di wilayah tertentu yang sudah dilakukannya sejak dulu.

Wilayah persebaran Topeng di Jabotabek tersebut, sebenarnya masih terbagi ke dalam tiga kelompok Topeng, berdasarkan ciri bahasa, penggunaan tempat pertunjukan dan kekhasan pagelaran. Grup Topeng di Tangerang tampaknya berdiri sendiri (daerah ini lebih dikenal sebagai wilayah Lenong), sedangkan di wilayah lain dikenal dua bentuk Topeng yang menurut istilah setempat adalah Kanda Wetan dan Kanda Kulon, Wetan adalah timur, dan kanda berarti daerah, Dengan demikian, grup yang termasuk Kanda Wetan adalah grup-grup dari Bekasi, sedangkan grup yang termasuk dalam Kanda Kulon adalah grup-grup dari DKI dan Bogor bagian utara. Sementara itu, ada grup peralihan yang berdiri diantara Kanda Wetan dan Kanda Kulon. Berdasarkan bahasa yang digunak dalam pagelaran, grup-grup Topeng Tangerang menggunakan bahrasa Sunda. Pasar Rebo dan Bekasi, pagelaran Tope menggunakan bahasa Melayu Betawi.

Pergeseran Waktu
Seiring pergeseran zaman, Topei Betawi tampaknya telah terjadi transformasi yang menggambarkan perubahan Topeng Ada lima bentuk perubahan yang disebabkan oleh urutan waktu dalam sejara Pertama, esensi Topeng yang sakral dan magis tak lagi menjadi motivasi bagi yai punya hajat. Topeng tak lagi berfungsi sebagai penolak bala atau nazar bagi anak yang sering sakit-sakitan, karena memar puskesmas makin mudah dijangkau.

Kedua, pagelaran yang diselenggarakan dalam lingkup tradisi yaitu ritus perkawinan dan khitanan, juga mengalami pergeseran ke arah ritus nasional. Ketiga, keragaman estetika yang muncul dalam Kanda Wetan dan Kanda Kulon pun mulai menghilang karena masuknya para pendatang ke daerah orang-orang Betawi. Termasuk berbag bentuk kedok yang memperlihatkan ks ragaman topeng, hilang secara perlahai lahan. Terakhir, kedok Bapak Jantuk pui sudah tidak dikenal lagi.

Keempat, ruang lingkup seni pertunjuka mengalami pergeseran. Jika dulu (tahun 70-an) masih berlangsung hingga pukul 4 pag lama kelamaan bergeser durasinya, paling lambat pukul 3 atau lebih maju pukul 1 dini hari sudah harus dihentikan karena oran harus bersiap diri untuk sembahyang Subu agar tidak kesiangan.

Kelima, narasi pagelaran Topeng, tak lagi mengangkat tema kemiskinan di wilayar wilayah tuan-tuan tanah, dan telah beralih dengan mengunakan isu nasional yang kadang menjadi legitimasi kepentingan politik tertentu.

Bisa dirasakan, berkembangnya zaman telah merubah historical sequences Topeng tidak saja secara fisik tetapi juga ideologinya. Dengan kata lain, telah terjadi pertumbuhan keragaman budaya, dalam hal ini keragaman pagelaran Topeng. Itu bisa dimaklumi, mengingat rasa memiliki terhadap budaya Betawi, kini bukan hanya milik orang Betawi saja, tapi juga dimiliki para pendatang yang ingin melestarikan budaya Betawi menurut zamannya.

Sumber : http://apit.wordpress.com
Foto : http://fotokita.net
Tinggalkan komentar anda tentang Topeng Betawi dalam Kacamata Mistis

Calung


Informasi terbaru Calung
Calung adalah alat musik Sunda yang merupakan prototipe (purwarupa) dari angklung. Berbeda dengan angklung yang dimainkan dengan cara digoyangkan, cara menabuh calung adalah dengan mepukul batang (wilahan, bilah) dari ruas-ruas (tabung bambu) yang tersusun menurut titi laras (tangga nada) pentatonik (da-mi-na-ti-la). Jenis bambu untuk pembuatan calung kebanyakan dari awi wulung (bambu hitam), namun ada pula yang dibuat dari awi temen (bambu yang berwarna putih). Pengertian calung selain sebagai alat musik juga melekat dengan sebutan seni pertunjukan. Ada dua bentuk calung Sunda yang dikenal, yakni calung rantay dan calung jinjing.

Calung Rantay
Calung rantay bilah tabungnya dideretkan dengan tali kulit waru (lulub) dari yang terbesar sampai yang terkecil, jumlahnya 7 wilahan (7 ruas bambu) atau lebih. Komposisi alatnya ada yang satu deretan dan ada juga yang dua deretan (calung indung dan calung anak/calung rincik). Cara memainkan calung rantay dipukul dengan dua tangan sambil duduk bersilah, biasanya calung tersebut diikat di pohon atau bilik rumah (calung rantay Banjaran-Bandung), ada juga yang dibuat ancak "dudukan" khusus dari bambu/kayu, misalnya calung tarawangsa di Cibalong dan Cipatujah, Tasikmalaya, calung rantay di Banjaran dan Kanekes/Baduy.

Calung Jingjing
Adapun calung jinjing berbentuk deretan bambu bernada yang disatukan dengan sebilah kecil bambu (paniir). Calung jinjing terdiri atas empat atau lima buah, seperti calung kingking (terdiri dari 12 tabung bambu), calung panepas (5 /3 dan 2 tabung bambu), calung jongjrong(5 /3 dan 2 tabung bambu), dan calung gonggong (2 tabung bambu). Kelengkapan calung dalam perkembangannya dewasa ini ada yang hanya menggunakan calung kingking satu buah, panempas dua buah dan calung gonggong satu buah, tanpa menggunakan calung jongjrong Cara memainkannya dipukul dengan tangan kanan memakai pemukul, dan tangan kiri menjinjing/memegang alat musik tersebut. Sedangkan teknik menabuhnya antar lain dimelodi, dikeleter, dikemprang, dikempyung, diraeh, dirincik, dirangkep (diracek), salancar, kotrek dan solorok.

Perkembangan
Jenis calung yang sekarang berkembang dan dikenal secara umum yaitu calung jinjing. Calung jinjing adalah jenis alat musik yang sudah lama dikenal oleh masyarakat Sunda, misalnya pada masyarakat Sunda di daerah Sindang Heula - Brebes, Jawa tengah, dan bisa jadi merupakan pengembangan dari bentuk calung rantay. Namun di Jawa Barat, bentuk kesenian ini dirintis popularitasnya ketika para mahasiswa Universitas Padjadjaran (UNPAD) yang tergabung dalam Departemen Kesenian Dewan Mahasiswa (Lembaga kesenian UNPAD) mengembangkan bentuk calung ini melalui kreativitasnya pada tahun 1961. Menurut salah seorang perintisnya, Ekik Barkah, bahwa pengkemasan calung jinjing dengan pertunjukannya diilhami oleh bentuk permainan pada pertunjukan reog yang memadukan unsur tabuh, gerak dan lagu dipadukan. Kemudian pada tahun 1963 bentuk permainan dan tabuh calung lebih dikembangkan lagi oleh kawan-kawan dari Studiklub Teater Bandung (STB; Koswara Sumaamijaya dkk), dan antara tahun 1964 - 1965 calung lebih dimasyarakatkan lagi oleh kawan-kawan di UNPAD sebagai seni pertunjukan yang bersifat hiburan dan informasi (penyuluhan (Oman Suparman, Ia Ruchiyat, Eppi K., Enip Sukanda, Edi, Zahir, dan kawan-kawan), dan grup calung SMAN 4 Bandung (Abdurohman dkk). Selanjutnya bermunculan grup-grup calung di masyarakat Bandung, misalnya Layung Sari, Ria Buana, dan Glamor (1970) dan lain-lain, hingga dewasa ini bermunculan nama-nama idola pemain calung antara lain Tajudin Nirwan, Odo, Uko Hendarto, Adang Cengos, dan Hendarso.

Perkembangan kesenian calung begitu pesat di Jawa Barat, hingga ada penambahan beberapa alat musik dalam calung, misalnya kosrek, kacapi, piul (biola) dan bahkan ada yang melengkapi dengan keyboard dan gitar. Unsur vokal menjadi sangat dominan, sehingga banyak bermunculan vokalis calung terkenal, seperti Adang Cengos, dan Hendarso.
Sumber Rujukan

* Ganjar Kurnia. 2003. Deskripsi kesenian Jawa Barat. Dinas Kebudayaan & Pariwisata Jawa Barat, Bandung.
* wikipedia.org

Sumber : http://www.kasundaan.org
Tinggalkan komentar anda tentang Calung

Baju Hamil Model Baru

Semakin banyak perancang Indonesia yang melirik untuk merangcang busana khusus untuk ibu hamil. BAJU HAMIL yang mereka rancang sekarang sudah banyak beredar di toko-toko busana di tanah air. Siapakah perancang itu? Saya yakin anda semua sudah tau siapa yang saya maksud. Banyak model baru dengan berbagai motif telah diluncurkan oleh banyak desainer baju, dan memang ketertarikan masyarakat sangat besar, khususnya ibu hamil.

Hari ini saya melihat spanduk yang sangat besar di sebuah perempatan jalan, isinya kurang lebih seperti ini “GROSIR BUSANA MUSLIM dan baju hamil”. Wow perkembangan yang pesat sekali. Di spanduk itu juga terdapat contoh baju hamil yang menurut saya sangat elegant dan memang kelihatan sekali berkelas. Dan harga yang ditawarkan untuk baju hamil dan busana muslim itu sangat terjangkau untuk kantong orang seperti saya.

Bathing Beauties di Kali Molenvliet


Informasi terbaru Bathing Beauties di Kali Molenvliet
Oleh : Alwi Sahab
Generasi sekarang sudah tidak banyak lagi mengenal Molenvliet. Padahal, sampai awal 1960'an, jalan yang kini bernama Hayam Wuruk dan Gajah Mada di Jakarta Kota lebih dikenal dengan Molenvliet. Kata dalam Belanda yang artinya Molen (kincir) dan vliet (aliran). Karena dulunya sini terdapat kincir angin meniru sistem pengairan di Belanda. Di tengah kedua jalan yang selalu hiruk-pikuk ini terdapat Kali Ciliwung, yang dulunya juga lebih dikenal sebagai kali Molenvliet. Kali ini sendiri merupakan kanal dengan menyedot kali Ciwilung.

Sungai atau kanal ini membujur dari selatan ke utara hingga Pasar Ikan diapit oleh jalan Hayam Wuruk dan Gajah, mulai dari Harmoni hingga Kalibesar. Sampai awal 1950-an, sungai ini masih jernih sehingga menjadi tempat cuci pakaian, mandi dan buang air besar. Bahkan, di antara yang mandi ada yang berbugil ria, sehingga jadi pentas tontonan bathing beauties. Tetapi sekarang sudah demikian kotor, penuh Lumpur dan sampah. Fungsinya sendiri sudah hilang, ketika dibangun sebagai kanal pertengahan abad ke-17 untuk memperlancar arus barang dari selatan ke pusat kota, dan sebaliknya.

Akibat tidak berfungsinya sungai ini, pernah ada sejumlah insinyur mengusulkan ditutup dan ditimbun saja. Guna mengurangi kemacetan lalu lintas di Jl Hayam Wuruk dan Gajah Mada. Kita sengaja mengetengahkannya, karena Banyak yang tidak tahu bahwa sungai tersebut merupakan sungai buatan atau tepatnya sebuah kanal dengan 'menyobek' kali Ciliwung yang dialirkan ke sana. Arsitek dari proyek besar waktu itu, adalah Phoa Beng Gan, seorang kapiten Cina yang dikenal sebagai ahli pengairan.

Seperti diketahui Jan Pieterszoon Coen mendirikan Batavia di atas rawa-rawa. Hingga bila musim hujan daerah itu terendam, airnya susah kering. Dan kota menjadi sarang nyamuk malaria. Banyak orang mati karena penyakit ini. VOC sendiri tidak bisa berbuat apa-apa menghadapinya.

Dalam keadaan demikian, Kapiten Phoa Beng Gan merasa terpanggil. Apalagi korbannya banyak etnis Cina yang saat itu hampir mayoritas di Batavia. Phoa kemudian mengadakan rapat kongkoan (Dewan Tionghoa) yang setuju membiayai penggalian kanal mengingat VOC tidak punya uang.

Penggalian dimulai pada 1624 dari ujung Molenvliet, di depan Harmoni sekarang. Penggalian dipimpin oleh Phoa sendiri. Ia menggunakan tenaga kerja sangat banyak mengingat peralatan untuk penggalian masih sangat sederhana.

Saat penggalian sampai ke Jalan Ketapang, mulai terlihat manfaat pembuatan kanal tersebut. Daerah rawa di sekitarnya menjadi kering, sehingga nyamuk-nyamuk anopheles makin berkurang. Dengan banyaknya rawa mengering, banyak dibangun rumah dan perkebunan. Sedangkan hasil buminya dapat diangkut dengan perahu-perahu melalui kanal tersebut.

Sayangnya, kebahagiaan penduduk Batavia tidak ber¬langsung lama. Karena ketika terjadi bencana kekeringan yang hebat akibat musim panas berkepanjangan, air sungai Molenvliet jadi kering kerontang. Perdagangan dan pertani¬an menjadi mandek total. Tapi, Kapiten Phoa tidak putus asa. Ia pun merencanakan proyek pembuatan kali yang lebih besar yang akan dapat menyalurkan air ke tengah-tengah kota Batavia. Ia mengadakan survei ke daerah lebih selatan yang waktu itu masih hutan belukar, dan banyak binatang buas. Di daerah hutan belukar itu, yang sekarang bernama Pejambon, terdapat sungai Ciliwung yang airnya sangat deras.

Dia pun merencanakan membuat kanal yang akan menghubungkan Sungai Ciliwung dengan Molenvliet. Ketika usulnya disampaikan ke VOC, kebetulan Batavia sedang menghadapi seruan Inggris. AL Inggris memblokade kota, hingga pasokan mesiu untuk mempertahankan kota terhenti. Maka diputuskan proyek penggalian kanal ditambah dengan pembangunan pabrik mesiu.

Pabrik mesiu ini harus didirikan ditempat yang jauh dari pusat kota agar bila terjadi kecelakaan tidak mengganggu penduduk. Tempatnya di Jl Hayam Wuruk, tidak jauh dari pertokoan Harco, Glodok sekarang.

Di samping membangun kanal dan pabrik mesiu, kapiten Phoa juga membangun 'Rumah Sakit Cina' dengan obat-obatan serba lengkap. Lokasinya sekarang di Jl Pejagalan, Jakarta Kota. RS ini kemudian `merana' akibat tersaingi oleh CBZ (kini RS Cipto Mangunkusumo) di Salemba. RS Cina kemudian dibongkar gemeente (dewan kota) karena punya utang verponding selama puluhan tahun. Kemudian, masyarakat Cina mendirikan RS `Jang Seng Ie' yang kini bernama RS Husada di Jl Mangga Besar.

Sedangkan kali Molenvliet, sampai tahun 1950'an sering digelar berbagai atraksi. Seperti pesta perahu (peh cun) di malam hari, diiringi tanjidor clan tarian cokek di mana para siacia dan kongcu saling ngibing, atau joget sekarang ini.

Dari Queen of The East (Koningen Van Oost)

Sumber : http://www.strada.or.id
Foto : http://images.djawatempodoeloe.multiply.com
Tinggalkan komentar anda tentang Bathing Beauties di Kali Molenvliet

Kabupaten Aceh Barat


Informasi terbaru Kabupaten Aceh Barat
Sejarah Kabupaten Aceh Barat

Wilayah bagian barat Kerajaan Aceh Darussalam mulai dibuka dan dibangun pada abad ke XVI Masehi atas prakarsa Sultan Saidil Mukamil (Sultan Aceh yang hidup antara tahun 1588 - 1604 M), kemudian dilanjutkan oleh Sultan Iskandar Muda (Sultan Aceh yang hidup tahun (1607-1636 M) dengan mendatangkan orang-orang Aceh Rayeuk dan Pidie.

Daerah ramai pertama adalah di teluk Meulaboh (Pasi Karam) yang diperintah oleh seorang raja yang bergelar Teuku Keujruen Meulaboh, dan Negeri Daya (Kecamatan Jaya) yang pada akhir abad ke XV M telah berdiri sebuah kerajaan dengan rajanya adalah Sultan Salatin Alaidin Riayat Syah dengan gelar Poteu Meureuhom Daya.

Dari perkembangan selanjutnya, wilayah Aceh Barat diakhir abad XVII telah berkembang menjadi beberapa kerajaan kecil yang dipimpin oleh Uleebalang, yaitu : Kluang; Lamno; Kuala Lambeusoe; Kuala Daya; Kuala Unga; Babah Awe; Krueng No; Cara' Mon; Lhok Kruet; Babah Nipah; Lageun; Lhok Geulumpang; Rameue; Lhok Rigaih; Krueng Sabee; Teunom; Panga; Woyla; Bubon; Lhok Bubon; Meulaboh; Seunagan; Tripa; Seuneu'am; Tungkop; Beutong; Pameue; Teupah (Tapah); Simeulue; Salang; Leukon; Sigulai.

Dimasa penjajahan Belanda, melalui suatu perjanjian (Korte Verklaring), diakui bahwa masing-masing Uleebalang dapat menjalankan pemerintahan sendiri (Zelfsbestuur) atau swaparaja (landschap). Oleh Belanda Kerajaan Aceh dibentuk menjadi Gouvernement Atjeh en Onderhorigheden (Gubernemen Aceh dan Daerah Taklukannya) dan selanjutnya dengan dibentuknya Gouvernement Sumatera, Aceh dijadikan Keresidenan yang dibagi atas beberapa wilayah yang disebut afdeeling (propinsi) dan afdeeling dibagi lagi atas beberapa onderafdeeling (kabupaten) dan onderafdeeling dibagi menjadi beberapa landschap (kecamatan).

Seluruh wilayah Keresidenan Aceh dibagi menjadi 4 (empat) afdeeling yang salah satunya adalah Afdeeling Westkust van Atjeh atau Aceh Barat dengan ibukotanya Meulaboh. Afdeeling Westkust van Atjeh (Aceh Barat) merupakan suatu daerah administratif yang meliputi wilayah sepanjang pantai barat Aceh, dari gunung Geurutee sampai daerah Singkil dan kepulauan Simeulue serta dibagi menjadi 6 (enam) onderafdeeling, yaitu :

1. Meulaboh dengan ibukota Meulaboh dengan Landschappennya Kaway XVI, Woyla, Bubon, Lhok Bubon, Seunagan, Seuneu'am, Beutong, Tungkop dan Pameue;

2. Tjalang dengan ibukota Tjalang (dan sebelum tahun 1910 ibukotanya adalah Lhok Kruet) dengan Landschappennya Keluang, Kuala Daya, Lambeusoi, Kuala Unga, Lhok Kruet, Patek, Lageun, Rigaih, Krueng Sabee dan Teunom;

3. Tapaktuan dengan ibukota Tapak Tuan;

4. Simeulue dengan ibukota Sinabang dengan Landschappennya Teupah, Simalur, Salang, Leukon dan Sigulai;

5. Zuid Atjeh dengan ibukota Bakongan;

6. Singkil dengan ibukota Singkil.

Di zaman penjajahan Jepang (1942 - 1945) struktur wilayah administrasi ini tidak banyak berubah kecuali penggantian nama dalam bahasa Jepang, seperti Afdeeling mejadi Bunsyu yang dikepalai oleh Bunsyucho, Onderafdeeling menjadi Gun yang dikepalai oleh Guncho dan Landschap menjadi Son yang dikepalai oleh Soncho.

Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, berdasarkan Undang-undang Nomor 7 (Drt) Tahun 1956 tentang pembentukan Daerah Otonom Kabupaten-kabupaten dalam lingkungan Propinsi Sumatera Utara, wilayah Aceh Barat dimekarkan mejadi 2 (dua) Kabupaten yaitu Kabupaten Aceh Barat dan Kabupaten Aceh Selatan. Kabupaten Aceh Barat dengan Ibukota Meulaboh terdiri dari tiga wilayah yaitu Meulaboh, Calang dan Simeulue, dengan jumlah kecamatan sebanyak 19 (sembilan belas) Kecamatan yaitu Kaway XVI; Johan Pahlwan; Seunagan; Kuala; Beutong; Darul Makmur; Samatiga; Woyla; Sungai Mas; Teunom; Krueng Sabee; Setia Bakti; Sampoi Niet; Jaya; Simeulue Timur; Simeulue Tengah; Simeulue Barat; Teupah Selatan dan Salang. Sedangkan Kabupaten Aceh Selatan, meliputi wilayah Tapak Tuan, Bakongan dan Singkil dengan ibukotanya Tapak Tuan.

Pada Tahun 1996 Kabupaten Aceh Barat dimekarkan lagi menjadi 2 (dua) Kabupaten, yaitu Kabupaten Aceh Barat meliputi kecamatan Kaway XVI; Johan Pahlwan; Seunagan; Kuala; Beutong; Darul Makmur; Samatiga; Woyla; Sungai Mas; Teunom; Krueng Sabee; Setia Bakti; Sampoi Niet; Jaya dengan ibukotanya Meulaboh dan Kabupaten Adminstrtif Simeulue meliputi kecamatan Simeulue Timur; Simeulue Tengah; Simeulue Barat; Teupah Selatan dan Salang dengan ibukotanya Sinabang.

Kemudian pada tahun 2000 berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 5, Kabupaten Aceh Barat dimekarkan dengan menambah 6 (enam) kecamatan baru yaitu Kecamatan Panga; Arongan Lambalek; Bubon; Pantee Ceureumen; Meureubo dan Seunagan Timur. Dengan pemekaran ini Kabupaten Aceh Barat memiliki 20 (dua puluh) Kecamatan, 7 (tujuh) Kelurahan dan 207 Desa.

Selanjutnya pada tahun 2002 kabupaten Aceh Barat daratan yang luasnya 1.010.466 Ha, kini telah dimekarkan menjadi tiga Kabupaten yaitu Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten Nagan Raya dan Kabupaten Aceh Barat dengan dikeluarkannya Undang-undang N0.4 Tahun 2002

Keterangan Umum Daerah Kabupaten Aceh Barat
Kabupaten Aceh Barat dengan Ibukotanya Meulaboh, sebelum pemekaran mempunyai luas wilayah 10.097.04 Km² atau 1.010.466 Ha dan secara astronomi terletak pada 2° - 5°,16 Lintang Utara dan 95°,10° Bujur Timur dan merupakan bagian wilayah pantai barat dan selatan kepulauan Sumatra yang membentang dari barat ke timur mulai dari kaki gunung Geurutee (perbatasan dengan Aceh Besar) sampai kesisi Krueng Seumayam (perbatasan Aceh Selatan) dengan panjang garis pantai sejauh 250 Km.

Sesudah pemekaran letak geografis Kabupaten Aceh Barat secara agronomi terletak pada 04°61 - 04°47 Lintang utara dan 95° - 86°30 Bujur Timur dengan luas wilayah 2.442,00Km² bujur sangkar dengan batas-batas sebagai berikut :

Sebelah Utara :Kabupaten Aceh Jaya dan Kabupaten Pidie

Sebelah Selatan :Samudra Indonesia dan Kabupaten Nagan Raya

Sebelah Timur :Kabupaten Aceh Tenggah dan Kabupaten Nagan Raya

Sebelah Barat :Samudera Indonesia

Lambang Kabupaten Aceh Barat
Lambang Daerah Kabupaten Aceh Barat ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Aceh Barat No. 12 Tahun 1976 Tanggal 26 Nopember 1976 tentang Lambang Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Barat dan telah mendapat pengesahan dari Menteri Dalam Negeri berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor Pem./10/32/46-263 Tanggal 17 Mei 1976 serta telah diundangkan dalam Lembaran Daerah Tingkat II Aceh Barat Nomor 10 Tahun 1980 Tan ggal 3 Januari 1980.

Lambang Kabupaten Aceh Barat mempunyai perisai berbentuk kubah mesjid yang berisi lukisan lukisan dengan bentuk, warna dan perbandingan ukuran tertentu dan mempunyai maksud serta makna sebagai berikut:

Perisai berbentuk kubah mesjid, melambangkan ketahanan Nasional dan kerukunan yang dijiwai oleh semangat keagamaan;

Bintang persegi lima, melambangkan falsafah negara, Pancasila;

Kupiah Meukeutop, melambangkan kepemimpinan;

Dua tangkai kiri kanan yang mengapit Kupiah Meukeutop terdiri dari kapas, padi, kelapa dan cengkeh, melambangkan kesuburan dan kemakmuran daerah;

Rencong, melambangkan jiwa patriotik/kepahlawanan rakyat;

Kitab dan Kalam, melambangkan ilmu pengetahuan dan peradaban;

Tulisan "Aceh Barat" mengandung arti bahwa semua unsur tersebut diatas terdapat di dalam Kabupaten Aceh Barat.

Lambang Daerah ini digunakan sebagai merek bagi perkantoran pemerintah Kabupaten Aceh Barat

Sebagai petanda batas wilayah Kabupaten Aceh Barat dengan Kabupaten lainnya.

Sebagai cap atau stempel jabatan dinas.

Sebagai lencana yang digunakan oleh pegawai pemerintah Kabupaten Aceh Barat yang sedang menjalankan tugasnya.

Sebagai panji atau bendera digunakan oleh suatu rombongan yang mewakili atau atas nama pemerintah Kabupaten Aceh Barat

dan dapat dipergunakan pada tempat tempat upacara resmi, pintu gerbang dan lain sebagainya.

Lambang Daerah Kabupaten Aceh Barat ini dilarang digunakan apabila bertentangan dengan Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 1976 dan barang siapa yang melanggarnya dapat dikenakan hukuman selama-lamanya 1 bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 10.000.- (sepuluh ribu rupiah).

Visi Misi Kabupaten Aceh Barat
Visi
Terwujudnya masyarakat Aceh Barat yang aman, damai, adil, makmur dan sejahtera, yang didukung Manusia yang beriman, bertaqwa, berilmu pengetahuan dan menguasai teknologi dengan menjunjung tinggi Budaya Daerah.

Misi
Untuk mewujudkan visi masyarakat Aceh Barat di masa depan, ditetapkan misi sebagai berikut:

1. Meningkatkan pengamalan Syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat.

2. Mengembangkan kehidupan masyarakat yang aman, rukun dan damai serta beretika dan berbudaya.

3. Meningkatkan Sumber Daya Manusia yang berilmu pengetahuan dan menguasai tehnologi yang tepat guna dan berhasil guna.

4. Menumbuh kembangkan kegiatan usaha yang berbasis ekonomi kerakyatan.

5. Tersedianya sarana dan prasarana dasar ekonomi dan sosial.

6. Terciptanya lapangan kerja dan kesempatan berusaha serta meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan.

7. Melaksanakan pembangunan yang berwawasan lingkungan.
Program Strategis Pembangunan Daerah

Pembangunan Aceh Barat mencakup semua kegiatan pembangunan daerah dan sektoral yang dikelola oleh pemerintah bersama masyarakat.

Titik berat pembangunan diletakan pada bidang ekonomi kerakyatan melalui peningkatan dan perluasan pertanian dalam arti luas sebagai pengerak utama pembangunan yang saling terkait secara terpadu dengan bidang-bidang pembangunan lainnya dalam suatu kebijakan pembangunan. maka ditetapkan prioritas pembangunan sebagai berikut :

1. Meningkatkan pelaksanaan Syariat Islam, peran ulama dan adat istiadat.

2. Peningkatan Sumber Daya Manusia.

3. Pemberdayaan ekonomi masyarakat.

4. Meningkatakan aksesibilitas daerah.

5. Meningkatkan pendapatan daerah.

Sumber : http://acehbarat.tripod.com
Tinggalkan komentar anda tentang Kabupaten Aceh Barat

Arsitektur Masjid Pada Masa Awal Perkembangan Islam


Informasi terbaru Arsitektur Masjid Pada Masa Awal Perkembangan Islam
Bangsa Indonesia sangat kaya dengan peninggalan-peninggalan sejarah dan purbakala yang sekarang disebut benda cagar budaya, diantaranya berupa masjid-masjid kuno. Arsitektur masjid-masjid kuno di Indonesia meskipun sederhana, tetapi memiliki ciri khas lokal yang terlihat pada komponen-komponen bangunannya. Tetapi sebelum membahasnya, sebaiknya kita melihat perkembangan arsitektur masjid secara umum pada masa Nabi Muhammad SAW dan para khalifah pelanjutnya agar mendapatkan gambaran arsitektur masjid pada awal perkembangan agama Islam agama Islam.

1. Masa Nabi Muhammad SAW (610-632 M)
Pada awal da'wah agama Islam di Mekkah, hal pertama yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW adalah menata kembali dan membina kebudayaan dalam wujud akal pikiran (sistem nilai dan gagasan), serta dalam wujud tingkah laku, yaitu memberikan ajaran : keimanan, Akhlak, dan ibadah. Keberadaan Masjidil Haram yang sangat penting artinya bagi umat Islam karena terdapat Ka'bah di tengah-tengahnya, belum dapat digunakan sepenuhnya oleh Nabi dan pengikutnya, sebab digunakan juga sebagai tempat ritual kepercayaan masyarakat setempat. Jadi ajaran yang menyangkut bidang duniawi wujud kebudayaan fisik, seperti tempat ibadah, belum mendapat perhatian khusus.

Saar itu perjuangan Nabi mendapat tantangan yang keras dari kaum kafir Quraisy di Mekkah, maka akhirnya Nabi dan para pengikutnya melakukan hijrah ke Madinah pada tahun 622 M (1 Hijriyah). Sesampainya di Quba, Nabi beristirahat selama empat hari (Senin s.d. Kamis), dan pada hari pertama kedatangannya itu pula ia bersama pengikutnya mendirikan sebuah masjid yang dikenal sebagai Masjid Quba.

Masjid Quba awalnya merupakan pelataran yang kemudian dipagari dengan dinding tembok yang cukup tinggi, pada sisi utaranya yang memanjang timur barat didirikan bangunan untuk ibadah shalat (biasa disebut al-maghata). Pada saat itu bangunannya masih sangat sederhana tiang-tiangnya dari batang pohon kurma dan atapnya dari pelepah daun kurma yang dicampur/pleester dengan tanah liat. Mimbamya terbuat dari potongan batang-batang pohon kurma yang ditidurkan dan ditumpuk tindih menindih. Tanda kiblat yang menjacli tujuan arah pada waktu shalat dibuat oleh Nabi dengan memakai bahan batu yang dimintanya dari penduduk Quba.

Meskipun sangat sederhana, masjid ini bisa dianggap sebagai contoh awal bentuk dari masjid-masjid yang didirikan oleh ummat Islam selanjutnya. Memiliki ruang persegi empat dan berdinding di sekelilingnya, serta di sebelah utaranya terdapat serambi untuk tempat shalat. Di tengah-tengah lapangan terbuka dalam masjid itu (biasa disebut shaan), terdapat sebuah sumur tempat berwudhu. Masjid ini telah mengalami beberapa kali perbaikan. Sekarang, temboknya terbuat dari batu, berkubah , dan memiliki menara. Dihiasi dengan dekorasi-dekorasi yang indah, ditambah, ditambah tiang batu dan kayu yang megah. Meskipun secara ornamental dan bahan yang digunakan mengalami banyak perubahan, tetapi denah awalnya tidak berubah.
Di Madinah ia membangun Masjid Nabawi dengan pola yang sama seperti Masjid Quba, yaitu berbentuk segi empat panjang berpagar tembok tinggi, sebagian berupa halaman dalam (shaan) dan sebagian lagi berbentuk bangunan (liwan). Pola awal ini memang cenderung fungsional sesuai kebutuhan yang diajarkan oleh Nabi, untuk menampung kegiatan ibadah maupun muamalah.

Di sebelah selatan masjid ini terdapat suatu ruangan asrama untuk para musafir dan fakir miskin, serta ruangan tempat Nabi mengajar umatnya. Sedangkan di sebelah timur dibangun rumah sederhana buat isteri-isteri Nabi. Masjid Nabawi yang awalnya berbentuk sederhana ini diperluas dan dibangun kembali oleh Khalifah Khalid al-Walid tahun 706 M.

2. Masa Khulafaur Rasyidin (632 - 661 M)
Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, maka pimpinan umat Islam dijabat oleh khalifah-khalifah yang terdiri dari sahabat-sahabat Nabi, yakni empat orang khalifah yang terkenal dengan sebutan Khulafaur Rasyidin; mereka adalah: Abu Bakar ash-Shidiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan All bin Abu Thalib.

Produk budaya materi berupa sarana ibadah, masjid, pada masa Khulafaur Rasyidin tidaklah banyak. Perjuangan utama mereka dalam hal mengamalkan dan menyebarkan ajaran Islam yang diajarkan Nabi. Masjid-masjid didirikan dalam bentuk yang fungsional, baru pada khalifah ketiga dan keempat mulai diperkaya dan dipercantik. Pola yang dianut masih tetap pola awal, yakni pola empat persegi panjang, berdinding tembok tinggi yang di dalamnya terdapat shaan dan liwan.

Pada masa khalifah Umar telah ada usaha membangun kembali bangunan Masjidil Haram di Mekkah, meskipun masih dalam bentuk yang sederhana dan mengarah ke sifat fungsional. Selain itu, khalifah Umar juga membangun Masjid Kuffah (637 M) yang unik. Masjid ini tidak dibatasi dengan (finding tembok batu/tanah liat yang tinggi, melainkan dibatasi dengan kolam air. Liwan-nya (tempat shalat) bertiang marmer yang konon berasal dari Kerajaan Parsi. Masjid ini kemudian diperbaiki oleh khalifah-khlaifah Bani Muawiyah/Ummaiyah (661-680 M), diantaranya: bangunan tambahan berupa riwaqs (serambi/selasar) di sekeliling shaan, serta dinding pembatas yang berupa kolam diganti dengan tembok keliling (670 M) (Wiryoprawiro 1986).

3. Masa Khalifah Bani Ummaiyah/Muawiyah

Damaskus (661-750 M)
Pada pemerintahan Bani Ummaiyah pada tahun 661-750 M sistem pemerintahan yang demokratis telah banyak ditinggalkan dan berubah menjadi suatu kerajaan Islam meskipun para pemimpirmya masih menggunakan gelar khalifah. Pusat pemerintahan tidak lagi di Kuffah atau Madinah, tetapi dipindahkan ke Damsyik/Damaskus di Syria.

Saat pemerintahan dipimpin oleh Khalifah Khalid al-Walid telah dibangun Masjid Jamik Damsyik yang mempunyai Shaan dan Riwaqs/Liwan. Pengamh Khalifah ini sangat luas, ke barat sampai di Spanyol dan Perancis Selatan; ke timur sampai ke India dan Samarkand.

Melihat kemegahan gedung-gedung Kristen dan Romawi maka tergugahlah semangatnya untuk membangun masjid yang megah maka dibangunnya Masjid Bani Ummaiyah. Sayangnya pada tahun 1483 masjid ini terbakar sebagian, dan kemudian oleh Sultan Malmuk dari Mesir dibangun kembali dan diberi nama Masjid Keit Bey. Pola clan organisasi ruang dari masjid ini amat berpengaruh pada pembangunan masjid bertiang banyak pada zaman kemudian, seperti Masjid Qiruan dekat Tunisia yang terkenal dengan menaranya yang tua.

Saat Khalifah Abdul Malik (685-688 M) berkuasa, dibangun Qubbah al-Sahra (Dome of the Rock) di Yerusalem, tempat Nabi Muhammad dahulu memulai naik ke langit pada saat menjalankan Isra Mi'raj. Bangunan ini merupakan suatu monumen yang bentuknya mirip dengan bentuk Bassilika di Constantinopel, Yerusalem/Palestina.

Secara umum bentuk bangunan masjid masa Khalifah Bani Ummaiyah masih memakai pola Masjid Kufah yang berciri: shaan, riwaqs, liwan yang bertembok keliling dan mempunyai satu kubah di dekat Mihrab. Sistem struktumya juga tetap memakai bentuk relung yang terbuat dari susunan batu cadas (arch/vault construction) yang diplester yang semakin diperkaya dengan ornamen dekoratif bermotif geometris dan atau motif tetumbuhan. Selain itu pada masa ini juga terdapat maksurah yaitu bilik yang berbentuk kotak, berdindingkan pagar atau terali sehingga tembus pandang. Bilik ini diperuntukan Ichusus untuk para pembesar pada waktu shalat. Di dalam satu masjid bisa terdapat satu atau lebih maksurah. Fungsinya untuk menjaga keamanan khalifah dan gubemur-gubemur dari serangan tiba-tiba pihak musuh.

Pola tembok keliling dengan shaan (court) di tengahnya memang amat sesuai dengan arsitektur dan alam lingkungan setempat yang berildim subtropis. Kaidah keindahan (estetika) seperti: irama (rythm), keseimbangan (balance), tekanan (emphazise), proporsi (proportion), skala (scale), dan sebagainya sudah mendapatkan pengolahan yang cukup baik, meskipun sistem struktur pada saat itu didominasi oleh banyaknya kolom/pilar. Kesemuanya itu terlihat jelas pada bangunan Masjid Jamik Damsyik (Damaskus) dan Masjid al-Aqsa di Yerusalem (Wiryoprawiro, 1986).

Spanyol (757-1236 M)
Cordova ibukota Khalifah Ummaiyah di Spanyol merupakan pusat ilmu pengetahuan yang terkenal di seluruh Benua Eropa. Banyak orang Eropa yang menuntut ilmu di negeri Mi. Pada zaman ini dibangunlah perguruan-perguruan tinggi, perpustakaan-perpustakaan, rumah-rumah sakit dan bangunan lain yang megah. Di kota ini didirikan Masjid Jamik Cordoba yang indah. Relung¬relungnya dihias dengan motif geometris disertai pilar-pilar penyangga yang berjumlah ratusan. Memiliki empat kubah dan sebuah menara yang dibangun di halaman masjid (shaan).
Wujud budaya materi sudah maju, hal ini terlihat dari bentuk arsitektur masjidnya. Denah bangunan masjid masih tetap menggunakan pola masjd Jamik Kufah yang menggunakan struktur relung dan pilar (arch construction) dengan atap datar lengkap dengan shaan, riwaqs dan liwan serta kubah dan menara. Ragam hias berkembang dengan sangat kaya, rumit, dan artistik. Motif geometris, tetumbuhan (flora), awan (alam) dan kaligrafi dikembangkan dengan cermat. Sedang¬kan motif figuratif dan fauna tidak dikembangkan sebab kurang sesuai dengan ajaran Islam.

4. Masa Khalifah Bani Abbasiyah (750 -1258 M)
Pada masa ini pusat pemerintahan sudah jauh keluar dari jazirah Arab, yakni di kota Bagdad, Irak. Peradaban Islam sudah sangat maju, tidak hanya dari segi rohaniah tetapi juga dari segi lahiriahnya. Saat pemerintahan dipimpin oleh Abu Ja'far al-Mansyur (khalifah kedua), ilmu pengetahuan mendapat perhatian khusus. Kitab-kitab produk kerajaan Romawi dikumpulkan dan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. ilmu falak dan filsafat mulai digali dan dikembangkan. Usaha ini kemudian dilanjutkan oleh Khalifah Harun al-Rasyid dan Al-Ma'mun. Bahkan pada masa Al-Ma'mun sampai clidirikan Majelis Ilmu Pengetahuan "Bait al-Hikmah", sehingga Bagdad tidak hanya menjadi pusat pemerintahan tetapi sekaligus sebagai pusat ilmu pengetahuan. Dengan demikian telah timbul Renaissance Timur di dalam wilayah kaum muslim yang berpusat di Bagdad sekitar tahun 600 M, sebelum timbul Renaissance di Eropa Barat.

Bidang arsitektur pun maju pesat, selain dari segi ilmunya maupun dari segi wujud bangunannya. Karena saat itu banyak didatangkan ahli-ahli bangunan untuk memperbaiki dan membuat berbagai bangunan. Mereka datang dari: Mesir, Syria, Romawi Timur, Parsi dan bahkan ada yang berasal dari India, sehingga semakin memperkaya khasanah arsitektur di Bagdad, termasuk dalam hal arsitektur bangunan sarana ibadah seperti masjid.

Pola bangunan masjid dapat dikatakan sama dengan masa sebelumnya, hanya bentuk: menara, relung, dan ornamentasinya semakin kaya dan rumit. Saat itu tidak hanya bangunan masjid dan bangunan perumahan yang dikembangkan namun juga tata kota dan tata daerah-nya. Kota ditata dengan pola bundar (konsentris) dan yang menjadi titik tengahnya adalah masjid serta istana khalifah dengan alun-alunnya yang luas. Di luarnya terbentang melingkar daerah pemukiman penduduk dengan jaringan jalan yang melingkar dan memusat (radial) yang berakhir di tembok/benteng kota dengan empat pintu gerbangnya.

5. Masa Dinasti Seljuk Asia Kecil
Penyebaran Islam di daerah ini telah dimulai sejak tahun 704 M setelah tentara Islam dan Bagdad yang dipimpin oleh Quthaibah al-Bahili berhasil menguasi Bukhara. Samarkand, dan Khawarizin. Kerajaan Bani Seljuk di Asia Kecil ini beribukota di Iconium atau yang kini dikenal dengan nama Konia. Sultan Alauddin merupakan Raja Bani Seljuk yang cukup besar jasanya dalam membangun kota ini. Bahkan kemudian terkenal di dunia barat lewat cerita 'Arabian Nights' atau Cerita 1001 Malam, serta cerita 'Aladin dengan Lampu Wasiatnya' (Israr 1958: 27).

Bentuk arsitektur masjid yang dibangun di kota ini awalnya menggunakan pola masjid Dunia Arab, namun kemudian mengalami perubahan-perubahan. Perubahan itu antara lain: semakin menghilangnya halaman dalam yang dikenal sebagai shaan, dan kemudian muncul semacam ventilasi udara di atapnya. Bentuk relung dengan tiang penyangga masih tetap ada, namun kemudian muncul ragam hias unik muyarnash yang selain dekoratifjuga berfungsi struktural. Ragam hias ini biasanya terdapat di kepala tiang, relung, maupun kubah yang bentuknya menyerupai sarang lebah bergantung atau bentuk stalaktit.

Persia
Perkembangan arsitektur masjid di Persia saat berada di bawah kekuasaan Bani Seljuk memang tidak begitu berbeda dengan masa sebelumnya, hanya terjadi pemakaian shaan dan penambahan ruangan-ruangan yang tentunya disesuaikan dengan iklim setempat (sub tropis) dan kebutuhan masyarakat pada saat itu. Di sekelilingnya terdapat riwaqs yang berkembang dengan kamar-kamar tempat kegiatan pendidikan keagamaan (madrasah). Di keempat sisi shaan-nya dibuat `kubah separuh' yang dihiasi dengan motif miiqarnas. Bangunan masjidnya ditutup dengan kubah-kubah yang besar berbentuk bawang terpancung. Menaranya dibuat berpasangan dengan bentuk silinder yang mencuat ke angkasa. Sedangkan bentuk relungnya mirip dengan lunas kapal yang terbalik, yang kemudian dikenal dengan nama Lengkung Persia (Persian arch ).

Masjid Syah merupakan salah satu masjid yang dapat dijadikan contoh untuk mewakili bentuk masjid di Persia. Masjid ini dibangun pada tahun 1610 M di Isfahan dan terletak di ujung kompleks Istana Syah. Bangunannya dilengkapi dengan ruang-ruang madrasah. Selain bangunan masjid, istana, dan madrasah , dibangun juga turbah (makam) yang indah-indah, seperti Turbah Sheik Sayifus di Ardabil. Kompleks bangunan seperti ini di kemudian hari rnernpengaruhi bangsa¬loangsa lam, seperti yang dilakukan oleh Syah Jehan yang membangun Turbah Taj Mahal di India.

6. Masa Dinasti Utsmaniah di Turki
Setelah dinasti Seljuk di Asia Kecil melemah dan akhimya dikalahkan oleh keturunan Ertoghrul pada tahun 1290 M, maka selanjutnya berkuasalah Sultan Utsman (1290-1326 M) di negeri ini. Kekuasaan Bani Utsmaniah ini berlangsung sampai berabad-abad, sehingga kemudian terkenal sebagai dinasti Utsmaniah di Turki (orang Barat menyebutnya Ottaman). Dinasti ini banyak membangun masjid, madrasah, dan perguruan tinggi. Bentuk arsitelcturnya masih melanjutkan arsitektur yang dibangun Bani Seljuk yang berkuasa sebelumnya. Atap berkubah mulai dominan sehingga atap yang dulunya berbentuk datar itu cenderung bertutupkan kubah.

Pada tahun 1453 M kota Konstantinopel (ibukota imperium Romawi Timur) yang dulunya be mama Byzantium dapat direbut dan dikuasai, kemudian diganti namanya menjadi Istambul. Arsitektur Byzantium yang megah banyak mempengaruhi perkembangn arsitektur Bani Utsmaniah. Seperti Gereja Aya Sofia merupakan bangunan di tengah kota Istambul yang banyak dikagumi oleh umat Islam. Bangunan ini memiliki kubah lebar (diametemya 30 m) dan tinggi (54 m), dan menjadi inspirasi bagi Bani Utsmaniah dalam membangun masjid-masjid. Selanjutnya fungsi Aya Sofia yang sebelumnya gereja diubah menjadi masjid. Ornamen-ornamen atau lukisan yang tidak sesuai dihilangkan dan diganti dengan yang bemafaskan Islam. Di keempat penjurunya kemudian dibangun empat buah menara yang langsing menjulang tinggi.

Pada kurun Istambul ini banyak didirikan masjid yang megah. Ruang liwan yang dilindungi oleh kubah-kubah besar menjadi Ionggar apalagi kemudian kubah itu disangga oleh pilar yang caul) langsing (bukan sistem tembok pemikul lagi) menjadikan ruang ini terasa menyatukan jamaahnya dan juga jelas orientasi kiblatnya. Masjid-masjid tersebut diantaranya adalah Masjid Sultan Sulaiman (1555 M) dan Masjid Sultan Ahmad di Istambul.

Dari uraian sebelumnya secara umum dapatlah disimpulkan bahwa bangunan-bangunan masjid sejak masa Nabi Muhammad sampai dengan Dinasti Utsmaniah memiliki pola dasar yang dapat dikatakan sama, yaitu: bertembok keliling, memiliki halaman dalam (shaan), memiliki ruang masjid (liwan), memiliki serambi keliling (riwaqs), memiliki atap datar yang disangga oleh relung dan pilar, memiliki kubah, memiliki ceruk di tembok (mihrab), dan memiliki satu atau lebih menara. Disamping itu, terdapat komponen lainnya yang bentuknya mengikuti perkembangan jaman, jadi mengalami perbaikan-perbaikan, baik dari segi: omamentasi, bahan, maupun keletakannya. Sebagian diantaranya adalah mimbar dan ruangan-ruangan tambahan (madrasah, ruang buat petugas masjid, mck, perpustakaan, dan lain-lain).

B. Arsitektur Masjid Kuno di Indonesia
Arsitektur masjid-masjid kuno di Indonesia bila dibandingkan dengan arsitektur masjid-masjid kuno di dunia Islam lainnya, sangatlah sederhana. Sehingga keberadaannya kurang mendapat perhatian dalam literatur-literatur umumnya yang memaparkan arsitektural Islam di seluruh dunia. Padahal kemegahan arsitekural masa sebelumnya (sebelum Islam masuk ke Indonesia) sangatlah menonjol, hal ini dapat kita saksikan pada karya-karya bangunan suci seperti Candi Borobudur atau Candi Prambanan. Fenomena ini tentunya sangatlah menarik untuk dikaji, sebab ada suatu asumsi bahwa arsitektur masjid suatu tempat/wilayah seringkali dipengaruhi oleh kondisi setempat, atau dengan kata lain dipengaruhi oleh arsitektural yang berkembang di tempat itu, sebelum Islam masuk.

Menurut Wiyoso Vudoseputro (1986: 13) hal tersebut dikarenakan gairah mencipta karya seni tidak begitu raja muncul, artinya perlu ada rangsangan. Rupa-rupanya kondisi kebudayaan kurang menguntungkan pada waktu itu untuk mendirikan bangunan-bangunan yang serba megah dan serba besar dengan nilai-nilai monumental. Konsolidasi kekuasaan dan peperangan yang terus¬menerus antar-kekuasaan dan melawan kekuasaan asing dapat mengurangi gairah mencipta. Keadaan tersebut menjadikan arsitektur kuno Islam di Indonesia seakan-akan kembali kepada tradisi bangunan kayu.

Pendapat di atas sebelumnya pernah disampaikan oleh Sutjipto Wirjosuparto (1961-1962: 65-67). la mengatakan bahwa tradisi bangunan kayu merupakan tradisi yang berasal dari masa prasejarah, masa sebelum masyarakat Indonesia menerima pengaruh Hindu-Budha yang kemudian mengenalkan konstruksi batu dalam bidang seni bangunan.

Berdasarkan bentuknya, W.F. Stutterheim berpendapat bahwa ruang-ruang yang kecil atau sempit pada candi tidak mungkin dapat dijadikan model sebuah masjid yang memerlukan ruang besar guna keperluan shalat berjamaah. Oleh karena itu, is berpendapat bahwa bangunan gelanggang menyabung ayam (wantilan) sebagai model masjid. Bangunan ini ialah bangunan khas dari masa pm-Islam yang kini masih ditemukan di Bali. Denahnya persegi empat, mempunyai atap dan sisi¬sisinya tidak berdinding. Apabila sisi-sisinya ditutup dan pada sisi barat diberi bagian mihrab, maka jadilah is memenuhi syarat sebagai bangunan masjid (Stutterheim 1953: 153-140).

H.J. de Graaf menyanggah pendapat di atas, menurutnya tidaklah mungkin orang-orang Islam di Indonesia memilih bangunan tempat menyambung ayam sebagai model masjid. Selain itu wantilan atapnya tidak bertingkat seperti atap masjid kuno, hanya ditemukan di Jawa dan Bali, serta tidak memiliki serambi. la mengajukan pendapat bahwa model masjid-masjid kuno di Indonesia berasal dari wilayah Gujarat, Kashmir, dar Vishir (116). Bukti yang memperkuat pendapatnya adalah hasil telaahrrya atas urataa data Nog clitsmat dell Jan Huygens van Linschoten (seorang Belanda yang mengunjungi lira pada abed X1) tentang masjid di Malabar yang mempunyai denah segi empat sena beratap an** Sahh satu dari tingkat tersebut digunakan untuk belajar asama. Hal demikian ditemukan jugs olleh Graaf pada Masjid Taluk, Sumatera Barat (Graaf 1947/1848: 298). Berdasarkan data banding inilah is kemudian menggeneralisasilcamlya untuk seluruh masjid tradisional di Indonesia hingga menghasilkan teori seperti di atas.

Teori Graaf disanggah oleh Sutjipto Wirjosuparto yang rnengatalcan bahwa hasil perbandingannya tidak tepat. Menurutnya kendati sama-sama memiliki atap bertingkat, namun terdapat perbedaan prinsipil antara masjid di Malabar dan Masjid Taluk tersebut. Masjid di Malabar mempunyai denah empat persegi panjang, sedangkan masjid di Taluk berdenah bujur sangkar. Sementara itu masjid di Malabar tidak memiliki tempat wudhu yang berbentuk pant, sebaliknya hal itu ditemukan di Taluk.

Selanjutnya Sutjipto mengemukakan gagasan bahwa model masjid kuno di Indonesia berasal dari bangunan tradisional Jawa yang bernama pendopo (Dendapa). Istilah pendopo berasal dari kata mandapa dalam bahasa Sangsekerta yang mengacu pada suatu bagian dari kuil Hindu di India yang berbentuk persegi dan dibangtm langsung di atas tanah. Di Indonesia, arsitektur mandapa tersebut dimodifikasi menjadi sebuah ruang besar dan terbuka yang sering digunakan untuk menerima tamu yang kemudian dinamakan pendopo. Denah pendopo yang bujur sangkar itulah yang menjadi alasan bagi Sutjipto untuk menduganya sebagai model masjid-masjid tua di Indonesia.

Mengenai atap yang bertingkat, rupanya dapat diwakili oleh bangunan Jawa lainnya, yang disebut rumah joglo. Tipe atap rumah joglo ini menjadi benih Bari atap tumpang pada masjid. Alasan estetika kemudian menjadikan bentuk atap rumah joglo pada masjid memakai bentuk tingkat untuk mengimbangi ukuran ruangnya yang besar (Wirjosuparto 1961/1962; 1986).

Menyinggung tentang persamaan-persamaan yang ada pada masjid di. Malabar dan di Taluk, Sutjipto menjelaskan bahwa memang telah terjadi `pertumbuhan yang sejajar' diantara keduanya (India dan Indonesia) pada waktu itu. Ini disebabkan di kedua tempat itu bangunan mandapa telah sama-sama dimodifikasi menjadi bagian Bari suatu rumah untuk kemudian dijadikan dasar bangunan masjid. Jadi sekali lagi persamaan-persamaan itu tidaklah berarti masjid di Taluk mencontoh masjid di Malabar.

Sedangkan menurut C.F. Pijper (1992: 24), Indonesia memiliki arsitektur masjid kuno yang khas yang membedakannya dengan bentuk-bentuk masjid di negara lain. Tipe masjid Indonesia berasal dari Pulau Jawa, sehingga orang dapat menyebut masjid tipe Jawa. Ciri khas masjid tipe Jawa ialah:

1. Fondasi bangunan yang berbentuk persegi dan pejal (massive) yang agak tinggi;
2. Masjid tidak berdiri di atas tiang, seperti rumah di Indonesia model kuno dan langgar, tetapi di atas dasar yang padat;
3. Masjid itu mempunyai atap yang meruncing ke atas, terdiri dari dua sampai lima tingkat, ke atas makin kecil;
4. Masjid mempunyai tambahan ruangan di sebelah barat atau barat laut, yang dipakai untuk mihrab;
5. Masjid mempunyai serambi di depan maupun di kedua sisinya;
6. Halaman di sekeliling masjid dibatasi oleh tembok dengan satu pintu masuk di depan, disebut gapura.
7. Denahnya berbentuk segi empat;
8. Dibangun di sebelah barat alun-alun;
9. Arah mihrab tidak tepat ke kiblat;
10.Dibangun dari bahan yang mudah rusak;
11. Terdapat pant, di sekelilingnya atau di depan masjid;
12. Dahulu dibangun tanpa serambi (intinya saja).

Ciri-ciri khas ini menunjukkan bahwa masjid tipe Jawa bukan merupakan bangunan asing yang dibawa ke negeri ini oleh mubaligh muslim dari luar, tetapi bentuk asli yang disesuaikan dengan kebutuhan peribadatan secara Islam. Fondasi yang berbentuk persegi itu dikenal juga dalam bangunan Hindu-Jawa, yaitu: candi yang masih terdapat di Pulau Jawa. Kemudian, candi dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu fondasi, candi itu sendiri, dan atap. Tidak sulit untuk melihat bahwa dasar fondasi masjid yang padat itu merupakan sisa bentuk fondasi candi. Fondasi ini selalu ada pada setiap masjid.

Bangunan lain yang digunakan untuk ibadah Islam, yaitu langgar, tajug, dan bale biasanya dibangun di atas tiang, masih terus mengikuti pola bangunan Indonesia kuno. Hal ini juga terdapat di daerah Pulau Jawa dengan rumah-rumahnya yang tidak lagi dibangun di atas tiang. Atap masjid terdiri dari beberapa tingkat yang meruncing dan di puncaknya terdapat hiasan. Bentuk atap ini terdapat pada banyak bangunan yang tidak mempunyai hubungan dengan Islam. Kita hams mengembalikannya kepada meru di Bali, menara persegi yang meruncing ke atas dan mempunyai atap yang berjumlah lima sampai sepuluh atau lebih (Bali = tumpang).

Mungkin atap yang tinggi itu dahulu terdapat di Jawa, tetapi karena atap seperti itu dibuat dari bahan yang mudah rusak seperti yang terdapat di Bali, maka atap itu mudah musnah dan dilupakan. Mungkin atap masjid yang bersusun di Pulau Jawa itu merupakan sisa meru. Kita dapat menyaksikannya pada masjid kuno di Banten, yang berasal dari zaman Kesultanan Banten, dan bentuknya yang sekarang ini mungkin berasal dari zaman abad 16. Atap masjid ini terdiri dari lima tingkat, tiga tingkat yang teratas sama kecilnya. Francois Valentijn yang mengunjungi Banten pada tahun 1694, mengatakan: voorzien van viff verdiepingen of daken (mempunyai atap lima tingkat) (Pijper 1992: 25).

Selain atap, salah satu ciri khas masjid kuno di Jawa adalah tembok yang mengelilinginya. Hanya di kota-kota yang jarang terdapat tempat luas, aturan ini diabaikan. Tetapi pada masjid tipe Jawa yang murni, tempat ini mesti ada; yang memisahkan daerah suci dengan daerah kotor. Di depan ada pintu gerbang, bentuknya bermacam-macam. Kita dapat menemukan sebuah bentuk yang disebut `tembok bentar', tidak beratap tetapi juga ada pintu gerbang yang beratap (Jawa=gapura; Sansekerta=gopura), yang kemudian kerapkali berkembang menjadi bentuk pintu gerbang yang tinggi

Tembok yang mengelilingi itu bukan ciri khas muslim, tetapi merupakan salah satu sisa bangunan candi desa di Bali, yaitu pura desa. Kerapkali pura desa di Bali terdiri dari tiga halaman, tiap-tiap halaman dikelilingi oleh tembok. Bahwa pembagian daerah suci ini menjadi beberapa halaman bertembok, hal ini masih terlihat baik dalam bangunan makam-makam tua di Jawa yang terletak di dekat ma§jid. Contohnya makam suci Sunan Ampel (Ampel Rahmat) di Surabaya. Makam yang sebenamya, terletak di halaman terakhir, yang terdekat dengan masjid. Bagan makam suci Tembayat atau Bayat di Klaten seperti: pertama masjid, kemudian beberapa halaman yang satu di belakang yang lain, lalu bangunan makam. Makam keramat lainnya yang diletakkan dalam satu halaman bertembok dengan masjidnya adalah makam Sunan Gin di Gresik. Demikian pula makam Sunan Pejagung di Tuban Selatan dan makam Ratu Kalinyamat di Mantingan, Jepara. Makam¬makam yang lebih kecil kerapkali terdiri dari dua halaman: awalnya masjid dikelilingi tembok, dan di belakangnya, melalui pintu gerbang dekat masjid adalah makam suci, juga dalam ruangan bertembok, seperti terdapat di Jatianom, Surakarta.

Serambi yang sekarang dibangun pada tiap-tiap masjid, merupakan tambahan path bangunan pokok. Ini terbukti, karena adanya atap tersendiri yang tidak mempunyai hubungan dengan masjid. Juga yang merupakan jalan masuk ke dalam. Suatu yang penting ialah bahwa pemerian lama tidak pemah menyebut adanya serambi. Kemudian hams dicatat bahwa masjid-masjid yang dibangun oleh bangsa Arab atau yang mendapat pengaruh Arab, semuanya tanpa serambi. Juga tidak ada serambi pada kebanyakan masjid di Jakarta. Di kota ini pengaruh bangsa Arab dalam soal keagamaan sangat besar. Juga di kota-kota lain tempat bangsa Arab mendirikan masjid sendiri dengan gaya mereka sendiri, tidak ditemukan serambi. Tetapi alasan yang penting lainnya ialah bahwa serambi itu sampai sekarang dipakai untuk keperluan lain dibandingkan dengan bagian dalam masjid tidak ada serambi pada kebanyakan masjid. Mengingat hal ini semua ada kemungkinan bahwa serambi itu sekarang menjadi bagian masjid, meskipun asalnya merupakan tambahan, dan kemudian dibangun pada masjid ash yang berbentuk persegi.

Hal lain yang diduga asing pada tipe masjid ash (Imo) adalah tambahan berbentuk persegi kecil di sisi barat atau barat laut; dalam bahasa Arab disebut mihrab . Dilihat dari dalam masjid, mihrab merupakan sebuah rongga. Seperti yang kita ketahui, mihrab ini terdapat di negara Islam lainnya. Kegunaannya untuk menunjukkan arah kiblat bagi orang yang salat, dan dipakai untuk imam. Di beberapa masjid di Jawa terdapat dua rongga yang berdekatan, yang satu untuk mihrab (dalam bahasa Jawa disebut pangimaman, bahasa Sunda: paimaman, artinya tempat imam), sedangkan rongga yang lain berisi mimbar (dalam bahasa Jawa disebut pangimbaran, bahasa Sunda: paimbaran, artinya tempat mimbar). Juga terdapat masjid yang mempunyai rongga tiga buah yang berdekatan.

Sampai sekarang, banyak menara dibangun di Jawa, dan jumlahnya bertambah terus. Pembangunan menara .menunjuldcan bahwa keinginan untuk menghias tampak lebih besar daripada keinginan untuk memenuhi persyaratan keagamaan. Berdasarkan pandangan yang terakhir ini, meskipun masjid-masjid itu mempunyai menara, orang mengikuti kebiasaan lama untuk mengumandangkan serum shalat (azan) dari gapura masjid atau dari salah satu atap masjid. Menara ini hanya dipakai untuk dua atau satu kali azan dari lima kali shalat. Pada hari Jumat (shalat Jum'at), maka terbukti hanya menara yang dipakai untuk azan. Di beberapa tempat ada kebiasaan untuk menyerukan azan di menara pada setiap waktu shalat, terutama pada bulan Ramadhan.

Menara masjid yang dianggap tertua di Pulau Jawa, yaitu menara Kudus. Bangunannya berbentuk asli Hindu-Jawa dan telah diteliti oleh Brumund dan Krom. Krom memperkirakan menara ini berasal dari permulaan abad 16, tetapi apakah menara itu memang asli menara?. Pertama, karena agak aneh bahwa bangunan yang bagus ini setelah dijadikan tempat untuk menara pada abad 16 M, tidak pernah ada yang meniru; semua menara tua dibangun dengan gaya asing, dan tidak dalam bentuk nasional yaitu bentuk Hindu-Jawa. Kedua, dapat dilihat bahwa menara Kudus mempunyai beduk yang besar yang dipukul beberapa kali. Menurut adat di Jawa, bedug dipukul untuk mengumumkan waktu salat sebelum azan dikumandangkan. Beduk itu merupakan hasil kebudayaan Indonesia kuno, dan kebiasaan memukul beduk pada mulanya tidak ada hubungannya dengan agama Islam. Di tempat lain, beduk itu tidak diletakkan di menara; pada umumnya diletakkan di serambi. Kadang-kadang beduk diletakkan di masjid bagian dalam atau di dalam bangunan kecil di halaman masjid. Di Jawa Timur, beduk kerapkali diletakkan di bagian atas gapura. Gapura ini memisahkan halaman masjid dengan jalan.

Gapura itu merupakan sebuah bangunan pintu berbentuk persegi, dengan sebuah ruangan di atasnya. Atapnya bertumpu pada empat tiang sehingga ruangan atas ini terbuka pada semua sisi. Gapura yang istimewa ini bukan merupakan sebuah menara, yang mungkin berdasarkan kenyataan bahwa di halaman masjid yang sama itu kadang-kadang terdapat juga sebuah menara. Bentuk gapura ini mengingatkan kita kepada menara kulkul yang terdapat di Bali atau dekat pura desa yang kadang¬kadang terletak di atas tembok candi. Menara Kudus menurut Pijper bukan merupakan sebuah menara, tetapi sebuah bangunan Hindu yang disesuaikan dengan bentuk dan tujuan sekarang.

Kemungkinan besar menara tertua di Pulau Jawa berada di Banten. sebuah menara putih tidak ramping bersegi-segi berclin di muka masjid Kesultanan Banten Bangunan yang besar ini dilihat dari jauh mengingatkan kita pada sebuah bangunan menara soar Belanda. Menurut cerita, menara masjid tersebut dibangun oleh seorang arsitek Belanda yang bernarna Lucas Cardeel. Bentuk bangunan yang masih ada adalah tiamah (terletak di sebelah selatan masjid) juga merupakan hasil serambi pada kebanyakan masjid di Jakarta. Di kota ini pengaruh bangsa Arab dalam soal keagamaan sangat besar. Juga di kota-kota lain tempat bangsa Arab mendirikan masjid sendiri dengan gaya mereka sendiri, tidak ditemukan serambi. Tetapi alasan yang penting lainnya ialah bahwa serambi itu sampai sekarang dipakai untuk keperluan lain dibandingkan dengan bagian dalam masjid tidak ada serambi pada kebanyakan masjid. Mengingat hal ini semua ada kemungkinan bahwa serambi itu sekarang menjadi bagian masjid, meskipun asalnya merupakan tambahan, dan kemudian dibangun pada masjid ash yang berbentuk persegi.

Hal lain yang diduga asing pada tipe masjid ash (Imo) adalah tambahan berbentuk persegi kecil di sisi barat atau barat laut; dalam bahasa Arab disebut mihrab . Dilihat dari dalam masjid, mihrab merupakan sebuah rongga. Seperti yang kita ketahui, mihrab ini terdapat di negara Islam lainnya. Kegunaannya untuk menunjukkan arah kiblat bagi orang yang salat, dan dipakai untuk imam. Di beberapa masjid di Jawa terdapat dua rongga yang berdekatan, yang satu untuk mihrab (dalam bahasa Jawa disebut pangimaman, bahasa Sunda: paimaman, artinya tempat imam), sedangkan rongga yang lain berisi mimbar (dalam bahasa Jawa disebut pangimbaran, bahasa Sunda: paimbaran, artinya tempat mimbar). Juga terdapat masjid yang mempunyai rongga tiga buah yang berdekatan.

Sampai sekarang, banyak menara dibangun di Jawa, dan jumlahnya bertambah terus. Pembangunan menara .menunjuldcan bahwa keinginan untuk menghias tampak lebih besar daripada keinginan untuk memenuhi persyaratan keagamaan. Berdasarkan pandangan yang terakhir ini, meskipun masjid-masjid itu mempunyai menara, orang mengikuti kebiasaan lama untuk mengumandangkan serum shalat (azan) dari gapura masjid atau dari salah satu atap masjid. Menara ini hanya dipakai untuk dua atau satu kali azan dari lima kali shalat. Pada hari Jumat (shalat Jum'at), maka terbukti hanya menara yang dipakai untuk azan. Di beberapa tempat ada kebiasaan untuk menyerukan azan di menara pada setiap waktu shalat, terutama pada bulan Ramadhan.

Menara masjid yang dianggap tertua di Pulau Jawa, yaitu menara Kudus. Bangunannya berbentuk asli Hindu-Jawa dan telah diteliti oleh Brumund dan Krom. Krom memperkirakan menara ini berasal dari permulaan abad 16, tetapi apakah menara itu memang asli menara?. Pertama, karena agak aneh bahwa bangunan yang bagus ini setelah dijadikan tempat untuk menara pada abad 16 M, tidak pernah ada yang meniru; semua menara tua dibangun dengan gaya asing, dan tidak dalam bentuk nasional yaitu bentuk Hindu-Jawa. Kedua, dapat dilihat bahwa menara Kudus mempunyai beduk yang besar yang dipukul beberapa kali. Menurut adat di Jawa, bedug dipukul untuk mengumumkan waktu salat sebelum azan dikumandangkan. Beduk itu merupakan hasil kebudayaan Indonesia kuno, dan kebiasaan memukul beduk pada mulanya tidak ada hubungannya dengan agama Islam. Di tempat lain, beduk itu tidak diletakkan di menara; pada umumnya diletakkan di serambi. Kadang-kadang beduk diletakkan di masjid bagian dalam atau di dalam bangunan kecil di halaman masjid. Di Jawa Timur, beduk kerapkali diletakkan di bagian atas gapura. Gapura ini memisahkan halaman masjid dengan jalan.

Gapura itu merupakan sebuah bangunan pintu berbentuk persegi, dengan sebuah ruangan di atasnya. Atapnya bertumpu pada empat tiang sehingga ruangan atas ini terbuka pada semua sisi. Gapura yang istimewa ini bukan merupakan sebuah menara, yang mungkin berdasarkan kenyataan bahwa di halaman masjid yang sama itu kadang-kadang terdapat juga sebuah menara. Bentuk gapura ini mengingatkan kita kepada menara kulkul yang terdapat di Bali atau dekat pura desa yang kadang¬kadang terletak di atas tembok candi. Menara Kudus menurut Pijper bukan merupakan sebuah menara, tetapi sebuah bangunan Hindu yang disesuaikan dengan bentuk dan tujuan sekarang.

Kemungkinan besar menara tertua di Pulau Jawa berada di Banten. sebuah menara putih tidak ramping bersegi-segi berclin di muka masjid Kesultanan Banten Bangunan yang besar ini dilihat dari jauh mengingatkan kita pada sebuah bangunan menara soar Belanda. Menurut cerita, menara masjid tersebut dibangun oleh seorang arsitek Belanda yang bernarna Lucas Cardeel. Bentuk bangunan yang masih ada adalah tiamah (terletak di sebelah selatan masjid) juga merupakan hasil sambung-menyambung dari bawah sampai ke atas. Begitu juga Masjid Asasi Nagari Gunung, Padangpanjang yang beratapkan ijuk yang meruncing, bersusun tiga tingkat dengan teratur.

Masjid Pontianak. Masjid ini merupakan salah satu masjid kuno di Kalimantan Barat yang menggunakan konstruksi kayu, berdiri di atas tiang, dan terletak di pinggir sungai. Secara umum, di Kalimantan Barat dan Selatan banyak didapati masjid-masjid yang dibangun di pinggir sungai, karena sungai merupakan salah satu sarana transportasi yang pertting. Model atapnya bertingkat¬tingkat dengan lapisan atasnya dibentuk menyerupai kubah yang unik, sehingga mirip bangunan sebuah lonceng. Kubah ini dikelilingi oleh empat buah kubah kecil yang lain pada tiap-tiap sudut masjid. Kubah-kubah kecil itu sepintas lalu menyerupai menara tempat azan.

Karena air. sungai sering pasang-surut, maka jalan dari tepi sungai ke masjid cukup sukar. Maka dibuat jembatan yang panjang dari pinggir sungai sampai ke pintu masjid itu, dan di ujung jembatannya disediakan sebuah pangkalan yang diberi atap, tempat orang turun naik ke dalam perahu.

Di Sulawesi, Masjid Tua Bungku merupakan salah satu masjid kuno yang banyak dikunjungi masyarakat. Atapnya tumpang lima dengan kombinasi bentuk kubah pada bagian puncaknya. Di antara tiap-tiap tingkatan atap terdapat jendela kaca.

Sumber :
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1999, Masjid Kuno Indonesia, Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Foto : http://wayofmuslim.files.wordpress.com
Tinggalkan komentar anda tentang Arsitektur Masjid Pada Masa Awal Perkembangan Islam

Watak Budaya Sunda


Informasi terbaru Watak Budaya Sunda
Sunda berasal dari kata Su = Bagus/ Baik, segala sesuatu yang mengandung unsur kebaikan, orang Sunda diyakini memiliki etos/ watak/ karakter Kasundaan sebagai jalan menuju keutamaan hidup. Watak / karakter Sunda yang dimaksud adalah cageur (sehat), bageur (baik), bener (benar), singer (mawas diri), dan pinter (pandai/ cerdas) yang sudah dijalankan sejak jaman Salaka Nagara sampai ke Pakuan Pajajaran, telah membawa kemakmuran dan kesejahteraan lebih dari 1000 tahun.

Sunda merupakan kebudayaan masyarakat yang tinggal di wilayah barat pulau Jawa namun dengan berjalannya waktu telah tersebar ke berbagai penjuru dunia. Sebagai suatu suku, bangsa Sunda merupakan cikal bakal berdirinya peradaban di Nusantara, di mulai dengan berdirinya kerajaan tertua di Indonesia, yakni Kerajaan Salakanagara dan Tarumanegara. Sejak dari awal hingga kini, budaya Sunda terbentuk sebagai satu budaya luhur di Indonesia. Namun, modernisasi dan masuknya budaya barat lambat laun mengikis keluhuran budaya Sunda, yang membentuk etos dan watak manusia Sunda.

Makna kata Sunda sangat luhur, yakni cahaya, cemerlang, putih, atau bersih. Makna kata Sunda itu tidak hanya ditampilkan dalam penampilan, tapi juga didalami dalam hati. Karena itu, orang Sunda yang 'nyunda' perlu memiliki hati yang luhur pula. Itulah yang perlu dipahami bila mencintai, sekaligus bangga terhadap budaya Sunda yang dimilikinya.

Setiap bangsa memiliki etos, kultur, dan budaya yang berbeda. Namun tidaklah heran jika ada bangsa yang berhasrat menanamkan etos budayanya kepada bangsa lain. Karena beranggapan, bahwa etos dan kultur budaya memiliki kelebihan. Kecenderungan ini terlihat pada etos dan kultur budaya bangsa kita, karena dalam beberapa dekade telah terimbas oleh budaya bangsa lain. Arus modernisasi menggempur budaya nasional yang menjadi jati diri bangsa. Budaya nasional kini terlihat sangat kuno, bahkan ada generasi muda yang malu mempelajarinya. Kemampuan menguasai kesenian tradisional dianggap tak bermanfaat. Rasa bangsa kian terkikis, karena budaya bangsa lain lebih terlihat menyilaukan. Kondisi memprihatinkan ini juga terjadi pada budaya Sunda, sehingga orang Sunda kehilangan jati dirinya.

Untuk menghadapi keterpurukan kebudayaan Sunda, ada baiknya kita melangkah ke belakang dulu. Mempelajari, dan mengumpulkan pasir mutiara yang berserakan selama ini. Banyak petuah bijak dan khazanah ucapan nenek moyang jadi berkarat, akibat tidak pernah tersentuh pemiliknya. Hal ini disebabkan keengganan untuk mempelajari dengan seksama, bahkan mereka beranggapan ketinggalan zaman. Bila dipelajari, sebenarnya pancaran etika moral Sunda memiliki khazanah hikmah yang luar biasa. Hal itu terproyeksikan lewat tradisinya. Karena itu, marilah kita kenali kembali, dan menguak beberapa butir peninggalan nenek moyang Sunda yang hampir.

Ada beberapa etos atau watak dalam budaya Sunda tentang satu jalan menuju keutamaan hidup. Selain itu, etos dan watak Sunda juga dapat menjadi bekal keselamatan dalam mengarungi kehidupan di dunia ini. Etos dan watak Sunda itu ada lima, yakni cageur, bageur, bener, singer, dan pinter yang sudah lahir sekitar jaman Salakanagara dan Tarumanagara. Ada bentuk lain ucapan sesepuh Sunda yang lahir pada abad tersebut. Lima kata itu diyakini mampu menghadapi keterpurukan akibat penjajahan pada zaman itu. Coba kita resapi pelita kehidupan lewat lima kata itu. Semua ini sebagai dasar utama urang Sunda yang hidupnya harus 'nyunda', termasuk para pemimpin bangsa.

Cara meresapinya dengan memahami artinya. Cageur, yakni harus sehat jasmani dan rohani, sehat berpikir, sehat berpendapat, sehat lahir dan batin, sehat moral, sehat berbuat dan bertindak, sehat berprasangka atau menjauhkan sifat suudzonisme. Bageur yaitu baik hati, sayang kepada sesama, banyak memberi pendapat dan kaidah moril terpuji ataupun materi, tidak pelit, tidak emosional, baik hati, penolong dan ikhlas menjalankan serta mengamalkan, bukan hanya dibaca atau diucapkan saja. Bener yaitu tidak bohong, tidak asal-asalan dalam mengerjakan tugas pekerjaan, amanah, lurus menjalankan agama, benar dalam memimpin, berdagang, tidak memalsu atau mengurangi timbangan, dan tidak merusak alam. Singer, yaitu penuh mawas diri bukan was-was, mengerti pada setiap tugas, mendahulukan orang lain sebelum pribadi, pandai menghargai pendapat yang lain, penuh kasih sayang, tidak cepat marah jika dikritik tetapi diresapi makna esensinya. Pinter, yaitu pandai ilmu dunia dan akhirat, mengerti ilmu agama sampai ke dasarnya, luas jangkauan ilmu dunia dan akhirat walau berbeda keyakinan, pandai menyesuaikan diri dengan sesama, pandai mengemukakan dan membereskan masalah pelik dengan bijaksana, dan tidak merasa pintar sendiri sambil menyudutkan orang lain.

Sumber: Bapak Eman Sulaeman, Yayasan Hanjuang Bodas, Bogor.
http://www.kasundaan.org
Tinggalkan komentar anda tentang Watak Budaya Sunda

Pemanfaatan Tradisi Lisan Di Dalam Pertunjukan Teater Indonesia


Informasi terbaru Pemanfaatan Tradisi Lisan Di Dalam Pertunjukan Teater Indonesia
Oleh : Dra. Yudiaryani, M. A.

Identitas Tradisi Lisan dalam Pertunjukan Teater
Jan Vansina memberi batasan tradisi lisan (oral tradition) sebagai oral testimony transmitted verbally, from one generation to the next one or more. Dalam tradisi lisan tidak termasuk kesaksian mata yang merupakan data lisan. Juga di sini tidak termasuk rerasan masyarakat atau gosip yang meskipun lisan tetapi tidak ditularkan dari satu generasi ke generasi yang lain. Tradisi lisan dengan demikian terbatas di dalam kebudayaan lisan dari masyarakat yang belum mengenal tulisan. Sama seperti dokumen dalam masyarakat yang sudah mengenal tulisan, tradisi lisan merupakan sumber sejarah yang merekam masa lampau.1

Namun kesejarahan tradisi lisan barulah sebagian dari isi tradisi lisan itu sendiri, karena banyaknya peristiwa keseharian, nilai-nilai moral, keagamaan, adat-istiadat, cerita-cerita khayali, peribahasa, nyanyian, dan mantra yang terkandung dalam tradisi lisan. Dengan demikian, luas dan beragamnya muatan dalam tradisi lisan menjadikannya sumber penulisan bagi antropolog, sejarawan, penulis naskah drama, dan pekerja seni lainnya.

Di dalam penulisan naskah drama dan pertunjukan teater modern, tradisi lisan sudah memberi kontribusi yang cukup banyak. Kisah Mahabharata banyak menjadi ide penulisan naskah drama dan pertunjukan teater, di antaranya Karno Tanding, yang merupakan kerja kolaborasi antara seniman Indonesia dan Jepang di tahun 1998. Peter Brook memproduksi Mahabharata di tahun 1987 menampilkan kembali kodifikasi dramatik tradisi dengan cara tampilan yang modern. Kemudian Ku Na'uka Theater Company dari Jepang mengusung cerita-cerita dalam Mahabarata melalui kisah Prabu Nala dan Damayanti yang ditampilkan di Yogyakarta tahun 2005. Pertunjukan teater La Galigo juga berdasarkan cerita lisan tentang La Galigo dari budaya Bugis Kuno, yang dipentaskan di beberapa negara tahun 2003.

Di mancanegara pun cerita lisan memegang peranan penting bagi terciptanya sebuah naskah drama dan pertunjukan teater. Di Negara Yunani, kisah Oidipus merupakan cerita lisan yang disebarkan dari satu generasi ke generasi berikutnya, tanpa diketahui siapa pengarangnya. Sophocles kemudian mengangkatnya menjadi drama trilogi, yaitu Oidipus Rex, Oidipus at Colunus, dan Antigone. Versi Sophocles tersebut kemudian dibaca kembali oleh seniman masa kini dalam pesan-pesan konteks yang berbeda, seperti ketika Rendra mementaskan Oidipus Sang Raja.

Dengan demikian, pertunjukan teater Indonesia tidak asing dengan kontribusi dari cerita-cerita lisan. Banyak pertunjukan teater modern dan kontemporer berawal dari cerita-cerita rakyat/lisan, yang disampaikan melalui naskah drama atau langsung ke atas panggung pertunjukan teater.

Cerita lisan yang berkembang awalnya dari suku-suku bangsa yang belum mengenal tata tulis, pada perkembangan waktu kalangan terpelajar dengan budaya tulisnya menyebabkan cerita lisan tersebut menjadi dikenal di luar lingkungannya dan mendapatkan cara pembacaan dan penanggapan yang baru. Identitas cerita lisan atau tradisi lisan tidak lagi berbicara "hanya" di sekitar pemiliknya, tetapi juga bersinggungan dengan nilai-nilai budaya dari penikmatnya yang lain.2

Identitas penikmatnya menyebabkan identitas tradisi lisan pun mengalami perubahan. Makna kehadiran tradisi lisan turut mengalami perkembangan. Demikian juga elemen-elemen tradisi lisan dan bagaimana cara penyebarannya, serta fungsinya dalam masyarakat juga berubah. Penting mempelajari bagaimana seorang seniman masa kini mempelajari tradisi. Dipastikan mereka mempelajarinya berkat versi seniman lain.3 Versi tersebut terekam dalam bentuk pertunjukan dan bentuk tertulis. Persoalannya adalah seberapa jauh rekaman tertulis menampilkan keutuhan tradisi lisan, karena sebuah tulisan sering hanya merekam kepentingan penulisnya. Seberapa jauh pertunjukan merekam tradisi lisan, karena hal tersebut tergantung pada situasi perekaman dan tanggapan penontonnya. Dengan demikian, versi yang dibuat dan dikenal dari generasi ke generasi berikutnya menunjukkan perkembangan cara perekamannya dan cara menanggapinya

Pertunjukan Teater
Pertunjukan teater di samping tari, musik, dan puisiâ€"adalah media yang mampu menjadi alat perekam tradisi lisan. Eric Bentley menyebutkan bahwa "sesuatu" dibuat oleh A (seniman) menjadi B (karya seni) untuk C (penonton).4 Peristiwa-peristiwa faktual dalam sejarah lisan dan narasi fiktif dalam tradisi lisan diolah kembali oleh seniman teater menjadi pertunjukan teater untuk penonton. Di dalam pertunjukan teater, kehadiran penbonton penting karena tanpa penonton tak ada teater.

Di dalam pembicaraan tentang pertunjukan teater di Indonesia, sering didengar istilah 'teater tradisi' dan 'teater modern'; 'teater istana' dan 'teater rakyat'; 'teater daerah' dan 'teater kota'. Istilah-istilah tersebut yang akan dilekatkan pada sebuah pertunjukan teater perlu didudukkan terlebih dahulu dalam rangka memperjelas identitas dan kegunaannya bagi masyarakat.

Teater Istana dan Teater Rakyat
Istilah 'istana/bangsawan' dan 'rakyat' mencerminkan suatu status sosial seniman dan fungsi pertunjukan bagi status penonton secara sosial di mana pertunjukan teater istana dan rakyat diproduksi oleh seniman bagi kepentingan status sosial mereka. Istilah 'daerah' dan 'kota' mencerminkan perubahan dan pergeseran wilayah geografis dari desa ke kota yang disebabkan perpindahan penduduk dari desa ke kota, serta perubahan wilayah yang dulu desa menjadi kota secara administratif.

Istilah 'tradisi' dan 'modern' digunakan untuk memaknai karakter, watak, dan pemahaman yang akan dilekatkan ke dalam pertunjukan. Dalam istilah tersebut, gagasan ideologis ikut serta membentuk makna pertunjukan tersebut. Dengan demikian, mencoba memaknai kehadiran sebuah pertunjukan teater dapat diawali dari bentuk atau identitas mereka, setelah itu, barulah mengamati perubahannya.

Teater Istana. Teater istana/keraton/bangsawan merupakan seni pertunjukan yang muncul di kalangan para raja dan bangsawan sejak abad ke¬4M. Pada masa itu kehidupan teater menjadi amat penting dalam upacara keagamaan.5 Hinduisme berkembang di Pulau Jawa, Kalimantan, Sumatra, dan kemudian di Pulau Bali. Para raja serta bangsawan pada masa itu memang membinanya. Banyak prasasti yang mengungkapkan adanya seni pertunjukan teater di kalangan istana, seperti relief-relief di candi Borobudur dan Prambanan. Contoh pertunjukan teater istana ini, Wayang Orang, hanya untuk menyebut pertunjukan yang berkembang di istana atau keraton.

Pertunjukan teater istana muncul bersamaan dengan munculnya sistem kerajaan di Indonesia.6 Pertunjukan teater istana dilakukan guna menambah legitimasi kehadiran raja di atas tahta. Tema-tema yang ditampilkan selalu melambangkan kesuburan yang digambarkan lewat perkawinan atau perang antara dua keluarga, yaitu Pandawa dan Korawa dalam kisah Mahabharata. Pertunjukan akbar yang berlangsung sampai empat hari empat malam itu selalu memperingati peristiwa penting di istana, seperti ulang tahun berdirinya istana, ulang tahun Raja atau Sultan, dan pernikahan putra-putri Raja atau Sultan. Pertunjukan teater istana menduduki tiga fungsi utama, yakni sebagai ritus, sebagai pelengkap kebesaran raja, dan sebagai hiburan yang menekankan pada selera estetika tinggi.7

Teater Rakyat. Cerita-cerita lisan tidak hanya digunakan dalam pertunjukan teater istana, tetapi juga di dalam pertunjukan teater rakyat. Teater rakyat yang menjadi salah satu bentuk ungkap kehendak masyarakat memiliki fungsi sebagai berikut.8 Pertama, sebagai alat pendidikan anggota masyarakat pemilik cerita lisan tersebut. Kedua, sebagai alat penebal perasaan solidaritas kolektif. Ketiga, sebagai alat seseorang menegur orang lain yang melakukan kesalahan. Keempat, sebagai alat protes terhadap ketidakadilan. Kelima, sebagai kesempatan seseorang melarikan diri untuk sementara dari kehidupan nyata yang membosankan ke dunia khayalan yang indah.

Pertunjukan teater rakyat yang diadakan di pedesaan sering dianggap sebagai teater komunal karena sifatnya yang diperuntukkan kepentingan masyarakat.7 Pemainnya adalah semua anggota masyarakat atau komunitas bersangkutan. Sifat pertunjukan ini improvisasi, tanpa koreografi yang pasti. Bentuk teater komunal dianggap juga sebagai teater primitif.9

Pertunjukan teater rakyat banyak terdapat di lingkungan kelompok suku di daerah-daerah di Indonesia. Suatu ciri yang tampak khas dari pertunjukan teater rakyat adalah bentuk dan gaya teater tutur/lisan, seperti dalam pertunjukan Sinkrilik dari Sulawesi, Kentrung dari Jawa Timur, Bakaba dari Minangkabau, dan Cakepung dari Bali/Lombok. Meskipun sebenarnya pertunjukan teaternya tidak menghadirkan peristiwa dramatik, namun seorang pencerita akan menuturkan secara lisan cerita dramatiknya.10 Pertunjukan teater rakyat mengenal adanya pertunjukan dengan cerita tertentu untuk peristiwa upacara tertentu, misalnya upacara kelahiran, inisiasi, ruwatan (permohonan ampun), kurban, perkawinan, dan meninggal dunia (seratus hari, nyadran, nyewu). Juga ada pertunjukan yang diperuntukkan kelompok sosial tertentu, seperti kesenian untuk upacara tanam padi, panen, dan bersih desa.

Pertunjukan teater rakyat dan teater Istana seringkali membawa kelangsungan pertunjukan teater primitifnya dan membawa juga pengaruh pertunjukan teater istana,seperti pertunjukan Langendrian yang semula adalah pertunjukan teater rakyat kemudian ditampilkan di kalangan keraton dan kemudian menjadi pertunjukan teater istana.

Teater Daerah dan Teater Kota
Teater Daerah. Teater rakyat muncul dan berkembang di daerah-daerah tertentu dengan mengusung ciri khas daerah tersebut.11 Ciri-ciri khas kedaerahan terletak pada suasana yang berlangsung selama pertunjukan, stilisasi elemen-elemen pendukung pertunjukan, serta sistem pelatihan yang dihasilkan dari sistem berguru atau nyantrik. Pertunjukan teater daerah sering dianggap sebagai teater total, karena terbentuk dari paduan berbagai elemen seni pendukung, misalnya tarian, nyanyian, dan akting, dan diperuntukkan bagi seluruh lapisan masyarakat serta pribadi-pribadi.

Biasanya teater daerah dipentaskan di daerah pedesaan. Suasana ketika pertunjukan berlangsung santai, sehingga menumbuhkan suasana betah bagi penontonnya. Suasana semacam itu sampai sekarang masih ditemui dalam pertunjukan ketoprak, wayang kulit, wayang orang, ludruk, dan drama gong yang di selenggarakan di desa-desa di luar gedung pertunjukan.

Penonton teater daerah sering melakukan interaktif dengan pertunjukan. Mereka menonton dengan cara duduk melingkar di sekeliling panggung pertunjukan, sehingga kebersamaan mereka dengan pertunjukan menjadi dekat dan kuat. Misalnya, mereka dapat langsung mengomentari adegan yang sedang berlangsung; mereka bersuit-suit ketika pemain favorit mereka muncul; mereka bertepuk tangan ketika terjadi adegan perang, perkelahian, atau ketika ada tembang yang mempesona perasaan mereka, seperti pertunjukan Ketoprak dan Ludruk.

Pertunjukan teater daerah direncanakan untuk penonton yang lebih menyeluruh. Sifat totalitas teater daerah ini sering menjadikan teater daerah sebagai "alat" bagi kepentingan tertentu anggota masyarakat. Di dalam pertunjukan teater daerah di Indonesia terdapat titik di mana realitas atau dunia nyata tenggelam dalam pengindahan sehingga menjadi ungkapan tari murni, misalnya di dalam pertunjukan Topeng Babakan (Cirebon), Legong (Bali), dan Bedaya (Jawa).12
Teater kota. Teater kota mencerminkan adanya pergeseran masyarakat daerah dengan kesenian dan nilai budayanya yang bersifat kedaerahan pula. Kelahiran kebudayaan kotaâ€"dan bersamanya juga kesenian perkotaanâ€"terjadi pada saat timbulnya kesadaran bahwa perangkat nilai yang ada tidak lagi dapat menjawab tantangan yang ditimbulkan oleh adanya perubahan lingkungan dan hubungan antarmanusia.

Bentuk kesenian kota hadir dari keseimbangan sosial baru di kota-kota besar. Oleh karena kota menjadi wilayah pertemuan antarbudaya, pertunjukan teater kota mencerminkan suatu potensi menyerap kebudayaan Baratâ€"atau mancanegaraâ€", tetapi sekaligus cenderung menoleh kepada budaya daerah yang masih memiliki potensi saling keterhubungan yang mengindonesia. Kebudayaan masyarakat kota hadir melalui bentuk pertunjukan teater yang baru.

Ciri-ciri teater kota semacam ini sebagai berikut.13 Pertama, pertunjukan teater ini dianggap sebagai teater kota yang "tradisional". Teater ini mengacu kepada bentuk kesenian serta nilai-nilai budaya yang dikenal sebelumnya Pada waktu Wayang Orang mulai diapresiasi oleh penonton, Wayang Orang komersial itu pun menjadi satu pertunjukan teater kota yang kedaerahan. Contoh lainnya adalah pertunjukan Ketoprak Humor, Ketoprak Plesetan, dan Ketoprak Ringkes. Kedua, pertunjukan teater dikembangkan melalui nilai budaya daerah yang lebih urban sifatnya. Teater kota ini lebih berorientasi kepada lingkungan kota besar yang berorientasi kepada nilai-nilai budaya komersial. Misalnya Teater Srimulat, Teater Gandrik, dan Teater koma. Ketiga, pertunjukan teater kini bergaya Mini Kata Rendra. Pertunjukan teater kota kontemporer atau teater kini. Gaya pertunjukan teater ini berkembang dari satu orientasi tentang kebudayaan baru sebagai konsekuensi kemerdekaan Indonesia.

Khusus untuk karakteristik ketiga, Kayam menyebutkan bahwa bentuk pertunjukan bergaya Mini Kata harus mampu menciptakan satu idiom teater yang sama sekali baru dan berbicara di depan penonton yang baru. Artinya, idiom teater yang Indonesia di hadapan penonton yang Indonesia, namun memiliki bingkai berbeda, yaitu konteks orientasi terhadap pilihan bentuk sebagai pertunjukan teater Indonesia baru.14

Teater Tradisi dan Teater Modern
Dengan demikian, teater Indonesia berada dalam ketegangan antara identitas teater istana dan teater rakyat, serta teater daerah dan teater kota. Perkembangan watak masyarakat di kalangan istana dan rakyat serta perkembangan wilayah desa/daerah menjadi kota sekaligus menunjukkan perkembangan dan perubahan sifat pertunjukan teater yang tradisi menjadi pertunjukan teater bersifat modern bahkan kontemporer.

Modernisasi teater Indonesia sesungguhnya mencerminkan tiga jalur perkembangan. Jalur pertama adalah jalur pembaratan yang menggeser masyarakat Indonesia yang berwajah petani menjadi wajah keterpelajaran. Jalur kedua yaitu jalur nasionalisme di masa prakemerdekaan yang telah berjalan lebih dari setengah abad.15 Jalur ketiga, pada saat berakhirnya satu tatanan politik negara yang berakhir dengan sebuah peristiwa benturan besar yang dikenal sebagai gerakan G30S PKI.16 Walaupun agak jauh jarak waktu antara ketiga jalur itu, ketiganya sekarang bertemu dan bergulat ikut mengisi pengertian baru kata "Indonesia".

Bahkan saat ini teater Indonesia mengalami perkembangan dengan hadirnya peristiwa kebangsaan yang dikenal dengan era reformasi. Babakan baru atau jalur keempat ini menjadi penting karena makna keIndonesiaan mulai dipertanyakan dan dihadapkan dengan multikulturalisme kedaerahan yang cenderung mengedepankan ketegangan antara Indonesia dan daerah dalam wacana pluralisme, individualisme, dan, demokratisasi.

Kata "Indonesia" tidak lagi berarti bukan lagi kota ataupun daerah, tetapi sebuah bentuk dan gaya baru yang unik dalam maknanya sendiri terhadap kepekaan yang disebut kepekaan Indonesia.17 Pada saat seniman berkomunikasi dengan "orang Indonesia", ia diharapkan mampu menyelesaikan masalah bahwa orang Indonesia kebanyakan bikultural, yaitu berbicara dalam kerangka budaya Indonesia dan daerah. Indonesia adalahâ€" meminjam istilah Bennedict Andersonâ€"komunitas-komunitas terbayang yang di dalamnya membayang suatu pergumulan, tarik menarik, dan ketegangan secara interteks nilai-nilai kedaerahan dan nilai keIndonesiaan.1$
Antara kedua nilai tersebut memiliki proses perjalanan sinkronis yang baru di mana bentuk teater Indonesia yang berada pada posisi yang memungkinkan hadir sebagai pihak yang hidup secara sejajar dengan teater¬teater daerah yang hadir lebih lamaâ€"kalaupun pernah saling jumpa, toh nyatanya mereka tak berjalan sepanjang arah yang sama. Artinya, di masa prakemerdekaan, makna kedaerahan seolah tersingkir untuk menemukan makna Indonesia. Pascakemerdekaan makna kedaerahan seolah mendapat tempat untuk berkembang. Namun di tahun 1960-an kembali makna kedaerahan tergusur dengan universalitas yang melanda dunia saat itu. Saat ini, masalah identitas pertunjukan teater Indonesia yang pernah "mentradisi" seolah dipertanyakan kembali fungsinya.

Keberadaan multikultralisme dalam teater Indonesia menyebabkan bentuk-bentuk pertunjukan teater istana, teater rakyat, teater daerah, dan teater kota melekat di dalamnya. Sifat dan ideologis dalam bentukan pertunjukan, status sosial penggarap pertunjukan teater, dan perubahan wilayah geografis penimat pertunjukan teater menjadi elemen-elemen pendukung terciptanya suatu bentuk pertunjukan teater Indonesia.

Dengan demikian, mungkinkah nilai tradisi lisan yang tumbuh di kalangan warga daerah/desa tetap mampu menyampaikan pesan kulturalnya kepada warga kota yang Indonesia? Bagaimana cara mengkomunikasikan nilai¬nilai tradisi lisan kepada penikmat/penonton yang sedang berubah? Apakah watak pertunjukan teater modern Indonesia yang multikultur dan bilingual mampu menjadi wahana komunikasi nilai-nilai tradisi lisan?

Identitas Masyarakat Indonesia dan Teater Indonesia
Masyarakat Indonesia saat ini merupakan masyarakat yang "digempur" oleh nilai-nilai kapitalisme. Kondisi ini dapat diamati pada kehidupan manusia di kota-kota besar, seperti Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, dan sebagainya. Keadaan ini belum akan terbayangkan pada orang-orang yang hidup di pedesaan, yang secara relatif masih kurang dirasuki oleh sistem kapitalisme. Sistem Kapitalisme memiliki nilai-nilai di antaranya, konsumerisme, individualisme, dan pragmatisme.

Konsumerisme merupakan sesuatu yang wajar dalam sistem kapitalisme karena dengan konsumerisme lah sistem ini bergerak dan hidup. Konsumerisme berarti memperluas pasar. Orang menjadi membeli barang¬barang yang diproduksikan. Karena itu, para produsen berusaha mendorong konsumerisme. Dengan demikian, konsumerisme dan kapitalisme merupakan dua sisi dari satu mata uang yang sama. Etos kerja manusia modern Indonesia pun harus dihubungkan dengan sistem kapitalisme. Pragmatisme menggejala di mana-mana. Di bawah sistem kapitalisme, orang harus berkompetisi. Kalau dia kalah dalam kompetisi, maka dia akan tersingkir dan menjadi miskin.19

Di manakah letak seni tradisi dalam masyarakat kota yang modernis? Mungkinkah nilai tradisi lisan yang pernah menjadi landasan hidup komunal diubah dan digeser menjadi seni modernis?
Rendra menyatakan bahwa manusia pada dasarnya selalu membutuhkan nilai-nilai tradisi dalam rangka memperbaiki hidup bermasyarakatnya. Nilai tradisi menjadi ungkapan kesadaran kolektif sebuah masyarakat. Ia membantu memperlancar tumbuh kembangnya pribadi anggota masyarakat.20 Besarnya sumbangan nilai tradisi terhadap perkembangan nilai bermasyarakat karena nilai tradisi masih menjalankan adat kebiasaan di kalangan masyarakat pemiliknya secara turun temurun.

Perubahan zaman mengubah pula pertunjukan teater daerah menjadi teater modern. Selera masyarakat pendukungnya berubah, sehingga identitas seni daerah pun berubah. Pertunjukan teater daerah semakin terpisah dimensinya dari kecenderungan untuk menjadi teater daerah yang bersifat tradisi, untuk kemudian berubah menjadi pertunjukan teater yang lebih bersifat modern. Elemen-elemen pertunjukan daerah difungsikan untuk kegunaan yang lebih luas. Tidak sekedar kepentingan komunal tetapi juga masyarakat luas. Istilah tradisi dan modern digunakan untuk menampilkan sifat teater daerah yang terus menerus mengalami perkembangan. Tradisi menjadi sifat dari suatu kondisi yang menetap dan selalu ada secara turun temurun, sedangkan modern menjadi sifat dari suatu keadaan yang selalu berubah dan berkembang dengan mengikuti perubahan zaman.

Pertunjukan teater yang memiliki sifat atau watak tradisi menuntut totalitas ekspresinya. Sifat perlawanan yang khas teater tradisi harus tetap ditampilkan. Oleh karena teater tradisi memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan zaman, yang berarti menunjukkan kedekatan sifatnya dengan lingkungan, maka seniman teater tradisi dituntut untuk terus¬menerus berdialog, baik dengan persoalan teknis maupun wacana di luar tradisi mereka.

Teater tradisi dengan sifat-sifatnya yang komunal dialogis, di satu sisi, terkadang mudah dipengaruhi oleh semacam sistem kekuasaan yang memiliki sifat-sifat yang berbeda. Hirarki birokrasi yang menjadi sifat kekuasaan, misalnya, merasuki sifat-sifat komunal tradisi kerakyatan. Akibatnya, kesenian tradisi mudah dimanfaatkan oleh penguasa untuka menyamp[aikan pesan=pesan ideologis mereka kepada rakyat. Pemanfaatan tersebut menyebabkan ekspresi rakyat yang biasanya tersalurkan melalui media teater tersumbat.21 Keinginan masyarakat terkadang tidak selaras dengan apa yang diinginkan dalam sistem pemerintahan, sehingga kesenian pun akhirnya menjadi cerminan bagi konflik yang terjadi antara penguasa dan rakyatnya.

Di sisi lain, kekuasaan mampu menjadikan teater tradisi menjadi media yang efektif bagi rakyat dan seniman untuk melakukan kritik terhadap pemerintah. Pertunjukan teater tradisi dianggap sebagai media bagi budaya perlawanan atau budaya tanding dari rakyat kepada pemerintah.

Tepatlah seperti yang disampaikan Rendra bahwa tradisi tidak harus dipandang bukan sebagai barang mati. Sikap seniman bukanlah sikap "benalu" pada tradisi. Dengan kata lain, Rendra menolak sikap yang memperlakukan tradisi sebagai 'kasur tua untuk tidur-tidur saja, bermalas¬malas menempuh gaya hidup cendawan'.22

Dengan mendudukkan teater tradisi sebagai teater yang sedang berproses, maka teater tradisi memiliki ruang pembebasan yang ada dan terjadi dalam dirinya sendiri, yaitu pembebasan melalui nilai-nilai kedaerahannya.23 Proses pembebasan tersebut dianggap Umar kayam sebagai 'pembebasan budaya-budaya daerah' dan Rendra menyebutnya dengan 'mempertimbangkan tradisi', sedangkan Emha Ainun Najib menyebutnya dengan 'budaya tanding'. Proses ini akan menunjukkan sifat tradisi yang cair, plastis, dan dinamis.


PERTUNJUKAN TEATER INDONESIA
TEATER DAERAH TEATER KOTA
BERSIFAT TRADISI BERSIFAT MODERN
TEATERISTANA TEATER RAKYAT TEATER
TEATER
KONTEMPORER/BARU
..
Teater Teater Teater Teater Teater Teater Teater Teater Teater
Primitif Klasik Tutur Topeng Tari verbal Kata Tubuh/ Seni
bersifat bersifat Mini Rupa
tradisi tradisi Kata


Pertunjukan Teater Indonesia Kini
Pertunjukan Teater Indonesia Sebagai Pembacaan Budaya Sumber (Tradisi Lisan) bagi Budaya Target (Apresiasi Penonton)

Menempatkan peran aktif pembaca sebagai pembaca karya seni berarti menghadirkan suatu proses interpretasi. Seperti yang disampaikan oleh Janet Wolf bahwa proses interpretasi adalah sebuah proses mencipta kembali, yang berarti juga refungsi makna karya tersebut. E. D. Hirsch Jr. menganggap bahwa beralihnya pusat pemaknaan ke tangan setiap pembaca menyebabkan makna karya seni menjadi berbeda-beda. Tak ada lagi determinasi dan kekuasaan pengarang, yang ada hanyalah proses interpretasi terus menerus dari pembaca terhadap apa-apa yang disampaikan pengarang.

Dalam ilmu sastra, pandangan yang memberi tempat yang penting kepada peran pembaca tersebut telah melahirkan teori yang dikenal dengan teori resepsi. Teori ini berangkat dari peran pembaca dalam proses pembacaan.24 Pada waktu menghadapi suatu teks, pembaca sudah mempunyai bekal yang berkaitan dengan karya yang dibacanya. Bekal pengetahuan inilah yang selanjutnya menyediakan kepada si pembaca satu cakrawala harapan. Kedalaman bekal pembaca diangkat dari "gudang" pengetahuan dan pengalamannya yang diistilahkan sebagai literary repertoire,25 yaitu "gudang" pembaca yang berisikan seperangkat norma-norma sosial, historis, dan budaya yang dimanfaatkan dalam proses pembacaan pembaca.

Gudang pengetahuan pembaca senantiasa bertambah dan berubah, sehingga hasil penerimaan dan sambutan berbeda pula. Keadaan ini memperlihatkan gejala bahwa dalam proses membaca terjadi interaksi dialog antara pembaca dengan teks yang dibacanya. Kondisi tersebut selanjutnya menghadirkan varian-varian teksnya.

Kehadiran varian-varian teks tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya sebuah teks jika belum dibaca, ia masih berada dalam tatanan artefak. Karya cipta baru menjadi karya seni, yaitu menjadi objek estetik dan berfungsi estetik, setelah dibaca.26 Teori yang merupakan manifestasi dari pandanganâ€" yang sering disebut resepsi estetikaâ€"itu dalam menghadapi karya seni, memandang pembaca melakukan tindakan yang dalam ilmu sastra disebut konkretisasi. Hirsch menyebutnya sebagai tindakan interpretasi.

Interpretasi pembaca terhadap pertunjukan tradisi lisan yang sesuai adalah pembaca yang membaca selaku peneliti. Peneliti dalam tradisi lisan merupakan pembaca model (model reader)27, karena di dalam proses pembacaannya teks tidak akan pernah menjadi target, tetapi teks adalah prafigur yang cara menanggapinya tergantung pada peranannya sebagai pembaca. Maka dari itu, proses membaca model menjadi cara berinteraksi antara teks dengan tanggapan pembaca secara dinamis.28 Peran pembaca model tersebut mendudukkan teks menjadi suatu karya artisik dan teks sebagai karya estetik. Karya artistik mengacu pada karya-karya yang dicipta seniman melalui materi-materi pilihannya dan teknik ungkapnya, sedangkan karya fiksi menjadi estetik jika telah direalisasi dan ditanggapi pembaca. Sebuah karya artistik menjadi karya estetis berkat resepsi estetis pembaca atau penonton.

Namun demikian, pembaca tradisi lisan tidaklah dapat semaunya memilih perspektif. Ia tidak sepenuhnya mampu mendekati teks secara utuh. Pembaca hanya mampu mendekati dimensi semu (virtual dimension) yang dimiliki teks. Dimensi semu ini bukanlah teks sebenarnya, bukan juga imajinasi pembaca, tetapi kehadiran bersama teks dan imajinasi pembaca. Dimensi semu karya seni membantu pembaca untuk mengaktifkan potensi bacaannya (imajinasinya) yang mampu mencipta kembali kebaruan dunia teks. Hasilnya adalah bentuknya baru, tetapi teksnya tetap lama. Teks hadir dengan seluruh realitas kebaruannya, yaitu ada intensi pengarang, karya, dan interpretasi pembacanya.29

Kegiatan membaca tradisi lisan adalah membangun kembali dimensi semu dari teks secara aktual. Dimensi semu di dalam teks mengungkapkan adanya ruang-ruang kosong yang menunjuk pada kemungkinan indeterminasi,30 yaitu ruang yang memberi kesempatan bagi imajinasi pembaca berpartisipasi untuk mengkonstruksi apa yang dibacanya.31 Hasilnya adalah pembacaan yang berulang. Pengulangan pembacaan tidak hanya menghadirkan serangkaian perbedaan pengalaman membaca, tetapi juga pengembaraan pembacaan secara inovatif.32

Pertunjukan tradisi lisan berarti menuliskan rangkaian konkretisasi dari transformasi elemen-elemen pertunjukan teatrikal tradisi lisan kepada penontonnya.33 Keadaan tersebut dapat dilakukan dengan cara. Pertama, pembentukan mise en scene, 'konkretisasi pemanggungan' tradisi lisan. Kedua, rekonstruksi dan refungsi langkah-langkah penciptaan artistik secara metodis, sistematis, dan teknis.34 Patrice Pavis menyebutkan dua faktor yang harus diperhatikan dalam membentuk mise en scene, yaitu, kekuatan budaya sumber dan budaya target.35 Dalam gambar di bawah ditunjukkan Pavis bagaimana pertemuan antara budaya sumber (produser, si pengirim) ke budaya target (si penerima, penonton) melalui mise en scene.

Pertemuan Budaya 3umber dan Budaya target
source culture = budaya sumber; target culture = budaya target;
original situation of enunciation = situasi pengirim; intended situation of enunciation = situasi penerima.

Wilayah (T) merupakan mise en scene atau wilayah pertemuan teatrikal antara wilayah ucapan situasi pengirim yang sebenarnya dan wilayah ucapan situasi yang diharapkan penerima. Antara keinginan pengirim yang sebenarnya dengan harapan yang diterima penerima tidak berlangsung secara utuh. Pertunjukan tradisi lisan sebagai wilayah konkretisasi mise en scene tetap menyisakan wilayah semu atau abu-abu.

Tahapan pertemuan budaya sumber dan budaya target (T) dalam mise en scene pertunjukan berlangsung sebagai berikut.36

Tahapan proses pertemuan Budaya Sumber dan Budaya Target
Tahap pertama, (To) yaitu identifikasi gagasan tradisi lisan. Tahapan ini berada dalam wilayah budaya sumber yang dikenal seniman. Gagasan masih abstrak dan berada di angan dan pikiran seniman, sehingga gagasan ini belum memiliki bentuk yang jelas. Tahapan ini dapat digunakan sebagai cara menemukenali kembali cerita lisan yang pernah hidup dan berkembang di masyarakat. Tahapan ini menjadi sumber garapan pertunjukan, dan juga menjadi sumber budaya yang menjadi pesan kepada penerimanya.

Tahap kedua, (T1) yaitu observasi artistik tradisi lisan. Tahapan ini merupakan textual concretitation (konkretisasi tekstual), yaitu usaha seniman mengkonkretkan gagasan melalui bentuk artistik. Cara yang dilakukan adalah mencari spirit tradisi yang pernah dikenali. Misalnya, kisah Palguna-Palgunadi, kisah Roro Jonggrang, kisah Srikandi belajar Memanah, atau kisah Djoko Tingkir bisa menjadi sumber pesan yang akan disampaikan seniman.

Tahap ketiga, (T2) perspektif seniman. Tahapan ini merupakan tahapan dramaturgical concretization (konkretisasi dramaturgis), yaitu usaha penyesuaian antara eksplorasi seniman dengan perspektifnya. Konteks¬konteks mulai diperhitungkan seniman. Budaya target penerima mulai ditanggapi oleh pengirim, karena dramaturgi menampilkan keterkaitan antara seniman dan penonton. Selera penonton mulai diamati dengan cermat. Kecenderungan artistik yang disukai menjadi bahan olahan mereka.

Tahap keempat (T3), stage concretitation (konkretisasi pemanggungan), transfer gagasan melalui konkretisasi pemanggungan. Tahapan ini merupakan usaha mendekatkan perspektif seniman dengan penerimanya melalui elemen¬elemen media pemanggungannya.

e. Tahap kelima (T4), receptive concretitation (konkretisasi resepsi) penonton. Tahapan ini merupakan konkretisasi penerimaan, yaitu ujicoba mendekatkan ungkapan gerak spontan dengan penerimanya melalui pertunjukan. Budaya target yang dimiliki penonton mulai diperhitungkan seniman. Selera modern bertemu dengan artistik seni tradisi. Proses penyampaian tentu saja menuntut kreativitas artistik yang saling tarik ulur dengan penonton.

Pertunjukan teatrikal tradisi lisan ditampilkan di hadapan penonton Indonesia yang memiliki beragam interpretasi. Tahapan Pavis tersebut dapat digunakan untuk membaca bagaimana seorang seniman membangun kreativitas artistiknya dan bagaimana menyampaikannya pada penonton

1Pendapat Jan Vansina ini dikutip Kuntowijoyo dalam bukunya Metodologi Sejarah (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 2003), 25.
2Amin Sweeney, A Full Hearing. Orality and Literacy in the Malay world (London: University of California Press, Ltd., 1987), 3.
3James Dananjaya, "Fungsi Teater Rakyat Bagi Kehidupan Masyarakat Indonesia. (Ketoprak/Dagelan Siswo Budoyo Sebagai Suatu Kasus Studi)", dalam Edi Sedyawati. Sapardi Djoko Damono, ed. Seni Dalam Masyarakat Indonesia. Bunga Rampai (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1983), 80.
4Oscar G. Brockett, The Essential Theatre. Fourth Edition (Orlando, Florida: Holt, Rinehart and Winston, Inc., 1988),19.
5I. Made Bandem, & Sal Murgiyanto. Teater Daerah Indonesia (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1996), 22.
6Soedarsono, Seni pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002), 145.
7Soedarsono, 2002, 140 - 141.
8Dananjaya, 1983, 81.
7Bandem & Sal Murgiyanto, Teater daerah, 1996, 20.
9Jacob Sumardjo, Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1992), 16.
10 Sumardjo, 1992, 39.
11Bandem & Sal Murgiyanto, Teater Daerah, 1996, 14.
12 Bandem & Sal Murgiyanto, 1996, 15.
13Umar Kayam, Seni, Tradisi, Masyarakat, (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1981), 93.
14 Kayam, 1981, 94.
15Umar Kayam, "Pembebasan Budaya-Budaya Kita", dalam Agus R. Sarjono, ed. Pembebasan Budaya-Budaya Kita. Sejumlah Gagasan Di Tengah Taman Ismail Marzuki, (Jakarta: PT Gramedia Utama, 1999), 72.
16Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), 170.
17Saini Kosim, "Teater Indonesia, Sebuah Perjalanan Dalam MultiKulturalisme", dalam Keragaman dan Silang Budaya. Dialog Art Summit, Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia Thn IX-1998/1999 (Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 1999), 194.
18Benedict Anderson, Imagined Communities. Komunitas-Komunitas Terbayang (Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Insist, 2001), 286. Di dalam buku ini Anderson menjelaskan bagaimana hubungan emosional, politik, ekonomi, dan sosial antara negara Eropa dan negara koloninya, Amerika. Bahwa meskipun Amerika sebagai negara merdeka, ternyata tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh kekuasaan negara induknya, Eropa. Sekuat apa pun Amerika berusaha melepaskan diri dari bayang-bayang Eropa, namun Amerika tetap merupakan suatu ”komunitas bayangan” Eropa.
19Arief Budiman, "Konsumerisme dan Etos Kerja dalam masyarakat Modern", dalam Johanes Mardimin, ed. Jangan Tangisi Tradisi. Transformasi Budaya Menuju Masyarakat Indonesia Modern (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1994), 98.
20Rendra, Mempertimbangkan Tradisi (Jakarta: PT Gramedia, 1984), 3.
21Emha Ainun Nadjib, Terus Mencoba Budaya Tanding (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), 252.
22Rendra, Mempertimbangkan Tradisi, 1984, 6.
23Kayam, "Pembebasan Budaya, dalam Sarjono, ed., Pembebasan Budaya¬Budaya Kita, 1999, 70.
24Teori resepsi dikemukakan pertama kali oleh Hans Robert Jauss. Jauss berhasil mensistematiskan pandangan ini menjadi suatu landasan teoretis terhadap berbagai varian interpretasi. Siti Chamamah Soeratno mengamati teori resepsi yang dapat digunakan sebagai metodologi. "Pengkajian Sastra Dari Sisi Pembaca: Satu Pembicaraan Metodologi", dalam Jabrohim, ed., Metodologi Penelitian Sastra (Yogyakarta: Hamnindita Graha Widya, 2003), 137.
25Periksa pula pengamatan Wolfgang Iser dalam bukunya The Art of Reading. A Theory of Aesthetic Response (Baltimore and London: The Johns Hopkins University Press, 1980), 80 - 81. Iser menunjukkan elemen-elemen literary repertoire yang mendukung terbentuknya pedoman-pedoman dialog antara teks dan pembacanya.
26Siti Chamamah S., dalam Jabrochim, ed., Pengkajian Sastra, 2003, 138. Periksa pula Wolfgang Iser, The Implied Reader. Patterns of Communication in Prose Fiction from Bunyan to Beckett (Baltimore and London: The Johns Hopkins University Press, 1974), 274 - 275. Dalam bukunya Iser menjelaskan perubahan karya artistik menjadi karya estetik setelah mendapat tanggapan dari pembacanya.
27Marco de Marinis, The Semiotics of Performance. Terj. Aine O'Heady, (Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press, 1993), 164.
28Iser, The Art of, 1980, 107. Periksa pula Iser, The Implied Reader, 1974, 274 -
275.
29Vansina, Oral Tradition, 1985, 35.
30Istilah ini dipakai oleh Iser, 1980, 182 - 183.
31Marinis, 1993, 163 - 164.
32 Marinis, 1993, 164.
33Patrice Pavis, Theatre at the Crossroads of Culture (New York: Routledge, London, 1992), 136.
34Pavis, 1992, 24 - 25.
35 Pavis, 1992, 136.
36 Pavis, 1992, 185-207.

Data personal
Nama : Dra. Hj. Yudiaryani, M.A
Pendidikan : - S1 (Dra) Sarjana Sastra Perancis UGM
- S2 (MA) Theatre and Film Studies,
University of New South Wales (UNSW)
Sydney, Australia.
- Kandidat Doktor Ilmu Budaya Universitas Gadjah
Mada
Pekerjaan (3 Tahun Terakhir)
Staf Pengajar Jurusan Teater Fakultas Seni Pertunjukan ISI Yogyakarta
Staf Pengajar Pascasarjana ISI Yogyakarta
Pengelola Jurnal Seni Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Jurnal Ekspresi ISI Yogyakarta, dan Jurnal Seni dan Pendidikan Imaji, Fakultas Bahasa dan Seni UNY.
Nara sumber dan instruktur dalam seminar dan workshop Penyutradaraan:
2006 Instruktur dan Pemateri pada pelatihan Penyusunan Naskah Teater dan Penyutradaraan se-Kalimantan Barat yang diselenggarakan oleh Unit Taman Budaya Propinsi Kalimantan Barat tgl 19 Juni-22 Juni di Pontianak.
2006 Pemateri Metode Pembelajaran Teateral yang disampaikan dalam rangka "Seminar Sehari Guru Teateral", kerjasama Dirjen Pengembangan Mutu dan Kualitas dan Pendidik, Departemen Pendidikan Nasional dengan Federasi Teater Indonesia, Jumat 12 Mei 2006, DEPDIKNAS, Jakarta.
2006 Instruktur dan pemateri workshop Komunitas Teater Kampus se Jabodetabek bekerjasama dengan Federasi Teater Indonesia (FTI) tanggal 21-22 April 2006 di Taman Situ Gintung Ciputat Jakarta Selatan.
2005 Instruktur dan Pemateri pada acara "Pelatihan Penyusunan Naskah Teater dan Penyutradaraan". Dinas Kebudayaan dan Pariwisata PEMPROV Kalimantan Barat. Pontianak.Tanggal 23-26 Juni
2005 Koordinator pembuatan Modul Tugas Akhir Mahasiswa Jurusan Teater ISI Yogyakarta, Maret-April 2005.
2005 Instruktur untuk acara "Revisi Kurikulum Berbasis Kompetensi" Jurusan Teater di STSI Padang Panjang, 24-28 Maret 2005.
2005 Ketua Pelaksana Lokakarya Perempuan Penulis Naskah Drama kerjasama DKJ-ISI Yogyakarta-LP3Y tanggal 13-15 Januari 2005 untuk wilayah Yogyakarta-Jawa Tengah-Jawa Timur.
2004 Internasional Residency in Art Management, Ford Foundation dan Asia Link selama 3 bulan (Januari - April 2004) di Adelaide dan Melbourne Australia untuk mengamati manajemen komunitas teater perempuan di Australia.

Sebagai Peneliti:
2005-2007 Penelitian Pemanfaatan Modul Pembelajaran Penulisan Naskah Drama Bagi Perempuan Penulis Naskah Drama Berperspektif Jender, Penelitian Hibah Bersaing Perguruan Tinggi, Dirjen DIKTI.
2003-2004. Penelitian Teater Modern Indonesia di Yogyakarta Tahun 1990-an hingga tahun 2000-an: Kajian Tekstual Teater Garasi dan Teater Eska, Penelitian Dosen Muda, Dirjen Dikti, (2003/2004).
1999-2000 Penelitian Sistem Pembentukan dan Pengembangan Pementasan Teater Modern Yogyakarta: Sebuah Kajian Fungsionalisme Estetika Sosial. (Studi Kasus Pementasan Teater Modern Pada Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) I s/d X(1989-1999), Proyek Peneliti Muda, Dirjen DIKTI, 1999.
Sebagai Penulis Artikel
2005 Artikel "Memahami Gaya dan Aplikasinya Untuk Penciptaan Teater Masa Kini", dalam Ekspresi Jurnal Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Volume 15, Tahun 5, 2005.
2005 Artikel "Dongeng dari Teater Perempuan (Menangkap Peluang dan Berpikir Strategis)", dalam acara Pertemuan Perempuan di Panggung Teater Indonesia pada tanggal 3 Agustus 2005 di TIM yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).
2005 Artikel "Teater Antropologi: Teknik Gerak Tubuh bagi Teater Panggung", dalam Jurnal Kebudayaan Selarong , Dewan Kebudayaan Bantul, Volume 4-2005.
2004 Artikel, "Metode Perancangan Penyutradaraan", disampaikan pada Workshop Metodologi Penelitian dan Perancangan Tugas Akhir dengan Proyek Peningkatan ISI Yogyakarta Pengembangan Jurusan dan UPT Perpustakaan Tahun Anggaran 2004, 24-25 Mei 2004, Hotel Ros Inn, Yogyakarta.
2003. Artikel "Teori Mise En Scene Interkultur. Pengenalan Pada Teori Seni Pertunjukan Teater", dalam buku Kembang Setaman. Persembahan untuk Sang Mahaguru. Ed. A.M. Hermien Kusmayati, Yogyakarta.BP ISI Yogyakarta, 2003.
7. Sebagai Juri Festival Teater
2005 Juri dalam penyelenggaraan Festival Teater Kampus se Indonesia (FESTAMASIO) di Taman Budaya Societet Yogyakarta.
2003. Juri Festival Teater Modern Riau di Pekanbaru
2002 Juri festival Teater Modern Riau di Kabupaten Bengkalis Pekanbaru
. Sebagai Sutradara Teater
2006 Mementaskan Konde Yang Terburai (Edisi Khusus] pada tanggal 31 Maret dan 1 April di Graha Bhakti Budaya TIM Jakarta, tanggal 3 April di gedung Sawunganten Banten, tanggal 27 April di Teater Besar STSI Surakarta.
2005 Mementaskan naskah "Mandala Diri" dalam rangka memperingati 16 hari Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan kerjasama Dengan Serikat Perempuan Kinasih, Taman Siswa 10 Desember 2005, Yogyakarta.
2005. Mementaskan Teater Musikal "Indahnya Kebersamaan" dalam rangka " kerjasama antara S&Y Production dengan Lembaga Teater Perempuan Yogyakarta dalam rangka 17th Asian Conference on Mental Retardation, 19-23 November 2005, Yogyakarta, Indonesia.
2005 Sebagai sutradara Lembaga Teater Perempuan dalam pementasan Konde Yang Terburai dalam rangka "Pertemuan Perempuan di Panggung Teater, Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 2-6 Agustus 2005.
2004 Sebagai sutradara Lembaga Teater Perempuan dalam pementasan Perempuan Mencari Pengarang tanggal 14 & 15 Juli 2004 dalam rangka FKY XVI di Gedung Socitet Taman Budaya Yogyakarta.
2003 Sebagai sutradara (Stage Director] dalam pementasan opera Panji Raja Bali Chandrakirana ISI Yogyakarta. Komposer Prof Vincent Dermott, dalam rangka FKY XV 2003, tgl 19&20 Juni di Yogyakarta.
2003 Sebagai sutradara Komunitas Teater Perempuan ISI Yogyakarta dalam pementasan Vagina Monolog bekerjasama dengan Koalisi Perempuan Indonesia, di Yogyakarta, Maret 2003.

Sumber :
Makalah ini disampaikan dalam rangka kegiatan Workshop dan Festival Tradisi Lisan dengan tema "Seni Tradisi Lisan Sebagai Wahana Komunikasi Yang Sangat Efektif di Tengah Masyarakat yang Sedang Berubah", yang diselenggarakan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, tanggal 6 - 7 September 2006, di Yogyakarta.
Tinggalkan komentar anda tentang Pemanfaatan Tradisi Lisan Di Dalam Pertunjukan Teater Indonesia